BAB 2 LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer

BAB II LANDASAN TEORI

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

Pertemuan 2 Representasi Citra

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. dihadapi dengan standar median filter. Perbedaan mendasar antara dua filter ini

Pengolahan Citra : Konsep Dasar

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

BAB II TI JAUA PUSTAKA

Muhammad Zidny Naf an, M.Kom. Gasal 2015/2016

BAB II LANDASAN TEORI

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan Pengantar Pengolahan Citra. Bertalya Universitas Gunadarma, 2005

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. teknologi pengolahan citra (image processing) telah banyak dipakai di berbagai

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Implementasi Morphology Concept and Technique dalam Pengolahan Citra Digital Untuk Menentukan Batas Obyek dan Latar Belakang Citra

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Pengenalan Citra

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

ANALISA PERBANDINGAN METODE VEKTOR MEDIAN FILTERING DAN ADAPTIVE MEDIAN FILTER UNTUK PERBAIKAN CITRA DIGITAL

MKB3383 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA Pemrosesan Citra Biner

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II CITRA DIGITAL

Model Citra (bag. 2)

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Gambaran obyek yang dibuahkan oleh pantulan atau pembiasan sinar yang difokuskan oleh sebuah lensa atau sebuah cermin.

GLOSARIUM Adaptive thresholding Peng-ambangan adaptif Additive noise Derau tambahan Algoritma Moore Array Binary image Citra biner Brightness

BAB II LANDASAN TEORI

SAMPLING DAN KUANTISASI

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Citra Digital. Petrus Paryono Erick Kurniawan Esther Wibowo

BAB II LANDASAN TEORI

IMPLEMENTASI METODE SPEED UP FEATURES DALAM MENDETEKSI WAJAH

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL. foto, bersifat analog berupa sinyal sinyal video seperti gambar pada monitor

BAB II Tinjauan Pustaka

Pengantar Pengolahan Citra. Ade Sarah H., M. Kom

BAB II LANDASAN TEORI

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA

Pemampatan citra dengan menggunakan metode pemampatan kuantisasi SKRIPSI. Oleh : Sumitomo Fajar Nugroho M

METODE PERANCANGAN PENGARANGKAT LUNAK MEREDUKSI NOISE CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN CONTRAHARMONIC MEAN FILTTER

MAKALAH APLIKASI KOMPUTER 1 SISTEM APLIKASI KOMPUTER GRAFIK KOMPUTER DAN KONSEP DASAR OLAH CITRA. Diajukan sebagai Tugas Mandiri Mata Kuliah NTM

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

PERTEMUAN - 2 PENGOLAHAN CITRA

BAB 2 LANDASAN TEORI Closed Circuit Television (CCTV)

BAB II LANDASAN TEORI

Representasi Citra. Bertalya. Universitas Gunadarma

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pemampatan Citra. Esther Wibowo Erick Kurniawan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

IMPLEMENTASI PENGOLAHAN CITRA DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONVOLUSI UNTUK PELEMBUTAN CITRA (IMAGE SMOOTHING) DALAM OPERASI REDUKSI NOISE

7.7 Pelembutan Citra (Image Smoothing)

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. dilakukan oleh para peneliti, berbagai metode baik ekstraksi fitur maupun metode

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

METODE GAUSSIAN SMOOTHING UNTUK PENINGKATAN KUALITAS CITRA MEDIS YANG BLUR

Model Citra (bag. I)

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

Implementasi Metode Run Length Encoding (RLE) untuk Kompresi Citra

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA. Kuliah 7 Restorasi Citra (Image Restoration) Indah Susilawati, S.T., M.Eng.

... BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II. Computer vision. teknologi. yang. dapat. Vision : Gambar 2.1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teknologi pengenalan teks merupakan teknologi yang mampu mengenali teks

BAB II TEORI PENUNJANG

Penggunaan Filter Frekuensi Rendah untuk Penghalusan Citra (Image Smoothing)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merekam suatu adegan melalui media indra visual. Citra dapat dideskripsikan

Transkripsi:

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital Citra digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer (Sutoyo & Mulyanto, 2009). Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan dalam pita magnetik. Komputer hanya dapat bekerja dengan bilangan numerik yang berhingga, sehingga gambar harus diubah ke dalam bentuk bilangan numerik berhingga (gambar digital) sebelum diproses dalam suatu komputer. Untuk mengubah gambar yang bersifat kontinu menjadi gambar digital diperlukan proses pembuatan kisi-kisi arah horizontal dan vertikal, sehingga diperoleh gambar dalam bentuk array dua dimensi. Proses tersebut dikenal sebagai proses digitalisasi atau sampling (Sholihin & Purwoto, 2013). Citra di dalam komputer disusun atas sejumlah piksel. Sebuah piksel dapat dibayangkan sebagai sebuah titik. Setiap titik mempunyai koordinat, yang dinyatakan dengan bentuk (y,x) dengan y menyatakan baris dan x menyatakan kolom. Umumnya, koordinat pojok kiri-atas dinyatakan dengan (0,0). Dengan demikian, jika suatu citra berukuran M baris dan N kolom atau biasa dinyatakan sebagai M x N, koordinat piksel terbawah dan terkanan berada di koordinat (M-1, N-1) (Kadir, 2013). 2.2. Representasi Citra Digital Sebuah citra digital dapat diwakili oleh sebuah matriks yang terdiri dari M kolom dan N baris, dimana perpotongan antara kolom dan baris disebut piksel (piksel = picture element), yaitu elemen terkecil dari sebuah citra. Piksel mempunyai dua parameter,

8 yaitu koordinat dan intensitas atau warna. Nilai yang terdapat pada koordinat (x,y) adalah f(x,y), yaitu besar intensitas atau warna dari piksel di titik itu. Oleh sebab itu, sebuah citra digital dapat ditulis dalam bentuk matriks pada gambar 2.1. f(x, y) = f(0,0) f(0,1) f (0,M-1) f (1,0) f (1,M-1) f(n-1,0) f(n-1,1) f(n-1,m-1) Gambar 2.1. Citra grayscale dalam bentuk matriks Pada proses digitalisasi (sampling dan kuantisasi) diperoleh besar baris M dan kolom N hingga citra membentuk matriks MxN dan jumlah tingkat keabuan piksel G. biasanya besar M, N, dan G adalah perpangkatan dari dua (Sutoyo & Mulyanto, 2009). M = 2 m N = 2 n dan G = 2 k.... (1) Yang dalam hal ini m,n, dan k adalah bilangan bulat positif. Jika b menyatakan jumlah bit yang diperlukan untuk menyimpan citra digital dalam memori, maka: b = M x N x k......(2) 2.3. Jenis-jenis Citra 2.3.1. Citra Biner (Monokrom) Banyaknya warna: 2, yaitu hitam dan putih. Dibutuhkan 1 bit memori untuk menyimpan kedua warna ini (Sutoyo & Mulyanto). Citra biner adalah citra yang nilai piksel-pikselnya berupa angka nol atau satu saja atau dua keadaan seperti 0 dan 255. Kata biner yang berarti dua menyatakan dua kemungkinan nilai tersebut. Citra seperti ini biasa dipakai untuk kepentingan segmentasi yang memisahkan objek dengan latar belakangnya (Kadir, 2013).

9 Contoh citra biner dapat dilihat pada gambar 2.2. 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 Gambar 2.2. Citra Biner 2.3.2. Citra Grayscale (skala keabuan) Citra jenis ini menangani gradasi warna hitam dan putih, yang tentu saja menghasilkan warna abu-abu. Pada jenis gambar ini, warna dinyatakan dengan intensitas. Dalam hal ini, intensitas berkisar antara 0 sampai dengan 255. Nilai 0 menyatakan hitam dan nilai 255 menyatakan putih (Kadir & Susanto, 2013). Contoh citra dapat dilihat pada gambar 2.3. 88 113 127 126 138 131 76 104 125 135 129 129 97 108 130 136 136 134 94 112 129 138 141 126 83 104 130 135 140 139 77 100 130 136 138 143 Matriks piksel 6x6 Gambar 2.3. Citra Grayscale 2.3.3. Citra warna (true color) Citra berwarna (true color) mepresentasikan keadaan visual objek-objek yang biasa kita lihat. Warna objek ikut direkam (Kadir, 2013). Citra berwarna seringkali dikenal sebagai citra RGB yang terdiri atas tiga komponen warna, yaitu merah, hijau, dan biru digabungkan dalam membentuk sautu susunan warna yang luas. Setiap warna dasar,

10 misalnya merah, dapat diberi rentang nilai. Untuk monitor komputer, nilai rentangnya paling kecil = 0 dan paling besar = 255. Pilihan skala 256 ini didasarkan pada cara mengungkap 8 digit bilangan biner yang digunakan oleh mesin komputer. Dengan cara ini, akan diperoleh warna campuran sebanyak 256x256x256 = 16.777.216 jenis warna (Listiyani, 2012). Tabel 2.1 menunjukkan contoh warna dan nilai R, G, dan B. Tabel 2.1. Warna dan nilai penyusun warna Warna R G B Merah 255 0 0 Hijau 0 255 0 Biru 0 0 255 Hitam 0 0 0 Putih 255 255 255 Kuning 0 255 255 Untuk contoh citra warna dapat dilihat pada gambar 2.4. Gambar 2.4. Citra warna (true color) 2.4. Pixel (Picture Element) Gambar yang bertipe bitmap tersusun dari pixel-pixel. Pixel disebut juga dengan dot. Pixel berbentuk bujur sangkar dengan ukuran relatif kecil yang merupakan penyusun/pembentuk gambar bitmap. Banyaknya pixel tiap satuan luas tergantung pada resolusi yang digunakan. Keanekaragaman warna pixel tergantung pada bit depth yang dipakai. Semakin

11 banyak jumlah pixel tiap satu satuan luas, semakin baik kualitas gambar yang dihasilkan dan ukuran file akan semakin besar. Pixel adalah representasi sebuah titik terkecil dalam citra grafis. Monitor atau layar datar yang sering kita temui terdiri dari ribuan pixel yang terbagi dalam barisbaris dan kolom-kolom. Jumlah pixel yang terdapat dalam sebuah monitor dapat kita ketahui dari resolusinya. Resolusi maksimum yang disediakan oleh monitor adalah 1024x768, maka jumlah pixel yang ada dalam layar monitor tersebut adalah 786432 pixel. Semakin tinggi jumlah pixel yang tersedia dalam monitor, semakin tajam gambar yang mampu ditampilkan oleh monitor tersebut. Jika suatu gambar mempunyai resolusi 20x30, maka jumlah pixel yang terdapat dalam file tersebut adalah 600 pixel (Fatmawati, 2010). 2.5. Format File Citra Pada umumnya file citra digunakan untuk menyimpan citra yang ditampilkan di layar ke dalam suatu media penyimpanan data. Untuk menyimpan sebuah file citra ini digunakan salah satu format file. Ada banyak format file citra yang dapat digunakan untuk menyimpan file citra, diantaranya adalah BMP, JPEG, ICO. 2.5.1. Format File Bitmap (BMP) Citra bitmap sering disebut juga dengan citra raster. Citra bitmap menyimpan kode citra warna secara digital dan lengkap (cara penyimpanannya adalah per piksel). Citra bitmap direpresentasikan dalam bentuk matriks atau dipetakan dengan menggunakan bilangan biner atau sistem bilangan lain. Citra ini memiliki kelebihan untuk memanipulasi warna, tetapi untuk mengubah objek lebih sulit. Tampilan bitmap mampu menunjukkan kehalusan gradasi bayangan dan warna dari sebuah gambar (Sutoyo & Mulyanto, 2009). 2.6. Noise (derau) Noise adalah suatu bentuk kerusakan pada image signal yang disebabkan oleh gangguan eksternal. Gangguan pada citra umumnya berupa variasi intensitas suatu piksel yang tidak berkorelasi dengan piksel-piksel tetangganya (Yuwono, 2010). Noise (derau) dalam pengolahan citra digital ini merupakan gangguan yang

12 disebabkan oleh menyimpangnya data digital yang diterima oleh alat penerima data gambar. Alat penerima gambar ini bisa berbentuk berbagai macam, mulai dari kamera, baik itu jenis kamera analog maupun jenis kamera digital dan juga scanner. Ada banyak jenis noise, salah satunya adalah impulse noise. Impulse noise atau disebut juga salt-and-pepper noise, yaitu noise yang menyerupai taburan garam sehingga titik-titik hitam dan putih tampak pada citra. Impulse noise biasanya terjadi selama transisi citra. Noise ini tampak sebagai impulse-impulse hitam dan/atau putih diatas citra. Sumber dari noise ini bisa dari atmosferik ataupun buatan manusia (misalnya asap dari mesin mobil). Impulse noise ini dapat terjadi karena bit error acak pada saluran komunikasi (Shinde, et al. 2012). Contoh citra yang berisi impulse noise dapat dilihat pada gambar 2.5. Gambar 2.5. Citra dengan impulse noise Citra digital sangat rentan mendapatkan serangan derau. Ada beberapa cara yang menyebabkan suatu derau dapat berada di dalam sebuah citra, bergantung bagaimana citra tersebut diciptakan. Sebagai contoh, jika citra merupakan hasil scan foto yang berasal dari sebuah film negatif, maka film negatif ini merupakan sumber derau. Jika citra diperoleh secara langsung dalam format digitalnya, mekanisme dalam mendapatkan data digital tersebut juga dapat menyebabkan adanya derau (Sulistyo, 2009). Noise muncul biasanya sebagai akibat dari pembelokkan yang tidak bagus (sensor noise, photographic gain noise). Gangguan tersebut umumnya berupa variasi intensitas suatu piksel yang tidak berkorelasi dengan piksel-piksel tetangganya. Secara visual, gangguan mudah dilihat oleh mata karena tampak berbeda dengan piksel tetangganya. Piksel yang mengalami gangguan umumnya memiliki frekuensi tinggi. Komponen citra yang berfrekuensi rendah umumnya mempunyai nilai piksel konstan

13 atau berubah sangat lambat. Operasi denoise dilakukan untuk menekan komponen yang berfrekuensi tinggi dan meloloskan komponen yang berfrekuensi rendah (Murinto, 2007). Contoh citra yang memiliki noise dapat dilihat pada gambar 2.6. Gambar 2.6. Citra usg.bmp yang berisi noise 2.7. Pengolahan Citra Digital Operasi-operasi pengolahan citra diklasifikasikan dalam beberapa jenis sebagai berikut (Munir, 2004): 1. Perbaikan kualitas citra (image enhancement) Bertujuan untuk memperbaiki kualitas yang dimiliki citra dengan cara memanipulasi parameter-parameter citra, sehingga ciri-ciri khusus yang terdapat pada citra dapat ditonjolkan. Contoh-contoh operasi perbaikan citra: a. Perbaikan kontras gelap/terang. b. Perbaikan tepian objek. c. Penajaman. d. Pemberian warna semu. e. Penapisan derau. 2. Pemugaran citra (image restoration) Bertujuan menghilangkan atau meminimumkan cacat pada citra. Dengan operasi ini penyebab degradasi gambar dapat diketahui. Contoh-contoh operasi pemugaran citra: a. Penghilangan kesamaran (deblurring). b. Penghilangan derau (noise).

14 3. Pemampatan citra (image compression) Bertujuan agar citra dapat direpresentasikan dalam bentuk yang lebih kompak sehingga memerlukan memori yang lebih sedikit. Hal penting yang harus diperhatikan dalam operasi ini adalah citra yang telah dimampatkan harus tetap mempunyai kualitas gambar yang bagus. Contoh metode pemampatan citra adalah metode Run Length Encoding (RLE). 4. Segmentasi citra (image segmentation) Tujuan dari operasi ini untuk memecah suatu citra ke dalam beberapa segmen dengan kriteria tertentu. Jenis operasi ini berkaitan erat dengan pengenalan pola. 5. Pengorakan citra (image analysis) Bertujuan menghitung besaran kuantitatif dari citra untuk menghilangkan deskripsinya. Teknik pengorakan citra mengektraksi ciri-ciri tertentu yang membantu dalam identifikasi objek. Contoh-contoh operasi pengorakan citra: a. Pendeteksian tepi objek (edge detection) b. Ekstraksi batas (boundary) c. Representasi daerah (region) 6. Rekonstruksi citra (image reconstruction) Bertujuan membentuk ulang objek dari beberapa citra hasil proyeksi. Operasi rekontruksi citra banyak digunakan dalam bidang medis. Contohnya beberapa foto rontgen dengan sinar X digunakan untuk membentuk ulang gambar organ tubuh.

15 2.7.1. Pengolahan Citra di Kawasan Spasial dan Kawasan Frekuensi Citra dapat ditransformasikan baik pada domain spasial, maupun domain frekuensi. Ada dua cara untuk melakukan transformasi yang ditunjukkan pada gambar 2.7. Gambar 2.7. Proses Transformasi Citra Pada pengolahan citra di kawasan spasial, dapat dilakukan transformasi spasial dengan memanipulasi intensitas piksel, seperti brightness dan thresholding posisi piksel seperti rotasi dan translasi. Sedangkan pengolahan citra di kawasan frekuensi, diperlukan transformasi domain untuk memetakan citra dari kawasan spasial ke dalam kawasan frekuensi, transformasi inilah yang kemudian dinamakan transformasi Fourier. Dengan cara ini, citra digital ditransformasikan lebih dulu dengan transformasi Fourier, kemudian dilakukan manipulasi pada hasil transformasi Fourier tersebut. Setelah manipulasi selesai, dilakukan inverse transformasi Fourier untuk mendapatkan citra kembali. Metode domain frekuensi ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang sulit jika dilakukan dengan menggunakan metode domain spasial (Sutoyo, 2009). 2.7.1.1. Adaptive Median Filter Salah satu cabang dari Median Filter adalah Adaptive Median Filter. Adaptive Median Filter dirancang untuk menghilangkan masalah yang dihadapi dengan standar Median Filter. Perbedaan mendasar antara dua filter ini adalah bahwa pada Adaptive Median Filter besarnya window (jendela/kernel) sekitarnya setiap piksel adalah variabel. Variasi ini tergantung pada median dari piksel dalam jendela sekarang atau saat ini. Jika nilai median adalah impulse, maka ukuran jendela akan diperluas. Jika tidak, proses lebih lanjut dilakukan pada citra dalam spesifikasi jendela saat ini (Al-amri, et al. 2010).

16 Pada dasarnya pada pengolahan citra diperlukan : piksel pusat dari jendela (window) dievaluasi untuk memverifikasi apakah itu suatu impulse atau bukan. Jika itu adalah suatu impulse, maka nilai piksel baru pada gambar yang telah difilter akan menjadi nilai median dari piksel dalam jendela itu. Jika piksel pusat bukan suatu impulse, maka nilai dari pusat piksel akan dipertahankan dalam citra yang difilter. Piksel (terkecuali) yang dipertimbangkan sebagai sebuah impulse, nilai grayscale dalam piksel pada gambar yang difilter adalah sama dengan citra masukan. Adaptive median filter memiliki tujuan ganda yaitu menghapus impuls noise pada gambar dan mengurangi distorsi pada gambar. Adaptive Median Filter dapat menangani operasi filter pada gambar rusak dengan impulse noise. Filter ini juga memperhalus noise. Dengan demikian, filter ini memberikan output citra jauh lebih baik dari standar median filter. Filter ini melakukan pengolahan spasial untuk menentukan nilai mana dalam citra yang terkena noise dengan membandingkan setiap pikselnya terhadap tetangganya. Ukuran window dapat disesuaikan dengan batasan maksimum window. Piksel yang berbeda dengan tetangganya maka dianggap sebagai noise untuk kemudian digantikan dengan nilai median piksel yang ada dalam satu window. Ukuran dari Median Filter dipergunakan pada piksel individual yang ditentukan berdasarkan perkiraan tingkat noise lokal. Filter yang lebih besar dipakai pada area dengan noise tingkat tinggi, dan filter yang lebih kecil dipakai pada area dengan noise tingkat rendah (Listiyani, 2013). Tujuan dari algoritma Adaptive Median Filter ini adalah mengidentifikasi kandidat noise Zxy kemudian mengganti setiap Zxy dengan nilai median dari piksel yang ada pada window Sxy. Algoritma ini bekerja pada dua bagian, bagian A dan B sebagaimana terlihat pada persamaan (3) dan persamaan (4) (Prasetyo, 2011) : Bagian A : A1 = Z Z A2 = Z Z (3) Jika A1 > 0 dan A2 < 0, pindah ke bagian B. Jika tidak, naikkan ukuran window Jika ukuran window S, ulangi bagian A. Jika tidak, keluarkan Z Bagian B :

17 B1 = Z Z B2 = Z Z.. (4) Jika B1 > 0 dan B2 < 0, keluarkan Z. Jika tidak, keluarkan Z Penjelasan untuk algoritma Adaptive Median Filter adalah sebagai berikut (Thivakaran & Chandrasekaran, 2010): Untuk setiap piksel pada lokasi (x,y) : Langkah 1. Inisialisasi S = 3. Langkah 2. Hitung Z, Z, dan Z yang merupakan nilai minimum, median, dan maksimum dari piksel-piksel di dalam window S. Langkah 3. Lakukan perhitungan pada persamaan (3) yang berfungsi untuk melihat apakah Z < Z < Z. Jika hasilnya bernilai true, dilanjutkan ke langkah 5. Jika tidak, atur ukuran S = S + 2, hingga mencapai ukuran maksimum dari S. Langkah 4. Jika S S, ulangi langkah 2. Selain itu, ubah Z dengan Z. Langkah 5. Lakukan perhitungan pada persamaan (4) yang berfungsi untuk melihat apakah Z < Z < Z. Jika hasilnya bernilai true, maka Z bukan noise sehingga nilai tidak perlu diubah, selain itu, ubah nilai Z dengan nilai Z. Keterangan : S Z = fltering window = nilai piksel pusat pada window Z Z Z S = nilai minimum pada window S = nilai tengah pada window S = nilai maksimum pada window S = ukuran maksimal window S

18 2.7.1.2. Wiener Filter Wiener Filter adalah salah satu jenis filter spasial non-linear. Wiener filter yang diusulkan pertama kali oleh N. Wiener pada tahun 1942 dilaksanakan dengan meminimalkan kesalahan kuadrat rerata antara citra ideal dan citra terestorasi. Apabila f adalah citra ideal dan f adalah citra terestorasi, kesalahan kuadrat reratanya berupa MSE = E (f(i, j) f (i, j)) ( f(i, j) f (i, j)).. (5) Dengan M adalah tinggi citra dan N adalah lebar citra. Solusi atas problem di atas dikenal dengan nama Wiener Filter (Kadir & Susanto, 2013). Dalam kawasan frekuensi, solusi untuk Wiener Filter berupa (McAndrew, 2004) : 1 F(i, j) = H(i, j) H(i, j) H(i, j) + K F^(i, j) (6) Dimana H(i, j) pada persamaan (6) merupakan nilai dari hasil alihragam Fourier yang akan digunakan nantinya, dan F^(i, j) adalah piksel citra. Sementara K adalah nilai konstanta yang dalam hal ini bernilai 100. 2.8. Parameter Pembanding Kualitas Citra 2.8.1. Mean Square Error (MSE) Pengamatan baik tidaknya suatu pendekatan untuk melakukan restorasi citra biasa dilakukan dengan menggunakan mata. Namun, cara seperti itu bersifat subjektif (Kadir & Susanto, 2013). Agar bisa diukur secara kuantitatif, maka perlu adanya alat ukur kuantitatif yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja prosedur perbaikan citra, Alat ukur ini disebut MSE (Mean Square Error) yang dinyatakan dengan persamaan (Sutoyo & Mulyanto, 2009) : MSE = 1 MN ( f (i, j) f (i, j)) (7) Dimana M dan N adalah jumlah piksel dalam dimensi horizontal dan vertikal dari citra. Sementara f merupakan citra asli dan f merupakan citra yang telah difilter (Juneja & Mohana, 2009). Nilai MSE digunakan untuk mengevaluasi perbaikan kesalahan metode (Ambule, et al. 2013).

19 2.8.2. Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) merupakan parameter standar untuk menilai kualitas suatu citra secara objektif dengan membandingkan noise terhadap sinyal puncak. PSNR adalah perbandingan antara nilai maksimum dari sinyal yang diukur dengan besarnya noise yang berpengaruh pada sinyal tersebut (Saselah, et al. 2013). PSNR biasanya diukur dalam satuan desibel. PSNR dapat dihitung menggunakan persamaan (Al-amri, et al. 2010) : PSNR = 10 log..... (8) Dimana : MSE = nilai Mean Squared Error