RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 16/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA dan KUHAP Pembatasan Pengajuan PK I. PEMOHON Herry Wijaya, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon KUASA HUKUM M. Farhat Abbas, S.H., M.H., Muh. Buharnuddin, S.H. dan Rachmat Jaya, S.H., M.H., adalah advokat dan konsultan hukum pada kantor hukum Farhat Abbas & Rekan, berkantor di Jl. Mampang Prapatan Raya No. 106, Jakarta Selatan. II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI : Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik adalah : x Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. x Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. III. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING) Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka orang atau pihak dimaksud haruslah; a. menjelaskan kualifikasinya dalam permohonannya, yaitu apakah yang sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara; 1
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian Atas dasar ketentuan tersebut maka dengan ini Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan kualifikasinya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta kerugian spesifik yang akan dideritanya secara sebagai berikut : Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. IV. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI. A. NORMA MATERIIL - Sebanyak 3 (tiga) norma, yaitu : A. UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 24 ayat (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali B. UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. C. UU No. 8 Tahun 1981 Pasal 268 ayat (3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. B. NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI - Sebanyak 6 (6) norma, yaitu : 1. Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. 2. Pasal 24 ayat (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2
3. Pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 4. Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 5. Pasal 28H ayat (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 6. Pasal 28J ayat (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi. V. Alasan-alasan Pemohon dengan diterapkan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945, karena : 1. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 Jo UU Nomor 5 Tahun 2004 Jo UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA dan Pasal 268 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP karena pasal-pasal tersebut tidak memiliki kejelasan, ketelitian dan konsistensi dalam proses kepastian hukum Karena fakta hukum sangat banyak ditemui dilapangan proses pengajuan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung lebih dari satu kali, bahkan ada yang sampai empat kali mengajukan permohonan Peninjauan kembali seperti PK No. 88 PK/PDT-SUS/2009 yang diketuai Majelis Hakim Agung Hatta Ali (Ketua Muda Pengawasan MA).Hal ini menyalahi prinsip negara hukum yang hidup dalam doktrin-doktrin hukum. 3
2. Bahwa fakta hukum terhadap pengajuan peninjauan kembali lebih dari satu kali telah dieleminir secara tidak konsisten oleh surat edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang Pengajuan permohonan peninjauan kembali, dengan memberi petunjuk sebagai berikut : Permohonan Peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undang-Undang, Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan Peninjauan Kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dangan mengacu secara analog kepada ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung ( Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2004 dan terakhir dengan Undang - Undang Nomor 3 tahun 2009 ), agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung; Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung. 3. Bahwa Point 2 dari Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali telah memperlihatkan ketidakkonsistenan karena masih memperbolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali lebih dari dua kali, harusnya untuk menjunjung tinggi hukum dan rasa keadilan proses peninjauan kembali hanya boleh lebih dari satu kali demi keadilan dan kepastian hukum serta merupakan putusan Peninjauan Kembali yang terakhir yang dijadikan patokan bukan malah memperbolehkan atau membuka kembali pengajuan peninjauan kembali untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya. 4. Bahwa dengan adanya surat edaran tersebut memberikan kesempatan bagi para pihak yang sudah mendaftar/mengajukan permohonan peninjauan kembali (sebelum Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 dikeluarkan) untuk diterima dan dikirim ke MA. Hal ini berimplikasi lain karena oleh pihak-pihak tertentu surat edaran tersebut ditafsirkan lain seolah-olah surat edaran Mahkamah Agung tersebut, membuka peluang/membolehkan/menyarankan diperbolehkannya pengajuan 4
permohonan peninjauan kembali yang ketiga kalinya dan terbukti pada tanggal 26 Agustus 2009 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengirimkan satu berkas perkara peninjauan kembali yang lebih dari satu kali ke MA terdaftar dengan register nomor 646/PK/PDT/2009 yang seharusnya tidak boleh lagi diajukan. Fakta ini mengindikasikan adanya konspirasi dan mafia peradilan, sehingga tujuan kepastian hukum tidak tercapai Fakta lain dengan Surat Edaran Ketua MA tersebut diperkuat pula adanya kesepakatan dalam rapat pleno Mahkamah Agung yang sepakat Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan sekali saja. VI. PETITUM DALAM PROVISI Memerintahkan kepada Ketua Mahkamah Agung RI untuk menunda proses persidangan/pemeriksaan berkas perkara Nomor 646/PK/PDT/2009 sampai adanya putusan hasil uji materil tentang perkara ini. DALAM POKOK PERKARA 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pemohon; 2. Menyatakan Pasal 24 ayat (2) Undang-Unang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo Undang- Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 268 ayat (3) Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat 93), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28J ayat (2) UUD RI Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 24 ayat (2) Undang-Unang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo Undang- Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 268 ayat (3) Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono) 5