4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan agar dapat membedakan daerah berawan, daratan dan lautan. Citra hasil composite tanpa grayscale dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil composite pada gambar menunjukkan adanya warna hitam disekitar perairan yang ditunjukkan dengan lingkaran merah dan kuning. Warna yang terlihat lebih gelap dibandingkan dengan air sekitarnya pada citra merupakan sebaran minyak dari semburan sumur Montara yang bocor pada 21 Agustus 2009 lalu. Minyak tersebut menyebar dan menutupi lapisan permukaan perairan. Lapisan minyak akan memberi pantulan gelombang elektromagnetik yang berbeda dengan perairan sekitarnya sehingga kenampakan minyak dan air disekitarnya akan terlihat berbeda pada citra. Penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa gelombang sinar tampak pada MODIS menyebabkan minyak terlihat lebih gelap dari air sekitarnya (Dessi et al, 2008). Penyebaran minyak terlihat semakin meluas pada hasil rekaman tanggal 24 September 2009 dibandingkan hasil rekaman tanggal 30 Agustus 2009. Perluasan tersebut mungkin terjadi akibat adanya interaksi minyak dengan fenomena fisik perairan sehingga menyebabkan terjadinya proses penyebaran (spreading) minyak. Spreading merupakan proses tersebarnya lapisan minyak ke segala arah akibat perbedaan tegangan permukaan dan densitas antara permukaan air laut dengan lapisan minyak. Selain itu, proses ini juga disebabkan oleh pergerakan angin, gelombang dan arus (Mukhtasor, 2007). Semburan minyak dari sumur 28
29 Montara berlangsung hingga November 2009 sehingga menyebabkan minyak terus bertambah dan memperluas lapisan minyak dipermukaan perairan. Tumpahan minyak Awan (a) Tumpahan minyak Awan (b) Gambar 7. Lokasi tumpahan minyak dari rekaman citra MODIS pada (a) 30 Agustus 2009 dan (b) 24 September 2009 Sebaran minyak yang terlihat dari citra MODIS dengan menggunakan composite dari sinar tampak dapat membuktikan bahwa sensor MODIS dengan resolusi cukup rendah juga mampu mendeteksi minyak. Pola sebaran minyak yang dihasilkan rekaman citra MODIS sama halnya dengan hasil rekaman citra
30 Radar pada waktu perekaman yang sama (Gambar 8). Hal ini dapat menegaskan bahwa warna hitam dari rekaman MODIS tersebut adalah tumpahan minyak mengingat Sensor Radar lebih umum digunakan untuk memantau oil spill di laut karena kelebihannya beroperasi pada segala kondisi cuaca. (a) (b) Gambar 8. Perekaman tumpahan minyak dari (a) citra Radar dan (b) citra MODIS pada tanggal 30 Agustus 2009 (Sumber: SKY TRUTH, CSTAR, InfoTerra) Hasil composite atau perata-rataan band visible secara umum memang menunjukkan warna yang lebih gelap dari perairan sekitarnya. Namun, apabila tumpahan minyak dilihat dari satu band saja (single band) maka kenampakan minyak pada masing-masing band akan terlihat berbeda-beda. Pada citra band biru, minyak memiliki warna yang tidak jauh berbeda dengan perairan. Hal tersebut berbeda dengan band hijau dimana minyak terlihat berwana lebih gelap dari perairan sekitarnya sedangkan pada band merah, hanya sebagian dari sebaran minyak yang terlihat lebih gelap. Gambar 9 memperlihatkan sebaran minyak tanggal 24 September 2009 berdasarkan citra single band (merah, biru dan hijau).
31 s Biru ( 469 nm) hijau (555 nm) Merah (645 nm) Gambar 9. Visualisasi Tumpahan Minyak dari Citra MODIS secara single band 4.2 Pantulan Spektral Perairan Tumpahan Minyak Titik-titik stasiun nilai spektral pada perairan tumpahan minyak tertera pada Gambar 10. Titik stasiun tersebut di overlay pada citra hasil composite RGB band 13, 12 dan 9 sehingga penyebaran minyak terlihat lebih jelas. Pola titik stasiun dibentuk berdasarkan pola sebaran minyak yaitu melewati daerah yang terkena dan tidak terkena minyak agar dapat dilihat perbedaan nilai spektral perairan antara kedua wilayah tersebut. Titik stasiun pada pola minyak tanggal 30 Agustus terdiri dari 14 titik stasiun sedangkan pada pola minyak tanggal 24 September terdiri dari 15 titik stasiun. (a) (b) Gambar 10. Titik stasiun pada tumpahan minyak Laut Timor tanggal (a) 30 Agustus 2009 dan (b) 24 September 2009
32 0.09 0.08 Oil spill 0.07 Spektral (sr -1 ) 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 469 nm 645 nm 555 nm 0.01 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Stasiun ke- (a) Spektral (sr -1 ) 0.09 0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 Oil spill 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 645 nm 469 nm 555 nm Stasiun ke- (b) Gambar 11. Nilai spektral (reflektansi) pada tanggal (a) 30 Agustus 2009 dan (b) 24 September 2009 Gambar 11 menunjukkan grafik reflektansi spektral pada panjang gelombang visible berdasarkan titik-titik stasiun tanggal 30 Agustus 2009 dan 24 September 2009. Reflektansi spektral visible umumnya digunakan untuk melihat reflektansi konsentrasi klorofil maupun Muatan Padatan Terlarut (MPT) suatu perairan. Selain itu, pantulan spektral perairan juga dapat digunakan untuk menentukan benar tidaknya suatu perairan tercemar minyak atau limbah industri lainnya (Cracknell et al, 1980).
33 Grafik spektral tanggal 30 Agustus 2009 menunjukkan pola penurunan pada stasiun 5 hingga 9 dimana stasiun tersebut merupakan titik-titik yang berada pada wilayah tumpahan minyak. Grafik spektral tanggal 24 September 2009 juga menunjukkan pola yang sama. yakni terjadi penurunan pada titik stasiun yang terkena minyak yaitu pada stasiun 5 hingga 10. Pada grafik juga terlihat bahwa band biru dengan panjang gelombang 469 nm memiliki pantulan spektral yang paling tinggi pada stasiun yang terdapat minyak sedangkan band hijau dengan panjang gelombang 555 nm memiliki pantulan spektral paling rendah. Pantulan spektral minyak lebih besar dalam kisaran spektral biru, hal ini karena fluoresensi oleh λ <400 nm (spektrum biru) sinar matahari (Dessi et al, 2008). Penelitian yang sama dilakukan di wilayah tumpahan minyak danau Maracaibo, Venezuela. Hasilnya juga menunjukkan penurunan pola spektral pada wilayah yang terkena minyak seperti tertera pada Gambar 12 (Hu et al., 2003). Hal tersebut menyimpulkan bahwa nilai spektral pada perairan yang tertutup minyak akan lebih rendah dari air laut sekitarnya. Gambar 12. Nilai spektral (reflektansi) pada wilayah tumpahan minyak danau Maracaibo (Hu et al, 2003)
34 Rendahnya nilai reflektansi spektral disebabkan karena minyak lebih banyak menyerap energi panjang gelombang daripada memantulkannya. Energi panjang gelombang yang dipantulkan oleh minyak direpresentasikan oleh nilai digital. Nilai digital menunjukkan tingkat kecerahan atau tingkat keabuan suatu objek pada citra. Nilai digital dari objek yang berwarna lebih gelap akan lebih rendah dari objek yang berwarna terang. Objek seperti minyak diperairan memiliki nilai digital yang lebih rendah dan merepresentasikan bahwa nilai pantulan spektralnya juga lebih rendah sehingga objek (minyak) akan terlihat dengan warna yang lebih gelap. Daerah spektral yang dapat digunakan untuk mendeteksi tumpahan minyak di laut berada pada panjang gelombang inframerah, gelombang mikro dan sinar tampak. Sinar tampak juga merupakan spektrum panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi klorofil sehingga melalui karakteristik spektral sinar tampak dapat dihubungkan bagaimana keterkaitan antara minyak dan klorofil. 4.3 Konsentrasi Klorofil di Sekitar Tumpahan Minyak Variasi konsentrasi klorofil di sekitar tumpahan minyak berdasarkan citra tanggal 30 Agustus 2009 disajikan pada Gambar 13. Berdasarkan nilai klorofil yang diperoleh dari algoritma Morel 4 dan O reilly menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil pada titik stasiun yang terkena tumpahan minyak memiliki konsentrasi yang lebih rendah. Pada wilayah yang terkena tumpahan minyak (stasiun 5-10) konsentrasi klorofil Morel 4 berkurang hingga 0.13 mg/l. Demikian pula konsentrasi klorofil O reilly yang berkurang hingga 0.15 mg/l. Rendahnya konsentrasi klorofil pada stasiun 5 10 diduga karena adanya lapisan
35 minyak yang menutupi permukaan sehingga hampir seluruh sinar tampak dari matahari diserap dan dipantulkan oleh minyak bukan fitoplankton. Hal ini menyebabkan nilai konsentrasi klorofil yang direkam oleh sensor menjadi rendah. Rendahnya pantulan spektral cukup membuktikan bahwa nilai spektral perairan lebih dipengaruhi oleh minyak dibanding klorofil (Gambar 11). Pada kondisi perairan normal tanpa minyak, nilai spektral umumnya akan dipengaruhi oleh konsentrasi klorofil. Menurut Liew et al (2000) kurva pantulan spektral klorofil (tanpa minyak) akan menunjukkan peningkatan pada panjang gelombang 555 nm (hijau). Hal ini disebabkan karena klorofil menyerap panjang gelombang pada kanal merah dan biru dan memantulkan sempurna panjang gelombang hijau. Konsentrasi klorofil dari algoritma Morel 4 memiliki kisaran yang lebih rendah daripada O reilly. Namun konsentrasi klorofil dari kedua algoritma tersebut memiliki pola yang sama yaitu terjadi penurunan nilai pada titik tumpahan minyak. Konsentrasi klorofil dari algoritma Morel 4 berkisar antara 0.13-0.27 mg/l sedangkan konsentrasi klorofil dari algoritma O reilly berkisar antara 0.15-0.35 mg/l. kisaran algoritma yang diperoleh dari kedua algoritma tersebut sesuai dengan kisaran klorofil laut lepas. Klorofil (mg/l) 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Stasiun keo'reilly morel4 Gambar 13. Variasi Konsentrasi klorofil dari algoritma berbeda pada stasiun tumpahan minyak tanggal 30 Agustus 2009
36 Penurunan konsentrasi klorofil pada wilayah minyak juga terlihat pada variasi klorofil berdasarkan tanggal 24 September 2009 (Gambar 14). Klorofil terlihat menurun pada stasiun yang tercemar minyak yaitu stasiun ke 5-10. Konsentrasi klorofil dari algoritma Morel berkisar antar 0.14 0.46 mg/l sedangkan dari algoritma O reilly berkisar 0.21-0.69 mg/l. Nilai Konsentrasi klorofil berdasarkan kedua algoritma disajikan pada Lampiran 6. Klorofil (mg/l) 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Stasiun ke- O'reilly Morel Gambar 14. Variasi konsentrasi klorofil dari algoritma berbeda pada stasiun tumpahan minyak tanggal 24 September 2009 Secara spasial konsentrasi klorofil berdasarkan algoritma klorofil Morel 4 dan O reilly pada citra tanggal 24 September memang menunjukkan adanya penurunan konsentrasi klorofil pada wilayah yang tercemar minyak (Gambar 15). Hal ini ditandai dengan warna hijau yang lebih muda dibanding sekitarnya dan mengindikasikan nilai yang lebih rendah pula pada skala warna. Minyak yang menutupi permukaan perairan menghalangi klorofil untuk memantulkan gelombang hijau lebih besar sehingga pantulan hijau dari klorofil yang direkam sensor akan terlihat lebih rendah. Wilayah pencemaran minyak dengan konsentrasi klorofil rendah dapat dilihat pada daerah lingkari merah. Nilai klorofil dari algoritma Morel 4 dan O reilly secara spasial tidak memperlihatkan
37 perbedaan nyata. Namun, jika diperhatikan lebih lanjut warna hijau pada pada citra dengan algoritma O reilly lebih pekat dibandingkan Morel 4. Hal ini berarti bahwa algoritma O reilly memiliki konsentrasi klorofil yang lebih tinggi. (a) (b) Gambar 15. Konsentrasi klorofil secara spasial berdasarkan citra tanggal 24 September 2009 dengan penerapan algoritma (a) Morel 4 dan (b) O reilly
38 4.4 Sebaran Konsentrasi Klorofil Secara Temporal Sebaran konsentrasi klorofil secara temporal pada periode lima tahun dari Agustus 2006 hingga Desember 2010 di wilayah yang terkena tumpahan minyak disajikan pada Gambar 16. Periode lima tahun (2006-2010) merupakan periode sebelum dan sesudah terjadi tumpahan minyak sehingga dapat dilihat apakah terdapat fluktuasi konsentrasi klorofil yang dipengaruhi minyak. Pada awal Agustus, grafik konsentrasi klorofil membentuk pola memuncak setiap tahunnya dengan kisaran nilai yang cukup tinggi yaitu antara 0.37 0.47 mg/l. Namun, terjadi pola penurunan setiap minggu ke-tiga Bulan Agustus. Pola penurunan tersebut diduga akibat pengaruh musim peralihan dari musim timur. Musim timur terjadi dari Juni hingga Agustus dimana pada musim ini umumnya konsentrasi klorofil cukup tinggi sedangkan musim peralihan terjadi antara akhir agustus atau awal september dimana konsentrasi klorofil berada dalam kisaran yang tak menentu. Nilai minimum konsentrasi klorofil pada setiap minggu ke-3 Agustus terjadi pada tahun 2009 dengan nilai klorofil 0.13 mg/l. Hal tersebut bertepatan dengan kebocoran sumur minyak Montara tanggal 21 Agustus 2009 sehingga penurunan dapat diduga akibat dari tumpahan minyak. Pada dasarnya, jenis minyak bumi mengandung toksik Policlinic Aromatic Hydrocarbon (PAHs) yang dapat merusak jaringan fitoplankton (Gonzalez et al., 2009). Selain itu, sifat minyak yang membentuk lapisan tipis di permukaan perairan dapat mengurangi penetrasi cahaya sehingga mengganggu proses fotosintesis fitoplankton dan memusnahkan populasinya.
39 Setelah terjadinya tumpahan minyak pada minggu ke-3 Agustus 2009, konsentrasi klorofil terus menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan terjadi hingga minggu ke-2 Oktober selanjutnya pola konsentrasi klorofil terlihat menunjukkan pola yang sama dengan tahun sebelumnya. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan hasil yang sama yaitu adanya penurunan konsentrasi klorofil sekitair 45-50% dari keadaan normal setelah tumpahan minyak dan kembali meningkat setelah dua minggu (Lee et al., 2009). Peningkatan tersebut disebabkan karena komponen racun (aromatik) pada minyak yang mudah menguap telah habis sehingga komponen yang tersisa hanya bahan organik (Jones, 2001). Bahan organik dapat dijadikan sebagai sumber nutrient bagi pertumbuhan fitoplankton sehingga dapat meningkatkan kembali konsentrasi klorofil. 0.5 0.4 0.3 Klorofil (mg/l) 0.2 0.1 0 Agus Sep Okt Nov Des Agus Sep Okt Nov Des Agus Sep Okt Nov Des Agus Sep Okt Nov Des Agus Sep Okt Nov Des 2006 2007 2008 2009 2010 Gambar 16. Pola konsentrasi klorofil-a rata-rata di wilayah sebaran minyak pada 30 Agustus 2009 Konsentrasi klorofil pada tahun 2010 tidak menunjukkan pola grafik yang berfluktuasi dibandingkan tahun 2009. Hal ini diduga karena tumpahan minyak di
40 daerah tersebut sudah tersebar ke wilayah yang lain akibat interaksinya dengan proses pergerakan angin dan arus. Pada grafik juga terlihat beberapa data yang kosong dan tidak dapat diintepretasikan. Kekosongan data disebabkan karena kelemahan dari data MODIS yaitu tidak mampu menembus awan sehingga konsentrasi klorofil pada daerah yang tertutup awan tidak dapat diidentifikasi. 4.5 Sebaran Konsentrasi Klorofil Secara Spasial Sebaran spasial konsentrasi klorofil pada wilayah tumpahan minyak dapat dilihat pada Gambar 17. Periode waktu yang digunakan mencakup waktu sebelum dan sesudah terjadinya tumpahan minyak untuk membandingkan konsentrasi klorofil (2008-2009). Kotak putih pada Gambar 16 merupakan wilayah yang tercemar minyak berdasarkan pola sebaran minyak pada Agustus dan September 2009. Berdasarkan sebaran spasial klorofil rata-rata bulanan, terlihat bahwa konsentrasi klorofil pada bulan Juni hingga Agustus 2008 memiliki kisaran yang paling tinggi. Hal tersebut ditandai dengan degradasi warna yang cukup bervariasi pada bulan-bulan tersebut. Nilai tertinggi ditandai dengan warna kuning kecoklatan dengan kisaran nilai antara 0.4 hingga 0.6 mg/l. Namun, konsentrasi klorofil pada Bulan Juni Agsustus 2009 memiliki degradasi warna yang lebih sedikit yang ditandai dengan warna ungu hingga hijau. Pada skala, warna tersebut menunjukkan nilai antara 0.01 0.30 mg/l. Nilai konsentrasi klorofil ini tentu lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2008. Hal tersebut bukan dipengaruhi oleh minyak karena pencemaran minyak mulai terjadi pada akhir Agustus 2009.
41 2008 2009 Juni Juli Agustus September Oktober Gambar 17. Konsentrasi klorofil hasil composite bulanan citra MODIS pada Juni- November (2008-2009)
42 Pada September hingga November 2008 dan 2009 konsentrasi klorofil terlihat lebih menurun yang ditandai dengan degradasi warna ungu dan biru. Pada skala, warna tersebut mengindikasikan konsentrasi klorofil yang cukup rendah yakni antara 0.04 0.15 mg/l. Degradasi warna ungu pada September November 2009 terlihat lebih banyak daripada 2008. Warna ungu menunjukkan nilai paling rendah yakni hanya sekitar 0.01-0.05 mg/l. Hal ini dapat dapat mengindikasikan bahwa ada sedikit perbedaan konsentrasi klorofil secara spasial antara 2008 dan 2009 pada wilayah tumpahan minyak. 4.6 Hubungan Pola Angin dengan Sebaran Minyak Arus permukaan dapat membawa massa air di permukaan mengikuti arah dan kekuatan arus tersebut. Angin merupakan suatu faktor penting yang mempengaruhi arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan ( Nontji, 2002). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa angin merupakan faktor tidak langsung yang turut mempengaruhi pola pergerakan dan penyebaran tumpahan minyak di permukaan. Hasil overlay data angin harian dengan pola tumpahan minyak pada tanggal 30 Agustus 2009 menunjukkan bahwa pola penyebaran minyak mengikuti arah angin yaitu ke arah barat laut dengan intensitas kecepatan angin pada daerah tersebut berkisar antara 0.8-1.4 m/s (Gambar 18). Pergerakan arah angin ke arah barat laut menyebabkan minyak juga menyebar kearah yang sama. Arah angin yang tidak mengikuti pola angin musim timur mungkin pada akhir Agustus tersebut telah dipengaruhi oleh musim pancaroba.
43 Gambar 18. Arah dan kecepatan Angin pada tumpahan minyak tanggal 30 Agustus 2009 Gambar 19 menunjukkan distribusi frekuensi kecepatan angin berdasarkan arah mata angin dalam bentuk wind rose selama satu bulan (Agustus 2009). Berdasarkan gambar wind rose dapat dibuktikan bahwa selama satu bulan pada Agustus 2009 frekuensi angin yang terbesar memang menuju ke arah Barat Laut dengan nilai persentase sekitar 18%. Hal ini menyebabkan minyak pada tanggal 30 Agustus terlihat membentuk pola sebaran ke arah Barat Laut dari titik bocornya sumur Montara yang ditandai dengan bentuk bintang. Hal yang sama juga terjadi pada pola tumpahan minyak tanggal 24 September 2009 (Gambar 20). Pada hari tersebut secara umum pola angin terlihat berasal dari Timur menuju ke arah barat. Pada wilayah tumpahan minyak angin terlihat menuju kearah barat daya dan minyak juga terlihat menyebar kearah yang sama mengikuti pola angin dengan intensitas kecepatan angin pada daerah tersebut berkisar antara 3.5-5 m/s. Distribusi frekuensi angin pada bulan September 2009 menunjukkan bahwa angin paling banyak menuju kea rah barat
44 laut (Gambar 21). Angin juga terlihat menuju ke arah barat dari Timur dengan persentase 6 12 %. Gambar 19. Wind Rose distribusi frequensi angin bulan Agustus 2009 Gambar 20. Arah dan kecepatan Angin pada tumpahan minyak tanggal 24 September 2009 Gambar 21. Wind Rose distribusi frequensi angin bulan September 2009