BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya manusia terlahir di dunia dengan keadaan normal dan sempurna. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dialami oleh semua orang. Beberapa orang terlahir di dunia dengan keadaan yang kurang normal dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal itu menyebabkan adanya keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa. Tunadaksa yaitu berbagai macam bentuk kelainan yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan. Penyandang tunadaksa adalah penderita kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti tangan, kaki dan bentuk tubuh. Penyimpangan perkembangan terjadi pada ukuran, bentuk atau kondisi lainnya. Kaum tunadaksa di Indonesia sering kali diposisikan sebagai kaum minoritas, baik secara struktural maupun kultural. Lebih dari itu, mereka juga merupakan kelompok yang selama ini terpinggirkan di tengah kehidupan bermasyarakat dimulai dari segi ekonomi, pendidikan, akses pekerjaan, dan lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Secara umum gambaran seseorang yang diidentifikasi mengalami ketunadaksaan adalah mereka yang mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian. Yang disebabkan karena kecelakaan atau kerusakan otak yang dapat mengakibatkan gangguan gerak, kecerdasan, komunikasi, persepsi, koordinasi, perilaku dan adaptasi sehingga mereka 1
2 memerlukan layanan informasi secara khusus (Aziz, 2015). Menurut Undang-undang No 4 Tahun 1997 pasal 1 ayat 1 tentang penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat mental dan fisik. Berdasarkan definisi yang ditetapkan oleh WHO, disabilitas yaitu kondisi yang menyebabkan gangguan pada hubungan seseorang dengan lingkungannya. Penyandang disabilitas merupakan kaum minoritas terbesar di dunia, dimana 80% dari jumlah penyandang disabilitas di dunia berada di kalangan negara berkembang salah satunya adalah Indonesia (Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014). Berdasarkan hasil Sensus Penduduk yang dilakukan pada tahun 2010, jumlah penduduk penyandang tunadaksa pada usia 10-14 tahun dialami penduduk dengan jenis kelamin laki-laki, yaitu sekitar 17.717 jiwa sedangkan perempuan 13.202 jiwa (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Data dari BPS Susenas tahun 2011, 33,75% dari seluruh jumlah penduduk warga Indonesia adalah penyandang tunadaksa. Dikutip dari kompasiana.com bahwa pada tahun 2012, jumlah penyandang tunadaksa mencapai 1.652.741 jiwa dengan prosentase 57,96% adalah penyandang tunadaksa laki-laki. Menurut data dari Riskesdas tahun 2013, prevalensi (jumlah keseluruhan kasus ketunadaksaan yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah) anak usia 24-59 bulan yang mengalami ketunadaksaan baik karena penyakit maupun trauma atau kecelakaan sebesar
3 0,17% pada tahun 2010 dan 0,08% pada tahun 2013. Berdasarkan dari data yang ada, dari setiap sepuluh anak yang lahir di dunia, seorang diantaranya menderita cacat bawaan ataupun mengalami cacat pasca kelahiran akibat beragam insiden (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014). Jumlah penyandang tunadaksa cukup besar di Indonesia, paling besar dibandingkan penyandang cacat lain seperti tunarungu, tunagrahita, tunanetra dan tunawicara. Selain permasalahan yang disebabkan oleh kekurangan kemampuan dalam fungsi anggota tubuh sehingga menghalangi para penyandang dalam melakukan aktivitas tertentu, timbul pula permasalahan psikologis sebagai akibat cacat tersebut, maupun karena ketidakmampuan melakukan fungsi dan aktivitas tertentu (Karyanta, 2013). Secara psikologis, penyandang tunadaksa cenderung merasa apatis, malu, rendah diri, sensitif dan kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap lingkungannya. Demikian diungkapkan oleh Carolina, seorang guru pada SLB D YPAC Jakarta (Karyanta, 2013). Sejalan dengan Stefiany (2010) yang mengungkapkan, banyaknya anggapan bahwa keadaan cacat seseorang tersebut sebagai penghalang dalam segala hal yang ingin dilakukannya. Seringkali lingkungan enggan mengakui keberadaan para penyandang tunadaksa tersebut. Remaja tunadaksa sering menganggap dirinya sebagai orang-orang yang gagal karena adanya kelemahan atau kekurangan pada anggota tubuhnya. Pada perkembangan kehidupan manusia, yaitu sejak dilahirkan hingga menjadi manusia dewasa, manusia memiliki dorongan-dorongan yang dinamakan libido. Libido adalah dorongan seksual yang sudah ada pada sejak anak lahir.
4 Kepuasan seksual pada anak pencapaiannya tidak melalui alat kelamin, melainkan daerah-daerah lain yaitu mulut dan anus. Cara pemuasannya khas sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dilaluinya. Pada perkembangannya, seorang anak akan melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan perkembangan usianya (Irianto, 2014). Pada masa perkembangan sebelum menginjak tahap terbentuknya kedewasaan secara matang, seorang anak akan mengalami satu tahapan terpenting dalam kehidupan yang mengarah pada pembentukan kepribadiannya. Masa itu disebut masa remaja atau juga dikenal dengan masa pubertas. Pada masa ini seorang remaja akan mengalami perkembangan seksualitasnya secara alami. Satu hal yang paling menonjol pada masa perkembangan seorang remaja adalah pada perkembangan seksualitasnya. Perkembangan psikoseksual pada remaja secara alami dipengaruhi oleh perkembangan hormon dalam dirinya (Setiyadi,2014). Perkembangan psikoseksual remaja pada umumnya akan terlihat dari perubahan-perubahan fisik dikarenakan faktor hormonal. Perkembangan psikoseksual remaja normal akan terlihat dari pertumbuhan tulang dan perkembangan organ-organ seks sekunder seperti pertumbuhan payudara, tumbuhnya rambut pubes, terjadi menstruasi, pinggang ramping dan suara feminin pada gadis. Sedangkan pada laki-laki terlihat buah pelir dan penis mulai membesar, tumbuh rambut pubes, suara membesar dan terjadi mimpi basah. Munculnya gelombang nafsu birahi baik pada wanita maupun laki-laki. Secara psikis, remaja mulai tertarik dengan lawan jenisnya.
5 Namun berbeda dengan perkembangan psikoseksual remaja tunadaksa. Pada umumnya, remaja tunadaksa pun akan mengalami perkembangan seksual seperti remaja normal. Hanya saja perubahan tersebut mengalami hambatan terutama yang berkaitan dengan perubahan fisik karena perkembangan fungsi hormonalnya. Perkembangan tentang psikoseksual pada remaja banyak dibahas dan menjadi sorotan masyarakat sekarang ini, namun masih terbatasnya pembahasan tentang tahapan perkembangan psikoseksual pada remaja tunadaksa. Fakta tersebut menjadikan bahan pertimbangan bagi peneliti untuk dapat mengkaji tahapan perkembangan psikoseksual pada individu tunadaksa. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti selama 4 hari di bulan November sampai Desember pada seorang remaja laki-laki penyandang tunadaksa, diduga adanya keterhambatan perkembangan psikoseksual. Pada fase genital, tubuh semakin bertumbuh dan berkembang karena bekerjanya hormonhormon seksual. Pada kenyataannya, TH yang berusia 12 tahun tidak terlihat mengalami perubahan fisik maupun psikis secara signifikan. Tidak terlihat adanya pertumbuhan tulang dan perkembangan organ seks sekunder seperti tumbuh jakun, suara membesar, bahkan TH pun belum mengetahui pengertian mimpi basah. TH masih tidak merasa malu saat tidak menggunakan pakaian baik sebelum maupun sesudah mandi. DA dan SW sering mengatakan bahwa TH adalah anak kecil dan tidak akan pernah menjadi dewasa karena selalu membutuhkan pertolongan sekitarnya.
6 Di usia TH yang menginjak 12 tahun diduga adanya keterlambatan perkembangan seksual baik secara fisik maupun psikis karena ekspresi dan perilaku seksual TH cenderung belum terlihat. Fakta bahwa masih sedikitnya penelitian tentang psikoseksual pada anak dengan berkebutuhan khusus tunadaksa membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tema tersebut. Berdasarkan studi pendahuluan, peneliti akan mengkaji secara mendalam tentang gambaran psikoseksual pada anak dengan berkebutuhan khusus tunadaksa cerebral palsy. B. Perumusan Masalah Pada penelitian ini, peneliti akan mengkaji bagaimana gambaran perkembangan psikoseksual pada anak dengan berkebutuhan khusus tunadaksa cerebral palsy? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perkembangan psikoseksual pada anak dengan berkebutuhan khusus tunadaksa cerebral palsy. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat menyumbang dan menambah ilmu di bidang psikologi terutama pada bidang psikologi perkembangan. Dengan adanya penelitian ini dapat lebih mengerti tentang kehidupan anak mengenai perkembangan psikoseksual, khususnya pada anak dengan berkebutuhan tunadaksa cerebral palsy.
7 2. Manfaat Praktis Peneliti mendapatkan pengalaman dari penelitian yang telah dilakukan yang dapat meningkatkan wawasan berkaitan dengan ilmu psikologi. Penelitian ini dapat memberikan informasi pada orang tua serta masyarakat (tetangga di sekitar rumah yang keluarganya memiliki penyandang tunadaksa) sehingga dapat meningkatkan wawasan mengenai perkembangan psikoseksual terhadap anak-anaknya yang mulai menginjak usia remaja, khususnya anak dengan berkebutuhan khusus tunadaksa cerebral palsy.