Unnes Journal of Public Health

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

ANALISIS SPASIAL ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PEKALONGAN

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH RESEARCH AND DEVELOPMENT

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

Unnes Journal of Public Health

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

52 Analisis Spasial Aspek Kesehatan Lingkungan dengan Kejadian Filariasis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat Sebagai Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan

DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Prevalensi pre_treatment

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya

Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah, Sosial Ekonomi, dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JATI SAMPURNA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA PEKALONGAN TAHUN 2016

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi Millenium

I. PENDAHULUAN. nyamuk Anopheles sp. betina yang sudah terinfeksi Plasmodium (Depkes RI, 2009)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG PENCEGAHAN PENULARAN FILARIASIS DENGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN KELURAHAN KURIPAN KERTOHARJO KOTA PEKALONGAN

ANALISIS FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN RIWAYAT MALARIA

Study of Society's Knowledge, Attitude andpractic (KAP) about Lymphatic Filariasis in Pabean Village, Pekalongan Utara Sub District, Pekalongan City

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB I PENDAHULUAN. dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik WHO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 3,2 milyar

Kajian Epidemiologi Limfatikfilariasis Di Kabupaten Sumba Barat (Desa Gaura) dan Sumba Tengah (Desa Ole Ate) Tahun Hanani M.

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh TIWIK SUSILOWATI J

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Di Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

Distribusi Spasial Spesies Larva Anopheles Di Daerah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang beriklim sedang, kondisi ini disebabkan masa hidup leptospira yang

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp.

BAB 1 : PENDAHULUAN. fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan,

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

Unnes Journal of Public Health 6 (1) (2017) Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph ANALISIS SPASIAL ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PEKALONGAN Shobiechah Aldillah Wulandhari 1, dan Eram Tunggul Pawenang 2 1 Rumah Sakit Siti Khadijah 2 Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia. Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2016 Disetujui September 2016 Dipublikasikan Januari 2017 Keywords: Environmental Factor; Filariasis; Spatial Analysis Abstrak Kota Pekalongan merupakan salah satu kota yang endemis filariasis dengan mfrate > 1%. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian filariasis adalah faktor lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran spasial aspek kesehatan lingkungan berupa keberadaan semak, genangan air, sistem pembuangan air limbah, dan keberadaan ternak dengan kejadian filariasis di Kota Pekalongan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan pendekatan survey deskriptif. Analisis data menggunakan analisis spasial dengan SIG di 6 kelurahan endemis filariasis, yaitu Kelurahan Banyurip Ageng, Jenggot, Bandengan, Pabean, Kuripan Lor, dan Kertoharjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian filariasis lebih banyak ditemukan pada area dengan keberadaan semak-semak dan SPAL terbuka. Faktor risiko keberadaan semak-semak berada di Kelurahan Bandengan, Kertoharjo, Banyurip Ageng, dan Kuripan Lor. Faktor risiko keberadaan SPAL berada di seluruh lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Banyurip Ageng, Jenggot, Bandengan, Pabean, Kuripan Lor, dan Kertoharjo. Faktor risiko kandang ternak berada di 3 kelurahan, yaitu Kelurahan Bandengan, Kertoharjo, dan Jenggot. Keberadaan sawah menjadi faktor risiko lingkungan di Kelurahan Kertoharjo dan Banyurip Ageng. Abstract Pekalongan City is one of the endemic cities of filariasis with mf-rate > 1 %. One of many factors that can influence filariasis is environmental factor. The aim of this research was to figure out the spatial imaging of environmental health such as shrub existence, puddle, wastewater pipeline, and livestock existence with filariasis in Pekalongan City. The study was quantitative descriptive with descriptive survey. Data were analyzed with spatial analysis using GIS in 6 filariasis-endemic subdistricts, i.e. Banyurip Ageng, Jenggot, Bandengan, Pabean, Kuripan Lor, dan Kertoharjo. The study showed that filariasis transmission was in the area with shrub and wastewater pipeline existence. Risk factor of wastewater pipeline existence was in all research places. Risk factor of livestock existence was in 3 subdistricts of Bandengan, Kertoharjo, dan Jenggot. Rice fields existence was a environmental risk factor in Kertoharjo and Banyurip Ageng. 2017 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Jalan Bandung No.3947, Pekalongan Email: aldillah48@gmail.com pissn 2252-6781 eissn 2584-7604

PENDAHULUAN Filariasis (elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang ditularkan oleh nyamuk dan disebabkan oleh cacing filaria seperti Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening (Depkes RI, 2008). Cacat yang timbul akibat penyakit ini tidak hanya menghambat produktivitas, tetapi penderita juga merasakan tekanan mental dan sosial karena stigma yang muncul di masyarakat. Data WHO (2014) menyebutkan bahwa diperkirakan 1,4 miliar penduduk dunia di 73 negara berisiko terserang filariasis. Lebih dari 120 juta penduduk telah terinfeksi, dengan 40 juta di antaranya telah mengalami cacat fisik dan keterbatasan dalam beraktivitas. Filariasis merupakan penyakit endemis di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Di Indonesia, penyakit ini ditemukan hampir di seluruh wilayah kepulauan seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Kasus filariasis di Indonesia hingga tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus dengan estimasi prevalensi Microfilaria rate (Mf rate) sebesar 19%. Terjadi peningkatan jumlah kasus pada SDJ tahun 2008 ke tahun 2009 (Redaksi Buletin Jendela Epidemiologi, 2010). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 2012 menunjukkan bahwa total kasus filariasis di Jawa Tengah pada tahun 2012 yaitu 565 penderita dengan urutan terbanyak yaitu Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Banyumas. Penularan filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Model Segitiga Epidemiologi (Slamet, 2010), terjadinya penyakit di masyarakat dipengaruhi tiga elemen utama yaitu agent (penyebab sakit), host atau pejamu yang juga dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain derajat kepekaan, dan lingkungan. Hasil penelitian Yudi Syuhada (2012) menunjukkan bahwa keberadaan selokan, genangan air, dan semak-semak dapat menjadi faktor risiko kejadian filariasis dengan masing-masing nilai OR yaitu 2,18, 2,41, dan 2,40.Keberadaan resting place bagi nyamuk memiliki hubungan terhadap kejadian filariasis dengan p-value 0,006. Penelitian senada mengenai breeding place maupun resting place nyamuk oleh Ardias (2012) membuktikan bahwa keberadaan habitat nyamuk di sekitar tempat tinggal memiliki rasio 38,031 kali lebih besar menderita filariasis dibandingkan dengan responden yang rumahnya tidak terdapat habitat nyamuk. Penelitian Santoso membuktikan bahwa kondisi SPAL dan keberadaan ternak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian filariasis. Kota Pekalongan secara umum memiliki kondisi geografis yang hampir sama namun dengan jumlah penduduk yang berbeda. Jumlah penghuni rumah yang ada pada suatu rumah dapat mempengaruhi air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Berkenaan dengan ini, semakin banyak penghuni rumah atau semakin banyak penduduk di suatu tempat maka semakin banyak limbah yang dihasilkan.limbah cair yang tidak dikelola dengan baik pembuangannya dapat menjadi tempat perindukan nyamuk khususnya vektor filariasis (Nugraheni, 2011).Pada lokasi penelitian memiliki jumlah penduduk yang beragam. Kelurahan Banyurip Ageng memiliki sebanyak 5.256 penduduk, Jenggot sebanyak 11.491, Bandengan sebanyak 6.413, Pabean sebanyak 4.614, Kuripan Lor sebanyak 6.034, dan Kertoharjo sebanyak 3.134. Keenam lokasi penelitian ini dipilih berdasarkan tiga teratas puskesmas yang memiliki kasus klinis dan kronis pada Profil Kesehatan Kota Pekalongan tahun 2012. Karakteristik lingkungan di enam kelurahan tersebut beragam. Dua kelurahan lokasi penelitian yaitukelurahan Bandengan dan Pabean terletak di Kota Pekalongan bagian utara yang cenderung memiliki karakteristik pesisir, sedangkan 4 lokasi lainnya terletak di Pekalongan bagian selatan yang jauh dari pantai. Warga yang positif mikrofilaria hanya terpusat di beberapa RW di kelurahan-kelurahan tersebut dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, dilakukan pendekatan secara spasial untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang menjadi penyebab utama penularan filariasis padamasing-masing lokasi penelitian. METODE Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan metode survey deksriptif. Metode survei digunakankarena tidak ada intervensi terhadap variabel namun sekadar mengamati fenomena alam atau mencari hubungan fenomena tersebut dengan variabel-variabel yang lain. Komponen lingkungan yang diamati dalam penelitian ini adalah aspek kesehatan lingkungan. Aspek kesehatan lingkungan yang diamati adalah keberadaan semak-semak, keberadaan genangan air yang mengandung jentik nyamuk, keberadaan ternak, keberadaan dan kondisi SPAL. Komponen kejadian penyakit yang diamati dalam penelitian ini adalah kejadian filariasis di Kota Pekalongan khususnya di 6 kelurahan endemis filariasis yaitu Kelurahan Banyurip Ageng, Jenggot, Bandengan, Pabean, Kuripan Lor dan Kertoharjo. Analisis data menggunakan analisis spasial dengan pendekatan SIG. Gambar 1. Peta Persebaran Semak-semak di Kelurahan Pabean dan Bandengan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis spasial faktor risiko lingkungan dengan kejadian filariasis dibagi menjadi dua macam faktor risiko umum, yaitu keberadaan tempat perkembangbiakan dan keberadaan tempat peristirahatan nyamuk. Berdasarkan gambar 1, persebaran semak belukar di lokasi penelitian Kecamatan Pekalongan Utara hanya berada di Kelurahan Bandengan karena seluruh kebun dan semak-semak yang ada di Kelurahan Pabean telah menjadi genangan rob. Lokasi penderita di Kelurahan Bandengan berada di sekitar semak belukar sedangkan lokasi penderita di Kelurahan Pabean tidak berada di area dengan semak-semak. Berdasarkan gambar 2, terlihat persebaran semak-semak yang secara merata berada di empat lokasi penelitian di Kecamatan Pekalongan Selatan yaitu Kelurahan Banyurip Ageng, Kertoharjo, Kuripan Lor, dan Jenggot. Secara umum, proporsi semak belukar lebih besar daripada se- mak terurus. Lokasi penderita yang ada di Kertoharjo saling berdekatan dan berada di sekitar semak belukar maupun semak terurus. Lokasi penderita di Kelurahan Banyurip Ageng memiliki kecenderungan bergerombol sama halnya dengan di Kertoharjo dan berada di dekat semaksemak. Di Kelurahan Kuripan Lor, komponen semak-semak berupa semak terurus memiliki proporsi yang lebih besar daripada semak belukar dan tidak ditemukan adanya penderita, sedangkan di Kelurahan Jenggot, tidak ditemukan keberadaan semak terurus melainkan hanya semak belukar. Keberadaaan penderita juga berada di sekitar semak belukar dan saling bergerombol satu sama lain. Gambar 3 menunjukkan bahwa genangan air yang diamati dalam penelitian ini adalah ekosistem dengan habitat yang digenangi air dan bersinggungan dengan tanah misalnya sawah, rawa, genangan rob dan mengandung jentik nyamuk. Di Kelurahan Pabean terdapat lebih banyak proporsi genangan rob dan rawa-rawa daripada di 60 61

Gambar 2. Peta Persebaran Semak-semak di Kelurahan Banyurip Ageng, Kertoharjo, Jenggot, dan Kuripan Lor. Kelurahan Badengan. Lokasi penderita berada dekat dengan genangan rob. Namun berdasarkan pengamatan langsung, diketahui bahwa genangan rob tidak mengandung jentik nyamuk. Keberadaan rawa-rawa di Kelurahan Pabean terletak jauh dari lokasi penderita. Sama halnya dengan Kelurahan Pabean, di Bandengan, keberadaan Gambar 4. Peta persebaran rawa dan sawah di lokasi penelitian Kecamatan Pekalongan Utara rawanya cukup jauh dari lokasi penderita. Berdasarkan gambar 4, di Kelurahan Kertoharjo, ada beberapa kelompok penderita yang tinggal dekat dengan dari area persawahan. Kemudian untuk Kelurahan Kuripan Lor, tidak ditemukan penderita di wilayah tersebut meskipun terdapat faktor risiko berupa rawa dan sawah. Kelurahan Banyurip Ageng memiliki area persawahan yang cukup luas dan terlihat pada sisi batas utara, selatan, dan barat lokasi tersebut. Beberapa titik penderita terlihat dekat dengan faktor risiko sawah pada sisi utara kelurahan. Kelurahan Jenggot memiliki sedikit proporsi area persawahan yang berpotongan dengan Kelurahan Kertoharjo. Keberadaan titik penderita dengan area persawahan dapat dikatakan cukup dekat dan dapat menjadi faktor risiko transmisi penyakit filariasis. Namun apabila diperhatikan lebih lanjut, lokasi penderita filariasis lebih berkaitan dengan lokasi semak dibandingkan dengan lokasi persawahan. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa tidak Gambar 3. Peta persebaran rawa dan sawah di lokasi penelitian Kecamatan Pekalongan Utara. Gambar 5. Peta persebaran SPAL di lokasi penelitian di Kecamatan Pekalongan Utara 62 63

ditemukannya larva nyamuk yang dimungkinkan karena adanya penggunaan pestisida di area persawahan (Siwiendrayanti, 2012). Keberadaan kandang ternak ada di Kelurahan Bandengan, Kertoharjo, Banyurip Ageng, dan Kuripan Lor.Lokasi penderita yang positif mikrofilaria di Kelurahan Bandengan, Jenggot dan Kertoharjo berdekatan dengan lokasi kandang ternak.sedangkan di Kelurahan Banyurip Ageng, lokasi penderita jauh dengan kandang ternak dan bahkan Kuripan Lor tidak ditemukan penderita.terdapat dugaan bahwa keberadaan kandang ternak di Kelurahan Bandengan, Kertoharjo, dan Jenggot memiliki keterkaitan dengan kejadian filariasis. wilayah dengan persebaran SPAL yang sangat sedikit.spal di Kertoharjo dan Banyurip Ageng hampir 85 % dalam keadaan terbuka. Sedangkan di Jenggot, banyak wilayah dengan SPAL terbuka dan lokasi titik penderita justru berada di area dengan persebaran SPAL yang sedikit. Namun karena melihat adanya penumpukan titik penderita di wilayah Kertoharjo dan Banyurip Ageng dengan lokasi SPAL terbuka. Tidak terdapat SPAL terbuka di Kelurahan Kuripan Lor dan tidak terdapat penderita di wilayah tersebut. Dan hal tersebut telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir (Munawwaroh, 2016). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dugaan keberadaan semak-semak berkaitan dengan kejadian filariasis di Kota Pekalon- Gambar 6. Peta persebaran SPAL di lokasi penelitian di Kecamatan Pekalongan Selatan Faktor risiko lain berupa keberadaan dan kondisi SPAL di enam lokasi penelitian. Persebaran SPAL di Kelurahan Pabean dan Bandengan merata hampir di seluruh kawasan permukiman seperti yang terlihat pada gambar 5.Titik penderita berada di sekitar SPAL di mana SPAL di Pabean dan Bandengan merupakan SPAL terbuka. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa SPAL di RW 6 Kelurahan Bandengan tidak terurus, hampir meluap ke jalan.hal tersebut ditambah dengan fakta bahwa warga yang positif mikrofilaria di RW 6 adalah yang terbanyak di antara RW-RW lainnya. Berdasarkan gambar 6, keberadaan penderita di Kelurahan Kertoharjo dan Banyurip Ageng juga berdekatan dengan SPAL. Sedangkan lokasi penderita di Kelurahan Jenggot justru berada di gan. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Windiastuti (2013) di Kecamatan Pekalongan Selatan bahwa tempat peristirahatan nyamuk seperti semak-semak, pakaian yang digantung, dan kandang ternak berhubungan dengan kejadian filariasis (p-value = 0,025). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ardias dkk (2012:204) di Kabupaten Sambas juga membuktikan adanya hubungan antara keberadaan tempat peristirahatan nyamuk berupa semak-semak dan kandang ternak dengan kejadian filariasis (p-value= 0,006). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Yulius Sarungu (2012) di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen menunjukkan bahwa keberadaan hutan atau semak-semak di sekitar rumah memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian filariasis (p-value= 0,027). Setelah nyamuk menggigit, selama menunggu waktu pematangan telur, nyamuk akan berkumpul di tempat-tempat yang memiliki kondisi mendukung sebagai tempat beristirahat, setelah itu bertelur dan menghisap darah lagi. Tempat-tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap istirahat selama menunggu waktu bertelur adalah tempat-tempat gelap, lembab, dan sedikit angin misalnya rerumputan, tanah lembab dan semak-semak.semak-semak merupakan kumpulan tanaman perdu dan rumput-rumputan yang dijadikan sebagai tempat peristirahatan nyamuk penular filariasis. Nyamuk ini biasanya beristirahat sebelum dan sesudah kontak dengan manusia karena sifatnya yang cenderung rapat dan terlindung dari cahaya matahari dan lembab (Depkes RI, 2008). Semak-semak merupakan tempat beristirahat bagi Cx.quinquefasciatus jika berada di luar rumah (Windiastuti, 2013).Dalam penelitian ini, yang dikategorikan semak-semak adalah adanya tanaman perdu dengan luasan lebih dari 2 meter 2 dan tinggi maksimal dua meter. Selain itu, faktor risiko keberadaan tempat peristirahatan nyamuk yang diduga terkait dengan kejadian filariasis di Kota Pekalongan adalah kandang ternak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ginandjar dan Majawati (2005) di Kabupaten Muaro Jambi, yaitu warga yang memiliki kandang ternak yang menyatu dengan rumah memiliki risiko 29,2 kali lebih besar tertular filariasis daripada warga yang kandang ternaknya terpisah.berdasarkan Pedoman Pengendalian Filariasis (Depkes RI: 2008), salah satu cara untuk menghindari gigitan nyamuk adalah dengan menjauhkan rumah dari kandang ternak. Nyamuk akan beristirahat salah satunya di kandang ternak sesudah menghisap darah manusia. Perilaku nyamuk setelah menggigit yaitu berkumpul di tempat-tempat yang memiliki kondisi mendukung sebagai tempat beristirahat sembari menunggu waktu pematangan telur, setelah itu bertelur dan menghisap darah lagi. Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah pada genangan-genangan air.lama genangan air juga menentukan jenis-jenis jentik yang ditemukan (Depkes RI, 2008). Jentik nyamuk Mansonia sp. dan Culex sp. lebih menyukai genangan air yang sudah lama. Genangan air yang diamati dalam penelitian ini adalah ekosistem dengan habitat yang digenangi air dan bersinggungan dengan tanah misalnya sawah, rawa, dan genangan rob dan mengandung jentik nyamuk.komponen genangan air berupa rawa dan rob di Kelurahan Pabean dan Bandengan bukan merupakan komponen yang memiliki keterkaitan dengan penularan filariasis di Kota Pekalongan. Hal tersebut disebabkan oleh lokasi penderita yang terletak jauh dari keberadaan dua komponen tersebut. Pada penelitian sebelumnya dibuktikan bahwa keberadaan ikan predator pada genangan air seperti rawa-rawa di sekitar rumah akan mengurangi risiko sebesar 1 kali daripada yang tidak mengandung ikan predator (Nasrin, 2008). Selain itu, penelitian oleh Syuhada (2012) di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara keberadaan rawa-rawa dengan kejadian filariasis. Akan tetapi, keberadaan titik penderita dengan area persawahan dapat dikatakan cukup dekat dan dapat menjadi faktor risiko transmisi penyakit filariasis. Terdapat dugaan bahwa keberadaan sawah berhubungan dengan kejadian filariasis di Banyurip Ageng, Kertoharjo, dan Jenggot.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ginandjar dan Majawati (2005), sawah yang berjarak kurang dari 100 meter dari rumah penduduk terbukti menjadi faktor risiko kejadian filariasis di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi. Selain genangan air yang bersinggungan dengan tanah seperti sawah, rawa, dan genangan rob, faktor risiko yang lain adalah keberadaan dan kondisi SPAL. Nyamuk menyukai tinggal di genangan air besar yang sifatnya sementara atau tetap di antaranya adalah rawa-rawa, danau, sawah, genangan air hujan, kubangan, parit irigasi di sawah, parit maupun got buangan air limbah. Selain mempertimbangkan mengenai besaran genangannya tetapi juga dasar tempat air tersebut, misalnya Ae.aegypti lebih menyukai genangan air dengan dasar tempat air yang bukan tanah dan Culex spp. lebih menyukai genangan air berpolutan tinggi. Vektor penular filariasis menyukai tempat perkembangbiakan yang memiliki karakteristik permukaan yang kasar dan dapat dengan mudah ditumbuhi lumut dengan tingkat pencahayaan rendah. Keberadaan lokasi penderita di enam kelurahan seluruhnya berdekatan dengan faktor risiko SPAL di sekitar rumah mereka. Terdapat dugaan bahwa keberadaan dan kondisi SPAL memiliki keterkaitan dengan kejadian filariasis di enam lokasi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dari Ardias (2012), responden yang rumahnya terdapat habitat nyamuk (breeding place) memiliki risiko 38,031 kali lebih besar menderita filariasis dibandingkan dengan responden yang rumahnya tidak terdapat habitat nyamuk. SPAL merupakan salah satu tempat yang dapat dijadikan sebagai habitat nyamuk atau tempat perindukan nyamuk. Sedangkan untuk kondisi SPAL dalam penelitian ini dibagi menjadi dua keadaan yaitu SPAL 64 65

terbuka dan tertutup. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Mardiana (2011:83), di mana rumah tangga yang saluran limbahnya terbuka memiliki probabilitas risiko 2,56 lebih besar terkena filariasis dalam 12 bulan terakhir dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan rumah tangga yang saluran air limbahnya tertutup. Kondisi SPAL juga memiliki hubungan yang signifikan yaitu rumah tangga yang pernah terkena filariasis dan mempunyai saluran limbah tertutup menunjukkan sebesar 0,03% sedangkan yang mempunyai saluran pembuangan air limbah terbuka sebesar 0,05%. Jenis limbah yang ada di SPAL juga mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk sebagai tanda dari tempat perindukan nyamuk.berdasarkan pengamatan secara kualitatif pada SPAL di enam lokasi penelitian, ditemukan bahwa SPAL yang tercemar limbah rumah tangga terdapat jentik nyamuk di dalamnya. SPAL domestik mengandung cemaran organik yang dapat berupa persenyawaan unsur C, H, O, dan N (Wirani, 2008). Sedangkan SPAL yang tercemar oleh limbah batik tidak mengandung jentik nyamuk karena terindikasi bahwa SPAL dengan limbah batik memiliki pencemar kimia yang tinggi. Hal tersebut senada dengan penelitian Novianto (2007) yang menghasilkan kesimpulan bahwa larva Culex quinquefasciatus secara berturut-turut dapat tumbuh paling baik dengan media yang berisi cairan berminyak, media yang mengandung sabun, media yang mengandung detergen, dan media organik. Selain itu, larva tersebut dapat hidup paling baik pada media dengan campuran cairan berminyak dan diikuti oleh media organik dan media sabun. Namun belum diketahui apakah jentik nyamuk yang ditemukan di SPAL di enam lokasi penelitian tersebut merupakan larva Culex quinquefasciatus atau spesies lain. Perlu dilakukan riset mengenai hal tersebut untuk mengetahui jenis larva yang hidup di SPAL di lokasi penelitian. Selain faktor lingkungan fisik yang telah dibahas di atas, terdapat pula beberapa faktor perilaku yang juga berperan terhadap kejadian filariasis di Kota Pekalongan. Penelitian Indarjo (2016) pada lokasi yang sama menunjukkan bahwa program POMP filariasis telah dilaksanakan dengan baik namun terdapat variasi perilaku puncegahan filariasis yang dipraktikkan di masingmasing kelurahan. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa faktor risiko transmisi penyakit filariasis di enam lokasi penelitian tidak seluruhnya sama. Faktor risiko berupa keberadaan semak-semak berada di Kelurahan Bandengan, Kertoharjo, Banyurip Ageng, dan Kuripan Lor. Kemudian faktor risiko berupa keberadaan SPAL ada di seluruh lokasi penelitian. Faktor risiko berupa kandang ternak berada di empat kelurahan yaitu Kelurahan Bandengan, Kertoharjo, dan Jenggot. Keberadaan sawah menjadi faktor risiko lingkungan di Kelurahan Kertoharjo dan Banyurip Ageng. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Pemerintah Kelurahan Banyurip Ageng, Kelurahan Jenggot, Kelurahan Bandengan, Kelurahan Pabean, Kelurahan Kuripan Lor, dan Kelurahan Kertoharjo serta Dinas Kesehatan Kota Pekalongan atas ijin dan bantuan perolehan data. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian berjudul Program AKTIF-MANDIRI sebagai Penyempurna Akselerasi Eliminasi Filariasis dalam Menurunkan Mf-rate Wilayah Endemis Filariasis di Kota Pekalongan yang dibiayai oleh DRPM Kemenristekdikti. DAFTAR PUSTAKA Ardias. 2012. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Sambas. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11 (2): 199-207 Depkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Filariasis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ginandjar, P., dan Majawati, E.S. 2005. Faktor Risiko Kejadian Filariasis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi. Artikel penelitian. Jakarta: Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Indarjo, S., Siwiendrayanti, A., Pawenang, E.T. 2016. The Community Diagnosis of Filariasis Endemic Villages in Pekalongan City. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 12 (1): 100-110 Redaksi Buletin Jendela Epidemiologi. 2010. Topik Utama: Filariasis di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi, 1 (1): 1-20 Mardiana. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Filariasis di Indonesia (Data Riskesdas 2007). Jurnal Ekologi Kesehatan, 10 (2): 83-92 Munawwaroh, L., dan Pawenang, E.T. 2016. Evaluasi Program Eliminasi Filariasis dari Aspek Perilaku dan Perubahan Lingkungan. Unnes Journal of Public Health, 5 (3): 195-204 Nasrin. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro Novianto, I.W. 2007. Kemampuan Hidup Larva Culex quinquefasciatus pada Habitat Limbah Cair Rumah Tangga. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta Nugraheni, A. 2011. Faktor-Faktor Risiko Lingkungan Terhadap kejadian Filariasis Bancrofti di Wilayah Kerja Puskesmas Buaran Kabupaten Pekalongan. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro Sarungu, Y. 2012. Faktor Risiko Lingkungan dan Kebiasaan Penduduk Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11 (1): 76-81 Siwiendrayanti, A., Suhartono, Wahyuningsih, N.E. 2012. Hubungan riwayat pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi hati (Studi pada wanita usia subur di Kecamatan Kersana Kabupaten Brebes). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11 (1): 9-14 Slamet, J.S. 2010.Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada University Press Windiastuti, I.A, Suhartono, Nurjazuli. 2013. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah, Sosial Ekonomi, dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 12 (1): 51-57 Wirani, R., Sutardji, Siwiendrayanti, A. 2008. Perbedaan Penurunan Kadar BOD5 antara Trickling Filter berbagai Media (Studi Eksperimen pada Air Limbah Rumah Pemotong Ayam Pasar Rejomulyo Semarang Tahun 2007). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3 (2): 102-114 World Health Organization. 2014. Lymphatic Filariasis Fact Sheet, diakses 30 Januari 2015, (http:// www.who.int/entity/mediacentre/factsheets/ en/) Syuhada, Y. 2012. Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat Sebagai Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11 (1): 95-101 66 67