BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis atau TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenaiorgan tubuh lainnya. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) menyatakan TB sebagai suatu problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency) karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit TB paru tidak terkendali, ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, serta sebagai penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh penyakit infeksi. (Depkes RI, 2002). Pada tahun 2006, terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB secara global. Diperkirakan 1,7 juta orang (25/100.000) meninggal karena TB. Menurut data WHO tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat ke-3 penyumbang kasus TB terbesar di dunia setelah India dan China.TB di Indonesia bahkan telah menjadi penyebab kematian ketiga, setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan lainnya. Jumlah kasus baru sekitar 539.000 setiap tahunnya dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun (Depkes RI, 2007). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan ratarata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga 1
2 memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008). Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (costefective). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDR- TB). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Pengembangan strategi DOTS telah dilaksanakan di seluruh provinsi pada fasilitas pelayanan kesehatan,puskesmas (96%) dan di Rumah Sakit (40%).baik Rumah Sakit Pemerintah, Swasta, BUMN, dan TNI- POLRI. (Depkes RI, 2007). Risiko penularan setiap tahun ARTI (Annual Risk of Tuberkulosis Infection)di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI(Annual Risk of Tuberkulosis Infection) sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi TB paru. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akanmenjadi penderita tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberculosis. Berdasarkan keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk ratarata terjadi 100 (seratus) penderita Tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif. (Depkes RI, 2008).
3 Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia telah diakui keberhasilannya dalam pengendalian TB, hal ini dibuktikan dalam laporan Global Report Update tahun 2009 bahwa Indonesia berhasil menurunkan posisinya dari posisi 3 menjadi posisi ke 5 sebagai negara dengan jumlah pasien TB terbanyak di dunia. Selain itu dari data Global Report juga bisa dilihat keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kematian akibat TB dari 348/hari (Global Report GR, 2002), 300/hari (GR, 2007), 250/hari (GR, 2009), dan 169/hari (GR, 2010). Selain itu target cakupan penemuan kasus TB atau case detection rate sebesar 70% sudah tercapai karena Indonesia telah mencapai 77,3%, demikian pula target keberhasilan pengobatan atau success rate yang ditetapkan 85%, kita sudah mencapai 89,6%. Target Millenium Development Goals atau MDGs untuk pengendalian TB adalah prevalensi TB menurun menjadi 222 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB menurun sampai 46 per 100.000 di tahun 2015. Berdasarkan Global Report tahun 2010, prevalensi TB di Indonesia adalah 285 per 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian TB telah turun menjadi 27 per 100.000 penduduk. Artinya, target MDGs untuk angka prevalensi TB diharapkan akan tercapai pada 2015, sedangkan target angka kematian TB sudah tercapai (Kemenkes RI, 2011) Namun demikian tentunya permasalahan dalam pengendalian TB masih sangat besar, dan Indonesia masih berkontribusi sebesar 5,8% dari kasus TB yang ada di dunia. Dengan masih adanya sekitar 430.000 pasien baru per tahun dan angka insiden 189/100.000 penduduk serta angka kematian akibat TB sebesar 61.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk, TB masih menjadi tantangan dalam masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kemenkes RI, 2011).
4 TB Paru merupakan penyakit menular, dimana kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan dokter dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada masyarakat luas.diagnosa yang tepat, pemilihan obat serta pemberian obat yang benar dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya (Asti, 2006). Riskesdas tahun 2010 melaporkan bahwa cakupan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) nasional adalah sebesar 83,2%. Persentase penderita TB yang telah menyelesaikan pengobatan OAT sebanyak 59,0 persen, sebanyak 19,3 persen berobat tidak lengkap (<5 bulan) dan tidak minum obat 2,6 persen. Di Sumatera Utara, penderita TB menempati urutan ketujuh nasional. Jumlah penderita TB Paru di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak 104.992 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 13.744 orang, dari jumlah yang diobati jumlah pasien yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32% (Dinkes Prov. Sumatera Utara, 2010). Kota Medan merupakan yang terbesar jumlah penderita TB bila dibandingkan dengan jumlah penduduk dari tiap Kab/Kota dengan jumlah penderita sebanyak 10.653 orang yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 1.960 orang, dari jumlah yang diobati yang sembuh sebanyak 790 orang atau sekitar 40,30% (Dinkes Kota Medan, 2010). Berdasarkan Indikator Sasaran program penanggulangan TB adalah tercapainya cakupan kesembuhan 85% dari semua pasiendalam setahun serta mempertahankannya. Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan,Puskesmas Sunggal
5 merupakan salah satu yang memberikan pelayanan pengobatan TB yang ada di kota Medan. Pada tahun 2011 jumlah penderita TB yang ada di Puskesmas Sunggal yaitu 43 orang, sedangkan angka kesembuhan yang dicapai sebesar 76,7% hal ini menunjukkan bahwa Puskesmas Sunggal belum mencapai target keberhasilan kesembuhan yang harus dicapai yaitu 85%. Keadaan ini menggambarkan bahwa tingkat kepatuhan pasien penderita TB Paru masih kurang yaitu hanya 76,7% dari cakupan yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan yaitu 85% (Dinkes Kota Medan 2012) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah pengetahuan, motivasi minum obat dan KIE (Komunikasi,Informasi dan Edukasi). Faktor penting lainnya adalah tingkat pendidikan pasien,pendidikan rendah mengakibatkan pengetahuan rendah. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah. (Aditama, 2004) Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi.kebanyakan penderita tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat dan kebanyakan penderita merasa enak pada akhir fase intensif dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan (Simamora, 2004). Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini
6 akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah. Berdasarkan hasil survey awal pada bulan November tahun 2013 yang dilakukan peneliti di Puskesmas Sunggal jumlah penderita TB Paru 43 orang pada tahun 2011, sedangkan pada tahun 2012 jumlah penderita adalah sebanyak 41 orang dan tahun 2013 sebanyak 42 orang. Sedangkan cakupan kesembuhan pengobatan TB pada tahun 2011 adalah 76,7 % dan tahun 2012 adalah 75,6 %. Berdasarkan target program penanggulangan TB Puskesmas Sunggal belum mencapai target yaitu 85 % dari semua pasien TB Paru. Saat dilakukan wawancara kepada orang penderita TB, pasien menyatakan bahwa pasien malas ke Puskesmas karena pada saat berkonsultasi, petugas hanya menjelaskan seperlunya dan tidak ada waktu untuk mendengarkan semua keluhan pasien padahal pasien kurang mengerti dengan penjelasan yang diberikan petugas kesehatan. Selain alasan tersebut, penderita TB paru juga mengatakan bosan mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama, karena kurang merasakan efek kesembuhan, sehingga merasa pesimis dan ragu akan kesembuhan penyakitnya. Hasil penelitian Erawatyningsih (2009) bahwa keteraturan/kepatuhan berobat penderita TB paru ditentukan oleh perhatian tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan, penjelasan kepada penderita, kalau perlu mengunjungi ke rumah serta tersedianya obat paket TB paru. Petugas kesehatan perlu meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman dan memberikan motivasi bagi penderita agar penderita dan keluarga dapat memahami tentang penyakit TB paru, cara pencegahan dan akibat dari tidak teraturnya menjalankan pengobatan, sehingga dapat
7 meningkatkan kepatuhan penderita untuk datang berobat. Petugas harus memberikan penjelasan secara rinci, berlaku simpatik dan ramah, serta empati. Menurut Bart dalam Niven (2002), berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan petugas kesehatan, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan. Salah satu strategi untuk meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara dokter maupun perawat dengan pasien. Kualitas interaksi antara petugas kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi petugas kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh tenaga kesehatan. Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi (Niven, 2002). Menurut Murwani (2009) komunikasi menjadi penting karena: 1) merupakan sarana terbina hubungan yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan, 2) dapat melihat perubahan perilaku yang terjadi pada individu atau pasien, 3) dapat sebagai kunci keberhasilan tindakan kesehatan yang telah dilakukan, 4) dapat sebagai tolak
8 ukur kepuasan pasien, dan 5) dapat sebagai tolak ukur komplain (keluhan) tindakan dan rehabilitasi. Pasien cenderung menunjukkan kepuasan lebih besar pada tenaga kesehatan yang memberikan mereka kesempatan berbicara, memberikan waktu untuk mendengarkan, memberikan penjelasan tentang penyakit dan pengobatan yang harus dilakukan, serta menunjukkan kepedulian, dibandingkan tenaga kesehatan yang berlaku sebaliknya. Semakin besar kepuasan yang dirasakan oleh pasien cenderung dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang berlangsung rutin dengan tenaga kesehatan tersebut. Kepuasan pasien juga ditunjukkan pada kepatuhannya terhadap anjuran dan saran dari tenaga kesehatan (Alven, 2008). Menurut Nazar (2013) kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru dipengaruhi oleh komunikasi petugas kesehatan, isi informasi dan teknik komunikasi, akan tetapi diketahui bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kepatuhan berobat yaitu isi informasi. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014 1.2. Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah ketidakpatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan TB Paru. Berdasarkan data Puskesmas Sunggal Tahun 2012 dari 41 orang penderita TB Paru, 4 orang pasien pengobatan lengkap dan satu orang
9 tidak tuntas. Hal ini diduga karena komunikasi petugas yang masih kurang kepada pasien sehingga peneliti ingin mengetahui Bagaimana Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis Bagaimana Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien menjalani Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan Tahun 2014. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek keterbukaan petugas kesehatan terhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru 2. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek empati petugas kesehatanterhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru 3. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek sikap mendukung petugas kesehatan terhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru 4. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek sikap positif petugas kesehatan terhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru 5. Mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dari aspek kesetaraan petugas kesehatan terhadap kepatuhan menjalani pengobatan TB paru
10 1.4. Manfaat Penelitian a. Bagi Puskesmas Sunggal Medan, sebagai informasi mengenai masalah yang berkaitan dengan Hubungan Komunikasi Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan b. Bagi penderita, sebagai acuan dalam rangka peningkatan Kepatuhan Pasien Menjalani Pengobatan serta memberikan motivasi kepada penderita TB Paru. c. Secara teoritis dapat mendukung pengembangan ilmu pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku, serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk pengembangan ilmu kesehatan khususnya tentang TB Paru. d. Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya baik dengan variabel yang sama maupun berbeda serta tempat yang berbeda pula.