I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Buah salak adalah salah satu jenis buah-buahan asli Indonesia yang telah lama dibudidayakan. Seiring dengan meningkatnya produksi salak di Bali mengakibatkan jatuhnya harga salak bali, oleh karena itu diperlukan penanganan pasca panen yang baik untuk meningkatkan nilai tambah salak itu sendiri, sehingga salak bisa diolah menjadi berbagai macam produk, terutama wine salak yang memiliki nilai tambah yang sangat tinggi. Buah salak yang dinilai baik kualitasnya adalah salak yang memiliki rasa manis, tidak sepet, tidak masam dan halus daging buahnya. Tanaman salak (Salacca edulis reinw) sinonim salacca zalacca (Gaertner) Voss yang telah lama dibudidayakan di Bali, terutama di Kabupaten Karangasem, adalah varietas Ambonensis (Salacca zalacca var. Ambonensis) dan di kenal sebagai salak bali. Namun, belum dapat diketahui secara pasti awal pembudidayaan salak di Bali tersebut. Menurut sumber dari sebuah lontar, penanaman salak bali bermula di desa Sibetan, jenisnya berasal dari salak liar. (Schulling and Mogea, 1991). Populasi tanaman salak di Kabupaten Karangasem tercatat 5.897.315 pohon, selama tahun 2009 menghasilkan 44.623 ton buah salak, menurun menjadi 38.180 ton pada tahun 2010. Tanaman salak ini tersebar di beberapa kecamatan diantaranya; Bebandem, Sidemen, Manggis, Karangasem dan Rendang. Produk salak bali cenderung bermusim, panen raya biasanya pada bulan Desember-Februari dan antara bulan Juli- 1
Agustus. Pada musimnya, produk salak bali melimpah yang menyebabkan harga salak Bali turun (BPS, 2009). Oleh karena itu diperlukan penanganan pasca panen untuk mengolah produk salak Bali menjadi produk yang awet dan ekonomis. Beberapa tahun terakhir mulai diusahakan beberapa proses pengolahan buah salak menjadi dodol, kripik, asinan, sari buah dan wine salak sebagai usaha untuk menjaga kestabilan harga salak di pasaran dan untuk penganekaragaman produk olahan salak. Wine salak sebagai salah satu produk olahan salak yang telah diproduksi di Dusun Dukuh Desa Sibetan, sangat berpotensi dikembangkan untuk meningkatkan nilai jual dari produk salak dan berpotensi untuk menghasilkan brand baru yang nantinya akan menjadi icon oleh-oleh khas Bali. Namun demikian, kualitas wine salak masih belum stabil, seperti rasa, dan kandungan alkohol masih beragam, serta setelah disimpan beberapa bulan tampak kurang jernih. Wine salak setelah di botolkan masih terdapat endapan yang dapat menimbulkan kekeruhan atau kurang jernih. Alternatif untuk diperolehnya wine salak yang jernih adalah dengan dilakukannya penjernihan. Penjernihan wine dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pengendapan, filtrasi dan penambahan bahan penjernih. Wine salak yang diproduksi di Sibetan sudah dilakukan pengendapan dan disaring menggunakan filter bertingkat dari 10 µm sampai 0.45 µm. Namun demikian, setelah dibotolkan dan disimpan dalam waktu yang lama masih terdapat endapan. Padahal wine bagus adalah wine yang tampak 2
transparan, dimana tidak ada kandungan koloid yang dapat menyebabkan kekeruhan berupa wine yang tampak berawan dan kusam. Untuk itu perlu dilakukan penambahan bahan penjernih setelah tahap penyaringan. Bahan penjernih yang umum digunakan pada produk wine adalah bentonit, casein, putih telur, gelatin, isinglass, kieselsol, enzim pektinase, sparkolloid dan tannin. Pada penelitian ini digunakan penambahan tiga jenis bahan penjernih yaitu bentonit, kitosan dan gelatin pada berbagai macam konsentrasi. Pemilihan jenis bahan penjernih yang digunakan, efektif dalam mengendapkan koloid yang menyebabkan kekeruhan, kemudian jenis bahan penjernih ini memiliki perbedaan dalam proses penjernihannya. Seperti bentonit yang memiliki muatan negatif, berasal dari mineral alam yang mampu mengadsorbsi partikel koloid dalam wine. Sedangkan kitosan dan gelatin memiliki muatan positif yang berasal dari senyawa organik. Gelatin mempunyai kutub yang bermuatan positif yang akan bereaksi dengan kutub negatif dari tanin dan membentuk kompleks gelatin tanin yang akan mengendap (Gumbira, 1987). Bentonit dapat menyerap protein karena adanya tarik-menarik antara muatan negatip dari silikat yang dikandung bentonit dengan muatan positif protein. Kitosan memiliki jumlah muatan positif tinggi, satu muatan per unit gugus glukosamin, jika banyak material bermuatan negatif (seperti protein) maka muatan positif kitosan berinteraksi kuat dengan permukaan negatif (Sandford dan Hutchings, 1987). 3
Dosis yang digunakan untuk gelatin 0,1 0,75 g/l, Bentonit 0,25 1 g/h dan kitosan 0,25 0,75 g/l (Anon, 2003). Sedangkan menurut Sudjatha dan Wisaniyasa (2002), dosis yang diberikan pada penggunaan gelatin adalah 0,05 0,15 g/l. Kemudian pada penggunaan bentonit menurut Tressler dan Joslyn (1961) sebagai penjernihan wine konsentrasi yang umum digunakan adalah 0,08-1,2 g/l. Sedangkan penggunaan konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,5 ppm, 1,0 ppm, 1,5 ppm, 2,0 ppm dan 2,5 ppm. Konsentrasi ini digunakan untuk mengetahui secara pasti pada konsentrasi berapa yang direfrensikan dapat menghasilkan kejernihan wine salak yang terbaik. 1.1. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh jenis dan konsentrasi bahan penjernih terhadap karakteristik wine salak? 2. Bahan penjernih jenis apakah dan pada konsentrasi berapakah dapat menghasilkan wine salak dengan karakteristik yang terbaik? 1.2. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi bahan penjernih terhadap karakteristik wine salak. 2. Untuk menentukan jenis dan konsentrasi bahan penjernih yang dapat menghasilkan karakteristik wine salak yang terbaik. 1.3. Hipotesis 1. Jenis dan konsentrasi penjernih yang digunakan dapat mempengaruhi karakteristik wine salak. 4
2. Pada jenis dan konsentrasi bahan penjernih tertentu diperoleh wine salak dengan karakteristik yang terbaik. 1.4. Manfaat Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh dan konsentrasi bahan penjernih terhadap karakteristik wine salak. Pada jenis dan konsentrasi tertentu dapat menghasilkan wine salak dengan karakteristik yang terbaik. 5