BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Realisasi pendapatan negara tahun 2014 mencapai Rp. 1.537,2 triliun dimana penerimaan perpajakan mencapai Rp. 1.143,3 atau sekitar 74% dan penerimaan negara bukan pajak mencapai Rp. 390,7 triliun atau sekitar 25% (www.kemenkeu.go.id). Pemerintah berusaha menggalakkan penerimaan dari sektor perpajakan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak yaitu pemerintah berusaha menggali potensi pajak dengan mengenakan objek-objek tertentu yang sebelumnya tidak dikenakan pajak, atau dengan mempertahankan objek pajak yang sudah ada, akan tetapi kegiatan pemungutan pajaknya lebih ditingkatkan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak tidak langsung yang terjadi atas konsumsi barang kena pajak dan atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean. Pajak ini dikelola oleh pemerintah pusat. Secara umum, PPN yang terutang atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual. Akan tetapi jika 1
2 yang bertindak sebagai pembeli BKP atau JKP berstatus sebagai Pemungut PPN maka pajak yang terutang atas transaksi penyerahan BKP atau JKP tersebut tidak dipungut oleh PKP penjual melainkan disetor langsung ke kas Negara oleh pemungut tersebut. Berdasarkan pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 yang berlaku sejak 1 juli 2012, menyebutkan bahwa Badan Usaha Milik Negara ditunjuk sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Dengan adanya peraturan ini, maka BUMN mempunyai kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Ditunjuknya BUMN sebagai pemungut PPN ini didorong untuk mendapatkan ekstensifikasi pajak yang kini diduga tidak riil time (www. bumn.go.id). Sejak tahun 2004, pajak PPN dan/atau PPnBM BUMN dititipkan kepada rekanan atau pemasok (supplier) dengan kewajiban bagi rekanan atau supplier untuk melaporkan dan menyetor PPN dan/atau PPnBM ke direktorat pajak. Akan tetapi menurut isu yang beredar, pajak tersebut tidak diserahkan kepada negara namun dipakai sendiri oleh pemasok untuk menambah biaya operasional (www.bumn.go.id) Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 diharapkan dapat membuat likuiditas Negara menjadi lancar karena BUMN wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut paling lambat tanggal
3 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir atau sejak barang atau jasa diserahterimakan ke BUMN (Pasal 7 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012) yang semula memiliki jangka waktu paling lambat 3 bulan karena basis penyetoran pajak dahulu berdasarkan hitungan sejak ditagihkan bukan saat barang atau jasa diserahterimakan sehingga memberikan keuntungan besar bagi dirjen pajak karena ada jaminan dibayarkannya PPN oleh BUMN. Disatu sisi BUMN memiliki tantangan karena berdasarkan pasal 7 ayat 2 PMK-136/PMK.03/2012, BUMN wajib menyetorkan PPN yang telah dipungut dengan jarak penyetoran PPN menjadi lebih singkat yaitu 15 hari bulan berikutnya yang mana faktur pajak juga harus dilampirkan pada saat pelaporan (paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak). Tanggal jatuh tempo penyetoran ini tidak mengacu pada tanggal penerbitan Faktur Pajak oleh PKP rekanan, dengan demikian apabila BUMN terlambat melakukan penyetoran yang disebabkan karena keterlambatan PKP rekanan menerbitkan Faktur Pajak, maka konsekuensinya menurut UU KUP Nomor 28 tahun 2007, Negara berhak menjatuhkan sangsi sebesar 2 % per bulan paling lama 24 bulan dari dasar pengenaan pajak (pasal 14 ayat 4), denda 200% dan kurungan maksimal satu tahun (pasal 38) dan denda 400% kurungan paling lama 6 tahun (pasal 39). Sanksi ini ditujukan kepada BUMN sebagai pemungut PPN. Risiko yang mungkin timbul atas faktur pajak selain karena keterlambatan penerbitan yaitu PPN Masukan tidak dapat dikreditkan dan/atau direstitusi oleh BUMN jika faktur pajak tersebut dinyatakan tidak lengkap. Jumlah ini akan
4 menjadi biaya bagi BUMN yang bersangkutan dan berpotensi menambah tingginya biaya perekonomian di Indonesia. Jika melihat besarnya risiko yang harus ditanggung oleh masing-masing BUMN, maka seharusnya regulasi pajak diperbaiki karena aktivitas bisnis yang dilakukan oleh BUMN pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perolehan pajak yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Jenderal Pajak (www.bumn.go.id). Berdasarkan fenomena yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa metode penilaian risiko yang diterapkan perusahaan hanyalah sebuah formalitas untuk memenuhi aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Frekuensi penilaian tidak dilakukan secara konsisten dan faktor-faktor dalam penilaian risiko juga tidak selalu dievaluasi sehingga hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap tujuan yang akan dicapai karena hasil penilaian risiko tidak sesuai dengan risiko yang sebenarnya. Risiko itu bukan sesuatu yang bisa dikelola sekali dalam setiap kuartal, bulan atau minggu. Risiko timbul dan harus dikelola sepanjang waktu. Oleh karena itu, pengelolaan risiko seharusnya terintegrasi dengan setiap proses pengambilan keputusan, penentuan dan implementasi strategi serta pengelolaan kinerja setiap elemen perusahaan. Perusahaan juga seharusnya dapat mengelola segala potensi risiko yang timbul akibat ketidakpastian (www.jurnalakuntansikeuangan.com). Penelitian sebelumnya tentang penilaian risiko dilakukan oleh Setyobudi (2006) dan Buana (2009) dalam Majid (2013) yang menyatakan bahwa hal ini penting untuk dilakukan karena dunia usaha selalu penuh dengan ketidakpastian.
5 Dengan dilakukannya penilaian risiko, perusahaan dapat mengetahui tingkat risiko yang terjadi dan dapat mengelolanya dengan baik sehingga terhindar dari kondisi yang tidak diinginkan. Salah satu risiko yang harus dikelola khususnya adalah risiko pajak sebagaimana hasil penelitian Suprajadi et al (2011) yang menyimpulkan bahwa perusahaan yang diteliti masih memiliki kelemahan sehingga dapat menimbulkan risiko pengenaan sanksi administrasi pajak meski kesemua risiko tersebut tidak signifikan. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Majid (2013) yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pengelolaan risiko PPN di PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk sudah memadai dan perusahaan ini dikategorikan sebagai PKP dengan tingkat risiko rendah berdasarkan analisis kuantitatif risiko profil umum. PT. Pertamina (Persero) adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki Pemerintah Indonesia (National Oil Company). Pendapatan dari sektor Migas juga menduduki tingkat yang cukup besar dalam penerimaan dalam negeri yaitu mencapai Rp. 320,254 triliun di tahun 2014 (bisnis.liputan6.com). Sebagai perusahaan BUMN, PT Pertamina (Persero) tentunya juga akan dipengaruhi oleh adanya Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2012 yang menunjuk BUMN sebagai pemungut PPN dan/atau PPnBM. Dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui pengelolaan risiko pajak pertambahan nilai (PPN) di perusahaan BUMN. Peneliti melakukan analisis dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif mengenai bagaimana manajemen risiko pajak perusahaan pada proses pemungutan pajak
6 pertambahan nilai oleh wajib pungut PPN. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek atau tempat penelitian dan tahun penelitian. Oleh karena itu, penulis mengangkat sebuah skripsi dengan judul : Analisis Manajemen Risiko Pajak Perusahaan pada Proses Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai di PT. PERTAMINA (Persero).
7 B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah pelaksanaan pengelolaan risiko PPN di PT. Pertamina Persero sudah terlaksana dengan baik sesuai prosedur dan aturan perpajakan yang berlaku? 2. Apa saja risiko yang mungkin timbul akibat penunjukkan kembali PT. Pertamina Persero sebagai pemungut PPN? 3. Seberapa besar risiko yang kemungkinan akan dihadapi oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai pemungut PPN? C. Tujuan Dan Kontribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian : a. Untuk mengevaluasi pengelolaan risiko PPN yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero). b. Untuk mengidentifikasi risiko terkait pemungutan PPN yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero). c. Untuk mengetahui besarnya risiko yang kemungkinan akan dihadapi oleh PT. Pertamina (Persero) selaku pemungut PPN.
8 2. Kontribusi Penelitian : a. Bagi Direktorat Jenderal Pajak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan dalam bidang perpajakan. b. Bagi PT. Pertamina (Persero) dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam melaksanakan pengelolaan risiko pajak yang lebih baik. c. Bagi penulis dapat digunakan untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang berkaitan dengan pengelolaan risiko pajak. d. Bagi pihak lain dapat digunakan sebagai bahan referensi terhadap penelitian akuntansi yang berhubungan dengan manajemen pengelolaan risiko pajak.