BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Lima Puluh Kota didominasi oleh sektor pertanian. Jika dilihat secara

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA NOMOR : 9 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan mobilitas penduduk semakin pesat serta lingkungan dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan UMKM. laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja.

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya juga belum optimal. Kerelawanan sosial dalam kehidupan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 11 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A.

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR SAMISAKE

BAB I PENDAHULUAN. disalurkan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) melalui Unit Pengelola Keuangan

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR... TAHUN...

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

Analisis tingkat kesehatan lembaga unit pengelola kegiatan( studi kasus. pada UPK PNPM Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen ) Oleh : Wawan Apriyanto

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2014 TAHUN 2014 TENTANG

POTENSI LAHAN PENGEMBANGAN SAPI POTONG MENUNJANG KETERSEDIAAN DAGING DI KABUPATEN 50 KOTO SUMATERA BARAT

ANGGARAN DASAR DAPM TOMPOBULU

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 238 Juta Jiwa. Dengan jumlah mayoritas muslim mencapai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia

PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PENGUATAN PEMODALAN KOPERASI, USAHA MIKRO DAN KECIL POLA BERGULIR

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena kemiskinan perdesaan bukan merupakan suatu gejala yang baru.

BAB I PENDAHULUAN. kerja yang baru, jumlah unit usaha bordir yang tercatat selama tahun 2015 adalah

ANGGARAN DASAR BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA OBOR SUDIMARA ) DESA SUDIMARA KECAMATAN CILONGOK KABUPATEN BANYUMAS

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahasan utama dalam penelitian ini. Minimnya lapangan pekerjaan, pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dan/atau badan usaha, yang termasuk kriteria pada skim-skim kredit/pembiayaan

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI NGANJUK NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Vegetatif 2 (31-40 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Max. Vegetatif (41-54 HST)

BERITA DAERAH KOTA PADANG PANJANG Tahun

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. Perdesaan (PNPM-MP) salah satunya ditandai dengan diberlakukannya UU No. 6

BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN DANA PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014

ARTIKEL PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tidak sedikit jumlahnya, begitu pula halnya dengan Negara Indonesia saat ini, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. diri sendiri dan keluarganya. Wijono(2004). Sedangkan menurut Bank. mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp.100 juta per tahun.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 20 SERI E

DATA AGREGAT KEPENDUDUKAN PER KECAMATAN (DAK2)

BAB V GAMBARAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan ata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada hakekatnya bertujuan membangun kemandirian,

BAB I PENDAHULUAN. yang baik tetapi juga pada bentuk produk yang ditawarkan. Upaya bank untuk menarik

BAB I PENDAHULUAN. Pengaturan urusan daerah didasarkan kepada asas otonomi daerah (desentralisasi) dan

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG

WALIKOTA MAKASSAR, PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan dalam banyak hal. Baik itu dari segi pemerintahan, pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

Lampiran I.13 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata

PENDAHULUAN. peternak, khususnya bagi yang berminat meningkatkan skala usahanya. Salah satu

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

Transkripsi:

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Visi pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJM 2015 2019 sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 2019 adalah: Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah berupaya mendesain kebijakan maupun program yang terarah pada kemandirian masyarakat desa. Arah pembangunan desa saat ini difokuskan kepada pengembangan point ketiga dalam nawacita yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Karena itulah pemerintah memberikan perhatian secara penuh kepada desa agar dapat tumbuh secara kuat, tangguh, mandiri dan demokratis dengan menitikberatkan pada usaha pengentasan kemiskinan melalui program-program pemberdayaan masyarakat. Perhatian pemerintah terhadap desa untuk dapat tumbuh dengan kuat dan mandiri tentunya dilatarbelakangi oleh kondisi kemiskinan yang tinggi di pedesaan, dimana kegiatan perekonomian didesa masih di dominasi oleh usahausaha skala mikro dan kecil dimana pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian serta industri rumah tangga. Namun demikian para pelaku usaha ini masih dihadapkan pada masalah klasik yaitu terbatasnya ketersediaan modal sebagai unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan, keterbatasan modal dapat membatasi ruang gerak usaha-usaha skala mikro dan kecil di pedesaan. Dalam jangka panjang keterbatasan modal bisa menjadi entry point terjadinya siklus rantai kemiskinan pada masyarakat pedesaan yang sulit untuk diputus (Hamid, 1986). Secara struktural kemiskinan yang terjadi di desa lebih disebabkan karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengakses permodalan usaha khususnya melalui lembaga perbankan. Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung.

Usaha ini dapat berupa transfer payment dari pemerintah misalnya, program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana, maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam bentuk micro credit. Pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu upaya yang ampuh dalam menangani kemiskinan (Robinson dalam Wijono, 2005). Kredit mikro pada hakikatnya merupakan program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya (Ashari, 2006). Pemerintah berupaya mengatasi kesulitan akses permodalan bagi masyarakar miskin dengan menggulirkan program bantuan modal untuk masyarakat miskin melalui bantuan langsung atau subsidi. Namun belajar dari pengalaman kredit program atau bantuan modal dari pemerintah, ternyata sebagian besar program tidak dapat berkelanjutan pelaksanaannya di tingkat lapangan. Setelah program selesai, masyarakat miskin tidak lantas menjadi mandiri dan sejahtera. Salah satu penyebabnya adalah karena dana bantuan program pemerintah tidak dapat dikelola dengan baik oleh masyarakat. Dalam upaya mendekatkan akses permodalan bagi masyrakat miskin yang dapat menyediakan pembiayaan secara berkelanjutan, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat meluncurkan kredit mikro, yang disebut Kredit Mikro Nagari (KMN) pada tahun 2007 sebagai program utama dalam penanggulangan kemiskinan. Tujuan utama dari program KMN adalah untuk meningkatkan akses usaha mikro, yang sebagian besar dimiliki dan dikelola oleh keluarga miskin, yang tidak dapat memperoleh kredit pada sistem perbankan konvensional. KMN dirancang secara partisipatif dengan semaksimal mungkin mengikut sertakan institusi lokal yang ada di nagari dalam membentuk kelembagaan pengelola program yang difasilitasi oleh Wali Nagari. Kelembagaan pelaksana Program KMN yang berfungsi sebagai pengelola bantuan modal usaha bagi masyarakat miskin adalah Pokja KMN (Kelompok Kerja Kredit Mikro Nagari). Pengelolaan KMN melalui Pokja KMN dengan harapan dana tersebut dapat tumbuh dan berkembang, sehingga kebutuhan modal bagi masyarakat miskin dapat terpenuhi secara berkesinambungan.

Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota diketahui bahwa penyaluran dana KMN sejak tahun 2007 hingga tahun 2011 adalah sebesar Rp.18.600.000.000,- yang dialokasikan kepada 62 (enam puluh dua) nagari di 13 (tiga belas) kecamatan se-kabupaten Lima Puluh Kota. Kecamatan penerima dana KMN terbesar adalah Kecamatan Lareh Sago Halaban yaitu sebanyak Rp.2.400.000.000,- dan kecamatan penerima dana KMN terkecil adalah Kecamatan Mungka. Jumlah dana KMN di kecamatan tergantung jumlah nagari yang ditunjuk sebagi pengelola Program KMN, disetiap nagari pengelola program dibentuk Pokja KMN yang diberikan dana sebesar Rp. 300.000.000,- untuk di kelola. Alokasi dana KMN di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah sebagaimana pada tabel.1 Tabel 1. Alokasi Dana KMN di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2007 s.d 2011 Tahun Wilayah (Kecamatan) 2007 2008 2009 2010 2011 (000.000) (000.000) (000.000) (000.000) (000.000) Jumlah Gunuang Omeh 600-300 - - 900 Suliki 600-300 - 300 1.200 Bukik Barisan - 900 300-300 1.500 Guguak - 600 300 - - 900 Payakumbuh 300 300 600-600 1.800 Mungka - 600 - - - 600 Akabiluru 600 300 300-300 1.500 Situjuah Limo Nagari 600 300 600 - - 1.500 Luak 300 300 600 - - 1.200 Lareh Sago Halaban - 600 900-900 2.400 Harau - 600 600-900 2.100 Pangkalan 300-300 - 900 1.500 Kapur IX 300 300 300-600 1.500 Jumlah 3.600 4.800 5.400-4.800 18.600 Sumber: BPM Kabupaten Lima Puluh Kota, 2015 B. Masalah Penelitian Salah satu permasalahan yang mendasar dihadapi masyarakat di pedesaan adalah lemahnya akses kepada sumber pembiayaan perbankan, karena kegiatan perekonomian di desa yang di dominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan kecil

dimana pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian serta industri rumah tangga dinilai tidak feasible dan bankable. Hal ini memperkuat alasan bahwa pembiayaan usaha masyarakat skala mikro di perdesaan seyogyanya dilakukan oleh lembaga keuangan khusus yang bukan berbentuk bank. Apabila hanya mengandalkan perbankan, maka sulit bagi masyarakat pedesaan untuk mendapatkan akses pembiayaan. Selain itu, permasalahan lain adalah terkait jangkauan nasabah, pengelolaan dan keberlanjutan kelembagaan pembiayaannya. Pada tahun 2007 Pemerintah Propinsi Sumatera Barat melaksanakan Program Kredit Mikro Nagari (KMN) yang bertujuan untuk mengatasi permodalan bagi masyarakat miskin yang berusaha skala mikro dengan cara memberikan hibah dana kepada nagari sebesar 300 juta rupiah melalui Pokja KMN. Program dana hibah dari pemerintah ini hanya diberikan satu kali saja, artinya dana yang diberikan kepada Pokja KMN harus bisa dikembangkan sehingga masyarakat yang mendapatkan akses permodalan lebih banyak, dana KMN hanya bertujuan sebagai stimulus agar masyarakat mampu membangun suatu lembaga keuangan yang memberikan pembiayaan secara berkelanjutan. Program Kredit Mikro Nagari pada pelaksanaannya diselenggarakan oleh nagari dengan membentuk Kelompok Kerja KMN serta menyepakati mekanisme perguliran dana pinjaman yang dituangkan dalam kesepakatan melalui forum musyawarah nagari. Setiap nagari yang melaksanakan Program KMN memiliki satu Pokja KMN yang memiliki tanggungjawab dalam penyaluran dan pengelolaan KMN. Salah satu lokasi Pokja KMN penerima dana KMN yang masih berjalan di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah di Nagari Sungai Kamuyang. Berdasarkan rekomendasi BPM Kabupaten Lima Puluh Kota, salah satu Pokja KMN yang tingkat pengembalian kreditnya cukup tinggi dan rutin memberikan laporan perkembangan dana KMN yaitu Pokja KMN Sungai Kamuyang. Pokja KMN Sungai Kamuyang berada di Nagari Sungai Kamuyang, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan penerima dana KMN pada tahun 2009. Banyak juga Pokja KMN di Kabupaten Lima Puluh Kota yang tidak beropersi lagi untuk menyalurkan dana KMN, salah satunya adalah Pokja KMN

Andaleh yang berlokasi di Nagari Andaleh Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota. Berdasarkan informasi dari BPM Kabupaten Lima Puluh Kota bahwa Pokja KMN Andaleh berhenti beroperasi dalam jangka waktu yang singkat, Pokja KMN Andaleh merupakan penerima dana KMN pada tahun 2008 dan di tahun 2010 awal Pokja KMN Andaleh sudah tidak beroperasi lagi untuk menyalurkan dana KMN. Kondisi keberlanjutan Pokja KMN di Kabupaten Lima Puluh Kota sebagaimana pada tabel.2 Tabel 2. Kondisi keberlanjutan Pokja KMN di Kabupaten Lima Puluh Kota Per April 2016 Wilayah (Kecamatan) Jumlah Pokja KMN Berkelanjutan Tidak Berkelanjutann Gunuang Omeh 3 2 1 Suliki 4 3 1 Bukik Barisan 5 5 - Guguak 3 3 - Payakumbuh 6 5 1 Mungka 2-2 Akabiluru 5 4 1 Situjuah Limo Nagari 5 3 2 Luak 4 2 2 Lareh Sago Halaban 8 5 3 Harau 7 3 4 Pangkalan 5 3 2 Kapur IX 5 2 3 Jumlah 62 40 22 Sumber: BPM Kabupaten Lima Puluh Kota, 2015 Dari 62 nagari yang ditetapkan sebagai pelaksanan Program KMN dan telah membentuk Pokja KMN sebagai pengelola dana KMN di nagari, terdapat 40 Pokja KMN yang masih aktif dengan perkembangan yang beragam sementara 22 sisanya sudah tidak aktif lagi. Dari kondisi keberlanjutan Pokja KMN yang hampir mencapai angka 35,5% sudah tidak aktif lagi, maka diperlukan analisis terhadap keberlanjutan kelembagaan Program KMN dengan melihat keterkaitan proses yang dilakukan dalam pembentukan Pokja KMN serta pengelolaan dana yang dilakukan oleh Pokja KMN. Keberadaan Pokja KMN, diharapkan menjadi solusi bagi masyarakat miskin anggota kelompok penerima dana KMN dalam memperoleh permodalan untuk menjalankan usahanya. Lembaga keuangan mikro yang dikembangkan oleh Pokja KMN mempunyai beberapa ciri khas yang sesuai dengan karakteristik

daerah dan kelompoknya masing-masing, yang menyangkut aspek sasaran kelompok, syarat peminjaman dan pengajuan, cara pengembalian, serta sistem insentif dan sanksi. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh Pokja KMN mengikuti aturan yang sudah disepakati oleh forum musyawarah yang difasilitasi oleh pemerintah nagari. Berangkat dari beberapa hal tersebut, maka permasalahan penelitian ini adalah sejauh mana kelembagaan pengelola KMN yaitu Pokja KMN dapat menjadi lembaga keuangan mikro di nagari yang mampu menyediakan pembiayaan modal usaha bagi masyarakat miskin dengan kelembagaan dan organisasi yang kuat dan berkelanjutan. Untuk menjawab persoalan tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang Analisis Kelembagaan Lokal dalam Pelaksanaan Program Kredit Mikro Nagari (KMN) di Kabupaten Lima Puluh Kota. Berdasarkan uraian dan kondisi tersebut diatas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian guna mengetahui: 1. Bagaimana proses pembentukan Pokja Kredit Mikro Nagari dan pengelolaan Kredit Mikro Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota. 2. Bagaimana keterkaitan antara proses pembentukan Pokja dan pengelolaan KMN dengan keberlanjutan program Kredit Mikro Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang berjudul Analisis Kelembagaan Lokal dalam Pelaksanaan Program Kredit Mikro Nagari (KMN) di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan proses pembentukan Pokja Kredit Mikro Nagari dan pengelolaan Kredit Mikro Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota 2. Mengetahui keterkaitan antara proses pembentukan Pokja KMN dan pengelolaan KMN dengan keberlanjutan program Kredit Mikro Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota.

D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat yang berguna bagi : 1. Pemerintah, sebagai bahan evaluasi terhadap program yang sedang dijalankan, juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat dan menetapkan program-program dimasa yang akan datang, khususnya program-program penguatan modal atau pembiayaan usaha masyarakat kurang mampu, serta penumbuhkembangan dan memberdayakan Pokja KMN. 2. Pokja KMN, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam menjalankan kegiatannya, sehingga Pokja tersebut dapat lebih berkembang. 3. Mahasiswa dan atau peneliti selanjutnya, penulis juga berharap penelitian ini dapat menambah bahan referensi dalam membahas lebih dalam tentang pembiayaan usaha masyarakat kurang mampu, serta penumbuhkembangan dan memberdayakan Pokja KMN.