PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
KEBOCORAN WILAYAH DALAM SISTEM AGRIBISNIS KOMODITAS KAYU MANIS RAKYAT SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian, Semester I 2014 Ekspor Impor Neraca

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berlebih, yang bisa mendatangkan suatu devisa maka barang dan jasa akan di ekspor

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. negara dan juga penyerap banyak tenaga kerja. Indonesia yang sempat menempati posisi ke-5

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator ekonomi yang

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan industri manufaktur dan sebagai sumber devisa negara. Pengembangan

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih merata serta dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Dalam proses pembangunan, ketersedian sumberdaya merupakan prasyarat utama yang sangat diperlukan, seperti ketersediaan sumber daya alam (natural resource endowment), sumber daya manusia (human resource), sumber daya sosial dan sumber daya buatan. Ketersediaannya perlu diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan (growth), efisiensi (efficiency) dan pemerataan (equity) serta keberlanjutan (sustainability), baik pada tingkatan nasional maupun regional (Anwar, 2005; Rustiadi et al. 2005). Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, Hayami (2001) menjelaskan bahwa pemanfaatan sumberdaya sebagai faktor produksi yang terintegrasi dengan teknologi dan nilai-nilai sosial budaya di masyarakat dapat mempengaruhi peningkatan nilai tambah dan pendapatan masyarakat. Karena nilai tambah didistribusikan ke pemilik sumberdaya untuk menjadi pendapatannya sehingga secara agregat pendapatan masyarakat tersebut dapat menjadi pendapatan wilayah. Pentingnya peran nilai tambah terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah sehingga upaya peningkatan dan mengurangi tingkat kebocorannya menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan. Sebagaimana Bendavid (1991) menjelaskan bahwa dalam pembangunan ekonomi wilayah, multiplikasi pendapatan merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Selain itu dijelaskan bahwa terjadinya kebocoran dapat berdampak pada kecilnya multiplier pendapatan yang dihasilkan oleh suatu wilayah, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran pendapatan yang terjadi maka semakin besar pula multiplier pendapatan yang hilang bagi suatu wilayah. Dengan demikian, terjadinya kebocoran wilayah berarti dapat merugikan perekonomian wilayah. Adanya pengaruh kebocoran wilayah terhadap meningkatkan pendapatan suatu wilayah, sehingga dapat dipahami mengapa para ahli ekonomi regional melihat kebocoran wilayah sebagai persoalan penting dalam pembangunan wilayah.

2 Berbagai literatur menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari aspek pengeluaran, yaitu adanya pengeluaran yang tidak meningkatkan tambahan bagi pendapatan domestik. Dengan kata lain kebocoran dapat terjadi dari sisi pengeluaran daerah karena terjadi pembelian barang-barang impor, termasuk pembelian yang dilakukan di luar wilayah, serta pengeluaran yang digunakan untuk pajak, tabungan, dan sejenisnya. Selain itu Rada et al. (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand yaitu apabila injeksi terhadap investasi, ekspor dan belanja pemerintah yang menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi suatu daerah. Selanjutnya Roetter et al. (2007) menjelaskan bahwa dari aspek pembangunan desa-kota, kebocoran wilayah dapat terjadi karena adanya aliran tenaga kerja ke perkotaan akibat membaiknya akses infrastruktur ke perkotaan yang akhirnya mempengaruhi kecilnya pendapatan wilayah perdesaan. Di Indonesia tinjuan literatur tentang kebocoran wilayah masih sangat terbatas, baik dalam bentuk kajian maupun dalam bentuk penggunaan istilah dan definisinya. Selain itu di Indonesia penggunaan istilah kebocoran masih terbatas pada aspek keuangan dan perbankan (Departemen Keuangan, 1998), aspek birokrasi yaitu berkaitan dengan efisiensi layanan birokrasi (Rustiani, 2003). Terbatasnya kajian tentang kebocoran wilayah dari aspek nilai tambah/pendapatan dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah, menunjukkan bahwa di Indonesia identifikasi tentang kebocoran wilayah dari aspek nilai tambah serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah belum menjadi perhatian banyak kalangan untuk dibuktikan. Dengan demikian sehingga besaran multiplikasi dan kebocoran wilayah belum menjadi pertimbangan utama dalam aspek perencanaan dan pengembangan ekonomi wilayah. Padahal dalam pengembangan ekonomi wilayah proses multiplikasi pendapatan/nilai tambah merupakan inti dari pengembangan ekonomi wilayah (Bendavid, 1991). Selanjutnya Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan suatu wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah

3 dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat serta menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya kebocoran wilayah, mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah, sehingga dapat mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan pada akhirnya tentu dapat menghambat pengembangan wilayah. Karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam pertanian yang berlimpah, dimana sebagian besar wilayahnya memiliki potensi pengembangan pertanian serta masih dominannya peran sektor pertanian dalam pembentukan perekonomian wilayah di Indonesia (BPS, 2007), sehingga pengembangannya perlu mendapat perhatian. Namun dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa dalam pengembangan komoditas pertanian unggulan daerah di Indonesia seperti untuk komoditas karet di Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat (Anwar, 2005), kelapa sawit di Riau dan Kalimantan Barat (Arifin et al. 2007) serta komoditas panili di Sulawesi Utara (Malian et al. 2004) menjelaskan bahwa dalam pengembangan komoditi unggulan, petani cenderung menghadapi persoalan harga yang kurang mengembirakan dan kecilnya nilai tambah/pendapatan, sehingga mempengaruhi rendahnya tingkat kesejahteraan petani dan pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian wilayah. Dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi terlihat bahwa peran sektor pertanian masih merupakan sektor dominan terhadap pembentukan PDRB, yaitu sebesar 51,05% (BPS, 2007). Sedangkan komoditas unggulan daerah yang paling dominan dikembangkan di daerah serta yang paling dominan berkontribusi terhadap pembentukan ekspor daerah adalah komoditas kayu manis. Komoditas tersebut selain menempatkan Kabupaten Kerinci sebagai penghasil kayu manis terbesar di Indonesia, juga berkontribusi dominan menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kayu manis terbesar dunia (nomor satu) dewasa ini (Ditjenbun, 2007). Dengan rata-rata pangsa ekspor Indonesia pada tahun 2002-2007 yaitu 31,06% terhadap total ekspor dunia, dengan jumlah ekspornya pada tahun 2007 yaitu sebesar 41.723 ton atau dengan nilai 27,5 juta US$ (FAOSTAT, 2007). Di Indonesia pengembangan kayu manis dominan dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan rakyat. Pada tahun 2007 luas areal

4 pengembangannya yaitu 134.897 ha tersebar di 19 wilayah provinsi, dengan produksinya sebesar 103.594 ton. Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi merupakan salah satu wilayah yang terbesar dan merupakan sentra pengembangan kayu manis nasional, dengan luas areal perkebunannya yaitu 42.313 ha (31,61%) dari total luas areal perkebunan kayu manis nasional, atau 10,15% dari luas wilayah Kabupaten Kerinci. Produksinya sebesar 43.782 ton (42,26%) dari total produksi kayu manis nasional (BPS dan Ditjenbun, 2007). Selain itu pengembangan kayu manis di Kabupaten Kerinci dikembangkan oleh 15,63% oleh Kepala Keluarga (BPS Kerinci, 2007). Di Kabupaten Kerinci tanaman kayu manis disatu sisi merupakan tanaman budidaya, yang berperan sebagai sumber pendapatan masyarakat, dan di sisi lain tanaman kayu manis juga berperan sebagai tanaman konservasi yang mendukung fungsi wilayah Kabupaten Kerinci sebagai kawasan konservasi Tanaman Nasional Kerinci Sebelat (BPTOR, 2003). Tanaman kayu manis telah dibudidayakan oleh masyarakat Kerinci secara turun temurun dan menjadi komoditas primadona daerah. Namun akhir-akhir ini pengembangannya cenderung menghadapi persoalan yaitu terjadinya kecenderungan perubahan dalam pengelolaan seperti dari semulanya dikelola masyarakat dengan pola pemeliharaan dan pemanenan sistem tebang pilih, dan akhir-akhir ini cenderung berubah menjadi pola pemanenan dengan sistem tebang habis. Adanya perubahan sistem pemeliharaan dan pemanenan kayu manis akhirakhir ini, diduga terkait dengan kurangnya insentif petani untuk melakukan pengelolaan komoditas yang baik, sebagai pengaruh dari tekanan harga yang kurang mengembirakan. Oleh karena itu jika kondisi tersebut berlangsung secara terus menerus, maka dikhawatirkan pada masa yang akan datang, selain dapat mempengaruhi pendapatan masyarakat juga dikhawatirkan dapat meningkatkan eksternalitas negatif bagi Daerah Kabupaten Kerinci, seperti terjadinya konversi lahan tanaman kayu manis menjadi lahan tanaman semusim serta mendorong peningkatan lahan kritis. Dengan demikian mendorong laju degradasi lahan serta turunnya produktivitas lahan, produktivitas tanaman, yang pada gilirannya dikhawatirkan dapat mengganggu keberlanjutan agribisisnis dan juga keberlanjutan (sustainability) sumber daya alam (SDA) dan lingkungan.

5 Padahal dilihat dari sisi konsumsi dan permintaan kayu manis dunia, dari tahun ke tahun perkembangannya cenderung mengalami peningkatan, sebagaimana ditunjukkan oleh data FAOSTAT (2007) kebutuhan kayu manis dunia yaitu dari 20.496 ton pada tahun 1990, meningkat menjadi 91.540 ton pada tahun 2000, dan 107.252 ton pada tahun 2007. Terjadinya peningkatan konsumsi dan permintaan kayu manis dunia akhir-akhir ini, semestinya dapat mendorong peningkatan pengembangan kayu manis di tingkat petani, khususnya di Kabupaten Kerinci. Namun fenomena dalam pengembangannya justru terlihat mengalami penurunan, sebagaimana ditunjukkan data BPS Kerinci (2007) penurunan luas areal tanaman kayu manis yaitu dari 50.439 ha pada tahun 2000, turun menjadi 42.313 ha pada tahun 2007. Kurangnya insentif petani dalam pengelolaan dan pengembangan komoditas kayu manis akibat dari tekanan harga komoditas, diduga terkait dengan aspek pemasaran seperti integrasi harga di tingkat pasar yang lebih tinggi dengan harga di tingkat petani yang tidak sempurna. Selain itu diduga akibat terlalu dominannya fungsi-fungsi pemasaran dan processing berada di luar wilayah, sebagaimana ditunjukkan dominannya ekspor komoditas dalam bentuk produk gelondongan, dan dominannya kegiatan pengolahan komoditas untuk menghasilkan komoditas bernilai tambah tinggi dilakukan di luar wilayah. Dengan demikian sehingga nilai tambah komoditas yang diperoleh masyarakat dan daerah Kabupaten Kerinci dari kegiatan pembudidayaan kayu manis belum menggembirakan. Rendahnya nilai tambah komoditas yang diperoleh akibat dominannya produk yang diekspor dalam bentuk gelondongan, maka dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah kondisi tersebut diduga berpotensi mendorong kebocoran wilayah bagi daerah Kabupaten Kerinci. Dalam konteks sistem agribisnis dan kaitannya dengan perekonomian wilayah, ketika tidak optimalnya nilai tambah/pendapatan yang dapat diperoleh dari pengembangan komoditas, akibat dominannya nilai tambah dimanfaatkan oleh wilayah lainnya, tentu mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan pelaku agribisnis di daerah, sehingga pada gilirannya tentu dapat mengganggu keberlanjutan sistem agribisnis itu sendiri.

6 Lahirnya UU.No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan arah pembangunan daerahnya masing-masing sesuai dengan kewenangan yang ditetapkan, terutama dalam kepentingan pemberdayaan daerah (Bratakusumah dan Riyadi, 2003). Dengan demikian dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraannya pada aspek pengembangan komoditas unggulan daerah seperti komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci, tentu pengembangannya menarik untuk didorong, baik dalam aspek pembudidayaan maupun dalam sistem pengolahan hasil dan pemasarannya. Sebagaimana Arifin et al. (2007) menjelaskan bahwa terbukanya akses pasar sebagai konsekuensi globalisasi perdagangan, disatu sisi diyakini dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian tantangan yang dihadapi Indonesia sangat berat, karena produk-produk Indonesia cenderung kurang kompetitif di pasar dunia serta sangat sensitif terhadap perubahan harga di pasar internasional. Dengan demikian sehingga dalam pengembangan komoditas pertanian Indonesia membutuhkan perhatian yang serius dari berbagai pihak. Dari aspek pengembangan komoditas kayu manis, beberapa peneliti terdahulu menjelaskan seperti Rusli dan Abdullah (1988), kayu manis di Indonesia memiliki prospek yang baik untuk mendukung pendapatan dan kegiatan penghijauan serta merehabilitasi lahan kritis, terutama pada bagian daerah aliran sungai serta di kawasan konservasi. Kemudian BPTRO (2003) menjelaskan bahwa kayu manis dapat berperan sebagai sumber pendapatan dan dapat memperbaiki lahan konservasi serta dapat berfungsi sebagai penata tata air, khusus di daerah Sumatera Barat dan Jambi. Sedangkan (MaRI) Masyarakat Rempah Indonesia (2006) menjelaskan bahwa tanaman obat-obatan dan rempahrempah, memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan pada masa yang akan datang, terutama sejalan dengan kecenderungan perilaku masyarakat modern yang memilih back to nature dalam mengkonsumsi obat-obatan alami untuk kesehatan. Dari berbagai konsep, fenomena dan persoalan pengembangan ekonomi wilayah, kasus komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci yang merupakan komoditas yang dominan dikembangkan di daerah dan merupakan andalan ekspor

7 daerah, serta menjadi sumber pendapatan masyarakat pengembangannya diduga menghadapi persoalan kebocoran wilayah. Dengan demikian karena kebocoran wilayah dapat mempengaruhi kinerja perekonomian wilayah, sehingga kajian kebocoran wilayah dari aspek nilai tambah/pendapatan yang belum pernah dikaji oleh peneliti terdahulu kaitannya dengan sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci, menjadi kajian yang menarik untuk dilakukan dewasa ini, terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah. Rumusan Masalah Berlangsungnya otonomi daerah diharapkan dapat mendorong percepatan, pertumbuhan, pemerataan serta keberlanjutan pembangunan daerah. Otonomi daerah memandang pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibandingkan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, spatial (ruang) serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah (Rustiadi et al. 2005). Karena kebocoran wilayah dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah, sehingga adanya indikasi kebocoran wilayah dalam pengembangan komoditas dominan yang dikembangkan di suatu wilayah, seperti komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci sebagaimana ditunjukkan dominannya ekspor komoditas dalam bentuk produk gelondongan, dan dominannya kegiatan processing dilakukan di luar wilayah, sehingga nilai tambah komoditas dominan dimanfaatkan oleh wilayah lain. Kondisi tersebut tentu dapat merugikan pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun karena indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kayu manis serta implikasinya terhadap perekonomian wilayah belum pernah dibuktikan secara empirik, sehingga fenomena kebocoran tersebut dianggap sebagai hal yang wajar dalam suatu pembangunan wilayah, dan pada gilirannya penanganan berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengembangannya belum dapat menggembirakan. Kondisi tersebut tentu dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem agribisnis serta keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan.

8 Pengembangan komoditas kayu manis berada di wilayah perdesaan dan dominan diusahakan oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan rakyat, serta diduga memiliki kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat serta perekonomian wilayah. Adanya kaitan pengembangan komoditas kayu manis dengan perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci terutama dari aspek nilai tambah, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja, sehingga keterkaitan tersebut menarik untuk diketahui. Selain itu karena komoditas kayu manis merupakan salah satu komoditas dominan dan andalan Kabupaten Kerinci, sehingga mengidentifikasi posisinya dibandingkan dengan komoditas dan sektor lainnya dari kelompok komoditas subsektor tanaman pangan seperti padi, dari kelompok subsektor perkebunan seperti komoditas teh, dari kelompok sektor industri seperti industri makanan dan minuman dan kelompok jasa dan lainnya seperti sektor perdagangan menjadi menarik untuk dilakukan, guna mengetahui posisi komoditas kayu manis dibandingkan dengan sektor lainnya dalam perekonomian wilayah. Selain itu karena kayu manis merupakan komoditas ekspor yang diperdagangkan di pasar internasional, sehingga aspek pemasaran menjadi penting untuk diperhatikan terutama dalam kaitannya dengan kinerja sistem agribisnis dan perekonomian wilayah. Oleh karena itu mengidentifikasi posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis dilihat dari aspek integrasi harga, daya saing ekspor dan permintaan pasar, menjadi menarik dan penting untuk dilakukan, terutama dalam upaya pengembangannya pada masa yang akan datang. Selain itu karena pengembangan komoditas kayu manis diduga masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan, karena sebagian teknologi budidaya sudah memasyarakat serta pembudidayaannya telah dilakukan secara turun temurun. Dengan demikian apabila berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengembangnnya diabaikan begitu saja, tentu dapat merugikan masyarakat Kabupaten Kerinci khususnya dan Indonesia umumnya. Ketatnya persaingan yang dihadapi Indonesia dalam perdagangan komoditas kayu manis dunia, diduga berdampak pada pengembangan kayu manis nasional dan daerah, yang pada gilirannya tentu akan mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kondisi tersebut sehingga pemetaan posisi daya

9 saing ekspor komoditas menjadi sangat penting artinya, terutama untuk mengetahui posisi dan prospek pengembangannya pada masa yang akan datang. Memperhatikan perkembangan ekspor kayu manis dunia periode tahun 1990-2006, menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun persaingan antar produsen cenderung semakin ketat. Dimana Indonesia terlihat bersaing ketat dengan pesaingnya seperti China dan Sri Lanka serta negara lainnya, sebagaimana ditunjukkan pada grafik perkembangan ekspor komoditas kayu manis dunia yang ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini. 45,000 40,000 35,000 Perkembangan Volume Ekspor Kayu Manis Dunia Periode Tahun 1990-2006 (ton) Volume (ton) 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000-1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Indonesia China Sri Lanka ROW Tahun Sumber: FAOSTAT, 2007 (diolah) Gambar 1. Perkembangan Volume Ekspor Komoditas Kayu Manis Dunia (ton) Periode Tahun 1990-2006. Karena peningkatan daya saing dapat melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi, dan bukan bersifat protektif semata, sehingga Gonarsyah (2005) menjelaskan upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi dapat diusahakan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan, penyuluhan, peningkatan akses terhadap kredit dan pasar serta perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar dan sebagainya. Selain itu karena dalam perspektif jangka panjang pada era globalisasi, upaya-upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi akan lebih memberikan perlindungan bagi masyarakat dalam upaya mewujudkan kesejahteraannya sehingga pengembangannya perlu mendapat perhatian.

10 Persoalan utama lainnya yang diduga mempengaruhi perkembangan komoditas kayu manis yaitu berkaitan dengan aspek permintaan. Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor diantaranya adalah harga, pertumbuhan ekonomi, dan nilai tukar (kurs). Karena ekspor kayu manis Indonesia dominan ditujukan ke pasar internasional seperti ditunjukkan data FAOSTAT (2007), yaitu 42,59% ekspor kayu manis Indonesia ditujukan ke pasar Amerika Serikat, Belanda 11,93%, Jerman 3,19%, India 1,67%, dan Meksiko 0,50%, serta 40,12% ditujukan ke negara lainnya. Dengan demikian mengidentifikasi posisi dan prospek permintaan pada pasar tersebut menarik untuk dilakukan terutama guna pengembangannya pada masa yang akan datang. Selain itu, karena akhir-akhir ini masing-masing negara pengimpor kayu manis Indonesia cenderung menghadapi goncangan ekonomi serta harga dan nilai tukar yang cenderung berfluktuatif, dengan demikian sehingga untuk mengetahui prospek permintaan dalam konteks pengembangan agribisnis komoditas kayu manis nasional dan Kabupaten Kerinci khususnya, dengan melakukan pemetaan ditinjau dari faktor yang mempengaruhi ekspor seperti harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) dan nilai tukar (kurs), guna pengembangan permintaan pada masa yang akan datang menjadi menarik untuk dilakukan. Selain itu fenomena menunjukkan bahwa berbagai persoalan dalam pengembangan komoditas kayu manis, penanganannya belum kunjung membaik. Walaupun di satu sisi pengembangannya terus didorong, namun di sisi lain petani masih dihadapkan pada berbagai pilihan yang sulit, yaitu antara pilihan tetap untuk melakukan pengembangan kayu manis, atau beralih ke pengembangan komoditas lainnya terus berlangsung, terutama akibat persaingan antar harga komoditas dan berbagai tekanan yang belum menemukan solusinya. Dalam konteks sistem agribisnis, karena persoalan nilai tambah komoditas terkait dengan kinerja subsistem input, produksi, pengolahan hasil, pemasaran hasil dan subsistem penunjang. Dengan demikian untuk mendorong peningkatan nilai tambah komoditas perlu diperhatikan keterkaitannya dengan masing-masing subsistem dalam sistem agribisnis, terutama untuk mengetahui pada subsistem apa dan kapan serta dimana dari rantai sistem agribisnis tersebut terjadi potensi

11 kebocoran. Dengan demikian sehingga upaya penanggulangan dan pengembangan guna peningkatan kinerjanya dapat dilakukan. Demikian juga dalam konteks pengembangan pertanian berbasis perkebunan, karena kayu manis yang merupakan bentuk perkebunan rakyat, sehingga untuk mengetahui posisi dan prospek pengembangannya sehingga menarik untuk dibandingkan dengan sektor perkebunan lainnya seperti perkebunan estate lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini identifikasi posisi sektor kayu manis yang merupakan sektor perkebunan rakyat dibandingkan dengan sektor teh yang merupakan bentuk perkebunan lainnya (perseroan) yang dominan di daerah dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah menarik untuk dilakukan. Dari berbagai permasalahan di atas dalam konteks pemgembangan ekonomi wilayah maka melakukan kajian kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci menjadi kajian yang sangat penting dan menarik untuk dilakukan dewasa ini, terutama dalam upaya meningkatkan pendapatan, kesejahteraan masyarakat, dan perekonomian wilayah, serta keberlanjutan sistem agribisnis dan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan. Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka untuk membatasi kajian ini, dibangun rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci kaitannya dengan perekonomian wilayah? 2) Bagaimanakah posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis ditinjau dari aspek integrasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir? Bagaimanakah posisi daya saing ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional dibandingkan dengan pesaingnya? Bagaimanakah permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya seperti faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) negara importir, dan nilai tukar (kurs) rill? 3) Bagaimanakah peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci ditinjau dari aspek PDRB, tenaga kerja dan ekspor, dibandingkan dengan sektor padi, teh, industri pengolahan dan perdagangan?

12 Bagaimanakah posisi keterkaitan sektor kayu manis dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja? 4) Bagaimanakah indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kayu manis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci? Bagaimanakah posisi sektor kayu manis dibandingkan dengan sektor teh dalam konteks perbandingan sistem pertanian berbasis perkebunan rakyat dan perkebunan estate lainnya? Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci kaitannya dengan perekonomian wilayah. 2) Menganalisis posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis ditinjau dari aspek integrasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir, menganalisis posisi daya saing ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional dibandingkan dengan pesaingnya, dan menganalisis permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya seperti faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) negara importir, dan nilai tukar (kurs) rill. 3) Menganalisis peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci ditinjau dari aspek PDRB, tenaga kerja dan ekspor, dibandingkan dengan sektor padi, teh, industri pengolahan dan perdagangan. Menganalisis posisi keterkaitan sektor kayu manis dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja. 4) Menganalisis indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kayu manis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Menganalisis posisi sektor kayu manis dibandingkan dengan sektor teh dalam konteks perbandingan sistem pertanian berbasis perkebunan rakyat dan perkebunan estate lainnya.

13 Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pemecahan masalah dalam pembangunan ekonomi wilayah, dan khususnya pada upaya menekan tingkat kebocoran wilayah dalam usaha pengembangan komoditas dominan suatu daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perencanaan dan pengambilan kebijakan tentang pengembangan komoditas unggulan daerah di Indonesia secara umum dan komoditas pertanian kayu manis khususnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi ranah keilmuan ekonomi wilayah dan pengembangan sistem agribisnis, guna peningkatan nilai tambah, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta keberlanjutannya pada masa yang akan datang. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi perbandingan dan stimulan bagi penelitian selanjutnya. Kebaruan Penelitian (Novelty) Analisis kebocoran ekonomi wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah merupakan suatu penelitian baru yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan baku yang dikemas dalam suatu rangkaian baru yang berkontribusi mengidentifikasi kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci. Dalam menganalisis kebocoran wilayah sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci digunakan pendekatan analisis model Input-Output (I-O), yang menempatkan komoditas kayu manis sebagai sektor tersendiri dalam struktur perekonomian wilayah, yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dalam menganalisis struktur perekonomian wilayah di Kabupaten Kerinci dan bahkan satu-satunya di Indonesia. Selain itu kebaruan penelitian ini ditunjukkan oleh hasil penelusuran potensi dan implikasi kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis ditinjau dari subsistem input, produksi, pengolahan hasil (processing), dan pemasaran serta faktor penunjang.

14 Selanjutnya kebaruan penelitian yaitu mampu membuktikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem agribisnis komoditas kayu manis yang ditinjau dari aspek integrasi harga, daya saing ekspor serta permintannya di pasar internasional yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Selain itu penelitian ini mampu membuktikan perbandingan potensi pengembangan perkebunan rakyat dengan perkebunan estate lainnya dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah. Selain itu kebaruan dari penelitian ini adalah mampu menjelaskan posisi dan prospek pengembangan komoditas kayu manis yang merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan di pasar internasional.