BAB I PENDAHULUAN. Sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2005,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah combined

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan pada. bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

Subjective Well-Being Pada Guru Sekolah Menengah. Dinda Arum Natasya Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method yang merupakan suatu

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN SUBJECTIVE WELL- BEING PADA GURU SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. usahanya tersebut. Profesi buruh gendong banyak dikerjakan oleh kaum

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING ANTARA GURU BERSERTIFIKASI DAN NON SERTIFIKASI

BAB I PENDAHULUAN. kuliah, dan mendapatkan penghasilan sendiri.

ABSTRAK. Universitas Kristen Marantha

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar seperti makan, minum, dan pakaian hingga kebutuhan untuk diakui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PENARI STUDIO SENI AMERTA LAKSITA SEMARANG

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. yakni angkanya dapat berbeda-beda dari satu objek ke objek yang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia seseorang dikatakan sejahtera apabila dapat memenuhi

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah a mixed methods

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

RELATIONSHIP BETWEEN SPIRITUAL INTELLIGENCE AND SUBJECTIVE WELL-BEING IN CIVIL SERVANT GROUP II DIPONEGORO UNIVERSITY

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Profil Madrasah Tsanawiyah Kifayatul Achyar

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas : Terapi Kebermaknaan Hidup

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

2015 PENGARUH GAJI TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA GURU HONORER SMK BINA WARGA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden terdiri dari 101 orang yang terdiri dari 26 laki-laki (25,74 %), dan

Abstrak. Kata-kata kunci: subjective well-being, kognitif, afektif, penghuni rumah susun

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sesuatu yang harus diikuti oleh semua orang. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders), baik dari pihak pemerintah maupun

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian yang dipilih yakni kombinasi kuantitatif dan penelitian kualitatif,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan akan selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja karyawan

BAB V PENUTUP. 1. Perubahan manajemen dalam UU ASN hanya mengenal 2 jenis pegawai

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

, 2015 EFEKTIVITAS GRATITUDE TRAINING TERHADAP PENINGKATAN SUBJECTIVE WELL BEINGPADA BURUH PABRIK SARUNG ALIMIN MAJALAYA

I. PENDAHULUAN. sebagai manusia yang berbudaya dan mampu melaksanakan tugasnya sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG SERTIFIKASI BAGI GURU DALAM JABATAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU SEKOLAH LUAR BIASA (SLB)

BAB 1 PENDAHULUAN. kodrati memiliki harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015 SUBJECTIVE WELL-BEING PENGEMUDI ANGKUTAN KOTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Lieben und arbeiten, untuk mencinta dan untuk bekerja.

BAB III METODE PENELITIAN. memperoleh data utama yaitu data mengenai hubungan antara body image dengan

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. PT. Permata Finance Indonesia (PT. PFI) dan PT. Nusa Surya Ciptadana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR ORISINALITAS... iii. LEMBAR PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... iv. KATA PENGANTAR... v. ABSTRAK...

KONTRIBUSI KONTROL DIRI TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA GURU BANTU SD SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

I. PENDAHULUAN. penelitian, kegunaan penelitian, dan diakhiri dengan ruang lingkup penelitian.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

Prosiding Psikologi ISSN:

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

Buku pedoman ini disusun sebagai acuan bagi semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyaluran tunjangan profesi guru.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN. Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Psikologi Univesitas

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

BAB I LATAR BELAKANG. Pendidikan merupakan sesuatu yang harus diikuti oleh semua orang. Dengan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2005, pemerintah melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia melakukan pengesahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pengesahan undang-undang tersebut merupakan sebuah langkah maju dalam dunia pendidikan dan dinilai dapat memberikan pengaruh positif terhadap mutu pendidikan di Indonesia (Sudiro, 2010). Pendapat tersebut didasari oleh alasan-alasan berikut: 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan sebuah payung hukum. Artinya, pengesahan undang-undang tersebut dapat diartikan sebagai pemberian jaminan perlindungan hukum bagi para guru dan dosen selama menjalankan tugas profesional mereka. 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberikan jaminan bagi para guru dan dosen untuk memperoleh hak-hak mereka secara layak, sesuai dengan martabat profesi dan tugas pengabdian mereka. 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberikan jaminan peningkatan kesejahteraan bagi para guru dan dosen. 4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mempersyaratkan kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, dan 1

2 kewajiban profesi bagi para guru dan dosen. Sejumlah persyaratan tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik di Indonesia dan peningkatan mutu tenaga pendidik tersebut diharapkan akan disertai dengan peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mendapat reaksi positif dari para guru dan dosen. Reaksi tersebut muncul sebagai bentuk kegembiraan mereka terhadap salah satu pasal dalam undang-undang tersebut, yaitu Pasal 15 ayat 1, mengenai jaminan kesejahteraan bagi guru dan dosen yang berbunyi sebagai berikut: guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum yang meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Berdasarkan pasal di atas, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dinilai telah memberikan jaminan bagi para guru dan dosen untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak dan sejahtera secara ekonomi. Namun, jaminan tersebut ternyata tidak diberikan kepada tenaga pendidik yang masih berstatus sebagai honorer. Tenaga pendidik honorer atau lebih sering disebut dengan guru honorer adalah guru yang sudah diangkat secara resmi oleh pemerintah untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik, tetapi belum berstatus sebagai pegawai negeri sipil (Mulyasa, 2006). Sebagian besar guru honorer di Indonesia masih memperoleh pendapatan di bawah upah minimum regional buruh dan tidak

3 memperoleh gaji tetap, tunjangan kesehatan, tunjangan pensiun, dan jaminanjaminan yang lain. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kondisi guru yang telah berstatus sebagai pegawai negeri sipil (Permanasari dalam KOMPAS.com, 7 Mei 2009). Untuk mengurangi kekecewaan guru honorer terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil. Namun, peraturan tersebut justru ditanggapi secara negatif oleh para guru honorer karena memuat beberapa hal yang dinilai kurang sesuai dengan aspirasi mereka. Pertama, peraturan tersebut tidak menyebutkan bahwa guru honorer bisa diterima secara otomatis menjadi calon pegawai negeri sipil. Kedua, kuota yang disediakan oleh pemerintah tidak sebanding dengan jumlah guru honorer yang ada. Ketiga, peraturan tersebut menyebutkan bahwa beberapa tunjangan bagi guru honorer akan dihapuskan (Pikiran Rakyat Online, 8 Oktober 2009). Sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah, sejumlah guru honorer secara serentak melakukan aksi unjuk rasa di berbagai tempat. Di Jakarta, sekitar 1.000 guru honorer dari seluruh Indonesia yang telah mengabdi selama 5-20 tahun berunjuk rasa agar pemerintah bersedia merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan guru honorer. Mereka juga menuntut pengangkatan status menjadi pegawai negeri sipil (KOMPAS.com, 2 Mei 2008). Aksi serupa kemudian terjadi pula di Bantul (KOMPAS.com, 23 Juni 2009), Banten

4 (KOMPAS.com, 6 Juli 2009), Magelang (Napitupulu dalam KOMPAS.com, 27 Juli 2009), dan Bandung (galamedia.com, 8 Oktober 2009). Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh para guru honorer di berbagai tempat tersebut sempat mendapat respon positif dari pemerintah. Setelah melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pemerintah berjanji untuk lebih memperhatikan nasib dan kesejahteraan guru honorer (Muttaqin dalam okezone.com, 19 Agustus 2009). Namun, hingga satu tahun setelah pengucapan janji tersebut, belum ada upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer sehingga serangkaian aksi unjuk rasa kembali terulang. Kali ini, aksi unjuk rasa dilakukan oleh para guru honorer yang berada di Lampung (KOMPAS.com, 31 Maret 2010), Jakarta, dan sejumlah kota besar lain (KOMPAS.com, 12 Mei 2010). Dalam sejumlah aksi unjuk rasa tersebut, para guru honorer bahkan terlihat bertindak anarkis. Tindakan tersebut diduga sebagai ekspresi kemarahan mereka terhadap pemerintah sekaligus ekspresi kekecewaan mereka terhadap kehidupan sebagai guru honorer yang mereka nilai kurang layak (KOMPAS.com,12 Mei 2010). Kehidupan sebagai guru honorer mungkin memang belum dapat dikatakan layak dan sejahtera, terutama jika dipandang dari segi ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari sebagian guru honorer yang terpaksa melakoni pekerjaan sampingan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka (KOMPAS.com, 10 November 2008). Pekerjaan sampingan seperti penjaga sekolah, supir angkutan kota, juru parkir, pedagang makanan, buruh cuci, bahkan badut keliling pun terpaksa dilakukan oleh sejumlah guru honorer (Hamdani dalam detiksurabaya.com, 13

5 Januari 2010; KOMPAS.com, 10 November 2008, 8 Juni 2009, 12 November 2009). Kehidupan seperti itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh para guru honorer, tetapi juga oleh orang-orang yang berada di sekitar mereka, terutama keluarga. Di Gorontalo, seorang guru honorer hanya dapat membiayai pendidikan anaknya hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal serupa juga dialami oleh seorang guru honorer di Jakarta (KOMPAS.com, 12 Mei 2010, 28 Juni 2010). Serangkaian fenomena yang telah dipaparkan di atas mengarahkan peneliti untuk membuat sejumlah dugaan awal. Pertama, fenomena-fenomena yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa sebagian besar guru honorer menganggap kehidupan mereka kurang layak karena penghasilan mereka masih sangat rendah. Kedua, peneliti melihat perbedaan bentuk reaksi di antara guru honorer terhadap kesejahteraan hidup mereka. Sebagian guru honorer memberikan reaksi dalam bentuk unjuk rasa, sedangkan sebagian yang lain memberikan reaksi dengan cara melakoni pekerjaan sampingan. Dugaan awal tersebut kemudian memunculkan sejumlah pertanyaan dalam benak peneliti. Bagaimanakah sebenarnya kondisi kesejahteraan hidup para guru honorer? Mengapa terdapat perbedaan reaksi di antara guru honorer dalam menghadapi kondisi kesejahteraan hidup yang relatif sama tersebut? Faktor-faktor apa yang diperkirakan dapat mempengaruhi hal tersebut? Hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap seorang guru honorer Sekolah Dasar di Komplek Sekolah Dasar Negeri Padasuka Bandung pada tanggal 11 Desember 2010 secara umum menunjukkan bahwa

6 kondisi kehidupan yang relatif sama sebagai guru honorer dapat dimaknai berbeda oleh setiap individu sehingga bentuk reaksi yang ditimbulkan pun kemungkinan berbeda. Sebagai contoh, subjek mengemukakan bahwa dirinya tetap bertahan sebagai seorang guru honorer selama bertahun-tahun karena ia memiliki penilaian positif terhadap profesi tersebut. Meskipun tidak menjanjikan penghasilan yang tinggi, subjek sangat mencintai profesi sebagai guru honorer. Selain itu, subjek menganggap profesi tersebut sebagai sebuah ibadah. Subjek menambahkan bahwa seseorang kemungkinan besar tidak akan mampu bertahan sebagai guru honorer jika tidak memiliki penilaian positif terhadap segala kondisi keterbatasan yang akan dihadapi sebagai seorang guru honorer. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa penilaian terhadap kesejahteraan hidup seseorang sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat subjektif. Artinya, setiap orang memiliki penilaian masing-masing terhadap kondisi kesejahteraan hidup mereka. Dalam ilmu psikologi, konsep tersebut dikenal dengan istilah subjective well-being (Compton, 2005). Subjective well-being dapat didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap kehidupannya, baik penilaian yang bersifat kognitif maupun penilaian yang bersifat afektif. Penilaian kognitif berkaitan dengan standard dan kepuasan hidup. Sementara itu, penilaian afektif berkaitan dengan seberapa sering seseorang mengalami mood dan emosi yang bersifat positif dan negatif (Diener, Suh, dan Oishi, 1997 dalam Compton, 2005; Eryilmaz, 2010). Pavot dan Diener (Dewi dan Utami, 2008) mengemukakan bahwa subjective well-being merupakan prediktor kualitas hidup individu. Artinya,

7 subjective well-being akan mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai wilayah kehidupan. Individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi diperkirakan akan merasakan kepuasan dalam hidup, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif (Diener, Suh, dan Oishi, 1997 dalam Compton, 2005). Oleh karena itu, individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi cenderung lebih percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan kinerja yang lebih baik. Dalam keadaan yang penuh tekanan, individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi akan lebih mampu melakukan adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap keadaan tersebut sehingga akan merasakan kehidupan yang lebih baik (Diener, Biswas- Diener, dan Tamir dalam Dewi dan Utami, 2008). Sebuah pusat data penelitian on-line menyebutkan bahwa jumlah penelitian dengan tema subjective well-being telah mencapai angka lebih dari lima ribu (Veenhoven, 1999 dalam Compton, 2005). Penelitian mengenai subjective well-being dinilai penting untuk dilakukan karena tidak hanya dapat memberikan manfaat yang bersifat teoritis, tetapi juga manfaat yang bersifat praktis. Sebagai contoh, sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi mengenai tingkat subjective well-being dapat digunakan untuk memprediksi kinerja dan kualitas individu dalam melakukan sebuah pekerjaan (Diener, Biswas-Diener, dan Tamir dalam Dewi dan Utami, 2008). Meskipun demikian, penelitian mengenai subjective well-being belum banyak dilakukan di Indonesia, terutama penelitian yang dilakukan pada guru honorer. Sebuah penelitian yang dianggap paling mendekati penelitian tersebut adalah penelitian mengenai subjective well-being

8 pada guru di Yayasan PESAT Nabire, yaitu sebuah yayasan yang terletak di wilayah pedalaman Papua. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sejumlah guru yang menjadi subjek dalam penelitian tersebut memiliki tingkat subjective well-being yang beragam. Perbedaan tersebut diduga muncul karena perbedaan faktor spiritualitas, dukungan sosial, dan pengalaman masa lalu (Sumule, 2008). Selebihnya, peneliti belum menemukan penelitian subjective well-being lain yang dilakukan terhadap guru honorer atau subjek lain yang serupa. Padahal, penelitian mengenai subjective well-being pada guru honorer dinilai dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan dunia pendidikan. Penelitian mengenai subjective well-being pada guru honorer dinilai dapat memberikan informasi mengenai tingkat subjective well-being mereka. Informasi tersebut kemudian dapat digunakan untuk memprediksi kinerja dan kualitas mereka sebagai tenaga pendidik dan secara tidak langsung akan berimbas pula terhadap kinerja dan kualitas pendidikan secara keseluruhan (Diener, Biswas-Diener, dan Tamir dalam Dewi dan Utami, 2008). Selain itu, Ryan dan Decci (2001) menambahkan bahwa tingkat subjective well-being akan mempengaruhi cara kerja seseorang dalam mengubah orang lain menuju ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, tingkat subjective well-being diperkirakan akan mempengaruhi cara kerja guru honorer dalam mengubah anak didiknya menuju ke arah yang lebih baik. Selain itu, informasi mengenai tingkat subjective well-being pada guru honorer diperlukan sebagai landasan untuk menentukan tindak lanjut yang tepat dalam pencapaian tugas sebagai tenaga pendidik secara optimal (Sumule, 2008).

9 Dilatarbelakangi pemaparan yang telah disampaikan dalam sejumlah paragraf di atas, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul Profil Subjective Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar (Studi Deskriptif pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung). Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui gambaran subjective well-being pada guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung serta gambaran karakteristik guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung yang memiliki tingkat subjective well-being kategori tinggi dan rendah. Penelitian ini difokuskan terhadap guru honorer Sekolah Dasar karena guru honorer yang mengajar di Sekolah Dasar dianggap memiliki beban kerja yang lebih berat daripada guru honorer di sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas. Dengan pendapatan yang relatif rendah, guru honorer Sekolah Dasar dituntut untuk mengajarkan hampir semua mata pelajaran sebagaimana guru yang telah berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Perbedaan beban kerja dengan jumlah pendapatan yang relatif sama dinilai akan berpengaruh terhadap subjective well-being guru honorer. Sementara itu, Kota Bandung dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu kota di Indonesia dengan jumlah guru honorer yang besar, yaitu mencapai sekitar lebih dari 14.000-15.000 orang (Forum Komunikasi Guru Honorer Sekolah Kota Bandung, 2010). 1.2 Rumusan Masalah Sebagian besar guru honorer di Indonesia menilai bahwa kehidupan mereka tidak sejahtera karena penghasilan mereka yang sangat rendah. Namun,

10 kondisi kesejahteraan yang relatif sama tersebut ditanggapi secara berbeda oleh setiap guru honorer. Perbedaan tersebut diduga terjadi karena perbedaan faktorfaktor tertentu yang berpengaruh terhadap penilaian para guru honorer mengenai kehidupannya. Berdasarkan hal tersebut, sejumlah pertanyaan yang akan menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah gambaran subjective well-being guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung? 2. Bagaimanakah gambaran karakteristik guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi dan rendah? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut ini: 1. Mengetahui gambaran subjective well-being guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung. 2. Mengetahui gambaran karakteristik guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi dan rendah. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis. Manfaat teoritis yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut:

11 a. Memperkaya teori mengenai subjective well-being, terutama mengenai gambaran karakteristik individu yang memiliki tingkat subjective wellbeing tinggi dan rendah. b. Memperluas bidang penelitian mengenai subjective well-being, terutama dalam hal subjek penelitian, yaitu guru honorer Sekolah Dasar. Sementara itu, manfaat praktis yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagi pihak sekolah, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai profil subjective well-being pada guru honorer yang bertugas di sekolah tersebut. Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai dasar bagi pihak yang berwenang untuk menyusun kebijakan-kebijakan dalam ruang lingkup sekolah yang dinilai dapat meningkatkan kesejahteraan guru honorer yang bersangkutan sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan mutu tenaga pendidik dan pendidikan di sekolah tersebut. b. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menyusun undang-undang, peraturan-peraturan, atau kebijakan-kebijakan lain yang menyangkut guru honorer. Selain itu, informasi yang diberikan oleh penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kepekaan pemerintah terhadap nasib dan kesejahteraan guru honorer di Indonesia.

12 1.5 Metode Penelitian a. Pendekatan dan Desain Penelitian Pendekatan penelitian yang akan dilakukan merupakan kombinasi antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif (combined qualitative and quantitative designs). Sementara itu, desain atau model penelitian yang digunakan adalah dominan-less dominant design. Menurut Creswell (1997), dalam dominanless dominant design, peneliti menetapkan sebuah pendekatan sebagai pendekatan utama dan pendekatan lain sebagai pendekatan alternatif. Pendekatan alternatif digunakan untuk memperoleh data yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan utama (Creswell, 1997). Pendekatan utama dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui gambaran umum subjective well-being pada guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung. Sementara itu, pendekatan kualitatif dijadikan sebagai pendekatan alternatif untuk mengetahui gambaran karakteristik guru honorer Sekolah Dasar di kota Bandung dengan tingkat subjective well-being tinggi dan rendah serta faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi tingkat subjective well-being tersebut. b. Variabel Penelitian Penelitian ini bersifat univariabel. Artinya, hanya terdapat satu variabel yang akan diukur dalam penelitian ini, yaitu subjective well-being.

13 c. Definisi Operasional Subjective Well-Being adalah tinggi rendahnya penilaian seseorang terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif dan penilaian afektif sebagaimana ditunjukkan oleh skor yang diperoleh subjek dalam Scale of Positive and Negative Experience (SPANE), Satisfaction with Life Scale (SWLS), serta data hasil wawancara. d. Instrumen Penelitian berikut: Sejumlah instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai 1. Satisfaction with Life Scale (SWLS), yaitu instrumen baku yang digunakan untuk mengukur penilaian kognitif guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung terhadap kehidupannya. 2. Scale of Positive and Negative Experience (SPANE), yaitu instrumen baku yang digunakan untuk mengukur penilaian afektif guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung terhadap kehidupannya. 3. Kerangka wawancara yang disusun oleh peneliti untuk mengetahui gambaran karakteristik guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung dengan tingkat subjective well-being tinggi dan rendah, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat subjective wellbeing tersebut.

14 e. Teknik Analisis Data kuantitatif yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif, seperti skor rata-rata (mean), nilai tengah (median), frekuensi, persentase dan persentil. Sementara itu, data yang bersifat kualitatif akan dianalisis dengan menggunakan Model Miles dan Huberman yang meliputi tahap display data, reduksi data, dan verifikasi data (Sugiyono, 2008). 1.6 Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian Kota Bandung dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu kota di Indonesia dengan jumlah guru honorer terbesar (Forum Komunikasi Guru Honorer Sekolah Kota Bandung, 2010). Sementara itu, penelitian difokuskan terhadap guru honorer di tingkat Sekolah Dasar karena guru honorer yang mengajar di Sekolah Dasar dinilai memiliki beban kerja yang berat. Dengan pendapatan yang relatif rendah, guru honorer Sekolah Dasar dituntut untuk mengajarkan hampir semua mata pelajaran sebagaimana guru yang telah berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Perbedaan beban kerja dengan jumlah pendapatan yang relatif sama dinilai akan berpengaruh terhadap subjective well-being mereka. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung yang diasumsikan berjumlah sekitar 2055 orang (Forum Komunikasi Guru Honorer Sekolah Kota Bandung, 2011). Berdasarkan penentuan ukuran sampel yang dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan rumus dari Slovin pada tingkat kesalahan 10% (Sevilla dkk., 2006), jumlah sampel dalam

15 penelitian ini adalah sebanyak 96 orang guru honorer Sekolah Dasar di kota Bandung. Sementara itu, teknik penarikan sampel yang akan digunakan adalah quota sampling, yaitu pemilihan sampel dari suatu populasi hingga mencapai jumlah sampel yang dibutuhkan dengan memperhatikan kriteria sampel yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2008). Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah guru honorer yang mengajar di Sekolah Dasar dan berdomisili di wilayah Kota Bandung. Teknik penarikan sampel ini dinilai tepat karena guru honorer di Kota Bandung diasumsikan memiliki karakteristik dan kondisi yang homogen. Selain itu, tidak terdapat stratifikasi tertentu pada guru honorer Sekolah Dasar di Kota Bandung yang harus menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan sampel.