4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional berupa perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Batasan yang digunakan seperti perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi di dalam suatu unit wilayah (Rustiadi et al., 2009). Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya secara terpadu melalui pendekatan yang komprehensif. Aspek yang tercakup di dalamnya yaitu aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan dengan pendekatan penataan ruang wilayah yang lebih efektif dan efisien (Djakapermana, 2010). Pengembangan wilayah berkelanjutan erat kaitannya dengan rencana pemanfaatan lahan yang strategis. Hal ini dilakukan melalui pengelolaan yang tepat antara sumberdaya alam dengan aspek sosial-ekonomi dan budaya. Pengetahuan tentang potensi pengembangan wilayah, daya dukung dan manfaat ruang wilayah melalui proses inventarisasi dan penilaian keadaan/ kondisi lahan, potensi, serta pembatas-pembatas dapat mengoptimalkan keuntungan ekonomi wilayah (Sitorus, 2004). Perencanaan pengembangan wilayah diharapkan dapat membuat suatu pedoman bagi pelaksanaan kegiatan, perkiraan potensi, prospek pengembangan, hambatan, resiko yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Di samping itu, perencanaan wilayah yang ideal menyajikan pilihan terbaik, skala prioritas dan alat ukur atau standarisasi evaluasi dalam pembangunan (Arsyad, 1999). Sumberdaya yang tidak dimanfaatkan secara maksimal menyebabkan ketimpangan ekonomi regional. Ketimpangan ini disebabkan prioritas kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki wilayah tersebut. Karena ketimpangan ini proses pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut relatif lambat (Sjafrizal, 1997). Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan perubahan struktur ekonomi berawal dari pengembangan sektor primer yang menimbulkan efek bola salju (snow ball effect) terhadap pertumbuhan sektor-sektor lainnya.
5 2.2 Sektor Ekonomi, Komoditas Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor sebagai pendorong utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda (Rustiadi et al., 2009). Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dan sektor non-basis. Sektor basis adalah sektor dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah (Rustiadi et al., 2009). Artinya sektor basis adalah sektor yang dapat mengekspor barang/jasa (komoditas) ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Sektor non basis adalah sektor yang hanya cukup menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri (Glasson, 1977). Menurut Arsyad (1999) faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah berhubungan langsung dengan permintaan atas barang/jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumberdaya lokal akan menghasilkan kekayaan daerah. Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi komoditas basis akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi. Hal ini akan menaikkan pendapatan, kesempatan kerja, dan menaikkan permintaan hasil aktivitas ekonomi komoditas non basis (Rustiadi et al., 2009). Pengembangan kegiatan produksi komoditas basis ditekankan pada penambahan tahapan produksi hingga pengembangan komoditas sekunder dengan memanfaatkan output komoditas primer menjadi inputnya. Hal ini akan memberikan efek pengganda bagi kegiatan ekonomi. Penyerapan tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah output akan memberikan tambahan pendapatan bagi perekonomian yang lebih lanjut lagi akan mendorong terciptanya investasi baru berupa faktor-faktor produksi (Tabrani, 2008). Aktifitas komoditas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (prime mover role) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut dan sebaliknya. Setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek
6 pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah (Adisasmita, 2005). Komoditas basis akan menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas tersebut dan komoditas nonbasis yang kurang potensial berfungsi sebagai penunjang komoditas basis (Syafrizal, 2008). Output dari komoditas basis ini nantinya dapat diekspor ke daerah lainnya karena dianggap telah mampu memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri. Penekanan output komoditas non-basis adalah pemenuhan kebutuhan suatu komoditas untuk dikonsumsi oleh masyarakat dalam perekonomian yang bersangkutan (Tabrani, 2008). Keragaman kondisi biogeofisik, sosial ekonomi dan semakin terbatasnya sumberdaya lahan, memerlukan pengaturan dalam pemanfaatan agar lebih efisien. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan memperhatikan prioritas pengembangan komoditas pertanian. Globalisasi dengan segala dampaknya, memaksa pelaku usaha tani bertindak lebih efisien dan berkelanjutan agar dapat bersaing dalam pasar lokal maupun internasional. Dengan demikian, masing-masing daerah harus mampu memilih jenis komoditas pertanian yang diunggulkan baik secara komparatif maupun kompetitif (Mubekti et al., 2006). Keunggulan komparatif karena produktivitasnya tinggi, potensinya masih terus dapat ditingkatkan agar mampu menyediakan bahan baku dalam kuota tertentu secara kontinyu. Hal tersebut akan mempunyai daya tarik bagi pengembangan industri hilirnya untuk menghasilkan produk olahan yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi. Keunggulan kompetitif karena diperkirakan komoditi tersebut mempunyai prospek baik potensi dan ekonomi untuk bersaing di pasar global (Mubekti et al., 2006). Komoditas basis memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif di suatu wilayah. Hal ini dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam, penguasaan masyarakat dalam teknologi industri komoditas, aksesibilitas wilayah yang baik, pemasaran yang baik, terdapatnya aglomerasi berbagai kegiatan ekonomi, tenaga kerja yang baik, dan kebijakan pemerintah yang mendukung terciptanya keunggulan-keunggulan suatu wilayah (Tarigan, 2003). Metode LQ (Location Quotient) dan SSA (Shift Share Analysis) merupakan dua metode yang paling sering dipakai sebagai indikasi komoditas basis (Rustiadi et al., 2009).
7 Untuk mengetahui potensi keunggulan komparatif komoditas yang merupakan indikasi komoditas basis dan bukan basis dapat digunakan metode location quotient (LQ). Metode LQ merupakan perbandingan relatif antara kemampuan komoditas yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Metode LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, dan terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor (Rustiadi et al., 2009). Metode LQ digunakan untuk mengindikasikan kemampuan suatu daerah dalam memproduksi suatu komoditas dibandingkan dengan produksi komoditas tersebut dalam lingkup wilayah yang lebih luas (Hendayana, 2003). Metode LQ mengasumsikan adanya sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografis, produktivitas tenaga kerja homogen, setiap industri menghasilkan barang yang sejenis didalam sektor yang bersangkutan. Kriteria LQ>1 menunjukkan peranan aktivitas ekonomi komoditas tersebut tersebut di suatu daerah menonjol dan surplus serta kemungkinan dapat mengekspor ke daerah lain karena komoditas tersebut lebih efisien/murah sehingga mempunyai keunggulan komparatif. Analisis LQ merupakan metode analisis yang umum digunakan dalam ekonomi geografi. Analisis ini digunakan untuk menunjukkan lokasi basis aktivitas, mengetahui kapasitas ekspor perekonomian wilayah dan tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah. Nilai LQ merupakan indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut secara total (Falatehan dan Novrilasari, 2009). Untuk melihat potensi keunggulan kompetitif komoditas dari suatu wilayah dapat digunakan komponen differential shift dalam analisis shift-share (Rustiadi et al., 2009). SSA digunakan untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan daerah agregat yang lebih luas dalam dua titik waktu. Differential shift adalah pergeseran yang diamati tergantung pada perbedaan antara laju pertumbuhan produksi suatu komoditas di wilayah bersangkutan dengan laju pertumbuhan produksi suatu komoditas di seluruh wilayah. Komponen differential shift menjelaskan bagaimana daya kompetisi aktivitas ekonomi komoditas dibandingkan dengan total aktivitas ekonomi komoditas dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan atau ketidakunggulan) suatu komoditas atau aktivitas tertentu di sub
8 wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di wilayah lain (Basuni dan Kurniawan, 2005). 2.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan Meningkatnya kebutuhan dalam penggunaan lahan untuk berbagai keperluan memerlukan pemikiran seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas. Penataan kembali penggunaan lahan diperlukan untuk mengatasinya melalui evaluasi sumberdaya lahan agar lahan dapat dimanfaatkan dengan efisien (Sitorus, 2004). Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat menimbulkan terjadinya kerusakan, meningkatkan masalah kemiskinan, dan masalah sosial lain. Salah satu mata rantai yang harus dilakukan agar rencana tataguna lahan dapat tersusun dengan baik yaitu evaluasi lahan. Lahan mempunyai pengertian yang berbeda dengan tanah. Lahan terdiri dari semua kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi penggunaannya, sedangkan tanah hanya merupakan satu aspek dari lahan (Dent dan Young, 1981). Menurut Desaunettes (1977), lahan sebagai areal khusus di permukaan bumi yang ciri-cirinya mencakup semua yang agak stabil atau siklusnya dapat diprediksi, sifat-sifat biosfer secara vertikal (atmosfer, geologi, tanaman, hewan dan aktivitas manusia) yang memberikan pengaruh nyata bagi penggunaan lahan. Karena itu, evaluasi lahan merupakan salah satu mata rantai yang harus dilakukan agar rencana tataguna lahan dapat tersusun dengan baik (Mubekti et al., 2006). Evaluasi sumberdaya lahan adalah proses menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan. Caranya dengan membandingkan persyaratan yang diperlukan suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya sehingga dapat memberikan perencana alternatif pilihan penggunaan. Proses pengembangan area dalam skala nasional dan provinsi secara relatif cepat dan murah dapat menggunakan evaluasi tingkat tinjau. Evaluasi ini dilakukan secara kualitatif dengan analisis ekonomi secara umum (Sitorus, 2004). Lahan dapat dianalisis dalam aspek kesesuaian, kemampuan dan nilai lahan (finansial). Kesesuaian pada lahan menyangkut tingkat kecocokan satu penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan. Kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat
9 fisik lingkungannya yang terdiri dari; iklim, tanah, topografi, hidrologi dan drainase sesuai untuk status usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al., 2003). Evaluasi kesesuaian lahan adalah evaluasi sumberdaya lahan untuk satu penggunaan tertentu. Melalui evaluasi ini dapat digambarkan tingkat kecocokan sebidang lahan berupa kelas-kelas kesesuaian lahan berdasarkan tipe penggunaan lahan. Evaluasi sumberdaya lahan sangat tepat dalam program perbaikan lahan (Sitorus, 2004). Kualitas lahan yang mempunyai pengaruh buruk bagi suatu tipe penggunaan lahan disebut dengan sifat-sifat pembatas (Sitorus, 2004). Kualitas lahan dipengaruhi oleh karakteristik lahan yang merupakan atribut dari lahan yang dapat diukur dan diduga secara langsung misalnya kemiringan lereng, tekstur tanah, kedalaman efektif, curah hujan dan sebagainya. Kualitas lahan sendiri adalah atribut kompleks dari lahan yang berperan nyata mempengaruhi kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu seperti ketersediaan air, ketersediaan hara, rejim temperatur, rejim radiasi, dan sebagainya (FAO, 1976). Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Pengelompokan ini biasanya dilakukan oleh ilmuwan tanah dengan menggunakan satuan peta lahan dari hasil survei tanah sebagai dasar untuk menentukan batas-batas penyebarannya. Satuan peta lahan adalah kelompok lahan yang mempunyai sifat-sifat sama atau hampir sama, dengan penyebarannya digambarkan dalam peta sebagai hasil dari survei sumberdaya alam (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Klasifikasi kesesuaian sekarang menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dalam keadaan sekarang tanpa ada perbaikan yang berarti. Klasifikasi lahan potensial menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dari satuan lahan dalam keadaan yang akan datang setelah diadakan perbaikan utama tertentu yang dibutuhkan (Sitorus, 2004). Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan membandingkan kualitas lahan masing-masing satuan peta lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang ditetapkan. Persyaratan penggunaan lahan adalah sekelompok kualitas lahan yang diperlukan oleh suatu tipe penggunaan lahan agar berproduksi dengan baik (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
10 2.2. Sistem Informasi Geografis Sistem merupakan kumpulan karakteristik yang terdiri dari masukan, luaran dan timbal balik. Sistem informasi adalah suatu sistem perangkat keras dan lunak yang dapat menjalankan operasi-operasi dimulai dari perencanaan, pengamatan, pengumpulan data, penyimpanan data dan analisis data hingga informasi dapat diturunkan ke dalam beberapa proses (Barus dan Wiradisastra, 2000). Data dan informasi geografi adalah informasi mengenai permukaan bumi yang menjelaskan suatu objek mengenai posisinya dihubungkan dengan sistem kordinat (proyeksi) ditambah dengan ilmu pengetahuan agar dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna. Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan informasiinformasi geografis (ESRI, 1990). Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis: (a) masukan, (b) keluaran, (c) manajemen data, (d) analisis dan manipulasi data (Aronoff, 1989). SIG merupakan wadah peta-peta dalam bentuk digital, suatu alat terkomputerisasi untuk memecahkan permasalahan geografi, suatu sistem pendukung keputusan spasial, inventarisasi fasilitas yang tersebar secara geografis, alat untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak tampak dalam informasi geografi, alat untuk melakukan operasi terhadap data geografi yang terlalu banyak atau mahal atau tidak akurat jika dilakukan dengan tangan (Longley et al., 2005). SIG memiliki fasilitas geoprocessing yang merupakan proses dasar dalam membuat serangkaian turunan data geografi dari berbagai data set yang ada dengan menggunakan operasi seperti overlay dan konversi data. Pada umumnya pengguna menggunakan fungsi SIG pada sekelompok data geografi (input) untuk menghasilkan keluaran data set yang tepat sesuai dengan aplikasi tertentu. Fungsi geoprocessing berkisar dari pemotongan spasial (spatial cliping) yang sederhana hingga operasi analitik yang lebih rumit (Galati, 2006). Salah satu perangkat lunak desktop SIG dan pemetaan adalah Arc-View yang telah dikembangkan oleh ESRI (Environmental Systems Research Institute, Inc). Dengan Arc-View, pengguna
11 dapat memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, mengexplore, menjawab query (pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap basis data, baik spasial maupun non-spasial), menganalisis data secara geografis, dan sebagainya (Prahasta, 2009). Hasil analisis SIG yang dilakukan memakai software Arc-View berupa peta kesesuaian lahan (Mulyono, 2009). SIG memiliki peranan penting dalam kajian sumberdaya lahan pada proses perencanaan penggunaan lahan yaitu digunakan dalam pemetaan, evaluasi sumberdaya lahan dan pemodelan (Lioubimtseva dan Defouney, 1999). Penyusunan peta pewilayahan komoditas, penyediaan data dan informasi potensi ketersediaan lahan untuk pengembangan dapat membantu pengambil kebijakan dalam menyusun perencanaan pertanian yang lebih baik dan terarah (Mubekti et al., 2006). 2.5 Penelitian Terdahulu Sari (2008) melakukan pemodelan multi-kriteria untuk pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan di Kabupaten Lampung Timur. Tujuannya untuk menentukan arahan prioritas yang sesuai untuk pengembangan sektor pertanian berbasis komoditas unggulan. Metode yang digunakan adalah pemodelan evaluasi multi-kriteria dengan cara mengevaluasi peran sub sektor pertanian tanaman pangan, mengidentifikasi komoditas unggulan pertanian tanaman pangan di setiap kecamatan, dan mengevaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian tanaman pangan unggulan. Sub sektor pertanian tanaman pangan merupakan sub sektor yang paling dominan memberikan kontribusi terhadap PDRB dari sektor pertanian (rata-rata 30.44% tahun 2002-2006, berdasarkan PDRB harga konstan 2000). Komoditas padi sawah, jagung dan ubi kayu adalah komoditas yang ditetapkan sebagai komoditas unggulan pertanian tanaman pangan. Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah menunjukkan sebagian besar berada pada kelas yang tidak sesuai (43.67%) dan sesuai marjinal (36.28 %). Kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jagung dan ubi kayu didominasi sesuai marjinal (92.24% dan 77.29%). Arahan pengembangan komoditas unggulan berdasarkan hasil MOLA (Multi-Objective Land Allocation) yaitu salah satu alat analisa yang bekerja berdasarkan tujuan, pembobotan relatif terhadap setiap tujuan, dan luasan wilayah yang akan dialokasikan untuk setiap
12 tujuan. Hasil MOLA dipadukan dengan kecamatan basis didapatkan luasan lahan untuk pengembangan padi sawah 52.713 hektar yang tersebar di 12 kecamatan sentra produksi, ubi kayu 54.134 hektar (di 7 kecamatan), dan jagung 62 074 hektar (di 8 kecamatan). Baehaqi (2010) melakukan analisis untuk menentukan prioritas dan arahan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Lampung Tengah. Tahap pertama adalah penentuan komoditas basis dengan metode LQ, trend luas panen, dan analisis penyediaan dan konsumsi pangan. Tahap kedua adalah penentuan ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk komoditas basis tanaman pangan. Tahap ketiga adalah penentuan prioritas komoditas unggulan tanaman pangan oleh para stakeholder dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis menunjukkan bahwa komoditas basis tanaman pangan yang terpilih adalah padi, ubi kayu, dan jagung. Lahan yang tersedia untuk pengembangan tanaman pangan di Kabupaten Lampung Tengah seluas 134.758 ha. Sebagian besar lahan yang tersedia ini termasuk dalam kategori sesuai (S) untuk komoditas padi, ubi kayu dan jagung, hanya sebagian kecil saja yang termasuk dalam ketegori tidak sesuai (N). Untuk komoditas padi, 298 ha termasuk kelas S1 (sangat sesuai), 17.377 ha kelas S2 (cukup sesuai), 116.426 ha kelas S3 (sesuai marjinal), dan 658 ha termasuk kelas N (tidak sesuai). Untuk komoditas jagung, 298 ha termasuk kelas S1, 31.928 ha kelas S2, 101.875 ha kelas S3, dan 658 ha tidak sesuai. Untuk komoditas ubi kayu, 418 ha termasuk kelas S1, 80.922 ha kelas S2, 50.171 ha kelas S3, dan 3.248 ha tidak sesuai. Berdasarkan AHP diperoleh bahwa masyarakat Kabupaten Lampung Tengah memilih komoditas padi sebagai komoditas unggulan prioritas pertama. Prioritas yang kedua adalah jagung dan ketiga adalah ubi kayu. Berdasarkan beberapa pertimbangan perencanaan yang digunakan, pengembangan komoditas padi dialokasikan seluas 54.218 ha, jagung seluas 41.271 ha, dan ubi kayu seluas 38.852 ha.