I. PENDAHULUAN. Popularitas salak sebagai buah meja semakin meningkat sejak petani di

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Popularitas salak sebagai buah meja semakin meningkat sejak petani di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta banyak mengembangkan varietas salak yang memiliki rasa manis khas yang banyak disukai yang bernama salak pondoh (Dimyati et al., 2008). Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2015), produksi salak di Indonesia dalam 5 tahun terakhir berturutturut mencapai ton (2010), ton (2011), ton (2012), ton (2013), dan ton (2014). Bagian buah salak yang dapat dimakan sekitar 56-65%, sedangkan limbahnya 35-44% yang terdiri dari biji salak sebesar 25-30%, dan kulit salak 10-14% dari buah salak utuh (Supriyadi et al., 2002). Mengingat banyaknya limbah biji salak yang dihasilkan, maka diperlukan suatu inovasi baru untuk mengolah limbah biji salak agar dapat meningkatkan kegunaan dan memberikan nilai tambah (added value) bagi limbah biji salak. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa biji salak Pondoh mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Menurut Fathoni (2014) biji salak mempunyai kandungan selulosa sebesar 31,10(%db). Menurut Indriati (2015), kandungan selulosa biji salak sebesar 35,18(%db), sedangkan menurut Hapsari (2015) kandungan selulosa biji salak sebesar 39,67(%db). Selulosa merupakan polimer rantai lurus dengan berat molekul yang tinggi, dapat diperbaharui dan bisa didaur ulang (Rachtanapun, 2009). Sifat dari selulosa adalah tidak larut didalam air dan sangat mudah menyerap air (Nisa dan Putri, 2014). 1

2 Banyaknya bagian kristalin dan kuatnya ikatan inter dan intra-molekul yang kuat pada rantai hidrogen selulosa menyebabkan selulosa sulit larut pada berbagai macam jenis pelarut organik. Beberapa jenis tanaman yang mempunyai kandungan selulosa cukup tinggi antara lain batang pisang abaca 56-61%, sisal 47-62%, rami 55-77%, rami halus (batang lenan) 43-47%, yute 45-63%, kayu keras 38-49%, pod husk cacao 29,23%, sabut kelapa sawit 28% (Hutomo et al., 2012). Selulosa dapat diekstraksi dari biji salak menggunakan larutan basa NaOH (Mulyani dan Sofyana, 2007). Penggunaan NaOH karena tidak merusak atau menyebabkan degradasi pada selulosa dengan konsentrasi dibawah 17,5% (Durgin, 1957). Penggunaan NaOH untuk ekstraksi selulosa dengan konsentrasi lebih dari 17,5% dapat mendegradasi selulosa sehingga rendemen yang dihasilkan menjadi rendah (Sjőstrőm, 1998). NaOH murah dan mudah diperoleh di pasaran dan tidak bersifat racun atau berbahaya setelah dilakukan pencucian (Hutomo et al., 2012). Proses esktraksi selulosa menggunakan NaOH bertujuan untuk membuka bagian kristalin pada selulosa sehingga dapat memisahkan lignin dan hemiselulosa yang masih terikat untuk memperoleh selulosa murni. Selulosa sangat berpotensi untuk diolah menjadi senyawa turunannya seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulose), MC (Methyl Cellulose), HPC (Hydroxy Propyl Cellulose), dan HPMC (Hydroxy Propyl Methyl Cellulose ) yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan karena mempunyai sifat fungsional dengan karakteristik tertentu. Turunan selulosa ini mempunyai sifat fisiko-kimia yang berbeda dengan selulosa. Perbedaan sifat selulosa dengan turunannya antara 2

3 lain tingkat kelarutan di dalam air, kemampuan mengikat air, kemampuan mengikat ion logam, kemampuan mengikat minyak, serta menurunkan tegangan permukaan pada sistem emulsi. Turunan selulosa yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan emulsifier, stabilizer, thickener, coating agent. Salah satu hasil turunan selulosa tersebut adalah Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Menurut Joint FAO/WHO Expert committee on Food Additives (JECFA) (1989) definisi dari CMC adalah natrium metil selulosa yang memiliki derajat substitusi (DS) 0,2-1,5 dan tingkat kemurnian 99,5%. Karboksimetil selulosa merupakan eter polimer selulosa linear dan berupa senyawa anion, yang bersifat biodegradable, tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam larutan organik, memiliki rentang ph sebesar 6,5 sampai 8,0, bereaksi dengan garam logam berat membentuk film yang tidak larut dalam air, transparan, serta tidak bereaksi dengan senyawa organik. Beberapa bahan yang telah dilakukan penelitian sebelumnya untuk sintesis CMC antara lain: eceng gondok (Barai et al.,1997; Wijayani et al.,2005 dan Cicilia, 2013), ampas tebu (Hidayati, 1999), tangkai semu pisang (Adinugraha et al.,2005), tandan kosong kelapa sawit (Adiseno, 2008), mahkota nanas (Susana, 2009), dan pod husk cacao (Hutomo et al., 2012). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH yang diberikan memberikan pengaruh terhadap karakteristik selulosa yang dihasilkan. Untuk memperoleh hasil ekstraksi selulosa yang terbaik, maka dilakukan variasi konsentrasi NaOH. Perlakuan 3

4 terbaik yang menghasilkan kadar selulosa tertinggi yang kemudian digunakan sebagai bahan dasar untuk sintesis CMC. Menurut Saputra et al (2014), proses pembuatan CMC meliputi dua tahap utama, yaitu alkalisasi dan karboksimetilasi. Proses alkalisasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH yang bertujuan untuk mengaktifkan gugus-gugus - OH pada molekul selulosa dan mengembangkan selulosa. Pengembangan selulosa ini dapat memudahkan difusi reagen untuk proses karboksimetilasi. Proses karboksimetilasi dilakukan dengan menggunakan reagen natrium monokloroasetat (NaMCA). Jumlah NaMCA yang digunakan berpengaruh terhadap substitusi dari unit anhidroglukosa (AGU) yang merupakan jumlah unit polimer pada selulosa dan mempengaruhi derajat substitusi (DS) dari CMC yang dihasilkan. DS merupakan jumlah rata-rata dari gugus hidroksil yang tersubtitusi per unit anhidroglukosa. Suhu reaksi karbksimetilasi yang diberikan berpengaruh terhadap DS CMC yang dihasilkan. Mengingat peranan ketiga faktor diatas (konsentrasi NaOH, banyaknya NaMCA dan suhu reaksi), maka dalam penelitian ini dilakukan variasi perlakuan untuk menghasilkan CMC dengan kualifikasi DS food grade. Penelitian mengenai sintesis CMC menggunakan limbah hasil pertanian sebagai bahan baku sudah banyak dilakukan, namun belum ada publikasi mengenai sintesis CMC yang menggunakan limbah biji salak sebagai bahan baku. Biji salak merupakan limbah dari buah salak dengan jumlah yang melimpah serta memilki kandungan selulosa tinggi. Oleh karena itu penelitian sintesis dan karakterisasi CMC dari biji salak perlu dilakukan. 4

5 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh penggunaan NaOH dengan beberapa macam variasi konsentrasi terhadap karakteristik selulosa dari biji salak Pondoh yang dihasilkan? 2. Bagaimana kondisi optimum sintesis CMC dari biji salak Pondoh dengan menggunakan konsentrasi NaOH, banyaknya NaMCA, dan suhu untuk menghasilkan CMC dengan kualifikasi DS food grade? 3. Bagaimana karakteristik dari CMC dengan kualifikasi DS food grade yang dihasilkan? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Menghasilkan Carboxymethyl cellulose (CMC) dari biji salak (Salacca edulis Reinw) Pondoh Super dengan kualifikasi DS food grade Tujuan Khusus 1. Ekstraksi selulosa dari biji salak pondoh dengan beberapa variasi konsentrasi NaOH (4, 8, 12, 16 atau 20%) serta mengetahui karakteristiknya. 2. Mengetahui kondisi optimum sintesis CMC dari biji salak Pondoh yang memiliki kualifikasi DS food grade dengan konsentrasi NaOH (5, 10, 15, 20 atau 25%), banyaknya NaMCA (3, 4, 5, 6 atau 7 g) dan suhu reaksi (45, 50, 55,60 atau 65 0 C) dengan metode Response Surface Methodology (RSM). 5

6 3. Mengetahui karakteristik CMC biji salak pondoh dengan kualifikasi DS food grade yang dihasilkan 1.4. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan: 1. Memperoleh pengetahuan tentang potensi biji salak sebagai sumber selulosa alternatif untuk bahan baku sintesis CMC. 2. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi NaOH, berat NaMCA dan suhu reaksi terhadap derajat substitusi (DS) CMC dengan kualifikasi food grade. 3. Sebagai masukan bagi industri pangan agar dapat memanfaatkan biji salak sebagai bahan dasar pembuatan CMC 4. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian berikutnya 6