BAB II. Berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk perjanjian secara umum dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu perjanjian adalah suatu

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

TINJAUAN YURIDIS PENGAKHIRAN SEWA MENYEWA RUMAH YANG DIBUAT SECARA LISAN DI KELURAHAN SUNGAI BELIUNG KECAMATAN PONTIANAK BARAT

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. KUHPerdata sehingga disebut perjanjian tidak bernama. Dalam Buku III

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan perjanjian, yaitu: Suatu perjanjian adalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOMPENSASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PERJANJIAN SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI. A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu perjanjian adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA. Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

BAB 2 PENGERTIAN PERJANJIAN

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

BAB II KEKUATAN MENGIKAT SURAT KUASA DALAM JUAL BELI DI BIDANG PERTANAHAN

BAB II PELAKSANAAN KONTRAK SEWA MENYEWA RUMAH BERJANGKA PENDEK BAGI PEKERJA KONTRAK DI KOTA BATAM

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II RUANG LINGKUP TENTANG PERJANJIAN. yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan pinjam-meminjam

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. berwujud perjanjian secara tertulis (kontrak). berjanji untuk melakukan suatu hal. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian.

ABSTRAK. Kata kunci: Perjanjian sewa-menyewa, akibat hukum, upaya hukum.

Transkripsi:

BAB II BENTUK PERJANJIAN SEWA MENYEWA MOBIL PADA CV. SHANDI MOCHA JAYA DAN BEBERAPA PERUSAHAAN RENTAL MOBIL DI KOTA MEDAN SEBAGAI PERBANDINGAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk perjanjian secara umum dan penerapan perjanjian tersebut pada CV. Shandi Mocha Jaya, sebagai salah satu perusahaan penyedia jasa khususnya pengangkutan (rental mobil). Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa kegiatan penyedian jasa pengangkutan (rental mobil) ini ialah salah satu kegiatan perekonomian yang tujuannya untuk mencapai kesejahteraan. Oleh sebab itu penerapan suatu perjanjian sewa-menyewa ini sangatlah krusial sifatnya, artinya pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa tersebut harus dibarengi atau dijalankan dengan melihat dasar hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karenanya dalam bab ini akan di kupas (di uraikan) mengenai bentuk-bentuk perjanjian sewa-menyewa tersebut. A. Pengertian Umum Hukum Perjanjian Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berjudul Tentang Perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, sumber perikatan yang lain adalah Undang-undang. 46 46 Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet.8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Pasal 1337.

Pengertian perjanjian dapat dilihat pada Pasal 1313 KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal ini, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian sewa-menyewa mobil ini termasuk perjanjian bernama (benoemd verbintennis) yang diatur dalam Buku III Bab VII mengenai sewa-menyewa. Maka dengan demikian, perjanjian (verbintenis) adalah hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh kerana itu perjanjian yang mengandung hukum antara perorangan adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orangtuanya seperti yang diatur dalarn hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum (rechtshandeling). Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh

hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban/pdicht menyerahkan/menunaikan prestasi. 47 Prestasi ini adalah Objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum; sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur. 48 Sekalipun yang menjadi objek atau voorwerp (voorwerp der verbintenis) itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde persoon). 49 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mensyaratkan beberapa hal dalam kaitannya dengan pembuatan perjanjian, diantaranya adalah mengenai syarat sahnya perjanjian dan terpenuhinya beberapa asas hukum perjanjian. Untuk itu dapat diklasifikasikan pula beberapa hal yang terkait dengan pembuatan perjanjian khusnya dalam hal sewa-menyewa, yakni : 1. Sifat dan Asas Hukum Perjanjian Untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian sewa-menyewa yang dibuat menjadi perikatan 47 Kartini Mulyadi & Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.21. 48 Ibid, hal. 25. 49 Ibid.

yang mengikat bagi para pihak, oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asasasas perjanjian, perlu dijelaskan pengertian asas. Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin principium, bahasa Inggris principle dan bahasa Belanda beginsel, yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir/ berpendapat. 50 Kata principle atau asas adalah suatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat menyadarkan, utk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. Pengertian asas dalam bidang hukum yang memuaskan dikemukakan oleh para ahli antara lain A Principle is the broad reason which lise at the base of a rule of law. Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas tersebut yakni pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak (the board reason); kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum (the best the rule of law), oleh karena itu asas hukum tidak sama dengan norma hukum, walaupun adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan asas hukum. Karakter asas hukum yang umum, abstrak itu membuat cita-cita, harapan (das sollen), dan bukan peraturan yang akan diperlakukan 50 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni, Bandung, 2004, hal. 157

secara langsung kepada subjek hukum. Asas hukum bukanlah suatu perintah hukum yang kongkrit dan tidak pula memiliki sanksi yang tegas, hal-hal tersebut hanya ada dalam norma hukum yang kongkrit seperti peraturan yang sudah dituangkan dalam wujud pasal-pasal perundang-undangan, dalam peraturan-peraturan dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang merupakan cita-cita dari pembentuknya. Asas hukum diperoleh dari proses analitis (konstruksi yuridis) yaitu dengan menyaring (abstraksi) sifat-sifat khusus yang melekat pada aturan yang kongkrit, untuk memperoleh sifat-sifatnya yang abstrak. 51 Berikut ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 52 a. Asas Kebebasan Berkontrak Buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perjanjian menganut sistem terbuka. Hal ini berarti, hukum perjanjian memberi kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang ingin membuat perjanjian selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan baik. 53 Menurut Subekti, pasal-pasal dalam hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap atau optional law yang berarti pasal-pasal tersebut boleh dikecualikan oleh para pihak dalam pembuatan perjanjian, para pihak diperbolehkan membuat ketentuan yang menyimpang manakala dibutuhkan 51 Ibid, hal 158 52 Kartini Mulyadi & Gunawan Wijaya Op Cit, hal. 14 53 Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Op Cit

selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Jika para pihak tidak mengatur sendiri dalam pasalpasal perjanjiannya, maka mengenai hal tersebut, para pihak akan tunduk pada pengaturan yang diberikan oleh Undang-Undang. 54 Sistem terbuka dan azas kebebasan berkontrak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersirat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang menyatakan: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Subekti, kata semua dalam pasal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat diperbolehkan untuk membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti sebuah undang-undang. b. Asas Konsensualitas Konsensualitas berasal dari kata consensus yang artinya sepakat. 55 Asas konsensualitas berarti suatu perjanjian sudah dilahirkan sejak detik lahirnya suatu kesepakatan diantara para pihak, tidak diperlukan adanya suatu formalitas lainnya lagi seperti bahwa suatu perjanjian harus dibuat tertulis. Hal ini tersirat dari ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan untuk membuat perjanjian sah secara hukum, tidak diwajibkan adanya formalitas lain 54 Subekti, Op Cit, hal. 13 55 Ibid, hal 15

disamping tercapainya kesepakatan tersebut. Dengan kata lain, suatu perjanjian sudah dikatakan sah dan mengikat apabila sudah tercapai kesepakatan tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian yang dimaksud. Beberapa undang-undang memang mensyaratkan untuk sahnya sebuah perjanjian diharuskan diadakan secara tertulis atau dengan akta notaris. Salah satu perjanjian yang harus dicantumkan dalam suatu akta tertulis yang dibuat dihadapan notaris adalah perjanjian pemberian kredit dari bank kepada nasabahnya atau debiturnya sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa kredit diberikan atas persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain. 56 Hal ini adalah pengecualian, karena pada dasarnya suatu perjanjian sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan. 57 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan di dalam definisi kredit yang diberikan oleh Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Perbankan mempunyai beberapa maksud, yaitu: 58 1) Pembentuk Undang-undang hendak menjelaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual anatara bank dengan nasabah debitur 56 H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi (The Bankers Hand Book), Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 181 57 Subekti, Op Cit. hal. 15 58 Sutan Remy Sjahdeini, dalam H.R. Daeng Naja., Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, IBI, Jakarta, 1993, Cetakan Pertama. hal 181

yang dengan demikian tunduk pada ketentuan mengenai pinjammeminjam dalam buku III KUHPerdata tentang Perjanjian. 2) Jika hanya dihubungkan dengan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 angka (12) Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang telah dirubah dalam Pasal 1 angka (11) Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 mengenai kewajiban untuk membuat sebuah perjanjian kredit dalam bentuk tertulis maka akan cukup sulit menafsirkannya sebagai suatu keharusan. Untuk itu, kemudian kita juga dapat merujuk pada ketentuan lainnya, yaitu Instruksi Presidium Kebinet Nomer 15/EK/IN/10/1966 tertanggal 3 Oktober 1966 Jo, Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. tertanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomer 2/649/UPK/Pemb. tertanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 10/EK/IN/2/1967 tertanggal 6 Februari 1967, yang menentukan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan atau membuat perjanjian kredit secara tertulis. c. Asas Kepribadian Asas kepribadian berhubungan dengan personalia dalam suatu perjanjian atau para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian. Pada umumnya, dalam suatu perjanjian, ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memberi prestasi (kreditur) dan pihak yang menerima prestasi (debitur). Hal demikian tersirat dari ketentuan dalam Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang

menentukan bahwa pada umumnya tiada seorang pun dapat dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Namun, atas keberlakuan asas kepribadian dalam perjanjian ini berlaku suatu pengecualian yang oleh Subekti disebut sebagai janji untuk pihak ketiga. Pengecualian ini membolehkan seseorang membuat suatu perjanjian yang di dalam perjanjian tersebut ia memperjanjikan hak-hak bagi orang lain. Sebagai ilustrasi, dapat dicontohkan sebagai berikut : A mengadakan perjanjian dengan B, dalam perjanjian yang dibuatnya itu, A memasukkan klausula atau Pasal yang isinya adalah memperjanjikan hak-hak bagi C tanpa adanya kuasa dari C. Dalam perjanjian yang seperti ini, A disebut sebagai stipulator (orang yang menetapkan syarat atau ketentuan tambahan dalam kontrak/perjanjian) dan B dinamakan Promissor (orang yang berkesanggupan menerima ketentuan tambahan dalam kontrak/perjanjian tersbut). d. Asas Kepercayaan Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya dibelakang hari. e. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang

diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsure lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan moral. f. Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak pada persamaam derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan,kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan g. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan hukum. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. h. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian itu terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang.

i. Asas Moral Asas ini terlihat dari perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra-prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, juga asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya. j. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. 2. Jenis-Jenis Perjanjian Telah ditemui pada uraian sebelumnya bahwa perjanjian sewa-menyewa ini termasuk pada jenis perjanjian bernama. Akan tetapi perlulah diketahui perbedaan diantara jenis-jenis perjanjian tersebut, dikarenakan hukum perjanjian itu merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya. Perbedaan tersebut dapat di kelompokkan sebagai berikut : a) Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya: jual beli, sewa-menyewa. Dari contoh ini, penulis menguraikan tentang apa itu jual beli. b) Jual-beli itu adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dimana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga, yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Dari sebutan jual-beli ini tercermin kepada kita memperlihatkan dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan di pihak lain dinamakan pembeli. Dua perkataan bertimbal balik itu, adalah sesuai dengan istilah Belanda Koop en verkoop yang mengandung pengertian bahwa, pihak yang satu Verkoop (menjual), sedangkan koop adalah membeli. 59 c) Perjanjian sepihak merupakan kebalikan dari pada perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Contohnya: Perjanjian hibah. Pasal 1666 KUH Perdata memberikan suatu pengertian bahwa penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan 59 Subekti, I,Op.Cit, h. 14.

cuma-cuma, dan dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan suatu barang, guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Perjanjian ini juga selalu disebut dengan perjanjian cuma-cuma. d) Perjanjian cuma-cuma atau percuma adalah perjanjian yang hanya memberi keuntungan pada satu pihak, misalnya: Perjanjian pinjam pakai. Pasal 1740 KUH Perdata menyebutkan bahwa: Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya, untuk dipakai dengan cuma-cuma dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya waktu tertentu, akan mengembalikannya kembali. e) Sedangkan perjanjian atas beban atau alas hak yang membebani, adalah suatu perjanjian dalam mana terhadap prestasi ini dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, dan antara kedua prestasi ini ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerah lepaskan suatu barang tertentu kepada A. f) Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya bahwa perjanjian itu memang ada diatur dan diberi nama oleh undang-undang. Misalnya jual-beli, sewa-menyewa, perjanjian pertanggungan, pinjam pakai dan lain-lain. Sedangkan perjanjian bernama

adalah merupakan suatu perjanjian yang munculnya berdasarkan praktek sehari-hari. Contohnya: Perjanjian sewa-beli. Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas banyaknya. Lahirnya perjanjian ini dalam praktek adalah berdasarkan adanya suatu asas kebebasan berkontrak, untuk mengadakan suatu perjanjian atau yang lebih dikenal Party Otonomie, yang berlaku di dalam hukum perikatan. Contohnya: A ingin membeli barang B, tetapi A tidak mempunyai uang sekaligus, dalam hal ini B si empunya barang mengizinkan A untuk mempergunakan barang tersebut sebagai penyewa, dan apabila dikemudian hari A mempunyai uang, A diberi kesempatan oleh B (si empunya barang) untuk membeli lebih dahulu barang tersebut. Perjanjian sewa beli itu adalah merupakan ciptaan yang terjadi dalam praktek. Hal di atas tersebut, memang diizinkan oleh undang-undang sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Bentuk perjanjian sewa beli ini adalah suatu bentuk perjanjian jualbeli akan tetapi di lain pihak ia juga hampir berbentuk suatu perjanjian sewamenyewa. Meskipun ia merupakan campuran atau gabungan daripada perjanjian jual beli dengan suatu perjanjian sewa menyewa, tetapi ia lebih condong dikemukakan semacam sewa menyewa.

g) Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Untuk berpindahnya hak milik atas sesuatu yang diperjual belikan masih dibutuhkan suatu lembaga, yaitu lembaga penyerahan. Pentingnya perbedaan antara perjanjian kebendaan dengan perjanjian obligatoir adalah untuk mengetahui sejauh mana dalam suatu perjanjian itu telah adanya suatu penyerahan sebagai realisasi perjanjian, dan apakah perjanjian itu sah menurut hukum atau tidak. Objek dari perjanjian obligatoir adalah Dapat benda bergerak dan dapat pula benda tidak bergerak, karena perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Maksudnya bahwa sejak adanya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban mengadakan sesuatu. h) Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping adanya perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak perjanjian penitipan, pinjam

pakai. Salah satu contoh uraian diatas yaitu: Perjanjian penitipan barang, yang tercantum dalam Pasal 1694 KUH Perdata, yang memberikan seseorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya 60 Dari uraian diatas tergambar bahwa perjanjian penitipan merupakan sauatu perjanjian real, jadi bukan suatu perjanjian yang baru tercipta dengan adanya suatu penyerahan yang nyata yaitu memberikan barang yang dititipkan. 3. Lahirnya Suatu Perjanjian Sesuai dengan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, perjanjian timbul karena: a. Perjanjian yang lahir dari persetujuan Persetujuan atau Overeenkomst bisa juga disebut contract. Yang berarti suatu tindakan/perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seseorang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Tindakan/perbuatan (handeling) yang menciptakan persetujuan, berisi pernyataan kehendak (wils verklaring) antara para pihak. Dengan demikian persetujuan tiada lain dari pada persesuaian kehendak antara para pihak. Namun perlu diingatkan, sekalipun Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan, bahwa kontrak atau persetujuan adalah tindakan atau perbuatan (handeling), tapi tindakan yang dimaksud dalam hal ini adalah tindakan atau perbuatan hukum (rechtshandeling). 60 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, h. 155.

Dalam perkembangan hukum perjanjian pengertian perjanjian dirumuskan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang didasarkan kepada kata sepakat dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Sebab tidak semua tindakan/perbuatan mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg). Hanya tindakan hukum sajalah yang dapat menimbulkan akibat hukum. Persesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan/surat dan lain-lain. Pihak yang satu menawarkan atau memajukan usul (proposal), serta pihak yang lain menerima atau menyetujui usul tersebut. Jadi dalam persetujuan terjadi acceptance/penerimaan atau persetujuan usul. Dengan adanya penawaran/usul serta persetujuan pihak lain atas usul lahirlah persetujuan atau kontrak yang mengakibatkan ikatan hukum bagi para pihak. Umumnya ikatan hukum yang diakibatkan persetujuan adalah saling memberatkan atau pembebanan kepada para pihak kreditur dan debitur. Seperti yang kita jumpai dalam persetujuan jual beli, sewa menyewa, pengangkutan dan lain-lain. 61 b. Perjanjian yang lahir dari Undang-Undang Mengenai perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam Pasal 1352 KUHPerdata: 1) Semata-mata dari Undang-Undang 2) Dari Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia. 61 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit: PT. Alumni, Cet.2, Bandung, 1986, hal. 23

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata dapat dibedakan persetujuan yang timbul akibat dari perbuatan manusia: a) Yang sesuai dengan hukum atau perbuatan yang rechtmatig. b) Karena perbuatan dursila atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan yang rechtmatige atau dengan hukum, yang mengakibatkan timbulnya perikatan, nampaknya seolah-olah merupakan quasi-contract. 62 Suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Persesuaian kehendak adalah apa yag dikehendaki oleh pihak kesatu dikehendaki juga oleh pihak lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik, sehingga kehendak tersebut bertemu satu sama lain. Dalam suatu masyarakat yang kecil dan sederhana, persesuaian kehendak tersebut amat mudah ditentukan kapan dan dimana terjadi, karena boleh dikatakan komunikasi antara personal selalu terjadi langsung secara pribadi seseorang dengan seseorang yang lain. Akan tetapi pada masa sekarang ini, dengan kemajuan jaman serta kemajuan teknologi, dimana komunikasi tersebut dapat diselenggarakan dengan berbagai cara, dengan peralatan-peralatan modern, seperti: surat menyurat, telegram, telepon, fax dan sebagainya. Maka dalam hal ini timbullah masalah kapan dan dimana terjadinya persesuaian kehendak tersebut. 62 Ibid, hal. 28

Persesuaian kehendak sering terjadi, lebih-lebih pada jaman modern ini, apa yang dikehendaki oleh seseorang tidak sama dengan apa yang dinyatakannya, berhubung dengan terjadinya kekeliruan yang disebabkan oleh karena pemakaian alat-alat komunikasi. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan masalah manakah dari kedua hal tersebut apa yang dikehendaki dan apa yang dinyatakan, apa yang harus dipakai sebagai dasar atau ukuran dari terjadinya persesuain kehendak atau lahirnya perikatan. 4. Syarat Sahnya Perjanjian Sewa-Menyewa Dalam hal ini KUH Perdata tidak memisahkan syarat sahnya perjanjian secara terpisah-pisah menurut jenis perjanjian itu, maka dapat dipersamakan bahwa syarat suatu sahnya perjanjian tersebut dilihat pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa syarat-syarat sah perjanjian adalah. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: a) Sepakat mereka yang mengikatkan diri; b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c) Suatu hal tertentu; d) Suatu sebab yang halal. a) Kesepakatan Dengan sepakat atau juga yang dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian sewa-menyewa itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dan perjanjian yang diadakan. Apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, masingmasing pihak menghendaki sesuatu yang sarana timbal balik. b) Kecakapan Pada dasarnya dalam Undang-Undang beranggapan bahwa setiap orang cakap untuk berbuat dalam hukum atau dalam hal ini membuat perjanjian sewa-menyewa apabila ia telah dewasa (Pasal 330 KUH Perdata), kecuali sampai dinyatakan oleh Undang-Undang tidak cakap. Persoalan cakap atau tidaknya seseorang berbuat hukum diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu: 1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang dibawah pengampuan; 3) Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian. c) Suatu hal tertentu Suatu perjanjian sewa-menyewa tersebut harus mengenai hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang ditentukan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. 63 63 Subekti, hal. 19.

d) Suatu sebab yang halal Syarat keempat suatu perjanjian sewa-menyewa dimaksud haruslah halal atau sah karena adanya sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa latin causa) dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. 64 Terpenuhinya syarat sahnya perjanjian sewa-menyewa tersebut atau sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata, maka perjanjian sewa-menyewa tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat kedua belah pihak. Sejak tercapainya kesepakatan kedua belah pihak untuk saling mengikatkan diri maka sejak itulah lahir apa yang dinamakan perikatan dan dengan sendirinya kemudian timbul apa yang dinamakan hak dan kewajiban masingmasing pihak. 5. Pengertian dan Unsur-unsur Sewa Menyewa Sewa menyewa adalah merupakan suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya, untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak terakhir ini disanggupi pembayarannya (pasal 1548 KUH Perdata). 65 Menurut M. yahya Harahap: Pemakaian istilah sewa-menyewa dalam pasal 1548 itu memberikan pengertian yang kabur, yang dapat menimbulkan salah pengertian kepada kita seolah-olah para pihak tersebut saling sewa-menyewa. 66 64 Ibid. 65 R. Subekti, II, Op.Cit, h. 54. 66 M. Yahya Harahap, Op.Cit, h. 220.

Sebenarnya itu adalah hanya ada satu pihak yang menyewakan, jadi maksud dari Pasal 1548 KUH perdata itu adalah persewaan saja. Dalam sewa-menyewa, si pemilik (yang menyewakan) tidak perlu menyerahkan hak milik atas barang, ia hanya menyerahkan hak pakai atau hak untuk menikmati barang tersebut. Dengan perkataan lain, karena dalam perjanjian ini yang diserahkan bukan hak milik atas barang tersebut, maka pihak yang menyewakan itu belum tentu pemilik barang. Mengenai pengertian barang/benda (zaak) yang terdapat dalam perjanjian sewa-menyewa tidak sama pengertiannya dengan barang benda pada Hukum Kebendaan (Zaken Recht). Pengertian benda menurut Pasal 499 KUH perdata adalah segala barang dan dapat dijadikan hak milik. Sedangkan benda/barang yang dimaksudkan dalam perjanjian sewa-menyewa bukanlah untuk dimiliki. Atas dasar inilah memungkinkan terjadinya perjanjian sewa-menyewa hanya untuk sebagian saja dari suatu benda. Jadi ada benda dalam bidang Zaken Recht dan benda dalam lapangan verbintenis recht. Benda dalam lapangan Hukum benda terhadapnya dapat dilakukan penyerahan dan pada umumnya dapat menjadi objek hak milik. Tetapi apabila sesuatu bukanlah benda dalam arti demikian, maka itu tidak berarti bahwa tidak dapat menjadi objek dari pada hukum perutangan. Apakah kamar (ruangan) dari suatu bangunan yang bertingkat itu merupakan suatu benda tersendiri. Jika itu dianggap sebagai bagian dari bangunan dan dikatakan bukan benda tersendiri, maka berarti bahwa terhadap bagian ruangan tersebut tidak dapat

dilakukan penyerahan, bagian-bagian itu tidak dapat dijadikan objek dari hak milik. Yang dapat hanya bangunan itu secara keseluruhan. Bagian dari bangunan itu bukan benda dalam lapangan zaken recht. Akan tetapi bagian tersebut dapat disewakan, dengan kata lain dapat dijadikan objek verbintenis. Bagian dari bangunan itu (ruangan) adalah juga benda, tetapi dalam lapangan verbintenis. Jadi persewaan dari sebagian benda/barang dapat diartikan sebagai suatu benda. Dari uraian pasal 1548 KUH Perdata disebutkan jangka waktu tertentu, jadi hanyalah dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak si penyewa tersebut dapat menikmati barang/benda tersebut. Mengenai harga sewa atau uang sewa harus merupakan kesepakatan antara para pihak, yaitu antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Dalam sewa-menyewa tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa harga sewa harus dibayar dengan uang. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa: Biasanya harga sewa adalah berwujud uang, tetapi sifat dari sewa-menyewa tidak akan berubah apabila uang ini diganti dengan lainnya. 67 Di tengah-tengah masyarakat, dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai beraneka ragam sewa-menyewa yang timbul, ada sewa-menyewa rumah, tanah, buku, mobil dan lain sebagainya. 67 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1991, h. 51.

Di dalam KUH Perdata mengenai sewa-menyewa ini dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu: a) Perjanjian sewa-menyewa pada umumnya, yaitu yang dapat kita jumpai di dalam Buku III, Bab VIII Bagian I dari KUH Perdata. b) Perjanjian sewa-menyewa khusus, yaitu Sewa-menyewa yang berlaku untuk rumah dan perabot rumah, yang kita jumpai dalam Buku III Bab VII. Sewa-menyewa khusus berlaku untuk tanah. Perjanjian sewa-menyewa pada umumnya yang merupakan ketentuan setiap perjanjian sewa-menyewa, dapat kita lihat dalam Pasal 1548 dan 1549 ayat (2) KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1548 KUH Perdata adalah merupakan definisi atau pengertian sewa-menyewa, sebagaimana telah penulis jelaskan. Sedangkan Pasal 1549 ayat (2) KUH Perdata menyatakan semua jenis barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dapat disewakan. Untuk selanjutnya penulis akan mengemukakan mengenai hak sewa. Hak sewa ini adalah merupakan hak si penyewa untuk mempergunakan barang yang disewanya dengan membayar sewa. Hak sewa ini pada asasnya tidak boleh dipindahkan pada orang lain kecuali telah diizinkan oleh pemilik barang. Pemindahan hak sewa ini dapat berbentuk mengulang sewakan ataupun melepaskan sewanya. Dalam hal mengulang sewakan, si penyewa bertindak sendiri sebagai pihak dalam perjanjian sewa-menyewa kedua yang diadakannya dengan seorang pihak ketiga. Sedangkan dalam hal melepaskan sewanya ia mengundurkan diri sebagai

penyewa dan menyuruh pihak ketiga untuk menggantikan dirinya sebagai penyewa, sehingga pihak ketiga tersebut berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan. Apabila si penyewa melakukan apa yang dilarang, maka pihak yang menyewakan dapat memintakan pembatalan perjanjian sewanya dengan disertai pembayaran kerugian, sedangkan pihak yang menyewakan setelah pembatalan itu tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa dengan orang ketiga itu. Dalam Pasal 1548 KUH Perdata ditentukan sewa-menyewa adalah perjanjian dengan mana pihak yang menyewakan mengikat diri untuk menyerahkan benda guna dinikmati selama waktu tertentu dan penyewa mengikatkan diri untuk membayar sewa yang telah dipakati. Dari definisi di atas dapat dirinci unsur-unsur sewa menyewa sebagai berikut: 1) Subjek sewa-menyewa adalah pihak-pihak dalam perjanjian sekurangkurangnya ada dua pihak, yaitu yang menyewa dan menyerahkan benda guna dinikmati, dan penyewa yang membayar sewa. 2) Status Pihak-pihak yang menyewakan atau penyewa dapat berstatus pengusaha atau bukan pengusaha. Pengusaha adalah pihak yang menjalankan perusahaan penyewaan atau pihak yang menyewa benda untuk menjalankan perusahaan, sedangkan yang bukan pengusaha adalah mereka yang menyewakan bendanya secara insidental saja (sewaktu-waktu menjadi pemilik biasa), atau penyewa benda untuk dinikmati sendiri. Dan dapat dipergunakan

sebatas apa saja yang diberikan oleh pihak yang menyewakan kepada pihak penyewa. 3) Peristiwa menyewa adalah perbuatan saling mengikatkan diri berupa penyerahan benda guna dinikmati dan pembayaran sewa. Peristiwa sewamenyewa didasari oleh persetujuan atau kesepakatan antara yang menyewakan dan penyewa, apa yang dikehendaki oleh pihak yang menyewakan, itulah yang dikehendaki oleh penyewa. 4) Objek sewa-menyewa adalah benda dan sewa. Benda adalah harta kekayaan yang berupa benda material, benda immaterial, baik bergerak maupun yang tidak bergerak. Sewa adalah sejumlah uang sebagai imbalan pemakai benda. Tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak melalui itu adalah pihak-pihak menyewakan menginginkan sejumlah uang menjadi miliknya dan pihak penyewa menginginkan penguasaan benda untuk dinikmatinya. Benda yang menjadi objek sewa-menyewa tidak dapat disewakan kembali oleh si penyewa kepada pihak ketiga jika dalam perjanjian sewa-menyewa tidak ada persetujuan untuk menyewakan kembali sesuai dengan Pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan Si penyewa jika kepadanya tidak telah diperizinkan, tidak diperbolehkan untuk mengulang sewakan barang yang disewakan maupun melepas sewanya kepada orang lain atas ancaman pembatalan persetujuan sewa dan pergantian biaya rugi dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan setelah pembatalan itu tidak diwajibkan mentaati persetujuannya ulang sewa jika yang disewa itu berupa sebuah rumah, yang

didiami sendiri oleh si penyewa, maka dapatlah ia atas tanggung jawab sendiri menyewakan sebagian kepada orang lain, jika kekuasaan itu tidak telah dilarang dalam persetujuan. Kewajiban dan hak antara penyewa dan yang menyewakan sesuai dengan Pasal 1560 KUH Perdata, si penyewa mempunyai 4 kewajiban yaitu: 1. Membayar atau melunasi uang sewa-menyewa dengan jumlah dan waktu yang telah ditentukan. Pembayaran atau pelunasan uang sewa dapat dilakukan secara berkala, perminggu, perbulan dan triwulan dan pertahun. Pembayaran dimulai sejak dimulainya sampai berakhirnya persetujuan sewa-menyewa. 2. Memakai barang disewakan secara patut sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Berdasarkan Pasal 1560 ayat (1) KUH Perdata pemakaian barang yang disewakan harus dilakukan si penyewa sebagai seorang bapak yang berbudi. 3. Penyewa wajib menanggung segala kerusakan yang terjadi selama masa sewamenyewa, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut bukan karena kesalahannya tetapi di luar kekuasannya (Pasal 1564 KUH Perdata). 4. Penyewa wajib mengembalikan barang yang telah disewakan kepada penyewa pada saat berakhirnya perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1562 KUH Perdata dan Pasal 1563 KUH Perdata). Dalam hal ini juga penyewa berhak atas benda yang disewakan dan kenikmatan atas benda sewa yang telah diperjanjikan. Bagi yang menyewakan berhak memperoleh sejumlah uang yang diperjanjikan sebagai uang sewa.

Sesuai dengan Pasal 1550 KUH Perdata menyebutkan pihak yang menyewakan wajib karena sifatnya persetujuan dan dengan tak perlu adanya sesuatu janji untuk itu antara lain: a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa, Menyerahkan barang maksudnya yang menyewakan harus menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan yang sebaik-baiknya untuk penyerahan benda dalam persetujuan sewa-menyewa adalah penyerahan nyata. b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian sehingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan, Pihak yang menyewakan wajib memelihara dan melakukan perbaikan selama perjanjian sewa-menyewa berjalan sehingga barang yang disewa tetap dipakai dan perbaikan dipergunakan sesuai dengan hajat yang dikehendaki pihak penyewa kecuali reparasi wajib harus ditanggung oleh pihak penyewa seperti reparasi kecil (Pasal 1551 ayat (2) dengan hukum kebiasaan. c. Memberi si penyewa kenikmatan yang tenteraman dari pada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa. Pihak yang menyewakan memberi kenikmatan yang tenteram, pemikiran yang tenteram tersebut antara lain: 1) Menanggung segala kekurangan yang merupakan cacat pada barang yang disewakan sehingga benar-benar si penyewa tidak terhalang menggunakan barang tersebut selama sewa-menyewa berlangsung, oleh karena itu setiap cacat yang dapat menimbulkan gangguan pemakaian mewajibkan pihak yang menyerahkan untuk mengganti kerugian.

2) Pihak yang menyewakan tidak boleh merubah bangunan dan susunan barang yang disewakan selama perjanjian sewa-menyewa masih berlangsung, sesuai dengan asas kenikmatan yang harus diberikan pada si penyewa atas seluruh barang yang disewakan. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa sewa-menyewa memiliki unsur-unsur yakni: a) Pihak yang menyewakan dan penyewa (unsur-unsur subjek hukum), b) Untuk diri sendiri dan pihak lain (unsur status hukum), c) Persetujuan penyerahan penguasaan benda (bezit) dan pembayaran (unsur peristiwa hukum), d) Mengenai benda dan sewa (unsur objek hukum), e) Wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak (unsur hubungan hukum). Unsur-unsur tersebut berkaitan pula terhadap para pihak nantinya dalam membuat suatu perjanjian sewa-menyewa tersebut, para pihak sebagaimana dimaksud ialah pihak perusahaan/penyedia jasa dan pihak penyewa/pengguna jasa. 6. Berakhirnya Perjanjian Sewa-Menyewa Jangka waktu sewa habis, Biasanya sewa-menyewa berakhir karena jangka waktu yang telah disepakati telah habis atau karena unit waktu yang dipakai sebagai dasar tarif sewa-menyewa itu habis. Dalam Pasal 1570 KUH Perdata menyebutkan : Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan

setempat. Ditentukan jika dibuat tertulis sewa-menyewa itu berakhir dari hukum setelah habis jangka waktu yang telah ditentukan tanpa diperlukan pemberitahuan pemberhentiannya, tetapi jika dibuat secara tidak tertulis maka menurut Pasal 1571 KUH Perdata, sewa-menyewa berakhir setelah ada pemberiathuan pemberhentiannya kepada penyewa dengan mengindahkan jangka waktu menurut kebiasaan setempat : (1) Benda sewaan musnah, Dalam Pasal 1553 KUH Perdata ditentukan Apabila dalam waktu sewa-menyewa benda sewaan musnah sama sekali karena peristiwa yang bukan kesalahan salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa batal demi hukum. Kata musnah berarti sewa-menyewa itu telah berakhir, berakhir disini bukan karena kehendak kedua pihak melainkan keadaan yang memaksa. (2) Pembatalan sewa-menyewa, Sewa-menyewa dapat berakhir karena pembatalan, baik berdasarkan persetujuan kedua belah pihak maupun berdasarkan wanprestasi dengan atau tanpa putusan pengadilan. Pembatalan berdasarkan persetujuan, Karena benda sewa musnah sebagai penyewa memilih alternatif pembatalan sewa-menyewa (Pasal 1553 ayat (2) KUH Perdata), Karena perbaikan benda sewa sedemikian rupa, tidak dapat didiami, penyewa meminta supaya sewa menyewa dibatalkan saja (Pasal 1555 ayat (3) KUH Perdata), Karena benda sewa akan dipakai sendiri, maka sewa-menyewa dibatalkan, berdasarkan syarat perjanjian (Pasal 1579 KUH Perdata).

Pembatalan juga dapat disebabkan wanprestasi yaitu Tidak memenuhi perjanjian sama sekali atau memenuhi tetapi tidak sebagaimana mestinya atau juga syarat-syarat perjanjian yang telah ditentukan. 68 Pembatalan berdasarkan wanprestasi, tidak menggunakan/memakai benda sewaan dalam jangka waktu yang telah ditentukan sejak penandatangan, maka sewamenyewa dibatalkan, memakai benda sewa untuk keperluan lain dari tujuan pemakaiannya dapat merugikan pihak yang menyewakan. Mengulang sewakan atau mengalih sewakan benda sewaan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pemilik. B. Manfaat Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Mobil di CV. Sandi Mocha Jaya dan Beberapa Perusahaan Rental Mobil Sebagai Perbandingan Terhadap Hak dan Kewajiban Para Pihak. Telah diketahui dari uraian diatas bahwa bentuk dari perjanjian sewamenyewa ini merupakan satu kesatuan pelaksana dalam melaksanakan usaha pada suatu Perusahaan penyedia jasa pengangkutan atau rental mobil seperti CV. Sandi Mocha Jaya atau perusahaan lain yang bergerak dalam bidang yang sama agar tercipta harmonisasi atau terciptanya hubungan baik diantara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian sewa-menyewa tersebut. Pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa mobil dalam hal ini menyangkut soal penyerahan mobil yang hendak disewa oleh pihak menyewa, dan pembayaran 68 A. Mohammat, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, h. 57.

oleh pihak penyewa kepada pihak CV. Shandi Mocha Jaya dapat dilakukan baik sebelum maupun setelah mempergunakan mobil yang disewa tersebut. Penyerahan mobil yang hendak disewa oleh pihak penyewa merupakan penyerahan yang bersifat nyata dan sebagai awal dari pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa mobil. Sedangkan pembayaran yang dimaksud biasanya merupakan akhir dari pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa mobil, atau sebagai hal yang menentukan berakhimya perjanjian sewa-menyewa mobil. Kemudian pembayaran diartikan sebagai pelunasan utang atau pembayaran dengan sejumlah uang dari pihak penyewa kepada pihak CV. Shandi Mocha Jaya. Sebagai akibat adanya perjanjian sewa-menyewa timbul pula hak-hak dan kewajiban para pihak. Misalnya dalam hal ini, si penyewa berhak untuk menikmati barang yang disewakan sesuai dengan keperluan yang dimaksud selama berlangsungnya sewa-menyewa, dan yang menyewakan berhak pula untuk menuntut pembayaran harga sewa sesuai dengan yang telah disepakati menurut perjanjian. Menurut KUH Perdata Pasal 1550, kewajiban pihak yang menyewakan atau dalam hal ini adalah perusahaan / penyedia jasa, adalah: 1. Menyerahkan barangnya yang disewakan kepada si penyewa 2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud. 3. Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dari barang yang disewakan, selama berlangsungnya persewaan.

Pihak yang menyewakan diwajibkan selama berlangsungnya persewaan menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakannya, kecuali pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi kewajiban si penyewa. Ia juga harus menanggung semua cacat dari barang yang disewakan yang merintangi pemakaian barang itu, walaupun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu perjanjian itu dibuat. Dan apabila cacat itu telah mengakibatkan suatu kerugian terhadap si penyewa, yang menyewakan harus memberi ganti rugi (Pasal 1551 dan 1552 KUH Perdata). Kewajiban utama pihak penyewa atau pemakai jasa dalam hal ini, adalah: a. Memakai barang yang disewakan sebagai seorang bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewanya. b. Membayar harga sewa tepat pada waktu yang telah dijanjikan sebelumnya. Dalam hal ini, pihak penyewa berhak untuk memakai mobil yang disewakan dengan aman, tanpa gangguan, baik dari pemilik atau siapapun juga yang dapat menyatakan atas nama atau sebagai kepercayaan dari pemilik. Pihak yang menyewakan, dalam hal ini pemilik atau penyedia jasa, berhak menuntut pembayaran uang sewa sesuai dengan apa yang diperjanjikan beserta bunganya, jika terlambat membayar uang sewa sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Mengenai kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa mobil ini, adalah sebagai berikut :

Pihak yang menyewakan, ialah : 1) Menyerahkan mobil yang disewakan kepada penyewa serta menjaga keamanan dan ketenteraman si penyewa dalam memakai mobil yang disewakan. 2) Menjaga agar mobil tersebut dalam keadaan terpelihara baik, bersih dan bebas dari halangan, terkecuali kerusakan atau kemusnahan di luar kekuasaan si pemilik 3) Membayar retribusi, pajak-pajak dan pengeluaran lain yang bertalian dengan pemilikan mobil tersebut 4) Mengasuransikan mobil. Pihak penyewa atau pemakai jasa, ialah sebagai berikut : a) Memakai mobil yang disewanya dengan baik sesuai dengan tujuan dari perjanjian itu. Si penyewa juga diwajibkan memelihara mobil, dengan sebaik-baiknya dan menyerahkan kembali mobil yang disewakan dalam keadaan terpelihara, kepada pemilik pada waktu berakhirnya persewaan atau sebelumnya menurut ketentuan dalam persewaan. b) Penyewa tidak boleh membuat suatu perubahan atau tambahan mobil yang disewakan itu tanpa persetujuan tertulis dari pemilik atau atas syaratsyarat yang diminta oleh pemilik. Di dalam perjanjian sewa-menyewa ini, si penyewa tidak boleh mengulang sewakan atau bekerja sama dalam hal menguasai mobil yang disewa itu atau sebagian tanpa izin pemilik, pada saat berakhirnya persewaan ini, penyewa harus menyerahkan

mobil tersebut di dalam keadaan semula dan kosong kepada pemilik, tanpa diduduki/ dipakai atau diawasi oleh siapapun. Pada saat tiba waktu pembayaran, si penyewa harus membayar uang sewa pada pemilik. Pembayaran ini dapat dilakukan sebelumnya. Apabila penyewa bermaksud memperpanjang sewanya, ia harus memberitahukannya kepada pemilik mobil. Mengenai upah dari objek perjanjian sewa-menyewa tersebut CV. Shandi Mocha Jaya menentukan cara pembayarannya dengan mempergunakan Rupiah dan dollar Amerika. Dan kurs yang dipakai adalah kurs tengah pada saat pembayaran, yang dimaksud dengan kurs tengah disini adalah nilai yang diambil antara kurs tertinggi dengan kurs terendah. Di dalam praktek penulis melihat bahwa apa yang dicantumkan di dalam perjanjian tidak selamanya dipergunakan secara mutlak. Sebab terkadang penyewa cukup memberitahukan ia memperpanjang sewa mobilnya melalui handphone dan membayarnya tatkala habis masa sewa yang diperpanjang. Sebagai perbandingan mengenai hak dan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa ini, maka dapat dilihat beberapa ketentuan yang dibuat oleh beberapa perusahaan rental mobil di Kota Medan pada saat penandatanganan surat perjanjian sewa-menyewa, diantaranya :

1. PT. Pelita Armada. 69 Hak penyewa atau pemakai jasa : i. menerima satu unit mobil sewaan dari pihak pertama (dalam hal ini perusahaan rental mobil/penyedia jasa), dengan identitas mobil sebagaimana dirinci dalam lampiran perjanjian sewa mobil tersebut. (lihat lampiran Surat Perjanjian Sewa Mobil/Pasal 1, Pokok Perjanjian) ii. memiliki hak baik untuk mengakhiri maupun memperpanjang perjanjian ini, dengan menyampaikan permohonan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum berakhirnya masa berlakunya perjanjian ini (lihat lampiran Surat Perjanjian Sewa Mobil/Pasal 5 Poin B Pemutusan dan Perpanjangan perjanjian). Kewajiban penyewa atau pemakai jasa : a. diwajibkan menyerahkan dan mengembalikan mobil yang diputus Periode sewa-nya tersebut kepada pihak pertama (dalam hal ini PT. Pelita Armada/penyedia jasa) dan membayar pinalti sebesar 25% dari nilai sisa kontrak yang belum digunakan atas mobil yang bersangkutan. (lihat lampiran Surat Perjanjian Sewa Mobil/Pasal 5 Poin A Pemutusan dan Perpanjangan Perjanjian). 69 Hasil wawancara dengan R.Edhi Wibowo, Direktur PT. Pelita Armada, Medan, 20 September 2010

b. atas kesepakatan bersama pada saat berakhirnya masa sewa dalam keadaan bagaimanapun juga (kecuali dalam keadaan force majour), wajib menyerahkan dan akan mengembalikan mobil kepada pihak pertama (PT. Pelita Armada) pada tempat semula dimana mobil tersebut diserahkan, dalam keadaan baik. (lihat lampiran Surat Perjanjian Sewa Mobil/Pasal 5 Poin C, Pemutusan dan Perpanjangan perjanjian). c. wajib menghubungi pihak pertama (PT. Pelita Armada) untuk pengaturan perawatan atau pemeriksaan secara teratur setiap perjalanan 10.000 Km. (lihat lampiran Surat Perjanjian Sewa Mobil/Pasal 6 Poin A Perawatan & Perbaikan, Mobil Pengganti, Perpanjangan STNK, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Asuransi Mobil) d. menjaga dan memelihara mobil sepanjang waktu dalam kondisi baik sehingga selama masa sewa dan masa perpanjangannya mobil tetap dalam kondisi baik dan siap untuk tujuan pemakaian. (lihat lampiran Surat Perjanjian Sewa Mobil/Pasal 7 Kewajiban dari Pihak Kedua, Poin A) e. dalam menggunakan mobil sewaan pihak kedua (penyewa/pemakai jasa), hanya untuk kepentingan pribadi atau perusahaan dengan pengemudi yang mampu dan memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang masih berlaku, kelalaian atas hal ini akan menjadi tanggung jawab penyewa.pemakai jasa. (lihat lampiran Surat Perjanjian Sewa Mobil/Pasal 7 Kewajiban dari Pihak Kedua, Poin B)