BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik disertai adanya tuntutan untuk lebih demokratis

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi. menjadi suatu fenomena yang umumnya sering terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB I PENDAHULUAN. yang efektif dalam menangani sejumlah masalah berkaitan dengan stabilitas dan. pertumbuhan ekonomi di dalam suatu negara demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

1 UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satunya dengan dibuatnya ketetapan MPR yaitu Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan landasan hukum bagi dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahaan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (yang kemudian direvisi dengan Undang- Undang Nomor 32 dan Undang- Undang Nomor 33 tahun 2004) sebagai dasar penyelenggaraan dari otonomi daerah. Menurut Ulum (2008) : Otonomi daerah dewasa ini telah menjadi semacam new product dari sebuah industri bernama pemerintah yang begitu masuk di pasar langsung memperoleh tanggapan sangat tinggi. Otonomi daerah menjadi sesuatu yang marketable dari berbagai sisi dan bidang kajian. Di satu pihak, otonomi daerah memberikan harapan baru terhadap tumbuhnya kesadaran untuk membangun daerah secara lebih optimal, tidak lagi terkonsentrasi di Pusat. Namun di pihak lain otonomi daerah menghadirkan kekhawatiran munculnya desentralisasi masalah dan desentralisasi kemiskinan. Artinya pelimpahan dari beberapa wewenang dari Pusat di daerah juga disertai dengan pelimpahan masalah dan kemiskinan yang selama ini tidak dapat ditangani dan diselesaikan oleh pemerintah pusat.

Pada reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan sistem pengelolaan keuangan daerah mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif, akuntabilitas dan bertanggung jawab. Aspek yang paling penting yaitu akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan pemerintah termasuk di bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas publik Menurut Mardiasmo (2002) adalah pemberian informasi dan pengungkapan seluruh aktivitas dan kerja finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pengamat ekonomi, pengamat politik, investor, hingga rakyat mulai memperhatikan setiap kebijakan dalam pengelolaan keuangan. Untuk mewujudkan transparansi telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2006 tentang Sistem informasi Keuangan Daerah yang pada intinya pemerintah daerah wajib menyajikan informasi keuangan daerah secara terbuka kepada masyarakat, konsekuensinya setiap pemerintah daerah harus membangun sistem informasi keuangan daerah. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas publik begitu sering ditujukan kepada para manajer pemerintah di daerah. Seiring dengan itu semua peraturan pemerintah 105 tahun 2000 juga mensyaratkan pertanggungjawaban keuangan dalam bentuk laporan keuangan yaitu berupa Neraca Daerah, Arus Kas, dan Realisasi Anggaran, bagi kepala daerah. Hal itu semua pada akhirnya menuntut kemampuan manajemen daerah untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan efektif.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diartikan sebagai rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 (dalam Kawedar, dkk, 2008), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Mengingat berdasarkan teori Keyness, APBD merupakan salah satu mesin pendorong ekonomi. Dan belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Peranan APBD sebagai pendorong dan salah satu penentu tercapainya target dan sasaran makro ekonomi daerah diarahkan untuk mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok yang merupakan tantangan dalam mewujudkan agenda masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Kebijakan pengelolaan APBD difokuskan pada optimalisasi fungsi dan manfaat pendapatan, belanja dan pembiayaan bagi tercapainya sasaran atas agenda-agenda pembangunan tahunan. APBD harus memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan, serta bagian pendapatan APBD yang digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dan belanja modal/investasi.

Unsur- Unsur APBD menurut Halim (2004 :15-16) adalah sebagai berikut: 1) Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci. 2) Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutup biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan. 3) Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. 4) Periode anggaran yang biasanya satu tahun. Pesatnya pembangunan daerah yang menyangkut perkembangan kegiatan fiskal yang membutuhkan alokasi dana dari pemerintah daerah mengakibatkan pembiayaan pada pos belanja yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan membutuhkan tersedianya dana yang besar pula mentransferkan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari bagi hasil pajak pusat. Disamping Dana Perimbangan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pinjaman Daerah, maupun Lain-lain Penerimaan Daerah yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, kepada daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan mengelola sumber daya alam. Sumber dana bagi daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) dan Pinjaman Daerah, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah

Daerah melalui APBD, sedangkan yang lain dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerja sama dengan Pemerintah Daerah ( Halim, 2009). Kendala utama yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Proporsi Pendapatan Asli Daerah yang rendah, di lain pihak, juga menyebabkan Pemerintah Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik langsung maupun tidak langsung, dibiayai dari dana perimbangan, terutama dana alokasi umum. Alternatif jangka pendek peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah adalah menggali dari Pendapatan Asli Daerah. Pungutan Pajak dan Retribusi Daerah yang berlebihan dalam jangka panjang dapat menurunkan kagiatan perekonomian, yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya Pendapatan Asli Daerah. Disamping Dana Perimbangan, Pemerintah Daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pembiayaan, dan Lainlain Pendapatan. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Seharusnya Dana Transfer dari Pemerintah Pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel. Namun, pada praktiknya transfer dari Pemerintah Pusat merupakan sumber pendanaan utama Pemerintah Daerah untuk membiayai operasi utamanya seharihari, yang oleh Pemerintah Daerah dilaporkan di perhitungan APBD. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi (kalau tidak mungkin menghilangkan)

kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Optimalisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah hendaknya didukung upaya Pemerintah Daerah dengan meningkatkan kualitas layanan publik (Mardiasmo, 2002). Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap daerah berbeda-beda. Daerah yang memiliki kemajuan di bidang industri dan memiliki kekayaan alam yang melimpah cenderung memiliki PAD jauh lebih besar dibanding daerah lainnya, begitu juga sebaliknya. Karena itu terjadi ketimpangan Pendapatan Asli Daerah. Disatu sisi ada daerah yang sangat kaya karena memiliki Pendapatan Asli Daerah yang tinggi dan disisi lain ada daerah yang tertinggal karena memiliki Pendapatan Asli Daerah yang rendah. Menurut Halim (2009), permasalahan yang dihadapi daerah pada umumnya berkaitan dengan penggalian sumber-sumber Pajak dan Retribusi Daerah yang merupakan salah satu komponen dari Pendapatan Asli Daerah masih belum memberikan konstribusi signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan serta kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal tersebut dapat mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Peranan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar wilayah Provinsi dapat membiayai kebutuhan pengeluaran kurang dari 10%. Distribusi pajak antar daerah sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi. Peranan pajak dan retribusi daerah

dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi terjadi hal ini terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya relatif mahal) dan kemampuan masyarakat, sehingga dapat mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi. Penentuan besarnya alokasi dana untuk suatu kegiatan terutama yang dilaksanakan oleh unit-unit kerja daerah ditentukan dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar dalam menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan dengan jumlah atau persentase tertentu tanpa dilakukan kajian yang mendalam. Suatu unit kerja dalam mengajukan usulan program/proyek kurang memperhatikan kenyataan yang sesungguhnya, yaitu kenyataan yang dapat memprediksi kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya diperlukan. Unit-unit kerja malah berlomba-lomba mengajukan usulan program / proyek sebanyakbanyaknya dan menganggarkannya melebihi kebutuhan riil. Pengalokasian dana yang hanya berdasarkan data tahun sebelumnya dengan pengajuan program/proyek yang melebihi kebutuhan riil mengakibatkan kenaikan jumlah Belanja Daerah. Besarnya alokasi anggaran belanja daerah tersebut ternyata tidak didukung dengan alokasi pendapatan daerah sebagai sumber pendanaan bagi belanja. Kondisi ini mengakibatkan defisit anggaran bagi pemerintah daerah itu sendiri. Menurut Darise (2009): Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk pemerataan dan mengurangi ketimpangan

kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Permasalahan Dana Alokasi Umum terletak pada perbedaan cara pandang antara pusat dan daerah tentang Dana Alokasi Umum. Bagi pusat, Dana Alokasi Umum dijadikan instrument horizontal imbalance untuk pemerataan atau mengisi fiscal gap. Bagi daerah, Dana Alokasi Umum dimaksudkan untuk mendukung kecukupan. Permasalahan timbul ketika daerah meminta Dana Alokasi Umum sesuai kebutuhannya. Di sisi lain, alokasi Dana Alokasi Umum berdasarkan kebutuhan daerah belum bisa dilakukan karena dasar perhitungan fiscal needs tidak memadai ( terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masingmasing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasarkan pada standar analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran khususnya APBD belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien. Menurut Ulum (2009) : Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat dikatakan sebagai faktor - faktor yang mempengaruhi Belanja Daerah dikarenakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu indikator yang berkaitan langsung dengan pembiayaan Belanja Daerah, dan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sendiri merupakan sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom

(provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Oleh karena itu faktor diatas termasuk dalam anggaran pendapatan, yang kontribusinya mempengaruhi terhadap pembiayaan belanja daerah. Sumber-sumber Pendapatan Daerah yang diperoleh dan dipergunakan untuk membiayai penyelenggaran urusan Pemerintah Daerah. Warsito, dkk (2008) mengatakan bahwa Belanja Daerah dirinci menurut urusan Pemerintah daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek belanja. Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Provinsi atau Kabupaten/Kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Belanja penyelenggaran urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Dalam rangka memudahkan penilaian kewajaran biaya suatu program atau kegiatan, belanja menurut kelompok belanja terdiri dari Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung. Menurut Halim (2009) belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja

bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sedangkan Belanja Langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Modal. Fenomena umum yang dihadapi oleh sebagian besar pemerintahan daerah di Indonesia dibidang keuangan daerah adalah relatif kecilnya peranan (kontribusi) Pendapatan Asli Daerah (PAD) didalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan kata lain peranan/kotribusi penerimaan yang berasal dari Pemerintah pusat dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bagi hasil pajak dan Bukan pajak, mendominasi susunan APBD. Berdasarkan uraian latarbelakang yang dikemukakan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Daerah Pada Pemerintahan Kabupaten Dan Kota di Provinsi Jambi. 1.2. Perumusan Masalah Dengan adanya otonomi daerah Pemerintah Kabupaten/Kota, maka pengelolaan keuangan sepenuhnya berada ditangan pemerintah daerah itu sendiri dan dituangkan dalam APBD yang menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai kegiatan pelaksanaan tugas pembangunan. Salah satu indikator penting adalah kemampuan dalam bidang keuangan yang tercermin dalam pendapatan. Untuk itu dicari faktor-faktor yang diharapkan mempunyai hubungan dan dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan dan pengeluaran

pembangunan yang merupakan unsur Belanja Daerah yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap Belanja Daerah pada pemerintahan kabupaten dan kota di Provinsi Jambi periode 2007-2011? 1.3. Batasan Penelitian Agar dapat terfokus dalam pembahasannya maka penelitian ini di batasi pada masalah dalam penelitian adalah: 1. Pemerintahan Kabupaten dan kota yang secara konsisten melaporkan laporan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Belanja Daerah di provinsi Jambi. 2. Data yang digunakan dalam penelitian ini hanya dalam periode 2007-2011. 1.4. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis secara pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap Belanja Daerah pada pemerintahan kabupaten dan kota di Provinsi Jambi periode 2007-2011.

1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Manfaat bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai pelatihan intelektual, mengembangkan wawasan berfikir yang dilandasi konsep ilmiah khususnya ilmu akuntansi sektor publik. 2. Manfaat bagi pemerintah daerah, menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam melakukan penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah dan dapat digunakan sebagai masukan untuk mendukung pembuatan atau kebijakan mengenai penganggaran. 3. Manfaat bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan di bidang akuntansi sektor publik. 4. Manfaat bagi masyarakat, menjadi dasar penentuan sikap dalam mendukung pembangunan daerah. 5. Manfaat bagi peneliti selanjutnya, dijadikan sebagai referensi untuk penelitian yang sejenis.