HASIL. Tingkat perubahan warna, panjang kedalaman zona perubahan warna serta tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata ± simpangan baku.

dokumen-dokumen yang mirip
EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna) RISA ROSITA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

Lampiran 1. Gambar 1. Talus Segar Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus. Universitas Sumatera Utara

LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA. Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis.

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Kecipir

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April Penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAB IV PROSEDUR KERJA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

Lampiran 1. Gambar tanaman dan wortel. Tanaman wortel. Wortel

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

Lampiran 1 Lay out penelitian I

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

ol6 PENGARUH ASAM SALISILAT TERHADAP SIFAT KAW GAHARU (Aquilaria crassna) DESI RUSLIANI

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1.

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN

A : Tanaman ceplukan (Physalis minima L.)

Lampiran 1. Hasil Identifikasi hewan Teripang. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

Lampiran 1. Hasil identifikasi sponge

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Jengkol

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan rimpang lengkuas merah

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1 Analisis fitokimia

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. dianalisis diambil dari kebun dijalan kartama pekanbaru riau. Sampel

III. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis di laksanakan mulai bulan Juni

Bab III Bahan dan Metode

DAFTAR LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

Sediaan Mikroskopis untuk Pengamatan dengan Mikroskop Elektron Transmisi (TEM). Pengukuran Parameter Fotosintesis . Pengamatan Anatomi Daun HASIL

LAMPIRAN 1 CARA KERJA PENGUJIAN FISIKOKIMIA

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

Lampiran 2. Morfologi Tanaman Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth)

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. hijau atau tauge. Nata yang dihasilkan kemudian diuji ketebalan, diukur persen

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

LAMPIRAN 1 DATA PENGAMATAN. Tabel 7. Data Pengamtan Hidrolisis, Fermentasi Dan Destilasi. No Perlakuan Pengamatan

OLEH Burhanuddin Taebe Andi Reski Amalia Sartini

BAB III METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian,

BAB III METODE PENELITIAN. perkolasi kemangi kering menggunakan pelarut air dengan variasi waktu

sampel pati diratakan diatas cawan aluminium. Alat moisture balance ditutup dan

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014.

3 METODOLOGI PENELITIAN

Digerus Disaring. + reagen Dragendorff (+) endapan coklat kemerahan. Sampel + EtOH. Uji saponin. (+) busa bertahan ± 5 menit (+) endapan biru pekat

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

Lampiran 1. Identifikasi Tumbuhan

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Bawang Sabrang (Eleutherine palmifolia (L.) Merr).

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN EKSTRAK BUAH Breynia sp DAN. KUNCUP DAUN JATI (Tectona grandis) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI LUGOL PADA KEGIATAN PRAKTIKUM

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi

BAB III METODE PENELITIAN. Faktor I adalah variasi konsentrasi kitosan yang terdiri dari 4 taraf meliputi:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Pengambilan Contoh untuk Pemeriksaan Biologi Pada Permukaan Secara Langsung

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data penetapan kadar larutan baku formaldehid dapat dilihat pada

BAB III METODOLOGI. III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah :

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

Lampiran 1. Surat Identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-Bogor.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada September Oktober Pengambilan

Lampiran 1. Hasil Analisa Persentase Perkecambahan. Ulangan I II III

BAB III METODE PENELITIAN. Berdasarkan prosedur analisa besi, baik secara kualitatif maupun. kuantitatif, maka yang menjadi kerangka konsep adalah:

II. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Muhammadiyah Semarang di Jalan Wonodri Sendang Raya 2A Semarang.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

Transkripsi:

4 Tabel 1 Rancangan pemberian MeJA 750 mm secara berulang. Induksi / Pengamatan Perlakuan (hari ke-) Induksi 0 10 25 50 75 M1 * * * * M2 * * * M3 * * M4 * Keterangan : = pemberian * = pengamatan M1= Perlakuan MeJA 1x induksi M2= Perlakuan MeJA 2x induksi M3= Perlakuan MeJA 3x induksi M4= Perlakuan MeJA 4x induksi Sebanyak 2 ml MeJA 750 mm (dalam 0.1 % Tween 80) dioleskan pada daerah cabang yang telah dilukai, dan dibiarkan beberapa saat sampai mengering, lalu dibungkus dengan plastik dan diikat dengan tali. Semua perlakuan terdiri atas 4 ulangan dan dilakukan pada cabang yang berbeda. Cabang-cabang yang dilukai saja (tanpa induksi) sebagai kontrol positif (K+) serta cabang-cabang yang tidak dilukai sebagai kontrol negatif (K-) digunakan sebagai pembanding. Respon cabang yang diamati adalah kebugaran cabang, perubahan warna kayu, wangi kayu, dan analisis terpenoid. Kebugaran Cabang Kebugaran cabang ditetapkan berdasarkan persentase daun yang menguning atau daun gugur, dari total daun yang berada dari zona induksi ke arah pucuk. Kebugaran cabang juga ditetapkan berdasarkan persentase cabang yang mati. Pengamatan Warna dan Tingkat Wangi Deposit terpenoid pada kayu mungkin berasosiasi dengan perubahan warna dan pembentukan wangi. Oleh sebab itu, perubahan warna dan tingkat wangi kayu diamati, dan dilakukan sebelum analisis terpenoid. Pengamatan warna cabang meliputi perubahan warna dan panjang serta kedalaman zona perubahan warna. Tingkat perubahan warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem skor (0=putih, 1=kuning kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat kehitaman). Tingkat perubahan warna diamati sebanyak 4 ulangan Tingkat wangi kayu ditetapkan melalui uji organoleptik yang dinyatakan dengan rataan skor dari 3 responden. Skala skor wangi adalah 0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali. Tingkat perubahan warna, panjang kedalaman zona perubahan warna serta tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata ± simpangan baku. Analisis Terpenoid Uji Histokimia (Martin et al. 2002) Deposit terpenoid dideteksi dengan metode histokimia. Bagian cabang yang telah diinduksi dipotong secara melintang bagian tengahnya dengan ukuran ± 0.5x0.5x0.3 cm. Selanjutnya potongan cabang tersebut direndam di dalam larutan formaldehid 4 % dan K 2 HPO 4 100 mm (ph 7.5) selama ± 4 jam. Kemudian sampel dicuci dengan akuades. Potongan cabang selanjutnya dibekukan pada suhu -18 ºC sebelum disayat dengan mikrotom beku (Yamato RV-240). Sayatan cabang dengan ketebalan antara 18-20 µm diletakkan pada gelas objek. Untuk pengamatan senyawa terpenoid, sayatan tersebut ditetesi dengan larutan tembaga asetat 50 %. Supaya preparat tidak cepat mengering, pada sayatan tersebut ditambahkan larutan gliserin 30 %. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop cahaya (Nikon Afx-dx dan Nikon Obtiphot 2). Deposit terpenoid ditetapkan berdasarkan persentase (%) jaringan pengakumulasi yang mengandung senyawa tersebut pada luasan bidang pandang tertentu, dari 10 sayatan untuk masing-masing perlakuan. Uji Terpenoid (Liebermann-Burchard) Sebanyak ± 0.4 gram potongan kayu yang telah diberi perlakuan dilarutkan dalam 5 ml etanol absolut panas (100 ºC) kemudian disaring ke dalam cawan petri steril dan diuapkan sampai kering hingga terbentuk endapan berwarna kuning. Endapan kemudian ditambahkan 1 ml dietil eter dan dihomogenisasi. Endapan yang telah dihomogenisasikan selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung reaksi steril lalu ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H 2 SO 4 pekat. Warna merah atau ungu menunjukkan adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987). HASIL Kebugaran Cabang. Cabang A. crassna memberikan respon yang sama terhadap induksi MeJA dan pelukaan (K+). Induksi MeJA dan pelukaan menyebabkan terjadinya perubahan warna pada daun yang berada di daerah ujung cabang yang diberi perlakuan. Daun berubah warna dari hijau menjadi

5 kuning dan gugur. Perubahan warna terjadi satu sampai dua minggu setelah perlakuan. Daun-daun pada cabang yang diinduksi dengan MeJA (secara berulang) gugur lebih awal dibandingkan dengan daun-daun pada cabang yang hanya dilukai saja. Semakin banyak pengulangan, semakin besar persentase cabang yang daunnya gugur. Pada cabang yang diberi MeJA dengan satu kali perlakuan, sebanyak 21% cabang menunjukkan gugur daun, kemudian berturutturut pada dua kali perlakuan sebanyak 30% cabang, tiga kali perlakuan sebanyak 42% cabang, empat kali perlakuan sebanyak 50% cabang. Pada kontrol positif hanya ditemukan 10% cabang yang daunnya gugur. Berbeda dengan kedua perlakuan di atas, pada cabang yang tidak dilukai (K-) tidak ditemukan adanya perubahan warna pada daun, daun tetap segar dan hijau sampai akhir pengamatan. Perubahan Warna. Adanya perubahan warna kayu ditemukan baik pada cabang yang diberi perlakuan MeJA maupun cabang yang menjadi K+. Perlakuan dengan MeJA menghasilkan warna kayu yang beragam dibandingkan dengan K+ (Tabel 2). Perlakuan MeJA menghasilkan rata-rata perubahan warna kayu berkisar antara putih kecoklatan, coklat, sampai coklat kehitaman. Perlakuan K+ hanya menghasilkan rata-rata warna kayu putih kecoklatan, sedangkan pada perlakuan K- tidak terjadi perubahan warna kayu (Gambar 2). Tabel 2 Perubahan warna didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=putih, 1=putih kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat kehitaman) dari rataan 3 responden. Skor Warna dari Masing-masing Perlakuan Pengamatan (hsi) K- K+ M1 M2 M3 M4 10 0 ± 0 0.5 ± 0.3000 1 ± 0.1547 25 0 ± 0 0.5 ± 0.3000 2 ± 1.4142 2.5 ± 0.5774 50 0 ± 0 0 ± 0 2.5± 0.5774 2.5 ± 0.5774 2.5±0.5774 75 0 ± 0 0 ± 0 2.5± 0.5774 2.5 ± 0.5774 2.5±0.5774 2.75 ± 0.5000 Gambar 2 K- K+, M1 M2 M3 M4 Kayu A.crassna setelah diberi perlakuan (K-; skor warna 0 = putih), (K+, M1;skor warna 1 = putih kecoklatan), (M2;skor warna 2 = coklat), (M3; skor warna 3 = coklat), (M4; skor warna 4 = coklat kehitaman). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian MeJA (secara berulang) menyebabkan semakin dalam dan semakin panjang zona perubahan warna yang terbentuk. Perlakuan MeJA menghasilkan kedalaman (Tabel 3) dan panjang zona perubahan warna yang lebih tinggi (Tabel 4 dan 5) dibandingkan dengan K+. Perlakuan dengan MeJA 3x dan 4x induksi memiliki kedalaman paling besar yang terlihat pada pengamatan 75 hsi. Hal yang menarik adalah bahwa semua perlakuan MeJA menyebabkan peningkatan kedalaman warna semakin lama waktu inkubasi. Panjang zona perubahan warna yang mengarah ke arah apeks (menuju daun) (Tabel 4) berbeda dengan besarnya panjang zona perubahan warna yang mengarah ke arah basal (menuju batang utama) (Tabel 5). Pada perlakuan dengan MeJA rata-rata kisaran panjang zona perubahan warna yang terbentuk ke arah apeks hanya mencapai 5.48 cm dan 4.59 cm untuk panjang zona perubahan warna ke arah basal. Sedangkan pada K+, rata-rata panjang zona perubahan ke apeks sebesar 1.65 cm dan rata-rata panjang zona perubahan ke basal sebesar 3.53 cm.

6 Tabel 3 Kedalaman zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan. Kedalaman Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan (cm) 10 0 ± 0 0.3 ± 0.1633 0.75±0.2887 25 0 ± 0 0.63 ± 0.4349 0.93±0.1500 1.38 ± 0.7500 50 0 ± 0 0.85 ± 0.3000 1.45±0.6403 1.75 ± 0.9574 2.75±0.5000 75 0 ± 0 1 ± 0.0000 1.75±0.5000 2.25 ± 0.5000 3±0.0000 3 ± 0.0000 b a Gambar 3 Zona perubahan warna kayu A. crassna yang mengarah ke bagian apeks menuju daun (a) dan ke bagian basal menuju batang utama (b). Tabel 4 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah apeks (menuju daun). Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm) 10 0 ± 0 0.90 ± 0.4546 1.90± 0.2943 25 0 ± 0 0.98± 0.2062 2.78± 1.1295 5.48 ± 0.8655 50 0 ± 0 2.25± 0.6245 4.38± 1.4930 5.48 ± 1.0243 6.83±0.5909 75 0 ± 0 2.48 ± 0.3862 4.80± 0.9092 6.93 ± 0.2217 7.40±0.5944 8.80±1.3515 Tabel 5 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah basal (menuju batang utama). Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm) 10 0 ± 0 0.80 ± 0.2449 1.90 ± 0.4690 25 0 ± 0 1.05 ± 0.1732 2.48 ± 0.9535 5.00 ± 0.5354 50 0 ± 0 2.08 ± 0.6396 4.13± 0.8539 5.75 ± 0.6245 6.65±1.3723 75 0 ± 0 2.48 ± 0.3201 5.60± 2.0591 6.40 ± 0.5291 7.18±0.6701 8.50±1.0099 Tingkat wangi. Aroma wangi pada kayu hanya terdeteksi pada bagian cabang yang diinduksi dengan MeJA. Induksi MeJA menghasilkan aroma wangi dengan indeks tertinggi pada setiap kali panen dan wangi hanya bertahan sampai dengan 25 hari setelah aplikasi MeJA yang terakhir. Induksi MeJA secara berulang pada setiap kali panen mampu meningkatkan aroma wangi kayu yang hilang pada saat induksi sebelumnya. Pada 1 kali induksi dengan pemberian MeJA di hari ke 0, aroma wangi teramati pada panen 10 hsi dan menurun pada 25 hsi. Aroma wangi kemudian akan hilang pada 50 hsi (Tabel 6). Setelah diinduksi ulang (dengan 2 kali pemberian MeJA pada hari ke 0 dan dan hari ke 10) aroma wangi yang turun pada 1 kali induksi saat 25 hsi dapat meningkat kembali. Pada induksi 2 kali, aroma wangi juga terdeteksi pada 50 dan 75 hsi. Induksi ulang (dengan 3 kali pemberian MeJA pada hari ke 0, 10 dan 25) dapat meningkatkan aroma wangi yang turun pada 50 dan 75 hsi saat induksi 2 kali. Aroma wangi yang turun saat induksi 3 kali pada 75 hsi dapat ditingkatkan kembali dengan perlakuan induksi MeJA sebanyak 4 kali (Tabel 6). Pada pemberian MeJA secara berulang, pengaruh warna kayu tidak mempengaruhi tingkat wangi dengan nilai R 2 =0.0144 (Gambar 4).

7 Tabel 6 Tingkat wangi kayu A. crassna setelah diberi perlakuan didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali). Skor Wangi dari Masing-masing Perlakuan 10 0 ± 0 0 ± 0 2.25 ± 0.7500 25 0 ± 0 0 ± 0 0.75 ± 0.5000 2.5 ± 0.5774 50 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0 1.5 ± 0.7321 2.25 ± 0.7500 75 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0 1.25 ± 0.5000 1.75 ± 0.6583 2.75 ± 0.5000 Indeks Wangi 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Indeks Warna Gambar 4 Hubungan indeks warna dengan indeks wangi pada perlakuan MeJA didasarkan sistem skor 0-3 (0=putih, tidak wangi; 1=putih kecoklatan, kurang wangi; 2=coklat, wangi; 3=coklat kehitaman, wangi sekali). Analisis Terpenoid Setelah diamati secara mikroskopis dengan menggunakan pewarna tembaga asetat pada uji histokimia, adanya akumulasi senyawa terpenoid ditemukan pada jaringan parenkima jejari, included phloem, unsur trakea xilem dan empulur. Senyawa terpenoid terdeteksi pada cabang yang diberi perlakuan MeJA dan kontrol positif mulai 10 hsi (Gambar 5), sedangkan pada tanaman yang menjadi kontrol negatif tidak ditemukan adanya senyawa terpenoid. Cabang yang diinduksi dengan MeJA secara berulang memiliki persentase luasan jaringan pendeposit senyawa terpenoid terbesar setiap kali panen (Tabel 7). Deposit senyawa terpenoid, terakumulasi paling banyak pada jaringan parenkima jejari dan paling sedikit pada included phloem, unsur trakea xilem dan empulur (Tabel 7). Berdasarkan uji Lieberman-Burchard, warna merah atau ungu mengidentifikasikan adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987) (Gambar 7). Senyawa triterpenoid terdeteksi pada kayu yang diberi MeJA mulai 25 hsi (M25). Senyawa ini tidak terdeteksi pada kontrol negatif (K-) pada 10 hsi. Pada kontrol positif (K), mulai 50 hsi. b c d a Gambar 5 Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) yang terakumulasi pada jaringan parenkim jejari (a), included floem (b),unsur trakea (c), dan empulur (d) pada panen 10 hsi.

8 Tabel 7 Persentase (%) deposit terpenoid yang terakumulasi pada jaringan pengakumulasi terpenoid pada luasan bidang pandang tertentu (rataan dari 10 sayatan untuk masing-masing perlakuan). Jaringan Pengamatan Pengakumulasi Akumulasi Terpenoid Pada Perlakuan (%) (hsi) Terpenoid K- K+ M1 M2 M3 M4 10 jejari 0±0 5.38 ± 0.4819 8.94 ± 0.5966 Included floem 0±0 4.38 ± 0.3580 6.81 ± 0.7430 Unsur trakea 0±0 3.07 ± 0.1595 5.11 ± 0.8312 Empulur 0±0 2.91 ± 0.3549 4.31 ± 0.4284 25 jejari 0±0 14.31±0.3649 22.65±0.6524 32.14±3.1570 Included floem 0±0 6.85 ± 0.5910 18.22±0.2948 21.25±2.3291 Unsur trakea 0±0 5.44 ± 0.6484 13.00±0.3733 20.17±1.8149 Empulur 0±0 4.32 ± 0.6138 9.37 ±0.3239 17.18±1.7021 50 jejari 0±0 17.29±0.3114 52.75±1.5365 53.5±3.4826 61.64±2.9695 Included floem 0±0 13.09±0.7977 30.64±0.9668 37.1±1.1900 42.81±1.6775 Unsur trakea 0±0 10.26±0.3538 22.78±1.6379 25.81±0.8761 36.00±0.9949 Empulur 0±0 6.71 ±0.5459 14.65±0.7458 20.5±1.6892 31.00±0.9204 75 jejari 0±0 18.30±0.5957 53.61±3.9975 65.78±5.3751 69.00±3.7043 80.76±3.2668 Included floem 0±0 17.09±0.9759 46.81±5.3716 41.5±2.3599 53.75±3.2339 64.97±5.8687 Unsur trakea 0±0 14.63±1.2713 25.93±2.7988 32.16±2.0508 41.50±1.3220 53.42±5.1974 Empulur 0±0 13.70±1.3441 20.30±1.0211 27.75±2.6371 35.50±1.1416 46.50±1.3591 PEMBAHASAN Gambar 6 Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid pada resin gaharu alam berdasarkan pada uji Liebermann-Burchard K- K10 M10 K25 M25 K50 M50 K75 M75 Gambar 7 Triterpenoid yang telah teridentifikasi pada panen 10, 25, 50 dan 75 hsi berdasarkan pada uji Liebermann- Burhchard. Induksi MeJA dan Pengaruhnya terhadap Cabang yang Diinduksi Induksi MeJA 750 mm dan pelukaan menyebabkan stress pada pohon A. crassna. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning dan terjadinya gugur daun pada cabang-cabang yang telah diberi perlakuan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Janoudi dan Flore (2003), yang menyatakan bahwa perlakuan MeJA 10 mm pada tanaman persik (Prunus persica) mengakibatkan terjadinya penurunan kadar klorofil daun, penghambatan pembentukan cabang baru, penurunan jumlah daun sebanyak 31% dan penurunan berat daun muda setelah 3 minggu perlakuan. Satu kali perlakuan MeJA 750 mm tidak menyebabkan terjadinya klorosis daun, tetapi menyebabkan cabang yang diberi perlakuan MeJA mengalami gugur daun sebanyak 20% (Putri 2007). Cabang yang diinduksi dengan MeJA (secara berulang) mengalami gugur daun lebih banyak dibandingkan dengan cabang yang diberi pelukaan. Meskipun perlakuan MeJA (secara berulang) mampu menyebabkan gugur daun hingga mencapai 50 %, tetapi tidak ditemukan adanya cabang yang mati karena perlakuan tersebut. Menurut Fillela (2005), pemberian MeJA secara eksogen dapat