-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III- METAFORA DALAM WAWANGSALAN BERBAHASA SUNDA Rani Siti Fitriani dan Mohammad Rakmat Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Islam Nusantara rani_siti itriani@yahoo.com Abstract Sundanese literatures provide various ine art works to be studied. One of them is wawangsalan. Wawangsalan, a Sundanese classic poetry called ugeran, is well-known as sisindiran (jokes with rhyme). Etimologically, it is derived from Sundanese word wangsul which means go home or return. Since synonymous with the word return, it is often called bangbalikan. For this study, ifty data showing metaphor phenomena were collected. This metaphor is presented to express the implied meaning for sentences in every line of wawangsalan. The research methodology used to analyze the data is descriptive qualitative method. The result of the research describes the signi icance of the content of wawangsalan that has educational value by using positive character associated with some types of objects or food and its manufacture. The characterization to uphold the value of local wisdom can be found on the meanings that exist in the line of wawangsalan. Keywords: wawangsalan, metaphor, and Sundanese Abstrak Khazanah sastra Sunda memiliki beragam karya sastra yang menarik untuk diteliti. Salah satunya adalah wawangsalan yaitu Wawangsalan termasuk salah satu karya sastra Sunda klasik berbentuk ugeran (puisi) dan merupakan salah satu jenis sisindiran (pantun). Kata wawangsalan berasal dari kata wangsul yang berarti pulang atau kembali. Kata ini sinonim dengan kata balik sehingga wawangsalan sering juga disebut bangbalikan. Untuk penelitian ini, lima puluh data wawangsalan dikumpulkan penulis. Metafora digunakan penulis untuk mengungkapkan makna yang tersirat dalam kalimat setiap baris atau larik wawangsalan. Metodologi penelitian yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ini, digambarkan makna dari isi wawangsalan yang bernilai edukatif dengan menggunakan asosiasi karakter positif dengan beberapa jenis benda atau makanan dan pembuatannya. Pembentukan karakter dengan menjunjung nilai kearifan lokal dapat ditemukan dari makna yang ada dalam setiap larik wawangsalan. Kata kunci: wawangsalan, metafora, dan bahasa Sunda Pendahuluan Teu beunang dihurang sawah, Teu beunang dipikameumeut (simeut) Dua baris kalimat berbahasa Sunda di atas sangat unik dan indah didengar. Namun, selain pilihan kata atau diksi yang indah ada makna yang terkandung di dalam kalimat tersebut yang mengundang teka-teki dari mitra tutur. Susunan kata tidak dapat langsung diketahui makna karena diungkapkan secara tersirat. Misalnya, baris pertama teu beunang dihurang sawah sebenarnya sulit diterjemahkan. Makna leksikal kalimat baris pertama, teu beunang tidak bisa ; dihurang diudang ; dan sawah sawah dan apabila digabungkan teu bisa diudang sawah tidak memiliki makna gramatikal. Baris kedua teu beunang dipikameumeut tidak bisa disayangi atau dijadikan seseorang yang sangat dekat untuk disayangi. Dalam tuturan dua baris kalimat berbahasa Sunda tersebut yang merupakan wawangsalan, sebenarnya penutur atau pembicara ingin menyebutkan hewan simeut belalang namun 587
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra IIIdiungkapkan dengan tuturan tidak langsung atau tersirat. Penutur menggunakan repetisi teu beunang pada baris kedua dan diksi yang menggambarkan tempat yang disukai belalang yaitu sawah. Penggunaan verba dipikameumeut dalam wawangsalan tersebut untuk memudahkan mitra tutur menebak teka-teki penutur meskipun sebenarnya akhirnya dituliskan jawaban dari wawangsalan tersebut. Hal yang menarik adalah runtutan vokal terakhir pada baris kedua / eut/ dibuat sama dengan runtutan vokal terakhir baris ketiga atau jawaban teka-teki tersebut. Wawangsalan termasuk salah satu karya sastra Sunda klasik berbentuk ugeran (puisi) dan merupakan salah satu jenis sisindiran (pantun). Kata wawangsalan berasal dari kata wangsul yang berarti pulang atau kembali. Kata ini sinonim dengan kata balik sehingga wawangsalan sering juga disebut bangbalikan. Mengapa disebut bangbalikan? alasannya karena sampiran pada wawangsalan merupakan tebak-tebakan atau teka-teki dan jawabannya disebut wangsalna yang dapat ditemukan setelah pulang atau kembali memerhatikan kata-kata sebelumnya (pada larik isi). Baris atau larik kedua merupakan rujukan teka-teki larik atau baris pertama. Sisindiran lahir bersama dengan cerita pantun, dongeng, jangjawokan mantra. Sisindiran adalah bentuk puisi tradisional Sunda yang sama bentuknya dengan pantun dalam sastra klasik Melayu. Biasanya terdiri dari empat larik tetapi ada juga yang terdiri dari dua atau tiga larik atau lebih dari empat larik. Sisindiran terbagi menjadi tiga jenis yaitu, wawangsalan, rarakitan, dan paparikan. Di dalam tiga jenis tersebut apabila dilihat dari sifatnya atau keperluan dan tujuannya ada yang isinya tentang kasih sayang atau silih asih; pepatah atau piwuruk, dan humor atau sesebred.(gunardi, 2011: 4-5) Menurut Salmun dalam Kandaga Kasustraan Sunda (1963: 57)Tegesna: sisindiran teh direkana atawa dianggitna mah bisa jadi mangrupa rarakitan, bisa jadi mangrupa paparikan. Ari sifatna, anu mana-mana oge bisa jadi silih asih, bisa jadi piwuruk, bisa jadi sesebred. Lebih jelas: sisindiran dapat dibentuk berupa wawangsalan, berupa rarakitan, dan berupa paparikan. Keperluannya atau tujuannya, masing-masing dapat digunakan untuk silih asih atau berkasih sayang, piwuruk pepatah, dan sesebred atau humor. Sebagai perbandingan berikut contoh teka-teki rakyat dalam bahasa Indonesia Ayam berbulu terbalik Bermain di kebun, apa itu? Jawabannya buah nanas Dalam teka-teki tersebut bentuk buah nanas dianalogikan atau diasosiasikan menjadi seekor ayam berbulu yang terbalik sedangkan kebun merupakan tempat ayam mencari makan atau bermain bersama ayam lain. Namun, tidak ditemukan runtutan vokal yang sama pada jawaban dengan baris kedua dalam teka-teki berbahasa Indonesia. Kajian Teori Wawangsalan di dalam bahasa Sunda termasuk pada salah satu karya sastra Sunda klasik. Karya sastra wawangsalan, saat ini mungkin sudah kurang diketahui lagi, terutama oleh generasi muda. Di dalam sastra Sunda, wawangsalan dimasukkan ke dalam salah satu karya sastra Sunda Sisindiran. Istilah yang terakhir ini pun, sudah tidak populer lagi di kalangan generasi muda. Namun demikian, masih ada kelompok-kelompok latihan atau padepokan seni Sunda yang masih menggarap sisindiran sebagai salah satu bentuk seni pentas dan seni vokal yang dihubungkan dengan seni komedi atau humor. Meskipun wawangsalan termasuk ke dalam bagian dari sisindiran, bentuknya sangat berbeda dengan paparikan dan rarakitan. (Gunardi, 2011: 20). Menurut pendapat Salmun (1963: 30) Wawangsalan; cek sawareh pangna disebut wawangsalan teh dumeh tina kecap wangsal anu lila-lila jadi wangsul, hartina balik. Eta sababna 588
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra IIIcenah, anu matak di urang Sunda oge aya kecap bangbalikan, ek sawareh deui asal tina angsal, anu hartina beunang, sabab dina wawangsalan teh aya sabangsa teteguhan anu kudu dibeunangkeun eusina. Wawangsalan: oleh sebagian mengapa disebut wawangsalan karena sebagian dari kata wangsal yang kemudian menjadi wangsul, artinya kembali. Itulah sebabnya, para orang Sunda pun ada kata bangbalikan, sama artinya dengan wawangsalan. Kata sebagian orang berasal dari kata angsal, yang ada didapatkan, sebab di dalam wawangsalan ada semacam teka-teki yang harus didapatkan isinya. Ekadjati dkk. (2000: 697) menyebutkan bahwa wawangsalan merupakan sejenis puisi lama yang sering digolongkan ke dalam sisindiran atau istilah lainnya disebut dengan bangbalikan. Istilah wawangsalan berasal dari Jawa wangsal atau angsal yang artinya asal karena untuk menemukan kata kunci yang menjadi inti pada larik isi harus dicari sampiran berupa teka-teki yang harus ditebak jawabannya. Jawabannya itulah yang disebut wangsal. Menurut para ahli sastra Sunda ada bentuk lain yang dimasukkan ke dalam kelompok sisindiran, yakni wawangsalan. Sebuah istilah yang juga berasal dari Jawa, wangsalan. Pada bentuk sastra ini, ada semacam sampiran yang amat menyerupai teka-teki menurut Wibisana dkk. (2000: 243). Jenis wawangsalan menurut Salmun (1963: 58) ada dua macam. a. Bangbalikan-lanjaran Bangbalikan merupakan sejenis wawangsalan yang dibentuk oleh sampiran dan isi, serta di belakang sisinya, ada kata yang harus dicari atau ditebak. Wawangsalan yang dibentuk oleh sampiran dan isi, serta di belakang isinya, ada kata yang harus dicari dan ditebak. Contoh: Bedil langit handaruan Engkang sapertos kalinglap (bedil) bedil langit bersuara eras, Abang seperti lupa pada seseorang (gelap) b. Bangbalikan-dangding Bangbalikan dangding merupakan wawangsalan yang ditembangkan atau dinyanyikan. Menurut Salmun (1963: 59) Wawangsalan jenis bangbalikan dangding (tembang), yaitu danding yang setiap bait diisi dengan sampiran dan isi bangbalikan. Cotoh: Bentuk wawangsalan dalam pupuh Dangdangula (Wiratmadja, 2006: 91) Mega beureum bijilna geus burit Ngalanglayung panas pipikiran (layung) mega merah muncul pada waktu sore hari melamun panas pikiran (layung) Tataruncingan (teka-teki) atau dulu disebut turucing atau tuturucingan, tidak hanya ada dalam kehidupan orang Sunda. Mungkin setiap bangsa memiliki kebiasaan model yang sama, menyusun perkataan yang isinya harus ditebak atau dicari yang bertujuan untuk menghibur. Pada suku bangsa Melayu, baik di Indonesia atau di negeri Jiran, disebut teka-teki. Pada lingkungan orang Jawa disebut badean atau bedekan. Pada sebagian daerah di Jawa Barat sebelah utara ada juga yang menyebut tataruncingan dengan istilah bebedean. Wawangsalan merupakan salah satu bentuk tuturan metaforis yang tentunya berkaitan dengan metafora. Menurut Subroto (1992: 38) metafora dipandang sebagai salah satu wujud daya kreatif bahasa oleh pengguna bahasa di dalam penerangan makna. 589
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III- The thing we are talking about, that to which we are comparing it sesuatu yang sedang kita perbincangkan, sesuatu tempat kita membandingkan Djajasudarma (2009) mengelompokkan jenis makna menjadi 12 yaitu, makna sempit; luas; kognitif; konotatif dan emotif; referensial; kontruksi; leksikal dan gramatikal; idesional; proposisi; pusat; piktorial; dan idiomatik. Menurut Djajasudarma (2009: 20) makna idiomatik merupakan makna leksikal terbentuk dari beberapa kata. Kata-kata yang disusun dengan kombinasi kata lain dapat pula menghasilkan makna yang berlainan. Sebagian idiom merupakan bentuk beku (tidak berubah). Artinya, kombinasi kata-kata dalam idiom dalam bentuk tetap. Representasi Metafora dan Makna Idiom dalam Wawangsalan Bahasa Sunda Berdasarkan data yang ditemukan dalam penelitian, mitra tutur diarahkan untuk memahami baris atau larik pertama yang berupa teka-teki. Sementara isi atau jawaban wawangsalan dibantu dengan baris atau larik kedua. Umumnya, pada baris pertama atau baris kedua terdapat salah satu pilihan kata (diksi) yang akan membantu mitra tutur untuk menentukan jawaban. Misalnya, dengan mengacu pada akar kata atau suku akhir kata atau silabel pada diksi tersebut. Contoh data 1 kebon pare dicaian siwah niat jalir jangji (sawah) kebun padi diairi jangan berniat ingkar janji Berdasarkan contoh wawangsalan (data 1) diketahui bahwa pada baris kedua /ah/ pada kata siwah menjadi petunjuk jawaban dari wawangsalan di atas yaitu sawah. Kedua, kebon pare dicaian kebun padi diairi menjadi gambaran mengenai sawah yang selalu basah. Metafora yang timbul dari pengalihan pengalaman penutur mengenai sawah yang identik dengan kebun padi yang diari oleh air bahwa menunjukkan sesuatu yang tidak biasa. Kebun identik dengan tanah yang kering dan sesekali diairi atau disiram karena lebih sering diairi secara alami oleh air hujan. Dengan demikian, sawah menjadi kebun yang tidak umum karena selalu basah tergenang air. Makna idiomatik tersebut dijelaskan dengan baris kedua yaitu siwah niat jalir jangji jangan berniat ingkar janji artinya apabila kita berjanji hendaknya ditepati. Umumnya seperti itu tetapi kenyataannya masih ada orang yang tidak suka menepati janji. Contoh data 2 Dodol gula digolongan, Nu hina kaluli-luli (gulali) Dodol gula digolong yang hina betul-betul hina Berdasarkan wawangsalan data 2, baris atau larik pertama dodol gula digolongan dodol gula digolong memiliki awalan /gu/ pada kata gula yang dapat dijadikan acuan menjawab tekateki. Selanjutnya, pada baris kedua atau larik kedua nu hina kaluli-luli yang hina betul-betul hina silabel /li/ pada gulali menjadi rujukan untuk menjawab teka-teki yang ingin disampaikan penutur. Dodol gula merupakan salah satu makanan sejenis permen yang berbahan dasar gula. Cara membuatnya, gula dimasak dalam wajan besar diaduk-aduk sampai akhirnya masak dan mudah dibentuk. Begitupun dodol dibuat dari bahan gula dengan campuran beragam bahan lainya seperti dodol coklat susu berbahan susu, coklat, dan gula; dodol stroberi berbahan stroberi dan gula; dodol durian berbahan durian dan gula; dan sebagainya. Metafora pemindahan 590
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra IIIpengalaman tentang pembuatan gula dengan api panas yang terus dimasak sampai dapat dibentuk dengan seseorang yang betul-betul hina. Gulali merupakan makanan yang manis dan enak namun proses membuatnya tidak semanis hasilnya. Artinya, seseorang pun sebenarnya adalah orang yang terhormat atau manis; namun kadang akibat dari perbuatannya ia akan menjadi orang yang hina. Hina memiliki asosiasi dengan proses membuat gulali yang harus dimasak dengan api besar di wajan dalam waktu yang tidak sebentar. Contoh data 3 Kulit teuas tungtun ramo, Baku osok nganyenyeri (kuku) kulit keras di ujung jari biasa suka menyakiti Pada baris atau larik pertama kulit teuas tungtung ramo kulit keras di ujung jari sebenarnya secara tersirat mitra tutur sudah dapat menjawab teka-teki wawangsalan tersebut. Kuku berada di setiap jari tangan dan kaki manusia. Namun, dalam wawangsalan tersebut kuku diungkapkan secara tersirat menjadi kulit teuas tungtun ramo meskipun sebenarnya mudah untuk ditebak. Pada baris pertama, mitra tutur dimudahkan menebak dengan adanya /ku/ pada kata kulit sedangkan pada baris kedua silabel /ku/ pada kata baku menjadi salah satu acuan untuk jawaban dari teka-teki tersebut yaitu kuku. Wawangsalan contoh 3 mengandung makna bahwa seseorang itu sebaiknya tidak menyakiti orang lain tetapi kenyataannya suka biasa menyakiti. Hal tersebut diasosiasikan dengan kuku yang sebenarnya berfungsi bukan untuk menyakiti melainkan untuk melindungi jari; menggaruk, atau keindahan bagi perempuan; dan sebagainya. Namun, karena kuku tersebut keras dan kadang runcing akhirnya sering disalahgunakan untuk menyakiti orang lain seperti mencakar atau mencubit. Metafora pemindahan pengalaman dari fungsi kuku atau manfaat kuku dengan menyakiti berkaitan dengan hal-hal negatif yang diakibatkan seseorang yang menggunakan kuku bukan untuk hal positif. Contoh data 4 Dagangan pangrapet surat, Mun kitu abdi mah alim, (elem) dagangan untuk lem surat kalau begitu saya tak mau Pada wawangsalan contoh 4 larik pertama, sebenarnya secara tersirat atau tidak langsung sudah dapat diketahui jawabannya yaitu elem lem. Elem lem merupakan benda yang digunakan untuk merapatkan surat. Kata pangrapet memiliki fonem /e/ dan /im/ pada kata alim menjadi acuan untuk jawaban teka-teki yaitu elem. Elem lem merupakan benda yang terbuat dari tepung tapioka teksturnya kenyal dan lengket sehingga dapat merapatkan atau mengelem kertas. Jadi, sebenarnya lem sangat bermanfaat namun karena bentuknya yang lengket membuat orang enggan tangannya terkena langsung dengan lem. Pengalaman akan lem tersebut diasosiasikan kepada penutur bahwa sebenarnya seseorang itu tidak mau seperti lem yang bermakna lengket karena identik dengan hal negatif dan kotor apabila mengenai tangan. Oleh karena itu, untuk situasi tertentu kadang seseorang tidak mau atau justru menghindarinya yang dijelaskan dalam lari kedua Mun kitu abdi mah alim kalau begitu saya tak mau. Simpulan Sebuah wawangsalan mengandung makna yang dijelaskan secara tersirat. Mitra tutur hendaknya mencari kunci dari jawaban teka-teki dari beberapa fonem yang ada pada kata di 591
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra IIIbaris pertama dan kedua. Metafora menjadi salah satu cara mengungkapkan pesan yang ingin disampaikan penutur kepada mitra tutur. Pemakaian asosiasi benda berdasarkan pengalaman memudahkan mitra tutur memahami isi dari wawangsalan. Pesan moral kepada mitra tutur agar tidak melakukan perbuatan yang merugikan dan menyakiti orang lain menjadi salah satu amanat yang ingin disampaikan penutur. Wawangsalan sebagai bentuk sastra Sunda dapat menjadi alat untuk pembentukan karakter Bangsa dan kearifan lokal serta memberikan nilai edukatif yang baik bagi peserta didik. Selain itu, mitra tutur dituntut berpikir untuk mencari jawaban dari teka-teki meskipun akhirnya disebutkan jawaban teka-teki wawangsalan tersebut. Hal tersebut dapat memberikan stimulasi berpikir kreatif dan kritis. Daftar Pustaka Abrams, M, H. 1981. A Glossary of Literary Term. New York: Holt Rinehart and Winston. Ardiwinata, dkk. 1984. Tata Bahasa Sunda. Jakarta: Balai Pustaka. Dimyati, Moh. 1997. Penelitian Kualitatif. Malang: IPTPI Cabang Malang. Djajasudarma, T. Fatimah. 2009. Semantik 2 Pemahanan Ilmu Makna. Bandung: Re ika Aditama. Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Tata Bahasa Acuan Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pegembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gunardi, Gugun. 2011. Inferensi dan Referensi Wawangsalan Bahasa Sunda. Bandung: Sastra Unpad Press. Hadi, Ahmad. 1993. Peperenian. Bandung: Geger Sunten. Rusyana, Yus. 1981. Payungi Sastra. Bandung: Gunung Larang. Salmun, M. A. 1963. Kandaga Kasustraan Sunda. Djakarta: Ganaco. Salmun, M. A. 1970. Kandaga Tata Kalimah. Djakarta: Ganaco. Subroto, D. Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Subroto, D. Edi. 2000. Kajian Wawangsalan dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Departemen Pendidikan Nasional. 592