RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA KASUS DEMAM TIFOID ANAK DI RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA SERUKAM BENGKAYANG PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2015

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO

Perbandingan Kloramfenikol dengan Seftriakson terhadap Lama Hari Turun Demam pada Anak Demam Tifoid

Analisis Efektivitas Seftriakson dan Sefotaksim pada Pasien Rawat Inap Demam Tifoid Anak di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota Pontianak

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK PADA TERAPI DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS BANCAK KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol.1 No.2 Mei 2014

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

PERBEDAAN KUALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI KELAS III DAN NON KELAS III JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Sikni Retno Karminigtyas, Rizka Nafi atuz Zahro, Ita Setya Wahyu Kusuma. with typhoid fever in inpatient room of Sultan Agung Hospital at Semarang was

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam tifoid merupakan suatu infeksi tropis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif terhadap semua variabel yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pada iklim, tetapi lebih banyak di jumpai pada negara-negara berkembang di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh kuman Salmonella

PHARMACY, Vol.08 No. 03 Desember 2011 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

ANALISIS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R.D

EVALUASI PENGGUNAAN DEKSAMETASON PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID ABSTRAK

EVALUASI POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RS X TAHUN NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK GOLONGAN SEFALOSPORIN DI RUMAH SAKIT X KUPANG

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

EVALUASI KETEPATAN DOSIS ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSI SULTAN AGUNG SEMARANG BULAN AGUSTUS- DESEMBER TAHUN 2015

Peresepan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Jalan di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura: Prevalensi dan Pola Peresepan Obat

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi penyakit infeksi memiliki kecenderungan yang masih cukup

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESEMBUHAN PASIEN PENDERITA DEMAM TYPHOID DI RUANG PERAWATAN INTERNA RSUD KOTA MAKASSAR

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

Antibiotic Utilization Of Pneumonia In Children Of 0-59 Month s Old In Puskesmas Kemiling Bandar Lampung Period Januari-October 2013

BAB III METODE PENELITIAN

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA BALITA DENGAN DIARE AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI PERIODE SEPTEMBER-DESEMBER 2015 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

POLA PERESEPAN DAN RASIONALITAS PENGOBATAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE PONTIANAK

* Dosen FK UNIMUS. 82

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JULI JUNI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, bahkan

PHARMACY, Vol.13 No. 02 Desember 2016 ISSN

ALUR GYSSEN Analisa Kualitatif pada penggunaan Antibiotik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

BAB 1 PENDAHULUAN. mempengaruhi kesembuhan penyakit dan komplikasi yang mungkin timbul.

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

GAMBARAN PENURUNAN DEMAM PADA PASIEN DEMAM TIFOID DEWASA SETELAH PEMBERIAN FLUOROQUINOLONE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. Antibiotik merupakan obat yang sering diberikan dalam menangani

ABSTRAK PROFIL PEMBERIAN ANTIBIOTIK DAN PERBAIKAN KLINIS DEMAM PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan menggunakan data

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang menyerang seperti typhoid fever. Typhoid fever ( typhus abdominalis, enteric fever ) adalah infeksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD X 2016

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PERBEDAAN KUALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI KELAS III DAN NON KELAS III LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

INTISARI. Kata Kunci : Antibiotik, ISPA, Anak. Muchson, dkk., Dosen Prodi DIII Farmasi STIKES Muhammadiyah Klaten 42

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Demam Typhoid (typhoid fever) merupakan salah satu penyakit

Sugiarti, et al, Studi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Penyakit ISPA Usia Bawah Lima Tahun...

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak dan Farmakologi. dari instansi yang berwenang.

PHARMACY, Vol 05 No 01 April 2007

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan rumah sakit. Penggunaan

Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. Obat merupakan salah satu intervensi medis yang paling efektif, jika

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Demam tifoid tergolong dalam enteric fever

BAB I PENDAHULUAN. atraumatic care atau asuhan yang terapeutik. 500/ penduduk dengan angka kematian antara 0,6 5 %.

PEMAKAIAN ANTIBIOTIK PADA KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE ANAK DI RUMAH SAKIT ROEMANI SEMARANG TAHUN 2010

Hubungan Tingkat Pendidikan dan Status Ekonomi terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Penggunaan Antibiotik

BAB III METODE PENELITIAN. secara descriptive dengan metode cross sectional dan pengambilan data secara

BAB I PENDAHULUAN. rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SOEWONDO PATI PERIODE JANUARI-JUNI 2016 ARTIKEL

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PENGOBATAN PNEUMONIA ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

DRUG RELATED PROBLEMS (DRP s) OF ANTIBIOTICS USE ON INPATIENTS CHILDREN IN SARI MEDIKA CLINIC AMBARAWA

POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DAN KESESUAIANNYA PADA PASIEN GERIATRI RAWAT JALAN DI RSUD ULIN BANJARMASIN PERIODE APRIL

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN LANSIA DENGAN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

Transkripsi:

RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA KASUS DEMAM TIFOID ANAK DI RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA SERUKAM BENGKAYANG PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2015 THE RATIONALITY OF ANTIBIOTICS USE IN CHILDREN S THYPOID FEVER IN BETHESDA GENERAL HOSPITAL, BENGKAYANG PERIOD JANUARY 2013- DECEMBER 2015 Puput Hidayati 1, Esy Nansy 1, Nurmainah 1 1 Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Jalan Prof. Dr. Hadari Nawawi, Pontianak 78124 Abstrak : Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang ditandai oleh demam berkepanjangan sehingga tatalaksana utamanya adalah antibiotik. Pemberian antibiotik harus serasional mungkin dengan memperhatikan efektifitas antibiotik, keamanan, kesesuaian serta efektifitas terapi. Pemberian antibiotik yang tidak rasional pada demam tifoid akan menyebabkan multidrugs resistence Salmonella typhi (MDRST). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kerasionalan penggunaan antibiotik dalam terapi demam tifoid pada anak yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Bengkayang. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan Cross-Sectional yang bersifat deskriptif. Sampel diambil dengan metode sampling purposive berjumlah 34 rekam medis. Data yang didapat kemudian dinilai rasionalitasnya menggunakan metode Gyssen. Hasil penelitian antibiotik yang banyak digunakan dokter untuk terapi demam tifoid adalah seftriakson (58.8%%). Kategori rasionalitas antibiotik untuk demam tifoid adalah kategori IIa (41,1%) dan kategori I (58,8%). Kata kunci : Antibiotik, Rasionalitas, Demam Tifoid Abstract : Typhoid fever is a severe systemic infection which is caused by Salmonella thypi and symptomized with prolonged fever, thus the main treatment is antibiotics. The antibiotics treatment must rationally consider about the effectivity of antibiotics, the safety, the suitability, and the effectivity of the therapy. The irrational treatment of antibiotics to typhoid fever can cause multidrugs resistence Salmonella typhi (MDRST). The purpose of this research is to investigate the rationality level of antibiotics used in typhoid fever on children who were hospitalized in Bethesda Hospital in Serukam Bengkayang. This research is a descriptively observational research with Cross-Sectional design. The sample is taken with sampling purposive amounted to 34 medical records. Then the rationality of the collected data is counted with Gyssen method. The result of this research is the antibiotics that the doctors mostly used is seftriakson (58.8%%). The antibiotics rationality categories for typhoid fever are category IIa (41,1%) and category I (58,8%). Key Words : Antibiotics, Rationalities,, Typhoid fever 1

LATAR BELAKANG Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman Salmonella typhi. Gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. (1) Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar 1100 kasus per 100.000 penduduk pertahunnya dengan angka kematian 3,1-10,4%. (4) Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia penyakit ini menduduki urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah perkotaan. Prevalensi tifoid klinis banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah yaitu 5-14 tahun sebesar 1,9%. (2) Secara klinis manifestasi demam tifoid pada anak tidak seberat dewasa, namun demikian pada demam tifoid yang mengalami komplikasi mortalitas meningkat sekitar 1-5%. Rendahnya resistensi tubuh pada anak dan keadaan bakteri khususnya jumlah bakteri yang masuk, virulensi, maupun resistensi bakteri terhadap antibiotik yang diberikan menyebabkan demam tifoid. kadangkala menjadi berat. (3) Terapi pada demam tifoid yang masih sering digunakan adalah istirahat, perawatan, diet, terapi penunjang, serta pemberian antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya dengan peningkatkan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan meminimalkan terjadinya resistensi. Dampak terbesar akibat Sampel penelitian adalah pasien anak dengan usia 5-19 tahun yang terdiagnosis demam tifoid yang dirawat inap di RSUB Serukam Bengkayang selama periode 2013-2015. penggunaan antibiotik yang irasional adalah berkembangnya kuman-kuman resisten antibiotik. Dua hal yang melatarbelakangi penggunaan antibiotik berlebihan pada anak adalah kekhawatiran tidak dapat membedakan infeksi bakterial dari sebab demam lainnya dan kekhawatiran infeksi bakterial dapat memburuk dengan cepat akibat sistem imun yang belum sempurna. (4) Penelitian lain yang dilakukan oleh Puspita (5) di RSUD Tangerang dengan subjek penelitian yaitu anak dengan demam tifoid dari keseluruhan penggunaan antibiotik yang memenuhi syarat rasional adalah sebanyak 33 peresepan (25,4%) dari total 130 peresepan dan peresepan yang lain tidak rasional. Metode gyssen merupakan metode yang mengevaluasi seluruh peresepan antibiotik. Melihat banyaknya penggunaan antibiotik yang irasional terutama pada anak-anak dan untuk memastikan penggunaan antibiotik yang rasional agar terapi demam tifoid dapat tercapai dengan menggunakan metode Gyssen. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan studi potong lintang (Cross Sectional) yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif berdasarkan data rekam medis pasien tifoid anak di RSUB Serukam Bengkayang tahun 2013-2014. Kriteria inklusi penelitian yaitu 1) Pasien anak yang didiagnosis demam tifoid, 2) Pasien anak yang dirawat inap di RSUB Serukam, 3) Pasien demam tifoid dengan usia 5-19 tahun. Data rekam medik 2

diambil adalah data demografik pasien seperti usia, jenis kelamin, lama rawat inap dan unit rawat inap. Data antibiotik yang diambil adalah jenis antibiotik, lama pemberian, dosis, rute pemberian dan HASIL PENELITIAN a. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan melihat profil penggunaan antibiotik yang rasional pada pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Bengkayang selama periode 2013-2015. Jumlah sampel yang Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Karakteristik interval pemberian. Hasil data antibiotik dinilai rasionalitas nya dengan metode gyssen. Data yang terkumpul diolah dengan bantuan program SPSS v21. terlibat dalam penelitian ini sebanyak 34 sampel subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun karakteristik subyek dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. N=34 jumlah Persentase (%) 1. Jenis kelamin a. Laki-laki b. perempuan 2. usia a. 5-8 tahun b. 9-12 tahun c. 13-16 tahun d. 17-19 tahun 3. Kelas rawat inap a. Kelas III b. Kelas II c. Kelas I d. Kelas VIP 19 15 13 10 7 4 23 2 2 7 55,9% 44,1% 38,2% 29,4% 20,6% 11,8% 67,6% 5,9% 5,9% 20,6% b.analisis Penggunaan Antibiotik Tabel 2. Distribusi Penggunaan Antibiotik Pada Subyek Penelitian No Jenis antibiotik N= 34 Rata-rata Jumlah Persentase (%) lama rawat inap 1 Seftriakson 5 20 58.8% 2 Siprofloksasin 4 7 20.6% 3 Sefiksim 4 3 8.8% 4 Seftazidim 5 1 2.9% 5 kloramfenikol 3 1 2.9% 6 Ampislin 8 1 2.9% 7 Amoksisilin 6 1 2.9% 3

Tabel 2 menunjukkan distribusi penggunaan antibiotik dan lama rawat inap pasien anak yang menderita demam tifoid. Tabel 3. Tingkat Rasionalitas Pemberian Antibiotik Kategori Jumlah Persentase Kategori IIa Kategori 0 14 20 41,1% 58,8% Tabel 3 menunjukan hasil penilaian antibiotik menggunakan alogaritma gyssen. Kategori yang dominan dari hasil penilaian adalah kategori 0 yaitu 58,8%. PEMBAHASAN Terlihat pada Tabel 1 bahwa pasien laki-laki cenderung lebih banyak mengalami demam tifoid (55,9%) dibandingkan anak perempuan (44,1%). Hasil yang sama diperoleh dari penelitian Ayaz dkk (6) bahwa pasien laki-laki cenderung berisiko 5 kali lebih besar untuk terjangkit demam tifoid dibandingkan anak perempuan. Begitu juga penelitian Ganesh dkk (7) bahwa perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan yang terjangkit demam tifoid sebesar 1,29:1. Penelitian di salah satu rumah sakit di Indonesia oleh Nuraini (8) bahwa dari 64 pasien anak demam tifoid 59,4% adalah anak lakilaki dan 40,6% adalah anak perempuan. Hal ini menyimpulkan bahwa pasien laki-laki lebih rentan mengalami demam tifoid dibandingkan anak perempuan. Kondisi ini disebabkan aktivitas bermain anak laki-laki diluar rumah lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. (6) Terlihat pada Tabel 1 bahwa usia pasien usia 5-8 tahun cenderung lebih banyak terjangkit demam tifoid (38,2%), dibandingkan usia 9-12 tahun (29,4%), usia 13-16 tahun (20,6%) dan 17-19 tahun (11,8%). Hasil yang sama diperoleh dari penelitian Ayaz dkk (6) bahwa usia yang cenderung berisiko terjangkit demam tifoid adalah usia di atas 5 tahun dan usia di bawah 15 tahun. Bhan dkk (9) menyatakan bahwa di daerah endemis usia yang cenderung terjangkit demam tifoid adalah usia 5-19 tahun diikuti dengan usia 1-5 tahun. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian Adisasmito (10) bahwa usia 6-10 tahun adalah usia yang paling banyak terjangkit demam tifoid. Hal ini menyimpulkan bahwa anak usia kurang dari 5 tahun dan anak dibawah 15 tahun paling banyak terjangkit demam tifoid. Kondisi ini disebabkan karena pada usia ini anak mulai mengenal lingkungan. Mulai bersosialisasi dengan teman-temannya baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal dan anak di usia ini terkadang mempunyai kebiasaan jajan atau mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak diketahui dengan jelas kebersihan dari makanan dan minuman tersebut. Anak pada usia lebih dari 15 tahun sudah lebih memahami akan pentingnya kebersihan terutama kebersihan makanan dan minuman yang mereka konsumsi sehingga kejadian demam tifoid pada usia ini juga rendah. Namun, tidak menuntut kemungkinan mereka terjangkit demam tifoid. (9) 4

Terlihat pada Tabel 1 bahwa pasien demam tifoid anak lebih cenderung memilih unit perawatan kelas III (67,6%). Unit perawatan kedua yang banyak dipilih adalah kelas VIP (20,6%) dan yang paling sedikit adalah unit perawatan kelas I dan II. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian Lili dkk (11) bahwa unit perawatan yang cenderung dipilih adalah kelas III (44,1%) dan paling sedikit diplih adalah kelas VIP (5,49%). Hal ini mungkin berkaitan dengan penghasilan orang tua pasien. Terlihat pada Tabel 2 antibiotik yang menjadi pilihan utama dalam penetalaksanaan terapi demam tifoid anak adalah Seftriakson (58.8%). Seftriakson digunakan sebagai pilihan pertama pengobatan demam tifoid anak di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam karena seftriakson memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan antibiotik lain yang yang digunakan dalam pengobatan tifoid anak yaitu angka resistensi terhadap seftriakson yang rendah, efek samping juga lebih rendah, demam turun lebih cepat yaitu pada hari ke-4. Kultur juga akan negatif pada hari ke-4 setelah pemberian seftriakson sehingga durasi terapi lebih pendek. (12) Dosis seftriakson yang aman untuk anak-anak adalah 50 mg/kgbb. Harga seftriakson memang lebih mahal dibandingkan dengan antibiotik lain yang diindikasikan untuk demam tifoid seperti kloramfenikol namun karena durasi terapi seftriakson lebih singkat maka biaya terapi akan lebih murah dibandingkan dengan kloramfenikol. (12) Rata-rata lama rawat inap pasien yang menggunakan seftriakson adalah 5 hari. Lama rawat inap relatif pendek walaupun tidak secepat pasien yang diberikan kloramfenikol yaitu 3 hari. Lama rawat inap 3 hari tersebut bukan rata-rata rawat inap karena pasien yang menggunakan kloramfenikol hanya ditemukan 1 pasien. Cepatnya darah menjadi steril setelah pemberian seftriakson yaitu berhubungan dengan tingginya kadar seftriakson di dalam serum setelah pemberian secara intravena. Hal ini juga disebabkan karena antimikroba yang bekerja pada dinding sel bakteri cenderung akan membunuh bakteri lebih cepat, dibandingkan dengan antimikroba yang kerjanya pada ribosom. (10) Hasil (12) penelitian Sidabutar dkk bahwa terapi empiris demam tifoid dengan seftriakson secara bermakna akan mengurangi lama pengobatan. Antibiotik lain yang digunakan untuk terapi demam tifoid adalah siprofloksasin. Siprofloksasin dapat diberikan kepada anak-anak apabila tidak ada antibiotik lain yang sensitif dan merupakan antibiotik alternatif terakhir pada demam tifoid kuat. Namun, sampai saat ini belum ada siprofloksasin untuk anak-anak yang bebas atau minim efek samping. Efek samping penggunaan siprofloksasin ini adalah gangguan pada tulang dan sendi. Bila diberikan pada anak-anak dikhawatirkan akan menganggu masa pertumbuhan anak. (11) Rata-rata rawat inap pasien yang menggunakan antibiotik siprofloksasin adalah 4 hari. Walaupun sedikit lebih singkat lama perawatan pasien yang menggunakan siprofloksasin dibandingkan dengan pasien yang menggunakan seftriakson namun antibiotik golongan kuinolon ini sangat tidak dianjurkan untuk anak-anak. Sefiksim juga menjadi pilihan untuk terapi demam tifoid di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam. Ratarata lama rawat inap pasien yang menggunakan Sefiksim adalah 4 hari hasil ini lebih rendah daripada pasien yang menggunakan seftriakson, ini menunjukan bahwa lama bebas 5

demamnya juga cepat. Sefiksim memiliki efikasi dan toleransi yang baik terhadap demam tifoid anak. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rampengan (13) sefiksim mempunyai waktu bebas demam yang relatif cepat walaupun tidak secepat bebas demam seftriakson dan kloramfenikol. Penelitian yang dilakukan oleh (3) Hadinegoro efikasi penggunaan sefiksim untuk demam tifoid anak adalah 84%. Dari 25 kasus yang terjadi 11 pasien sembuh total dalam pengobatan 5 hari dan 10 pasien masih demam dalam pengobatan 5 hari namun keadaan klinis pasien baik ( kesadaran membaik, gejala abdominalis hilang, nafsu makan membaik, dan tidak ada komplikasi). Seftazidim jarang digunakan untuk terapi demam tifoid anak, digunakan jika terdapat infeksi sekunder, namun efikasi dari seftazidim dilihat dari lama rawat inap lebih baik dibandingkan dengan pasien yang menggunakan antibiotik ampislin dan amoksisilin. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adisamito (10) bahwa seftazidim yang digunakan oleh 1 pasien demam tifoid tidak menyebabkan relaps. Kloramfenikol tidak dijadikan pilihan utama terapi demam tifoid di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam karena efek samping yang menyebabkan depresi sumsum tulang dan pada bayi akan menyebabkan Grey Syndrom. Namun, dilihat dari lama rawat inap yaitu 3 hari menunjukan bahwa efikasi kloramfenikol masih sangat baik dibandingkan antibiotik ain yang digunakan untuk terapi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rampengan (13) bahwa kloramfenikol masih menjadi lini pertama pengobatan demam tifoid karena efikasi kloramfenikol masih baik, ketersediaan,dan harga kloramfenikol relatif lebih murah. Ampisilin dan amosisiilin juga merupakan antibiotik yang digunakan untuk terapi demam tifoid namun penggunaan keduanya sangat jarang digunakan. Dilihat dari hasil lama rawat inap pada Tabel 2 lama rawat inap pasien yang menggunakan ampislin adalah 8 hari hal ini sesuai dengan hasil (15) penelitian Soedarmo dkk yang menyatakan bahwa ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang baik dibandingkan antibiotik untuk terapi demam tifoid lain. Lama rawat inap pasien yang menggunakan amoksisilin adalah 6 hari hasil ini sama dengan penelitian Soedarmo dkk (15) bahwa penurunan demam pasien yang menggunakan amoksisilin lebih lama. Hasil penelitian (11) yang dilakukan Lili dkk bahwa penggunaan Ampisilin yang dikombinasikan maupun yang diberikan tunggal juga kurang memiliki efikasi yang baik untuk penurunan demam atau menurunkan angka kejadian relaps. Penilaian tingkat rasionalitias antibiotik pada penelitian ini menggunakan alogaritma Gyssen. Metode Gyssen ini memperhatikan beberapa komponen yaitu indikasi terapi, karakteristik antibiotik (efikasi, keamanan penggunaan, harga dan spektrum), dosis, interval dan waktu pemberian. Setelah dilakukan penilaian dengan alogaritma Gyssen didapatkan hasil penggunaan antibiotik untuk terapi demam tifoid anak di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam terlihat pada Tabel 3 adalah Sebanyak 20 peresepan (58,8%) masuk ke kategori 0, yaitu penggunaan antibiotik sudah rasional dimana antibiotik yang diberikan mempunyai indikasi yang jelas, sesuai dengan kebutuhan pasien ( dinilai dari segi efikasi, keamanan, kesesuaian, 6

serta biaya), dosis, interval dan rute pemberian yang tepat dan waktu pemberian juga tepat. Penggunaan antibiotik untuk terapi demam tifoid anak di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam 44,1% masuk ke kategori IIa yang dimaksud kategori IIa yaitu dosis yang digunakan tidak tepat baik melampaui dosis maksimal atau dibawah dosis maksimal. Dosis berdasarkan panduan praktik klinik ilmu kesehatan anak Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam yaitu siproflokasasin adalah 10-15 mg/kgbb/hari, dosis sefrtiakson yang seharusnya diberikan adalah 50 mg/kgbb, ampislin 200 mg/kgbb/hari dan amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, sefiksim dosis 20 mg/kgbb/hari, kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari. Dosis dapat di bawah dosis maksimal seperti penggunaan seftriakson yang dosis untuk anak-anak adalah 50 mg/kgbb jika diberikan untuk anak dengan berat badan 22,5 kg seharusnya diberikan seftriakson dengan dosis 1124 mg untuk sehari pakai dan 562 mg untuk sekali pakai karena seftriakson diberikan setiap 12 jam namun didalam pengobatan hanya diberikan 1000 mg untuk sehari pakai dan 500 mg untuk sekali pakai. Kondisi tersebut juga disesuaikan dengan bentuk sediaan antibiotik yang digunakan sehingga dapat menekan juga biaya terapi pasien. Terdapat juga dosis yang penggunaannya lebih dari dosis maksimal seperti pada anak dengan berat badan 15,3 kg seharusnya diberikan dosis 765 mg untuk sehari pakai dan 382 mg untuk sekali pakai jika dosis seftriakson 50 mg/kgbb/hari namun didalam pengobatan pasien tersebut diberikan dosis 1000 mg untuk sehari pakai dan 500 mg untuk sekali pakai jadi dosis tersebut lebih besar dari dosis seharusnya. Namun beberapa dosis yang tidak tepat tersebut dapat dikarenakan demam tifoid berat dan tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah pemberian dosis awal sehingga penambahan dosis yang lebih besar diperlukan. Dari hasil penilaian di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam penggunaan antibiotik keseluruhan sudah sesuai dengan pedoman Panduan Praktik Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Bethesda yang mengacu kepada pedoman dari Nelson Textbook Of Pediatrics dan Buku Ajar Infeksi Dan Pediatri Tropis hanya terdapat beberapa penggunaan yang tidak sesuai dosis dan hanya masuk kedalam 2 kategori yaitu IIa dan 0. Terlihat perbedaan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Puspita (5) dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam. Hasil evaluasi di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam peresepan untuk terapi demam tifoid anak yang mendominasi adalah kategori 0 yaitu 58,8%. Sedangkan penelitian yang (5) dilakukan Puspita penggunaan antibiotik yang mendominasi adalah kategori IIIb yaitu pemberian antibiotik yang terlalu singkat 33,8% dari 130 peresepan dan penggunaan antibiotik yang termasuk kedalam kategori I yaitu 25,4% dari 130 peresepan dan belum terdapat peresepan yang masuk kedalam kategori 0. Dapat disimpulkan bahwa pemberian antibiotik untuk terapi demam tifoid anak di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam lebih baik dibandingkan di RSUD tangerang. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut yaitu kurang patuhnya dokter terhadap panduan penggunaan antibiotik, kemampuan pasien dalam masalah biaya sehingga 7

terputusnya pengobatan sebelum target terapi tercapai. Kesadaran dokter dan tenaga medis lainnya akan pentingnya penggunaan antibiotik juga penting dan atau dalam hal ini yaitu Multidrugs Resistence Salmonella thypi. Penggunaan antibiotik yang rasional akan membuat pasien lebih diuntungkan yaitu terapi yang diberikan memberikan hasil yang maksimal, risiko efek samping yang lebih rendah, dan biaya untuk pengobatan juga akan lebih ringan untuk pasien. DAFTAR PUSTAKA 1. Noer S, Waspadji S, Rahcman AM. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. h. 435-442 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008 [dicitasi tanggal 02 November 2015] 3. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001 Maret; 2(4):182-187. 4. Hapsari MM, Farida H, Keute M, Broek, Hadi U, Herawati Y., et al. Penurunan Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Dengan Demam. Sari Pediatri. 2006 juni; 8(1): 16-24. 5. Puspita A. Profil Pemberian Antibiotika Rasional Pada Pasien Demam Tifoid Anak Dibangsal Rawat Inap RSUD Tangerang Tahun 2010-2011. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; 2012 [ Dicitasi tanggal 12 September 2015] perlu ditingkatkan karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menyebabkan Antimicrobial Resistance KESIMPULAN Rasionalitas penggunaan antibiotik untuk terapi demam tifoid anak yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam adalah sebesar 58,8% yang termasuk ke dalam kategori 0 yaitu penggunaan antibiotik yang rasional. 6. Ayaz A, Khalid Muhammad P, Din M azad, dan Pervaiz G. Risk Factor of Enteric Fever in Children Less Than 15 Years of Age. Journal Of Statistic. 2006; 13(1) : ISSN 1684-8403. 7. Ganesh R, Janakiraman L, Vasanthi T, dan Sathiyasekeran M. Profile of Typhoid Fever in Children From a Tertiary Care Hospital in Chennai-South India. Indian Jurnal Pediatric. 2010; 77: 1089-1092. 8. Nuraini F A, Garna H, Respati T. Perbandingan Kloramfenikol Dengan Seftriakson terhadap Lama Hari Turun Demam pada Anak Demam Tifoid. Prosiding Pendidikan Dokter. 2014; ISSN: 2460-657X 9. Bahn MK, Bahl R, Bhatnagar S. typhoid and paratyphoid fever. Lancet. 2005;366:749-62. 10. Adisasmito A W. Penggunaan Antibiotik Pada Terapi Demam Tifoid Anak Di RSAB Harapan Kita. Sari Pediatri. 2006 Desember ; 8 (3) : 174-180. 8

11. Lili M A, Fuad A, Gani A, Andayani P. Pola Pemberian Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001 2002. Makara Kesehatan. 2004 Juni; 8 (1): 27-31. 12. Sidabutar S, Irawan H S. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak : Kloramfenikol atau Seftriakson. Sari Pediatri. 2010; 11(6): 434-9. 13. Rampengan H N. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Anak. Sari Pediatri. 2013; 14(5): 271-6. 14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001 Maret; 2(4):182-187. 15. Soedarmo, Sumarmo SP, Gama Herry, Rezki Sri SH, Irawan HS. Demam Tifoid Dalam : Buku Ajar- Infeksi Dan Pediatri Tropis Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2012. h.338-345. 9

. 10