BAB II 2.1 MDG s Dan SDG s A. MDG s Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs, adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000. Dasar hukum dikeluarkannya deklarasi MDGs adalah resolusi majelis umum PBB Nomor 55/2 Tanggal 18 September 2000, (A/Ris/55/2 United Nations Millennium Development Goals). Deklarasinya sendiri berisi komitmen untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan, sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun 2015. Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York tersebut dan juga turut menandatangani Deklarasi Milenium. Pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu prioritas utama bangsa Indonesia. Delapan tujuan umum MDGs secara general mencakup pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesetaraan gender, kesehatan, kelestarian lingkungan dan permasalahan global. Adapun secara rinci target MDGs memuat 8 tujuan yang meliputi; 1. penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, 2. mencapai pendidikan dasar untuk semua, 3. kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, 4. mengurangi angka kematian bayi, 5. meningkatkan kesehatan ibu, 6. melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain,
7. memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan 8. kemitraan untuk pembangunan. B. SDG s 2.2 KIA (Kesehatan Anak Dan Ibu) 2.3 Peran Perawat Dalam Penurunan Angka Kematian A. Kematian Ibu B. Kematian Anak Kematian anak balita (anak usia di bawah 5 tahun) menjadi penting karena mencakup lebih dari 90 persen kematian global anak-anak di bawah usia 18 tahun. Kematian balita merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat anakanak hidup termasuk perawatan kesehatan mereka. Angka kematian balita sering digunakan untuk mengidentifikasi populasi yang mudah atau rentan (vulnerable) terserang penyakit, karena data insiden dan prevalen penyakit (data morbiditas) sering tidak tersedia dengan baik. Menurut SDKI, Angka Kematian Anak Balita (AKBA) pada tahun 1989 sebesar 97 per 1000 kelahiran hidup. AKBA kemudian terus menurun hingga mencapai 46 per 1000 kelahiran hidup (2002-2003. Rata-rata penurunan AKBA pada dekade 1990-an adalah sebesar 7 persen (3,2 balita) per tahun, lebih tinggi dari dekade sebelumnya sebesar 4 persen per tahun. Pada tahun 2000 Indonesia telah mencapai target yang ditetapkan dalam World Summit for Children (WSC) yaitu 65 per 1.000 kelahiran hidup. Untuk pencapaian kematian balita 32 per 1000 kelahiran hidup pada 2015, Indonesia memerlukan penurunan AKBA sebesar 1,75 per tahun. Dengan perkembangan seperti ini, diperkirakan target MDGs sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup akan dapat dicapai dengan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan balita agar tidak terjadi kejadian-kejadian luar biasa yang merenggut nyawa balita. Untuk dapat menekan AKBA tersebut perlu dilakukan intervensi kepada penyebab kematian
balita. Penyebab kematian balita antara lain adalah diare (19 persen), ISPA (37 persen), campak (7 persen), dan gizi buruk (54 persen) (SDKI, 2002). Kematian bayi adalah kematian pada anak usia di bawah satu tahun. Angka Kematian Bayi (AKB) sangat relevan untuk merepresentasikan komponen AKBA. AKB juga menggambarkan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan di mana bayi tinggal. Pada tahun 1989 AKB di Indonesia sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini kemudian menurun dengan tajam dan hingga mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). Pada tahun 2007 diproyeksikan AKB telah mencapai 29,4 per 1.000 kelahiran hidup (BPS, Bappenas dan UNFPA, 2005). Target AKB MDGs pada tahun 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan target RPJM sebesar 26 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2009. Dengan kecenderungan yang ada, diperkirakan target ini dapat tercapai. Diperkirakan sekitar 75 persen dari seluruh kematian anak terjadi pada bulan pertama kelahiran (neonatus). Menurut SDKI, penurunan kematian neonatus relatif lebih lambat dibandingkan dengan kematian bayi dan kematian anak balita. Pada SDKI 1989, kematian neonatus mencapai 29 per 1.000 kelahiran hidup dan menurun menjadi 20 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). Oleh karena itu, penanganan bayi baru lahir yang memadai sangat penting dalam menurunkan angka kematian anak. Penyebab utama kematian neonates adalah tetanus (10 persen), berat badan lahir rendah (BBLR) sebesar 28 persen, asfiksia 27 persen, dan infeksi 15 persen (SKRT, 2001). Upaya penting untuk menurunkan kematian neonatus antara lain adalah meningkatkan persalinan kepada petugas kesehatan terlatih dan pelayanan yang mampu menangani penyebab kematian neonatus. Angka kematian balita, bayi dan neonatus saling mempengaruhi yang dikenal dengan fenomena duapertiga yaitu: 1. Kematian bayi baru lahir atau neonatal (0 28 hari) merupakan duapertiga dari kematian bayi. 2. Kematian perinatal (0 7 hari) merupakan dua pertiga dari kematian bayi baru lahir. 3. Kematian bayi (0 1 hari) merupakan duapertiga dari kematian perinatal
2.4 Trend Dan Issu Malbutrusi Trend Dan Penyakit a. hamil b. bayi c. pos opeasi d. reproduksi Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) 1. Pengertian Program KIA Upaya Kesehatan ibu dan anak adalah upaya dibidang kesehatan yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu meneteki, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. 2. Tujuan Program KIA Tujuan Program Kesehatan Ibu dan anak (KIA) adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui peningkatan derajat kesehatan yang optimal, bagi ibu dan keluarganya untuk menuju Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk menjamin proses tumbuh kembang optimal yang merupakan landasan bagi peningkatan kualitas manusia seutuhnya.
Sedangkan tujuan khusus program KIA adalah : Ø Meningkatnya kemampuan ibu (pengetahuan, sikap dan perilaku), dalam mengatasi kesehatan diri dan keluarganya dengan menggunakan teknologi tepat guna dalam upaya pembinaan kesehatan keluarga,paguyuban 10 keluarga, Posyandu dan sebagainya. Ø Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah secara Karang mandiri di dalam lingkungan keluarga, paguyuban 10 keluarga, Posyandu, dan Balita serta di sekolah Taman Kanak-Kanak atau TK. Ø Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan ibu meneteki. Ø Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, nifas, ibu meneteki, bayi dan anak balita. Ø Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat, keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak prasekolah, terutama melalui peningkatan peran ibu dan keluarganya.
3. Prinsip Pengelolaan Program KIA Prinsip pengelolaan Program KIA adalah memantapkan dan peningkatan jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Pelayanan KIA diutamakan pada kegiatan pokok : Peningkatan pelayanan antenatal di semua fasilitas pelayanan dengan mutu yang baik serta jangkauan yang setinggi-tingginya. Peningkatan pertolongan persalinan yang lebih ditujukan kepada peningkatan pertolongan oleh tenaga professional secara berangsur. Peningkatan deteksi dini resiko tinggi ibu hamil, baik oleh tenaga kesehatan maupun di masyarakat oleh kader dan dukun bayi serta penanganan dan pengamatannya secara terus menerus. Peningkatan pelayanan neonatal (bayi berumur kurang dari 1bulan) dengan mutu yang baik dan jangkauan yang setinggi tingginya. 4. Pelayanan dan jenis Indikator KIA a. Pelayanan antenatal : Adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal.
Standar minimal 5 T untuk pelayanan antenatal terdiri dari : 1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan 2. Ukur Tekanan darah 3. Pemberian Imunisasi TT lengkap 4. Ukur Tinggi fundus uteri 5. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan. Frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan dengan ketentuan waktu minimal 1 kali pada triwulan pertama, minimal 1 kali pada triwulan kedua, dan minimal 2 kali pada triwulan ketiga. b. Pertolongan Persalinan Jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan kepada masyarakat : 1. Tenaga profesional : dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu bidan dan perawat. 2. Dukun bayi : yang Terlatih : ialah dukun bayi yang telah mendapatkan latihan tenaga kesehatan dinyatakan lulus. Tidak terlatih : ialah dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan atau dukun bayi yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus.
c. Deteksi dini ibu hamil berisiko : Faktor risiko pada ibu hamil diantaranya adalah : 1. Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. 2. Anak lebih dari 4 3. Jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang kurang 2 tahun atau lebih dari 10 tahun 4. Tinggi badan kurang dari 145 cm 5. Berat badan kurang dari 38 kg atau lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm 6. Riwayat keluarga mendeita kencing manis, hipertensi dan riwayat cacat kengenital. 7. Kelainan bentuk tubuh, misalnya kelainan tulang belakang atau panggul. Risiko tinggi kehamilan merupakan keadaan penyimpangan dan normal yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Risiko tinggi pada kehamilan meliputi : 1. Hb kurang dari 8 gram % 2. Tekanan darah tinggi yaitu sistole lebih dari 140 mmhg dan diastole lebih dari 90 mmhg 3. Oedema yang nyata 4. Eklampsia 5. Perdarahan pervaginam 6. Ketuban pecah dini 7. Letak lintang pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu. 8. Letak sungsang pada primigravida 9. Infeksi berat atau sepsis
10. Persalinan prematur 11. Kehamilan ganda 12. Janin yang besar 13. Penyakit kronis pada ibu antara lain Jantung,paru, ginjal. 14.Riwayat obstetri buruk, riwayat bedah sesar dan komplikasi kehamilan. Risiko tinggi pada neonatal meliputi : 1. BBLR atau berat lahir kurang dari 2500 gram 2. Bayi dengan tetanus neonatorum 3. Bayi baru lahir dengan asfiksia 4. Bayi dengan ikterus neonatorum yaitu ikterus lebih dari 10 hari setelah lahir 5. Bayi baru lahir dengan sepsis 6. Bayi lahir dengan berat lebih dari 4000 gram 7. Bayi preterm dan post term 8. Bayi lahir dengan cacat bawaan sedang 9. Bayi lahir dengan persalinan dengan tindakan. d. Indikator pelayanan kesehatan ibu dan bayi Terdapat 6 indikator kinerja penilaian standar pelayanan minimal atau SPM untuk pelayanan kesehatan ibu dan bayi yang wajib dilaksanakan yaitu : 1.Cakupan Kunjungan ibu hamil K4
a. Pengertian : Kunjungan ibu hamil K4 adalah ibu hamil yang kontak dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan ANC sesuai dengan standar 5T dengan frekuenasi kunjungan minimal 4 kali selama hamil, dengan syarat trimester 1 minimal 1 kali, trimester II minimal 1 kali dan trimester III minimal 2 kali. Standar 5 T yang dimaksud adalah : 1) Pemeriksaaan atau pengukuran tinggi dan berat badan 2) Pemeriksaaan atau pengukuran tekanan darah 3) Pemeriksaan atau pengukuran tinggi fundus 4) Pemberian imunisasi TT 5) Pemberian tablet besi b. Definisi operasional Perbandingan antara jumlah ibu hamil yang telah memperoleh ANC sesuai standar K4 disatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu dengan penduduk sasaran ibu hamil c. Cara perhitungan Pembilang : Jumlah ibu hamil yang telah memperoelh pelayanan ANC sesuai standar K 4 disatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Penyebut : Penduduk sasaran ibu hamil Konstanta : 100
Rumus : Kunjungan = Jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan ANC sesuai standar K4 Ibu hamil K4 100 % Perkiraan penduduk sasaran ibu hamil x d Sumber data : 1) Jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan ANC sesuai standar K4 diperoleh dari catatan register kohort ibu dan laporan PWS KIA. 2) Perkiraan penduduk sasaran ibu hamil diperoleh dari Badan Pusat Statistik atau BPS kabupaten atau propinsi jawa timur. e. Kegunaan 1) Mengukur mutu pelayanan ibu hamil 2) Mengukur tingkat keberhasilan perlindungan ibu hamil melalui pelayanan standar dan paripurna. Jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan ANC sesuai standar K4 Perkiraan penduduk 3) Mengukur kinerja petugas kesehatan dalam penyelenggaraan pelayanan ibu hamil ENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Angka kematian bayi di Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dari 68 pada tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, sehingga target sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 diperkirakan dapat tercapai. Demikian pula dengan target kematian anak diperkirakan akan dapat tercapai. Namun demikian, masih terjadi disparitas regional pencapaian target, yang mencerminkan adanya perbedaan akses atas pelayanan kesehatan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil. Prioritas
ke depan adalah memperkuat sistem kesehatan dan meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin dan daerah terpencil. MDG 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di Indonesia, angka kematian ibu melahirkan (MMR/Maternal Mortality Ratio) menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian. Upaya menurunkan angka kematian ibu didukung pula dengan meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi dan menurunkan unmet need yang dilakukan melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Ke depan, upaya peningkatan kesehatan ibu diprioritaskan pada perluasan pelayanan kesehatan berkualitas, pelayanan obstetrik yang komprehensif, peningkatan pelayanan keluarga berencana dan penyebarluasan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat. MDG 6: MEMERANGI HIV/AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Tingkat prevalensi HIV/AIDS cenderung meningkat di Indonesia, terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu pengguna narkoba suntik dan pekerja seks. Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia meningkat dua kali lipat antara tahun 2004 dan 2005. Angka kejadian malaria per 1.000 penduduk menurun dari 4,68 pada tahun 1990 menjadi 1,85 pada tahun 2009. Sementara itu, pengendalian penyakit Tuberkulosis yang meliputi penemuan kasus dan pengobatan telah mencapai target. Pendekatan untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini terutama diarahkan pada upaya pencegahan dan pengarusutamaan ke dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Selain itu, pengendalian penyakit harus melibatkan semua pemangku kepentingan dan memperkuat kegiatan promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. MDG 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia cukup tinggi, walaupun upaya peningkatan luas hutan, pemberantasan pembalakan hutan, dan komitmen untuk melaksanakan kerangka kebijakan penurunan emisi karbon dioksida dalam 20 tahun ke depan telah dilakukan. Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi 47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi layak meningkat dari 24,81 persen (1993) menjadi 51,19 persen (2009). Upaya untuk mengakselerasi pencapaian target air minum dan sanitasi yang layak terus dilakukan melalui investasi penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk melayani jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat. Untuk daerah perdesaan, penyediaan air minum dan sanitasi dilakukan melalui
upaya pemberdayaan masyarakat agar memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya untuk memperjelas peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan sistem air minum dan sanitasi yang layak. Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan menurun dari 20,75 persen pada tahun 1993 menjadi 12,12 persen pada tahun 2009. Upaya untuk penurunan proporsi rumah tangga kumuh dilakukan melalui penanganan pemukiman kumuh. MDG 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Indonesia merupakan partisipan aktif dalam berbagai forum internasional dan mempunyai komitmen untuk terus mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dengan berbagai organisasi multilateral, mitra bilateral dan sektor swasta untuk mencapai pola pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan (pro-poor). Indonesia telah mendapat manfaat dari mitra pembangunan internasional. Untuk meningkatkan efektifitas kerjasama dan pengelolaan bantuan pembangunan di Indonesia, Jakarta Commitment telah ditandatangani bersama 26 mitra pembangunan pada tahun 2009. Bersamaan dengan ini, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan pinjaman luar negeri pemerintah terhadap PDB. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya rasio pinjaman luar negeri pemerintah terhadap PDB dari 24,6 persen pada tahun 1996 menjadi 10,9 persen pada tahun 2009. Sementara itu, Debt Service Ratio Indonesia juga telah menurun dari 51 persen pada tahun 1996 menjadi 22 persen pada tahun 2009. Untuk meningkatkan akses komunikasi dan informasi, sektor swasta telah membuat investasi besar dalam teknologi informasi dan komunikasi, dan akses pada telepon selular, jaringan PSTN, dan komunikasi internet telah meningkat sangat pesat selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2009, sekitar 82,41 persen dari penduduk Indonesia mempunyai akses pada telepon seluler.