BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan. Tahap selanjutnya dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) (WHO, 2012). Sejak awal epidemi, hampir 75 juta orang telah terinfeksi virus HIV dan sekitar 36 juta orang telah meninggal karena HIV (WHO, 2013). Secara global 35,3 juta (32,2 38,8) orang hidup dengan HIV pada akhir 2012. Diperkirakan 0,8 % dari orang dewasa berusia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan HIV, meskipun beban epidemi bervariasi antar negara dan wilayah. Sub-Sahara Afrika merupakan wilayah yang paling parah, hampir 1 dari setiap 20 orang dewasa yang hidup menderita HIV dan sekitar 71 % dari orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia berada di daerah ini (WHO, 2013). Salah satu kelompok risiko tinggi yang penting untuk ditelaah adalah pengguna napza suntik. Meskipun jumlah pengguna napza suntik di dunia 0,2 0,5 % dari populasi namun sekitar 5-10 % penderita HIV di dunia adalah pengguna napza suntik. Prevalensi HIV bervariasi pada populasi pengguna napza suntik. 1
2 Prevalensi HIV pada kelompok pengguna napza suntik (penasun) berkisar 5 % di Eropa Timur dan Asia 28 % (UNAIDS, 2013). Secara global, sekitar 16 juta orang menyuntikkan narkoba dan 3 juta dari mereka yang hidup dengan HIV. Rata-rata, satu dari setiap sepuluh infeksi HIV baru disebabkan oleh penggunaan narkoba suntikan dan dibeberapa bagian Eropa Timur dan Asia Tengah lebih dari 80 persen dari semua infeksi HIV adalah terkait dengan penggunaan narkoba (WHO,2014). Pada survey biologi dan prilaku yang dilakukan pada 300 orang penasun di Pokhara Valley, Nepal pada tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi HIV lebih tinggi pada penasun berumur di atas 20 tahun (3,7 %) dibanding pada penasun yang berumur di bawah 20 tahun (1,9 %), pada penasun yang sudah menikah lebih tinggi (6,6 %) dibandingkan penasun yang belum menikah (1,7 %), penasun yang tidak bisa baca tulis berisiko 20 kali terinfeksi HIV dibandingkan penasun yang bisa baca tulis, penasun yang menggunakan napza suntik lebih dari 5 tahun lebih tinggi ( 5 %) dibandingkan penasun yang menggunakan napza suntik kurang dari 5 tahun (3,1 %) (FHI, 2009). Estimasi jumlah orang yang terinfeksi HIV di Asia, khususnya Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur jumlahnya hampir 5 juta orang. Diantara negaranegara yang cukup besar berkontribusi adalah Cina 780.000 orang, Thailand 490.000 orang dan Indonesia 380.000 orang (UNAIDS, 2012). Berdasarkan laporan surveilans WHO tahun 2011, prevalensi HIV pada wilayah Asia rata-rata 0,3%. Meskipun relatif
3 rendah, namun jumlah penduduk yang besar pada benua Asia mengakibatkan total perkiraan penderita menjadi besar (WHO, 2011). Ada lebih dari setengah juta orang yang menyuntikkan narkoba di wilayah Asia Tenggara. Mayoritas negara-negara di kawasan ini memiliki masalah penggunaan narkoba suntik yang signifikan dan beberapa negara telah melaporkan tingkat prevalensi HIV di antara pengguna narkoba suntik. Prevalensi HIV di penasun bervariasi di masing-masing negara, Bangladesh (7%), India (9.19%), Indonesia (52%), Myanmar (37.5%), Nepal (21%), dan Thailand (48%) (WHO SEARO, 2010). Penularan HIV terjadi melalui beberapa cara transmisi, diantaranya yang paling dominan adalah melalui kontak seksual, jarum suntik, ibu ke bayi dan transfusi darah. Hampir 80% dari kasus infeksi di seluruh dunia sampai tahun 2010 terjadi melalui kontak seksual. Padahal pada tahun 1985, kurang dari 2% kasus terjadi pada populasi heteroseksual, namun pada tahun 2010, kasus baru saja mencapai 38% (Stine, 2011). Situasi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan peningkatan baik dari jumlah maupun insidens rate. Pada tahun 2005 jumlah kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan sebanyak 6043 orang, tahun 2010 dilaporkan 28.498 kasus dan sampai dengan september 2014 dilaporkan 24.745 kasus, sehingga sampai dengan September 2014 jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 206.095 kasus. Berdasarkan faktor resiko, 61,5% dari kasus yang dilaporkan terjadi pada heteroseksual diikuti oleh penasun 15,2% (Kemenkes, 2014).
4 Secara umum, prevalensi HIV di Indonesia pada populasi umum masih cukup rendah yaitu 0,2 % (WHO, 2011), namun angka ini jauh lebih tinggi di Tanah Papua (2,4%) dan kelompok-kelompok resiko tinggi seperti wanita pekerja seksual (WPS 13%), penasun (41%), waria (22%), Lelaki Seks Lelaki (LSL 8%) dan pelanggan WPS (0,7%). Estimasi proporsi orang dengan HIV/AIDS pada kelompok risiko tinggi yaitu 33% penasun, 25% merupakan pelanggan WPS, 15% LSL, 8% WPS, 5% pasangan penasun, 4% waria, dan 3% warga binaan penjara (WBP) (Kemenkes RI, 2011). Hasil penelitian di Semarang pada tahun 2008 menunjukkan dari 75 orang penasun yang menjadi responden, 34,7 % menggunakan jarum suntik bergantian dalam 6 bulan terakhir, 66,7 % mempunyai pengetahuan yang baik namun hanya 33,3 % yang menyebutkan bahwa HIV dapat dihindari dengan tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah, berhubungan seks hanya dengan pasangannya (46,7%) dan kurang dari separuh responden (48%) yang menyatakan menghindari penggunaan napza suntik untuk mencegah tertular HIV. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan penggunaan jarum suntik bergantian ( Winarno, Suryoputro, Shaluhiyah, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Damai Kota Semarang, orang tertular HIV karena perilaku berisiko mereka yang menggunakan jarum suntik bergantian dengan temannya dan perilaku seksual mereka yaitu berganti-ganti pasangan (Kumalasari, 2013).
5 Hasil penelitian Deskripsi dan faktor yang berpengaruh terhadap status HIV pada pengguna klinik-klinik layanan tes HIV di DKI Jakarta dan Bali Tahun 2007 menunjukkan bahwa penasun akan berisiko untuk HIV positif sebesar 6,3 kali lebih tinggi dibandingkan lainnya setelah dikontrol dengan faktor kelompok umur, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan cara penularan, dengan 95% CI (2,9 13,7), nilai p<0,001. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kelompok berisiko dari kalangan penasun memiliki pengaruh yang paling besar terhadap status HIV dan memiliki risiko terinfeksi HIV yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berisiko lainnya (Jayanti, 2008). Hasil studi pada kelompok penasun di Jakarta, Bandung dan Surabaya memperlihatkan bahwa proporsi penasun yang perilaku seksnya berisiko lebih besar dibanding penasun yang perilaku seksnya tidak berisiko. Proporsi penasun yang perilaku seksnya berisiko (76,5%), lebih besar dibanding yang tidak berisiko (23,5%). Hasil analisis logistik menunjukkan bahwa perilaku seks berisiko pada penasun berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu usia hubungan seks pertama kali, status pekerjaan,dan status pernikahan. Dari beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku seks berisiko tersebut, status pernikahan menunjukkan hubungan yang paling erat dan signifikan secara statistik. Penasun yang berstatus menikah mempunyai perilaku seks berisiko lebih besar tehadap kerentanan penularan HIV kepada istri atau pasangan tetapnya (Setiawan, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 10 kota 6 Provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
6 Timur) dengan 720 responden yang merupakan penasun menunjukkan bahwa sebagian penasun pernah melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan dan tidak menggunakan kondom pada pasangan tetapnya (Tambunan, Kamil, Praptoroharjo, Erlan, Irwanto, 2010). Pada berbagai literatur menyebutkan determinan-determinan terjadinya infeksi HIV, baik yang merupakan underlying determinant ( faktor sosial ekonomi, sosial budaya, demografik dan intervensi program) maupun proximate determinants (jumlah pasangan seks, frekuensi coital, percampuran seks, abstinensia, transfusi darah, pemakaian narkoba suntik, pemakaian kondom, sirkumsisi, jenis hubungan seksual, viral load, pengobatan ARV dan kerentanan biologis) (Boerma & Weir, 2005). Mengacu pada beberapa hasil penelitian dan fakta-fakta menunjukkan bahwa pengguna narkoba suntik sangat rentan terinfeksi HIV. Faktor Umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, usia pertama kali melakukan hubungan seks, riwayat melakukan hubungan seks dengan WPS, penggunaan jarum suntik bekas, konsistensi pemakaian kondom dengan WPS, pengetahuan tentang HIV/AIDS, dan riwayat gejala IMS pada penasun berpengaruh terhadap kejadian infeksi HIV pada penasun. Kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Utara sejak pertama kali dilaporkan tahun 1992 sampai tahun 2014 menunjukkan jumlah yang terus meningkat tajam. yaitu sebanyak 9.219 orang (Dinkes ProvSU, 2014). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2014 kasus HIV pada kelompok penasun yaitu 6 %. Data dari Dinas Kesehatan Kota Medan menunjukkan kasus HIV-AIDS berdasarkan faktor risiko penasun dari tahun 2006 sampai dengan
7 Oktober 2014 sebesar 1037 kasus atau 21 % dari jumlah kasus HIV/AIDS yang ada di Kota Medan (Dinkes Kota Medan, 2014). Hal ini menunjukkan kasus HIV pada pengguna napza suntik masih tinggi. Indonesia telah melakukan beberapa kali survei pada kelompok beresiko tinggi (risti) yaitu survei terintegrasi antara biologis dan perilaku. Survei ini meliputi beberapa kelompok berisiko tinggi diantaranya wanita penjaja seks (WPS) baik langsung (WPSL) maupun tidak langsung (WPSTL) serta pria berisiko tinggi yang diduga merupakan pelanggan WPS, waria, lelaki seks lelaki (LSL) dan pengguna napza suntik (penasun). Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) yang dilakukan pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi HIV pada kelompok penasun 52 % nasional dan 55,6 % di Kota Medan (Kemenkes RI, 2007). Pada tahun 2011 kembali dilaksanakan survei yang sama yaitu STBP 2011, hasil yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI walaupun menunjukkan penurunan prevalensi HIV pada kelompok penasun menjadi 41% nasional dan 39,2 % di Kota Medan, namun kelompok resiko ini masih menjadi kelompok risiko tertinggi prevalensi HIVnya dibanding kelompok risiko lainnya (Kemenkes RI, 2011), namun studi yang meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi ini masih sangat sedikit dan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan berdasarkan analisis data STBP 2011 juga belum ada. Diharapkan dengan diketahuinya faktor-faktor yang menjadi determinan kejadian HIV pada penasun di Kota Medan dapat dilakukan intervensi yang lebih efektif dan efisien.
8 Maka penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor yang berhubungan dengan HIV/AIDS pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) di Kota Medan berdasarkan Analisis Data Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011. 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis ingin mengetahui Apakah Faktor-Faktor yang berhubungan dengan HIV/AIDS pada Kelompok Pengguna Napza Suntik di Kota Medan berdasarkan Analisis Data STBP 2011? 1.3 Tujuan Penelitian Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian HIV pada kelompok penasun di Kota Medan berdasarkan Analisis Data STBP 2011. 1.4 Hipotesis 1.4.1 Ada hubungan faktor umur dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.2 Ada hubungan faktor tingkat pendidikan dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.3 Ada hubungan faktor status perkawinan dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.4 Ada hubungan faktor sumber pendapatan dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011.
9 1.4.5 Ada hubungan faktor lama menggunakan napza suntik dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.6 Ada hubungan faktor penggunaan jarum suntik bergantian dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.7 Ada hubungan faktor usia pertama kali melakukan hubungan seks dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.8 Ada hubungan faktor riwayat melakukan hubungan seks dengan WPS dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.9 Ada hubungan jumlah pasangan seks dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.10 Ada hubungan konsistensi pemakaian kondom dengan wanita penjaja seks (WPS) dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.11 Ada hubungan pengetahuan tentang HIV/AIDS, Risiko dan Pencegahannya dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.4.12 Ada hubungan riwayat gejala IMS dengan infeksi HIV pada penasun di Kota Medan Tahun 2011. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Bagi Kementerian Kesehatan RI - Bahan masukan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. - Bahan masukan untuk perencanaan survei selanjutnya.
10 - Sebagai informasi terhadap penelitian yang lebih luas. 2. Masyarakat Sebagai informasi bagi masyarakat tentang HIV khususnya pada penasun. 3. Keilmuan - Sebagai tambahan bukti ilmiah mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian HIV pada kelompok penasun di Kota Medan. - Sebagai referensi bagi peneliti lainnya