BAB I PENDAHULUAN. setingkat provinsi ini memiliki wilayah yang relatif kecil di banding provinsi-provinsi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V. Kesimpulan. Perubahan sosial di Yogyakarta dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pola

No Sentralitas posisi masyarakat DIY dalam sejarah DIY sebagai satu kesatuan masyarakat yang memiliki kehendak yang luhur dalam berbangsa dan b

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri yang dinamakan dengan daerah otonom. 1

DIY DALAM KONTEKS NKRI, OTDA DAN DEMOKRASI

BAB I PENDAHULUAN. penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah nusantara. Daerah Istimewa

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 42/PUU-XIV/2016 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubenur Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang

Perubahan Sosial dan Kebudayaan OLEH: LIA AULIA FACHRIAL, M.SI

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB I PENDAHULUAN Deskripsi

Arsip Puro Pakualaman Simpul Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta : Arsip Puro Perlu Perawatan Serius

BAB III URGENSI PASAL 16 DAN 18 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN DIY DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. skripsi Irak Di Bawah Kepemimpinan Saddam Hussein (Kejayaan Sampai

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi ketika seseorang pengunjung melakukan perjalanan. Pariwisata secara

BAB V KESIMPULAN. Pertama, mengenai tingkat kehidupan manusia dari masa pra sejarah sampai

MATERI INISIASI KEEMPAT: BIROKRASI ORGANISASI

BUPATI KULONPROGO Sambutan Pada Acara PERINGATAN EMPAT PULUH TAHUN IKATAN WARGA WATES (IWWT) KULONPROGO, YOGYAKARTA DI BANDUNG

Kebangkitan Nasional: Keistimewaan Yogyakarta, Peluang atau Ancaman? Sri Mulyani*

BAB V PENUTUP. Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari. Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan dimana masing-masing pulau dan daerahnya mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis konflik

BAB I PENDAHULUAN. cerita yang khas dan tidak lepas dari cerita magis yang sampai saat ini bisa. dirasakan oleh siapapun ketika berada didalamnya.

BAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

BAB V KESIMPULAN. dinobatkan sebagai sultan kemudian menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun

BAB V PENUTUP A. Temuan

KAJIAN HUKUM TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. peraturan peraturan yang terdapat dalam penelitian. Singkatnya metode

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era informasi dan globalisasi yang terjadi saat ini, menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu

Kajian Akademik Daerah Istimewa Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya sangat pesat. Hal ini ditandai dengan bertambahnya pelanggan

METODE PENELITIAN. Ada tiga jenis metodologi penelitian yaitu kuantitatif, kualitatif, dan

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan peristiwa yang benar-benar

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Perguruan tinggi layaknya sebuah miniatur negara, mempunyai tatanan

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dalam artian

BAB I PENDAHULUAN masih menyisakan satu persoalan yaitu masalah status Irian Barat. Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fani Nurlasmi Kusumah Dewi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR. Busana adalah produk budaya yang mencerminkan norma. dan nilai budaya suatu suku bangsa. Sebagai produk budaya,

Di samping itu, Sultan HB VII juga menggunakan taktik dengan mengulur waktu dan mencegah penyerahan secara total semua yang diminta oleh pemerintah

2015 KAJIAN PEMIKIRAN IR. SUKARNO TENTANG SOSIO-NASIONALISME & SOSIO-DEMOKRASI INDONESIA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Berbagai rancangan penelitian yang akan dilakukan oleh tiap peneliti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. paham kebangsaan di Indonesia, Islam menjadi salah satu katalisator dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tradisional yang masih kental. Tidak mengherankan bahwa Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Polisi pamong praja sebenarnya sudah ada ketika VOC menduduki Batavia

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

Perubahan social. Menurut Kingsley Davis, bahwa perubahan social ini merupakan bagian dari perubahanperubahan

perubahan sosial fitri dwi lestari

BAB I PENDAHULUAN. 1 ( balai pustaka Kamus Bahasa Indonesia 1988 ) 2 Ibid 3 Ibid

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN. analisis framing pemberitaan mengenai wacana Raja Perempuan Kraton

I. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik

PERANAN PEMOEDA ANGKATAN SAMOEDERA OEMBARAN (PAS O) DALAM PERISTIWA AGRESI MILITER BELANDA II TAHUN 1948 DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penciptaan Adi Khadafi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi masyarakat dalam bidang perikanan di Indonesia, telah

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

PERANAN PERKEBUNAN KARET JALUPANG TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT CIPEUNDEUY KABUPATEN SUBANG

mengenai perubahan representasi kartun Panji Koming terhadap dua kondisi politik yang berbeda juga mewakili apa yang terjadi terhadap media-media

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui

MATERI 1 HAKEKAT PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. keuangan walaupun masih ada aliran dana dari pusat kepada daerah seperti dalam bentuk

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

BAB 6 PENUTUP. hingga masa transisi demokrasi. Beberapa ahli, misalnya Samuel Decalo, Eric. politik, yang akarnya adalah kekuatan politik militer.

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes

BAB I PENDAHULUAN. Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Bangka, Singkep dan Belitung merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan pendakwah atau da i kepada khalayak atau mad u. Dakwah yang. diperhatikan oleh para penggerak adalah strategi dakwah.

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di sebelah selatan Jawa Tengah, daerah setingkat provinsi ini memiliki wilayah yang relatif kecil di banding provinsi-provinsi lain yaitu sekitar 3100 m² atau sekitar 2,4% seluruh luas Pulau Jawa. Yogyakarta menjadi salah satu daerah istimewa dalam Republik Indonesia hal ini dikarenakan Yogyakarta awalnya memiliki pemerintahan sendiri yaitu ketika zaman Belanda dan Jepang. Selain itu perbedaan dengan daerah yang memiliki pemerintahan sendiri lainnya adalah kedudukan istimewa dari Yogyakarta ini diakui secara tegas oleh pemerintah Republik Indonesia sejak masa revolusi nasional Indonesia (Soemardjan, 1981, hal: 3). Keistimewaan Yogyakarta tidak terlepas dari dinamika yang terjadi di Yogyakarta, perubahan-perubahan yang terjadi pada masa pra-kemerdekaan hingga pascakemerdekaan RI mengakibatkan pola relasi yang berbeda antara relasi Yogyakarta dengan Pemerintah Nasional dengan relasi daerah-daerah lain dengan pemerintah nasional. Posisi dan peran dari Kraton, Sultan dan Masyarakat Yogyakarta pada masa revolusi kemerdekaan sangat strategis. Posisi wilayah yang termasuk berada di tengahtengah pulau Jawa dan kondisi sosial-politik yang cenderung lebih stabil dikarenakan masyarakat yang masih mengakui keberadaan Kraton dan Sultan di tambah lagi sosok 1

Sultan HB IX yang seorang nasionalis mengakibatkan penggunaan Yogyakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia untuk sementara menggantikan Jakarta. Perpindahan ibu kota untuk sementara tersebut tentu turut mempengaruhi perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta. Sebagai pusat pemerintahan sementara mengakibatkan kedatangan pegawai pemerintah dan tentara beserta keluarganya ke Yogyakarta, para pendatang ini tidak hanya berasal dari satu daerah namun dari berbagai daerah di Indonesia. Selain keluarga, para pendatang tersebut juga membawa budaya mereka masing-masing sehingga ketika berada di Yogyakarta dan berinteraksi dengan masyarakat Yogyakarta maka terjadi pula pertukaran budaya yang mempercepat dinamika sosial di Yogyakarta. Setelah masa revolusi tersebut, Yogyakarta semakin terbuka terhadap masyarakat luar dengan didirikannya perguruan-perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang kemudian menjadikan Yogyakarta terkenal sebagai kota pelajar. Sebagai salah satu pusat pendidikan di Indonesia maka banyak pula pelajar dari Sabang sampai Merauke yang menuntut ilmu di Yogyakarta, dan mereka semua juga datang membawa budaya mereka masing-masing yang kemudian saling berinteraksi baik dengan warga asli maupun dengan warga pendatang lainnya dengan Yogyakarta sebagai wadahnya. Komposisi penduduk yang semakin kompleks dan diikuti dengan perkembangan iptek yang semakin maju kemudian menyebabkan perubahan sosial masyarakat Yogyakarta yang cepat, hal tersebut kemudian menyebabkan banyak hal yang tidak dapat diperkirakan dan diantisipasi. Salah satu akibat dari perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta tersebut adalah masalah Keistimewaan Yogyakarta yang muncul tidak 2

hanya 10 tahun terakhir namun yang telah muncul sejak Yogyakarta menyatakan bergabung dengan Negara Republik Indonesia. Salah satu substansi Keistimewaan Yogyakarta adalah substansi politik yaitu tentang jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Substansi inilah yang pada masalah keistimewaan yang terakhir menjadi isu utama, bahkan masalah keistimewaan Yogyakarta yang pada dasarnya ada 5 substansi pokok mengalami penyempitan masalah bahasan menjadi masalah politik yaitu pro-kontra antara pemilihan dan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Terjadinya penyempitan masalah tersebut tidak lepas dari perubahan sosial yang menyertai munculnya masalah tersebut di mana demokratisasi di dalam masyarakat baik masyarakat Indonesia maupun maupun masyarakat Yogyakarta semakin menguat, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi memunculkan isu pemilihan dalam jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang sejak awal kemerdekaan dijabat secara otomatis oleh Sultan dan Paku Alam. Perubahan sosial juga terjadi dalam kelompok-kelompok masyarakat di Yogyakarta, hal ini dapat kita lihat di mana munculnya isu pemilihan itu sendiri dan juga dukungan terhadap pemilihan tersebut. Meskipun suara yang mendukung penetapan lebih terlihat dalam gerakan-gerakan massa namun munculnya draft RUUK yang memberikan opsi pemilihan terhadap jabatan gubernur dan wakil gubernur juga munculnya kelompok masyarakat yang pro-pemilihan cukup menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok yang menginginkan jabatan tersebut dipilih secara lebih demokratis atau dipilih langsung seperti daerah-daerah lainnya. 3

Pada tahun 2010-2011 kita dapat melihat bahwa masyarakat Yogyakarta terpecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang pro-pemilihan dan kelompok propenetapan, dengan mengesampingkan besar setiap kelompok keduanya menentukan posisi mereka tidak terlepas dari perubahan-perubahan sosial yang mempengaruhi sikap mereka tersebut. Jika perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta dapat mempengaruhi terhadap dua kelompok tersebut, maka bagaimanakah dengan kelompok masyarakat yang tergolong dekat dengan Kraton Yogyakarta semisal abdi dalem dan prajurit Kraton Yogyakarta? Kelompok masyarakat ini tentu bukanlah kelompok masyarakat yang tertutup terhadap pengaruh masyarakat dari luar apalagi Kraton Yogyakarta setelah kepemimpinan Sultan HB IX yang lebih terbuka dengan masyarakat, dengan begitu perlu dilihat pula bagaimana atau sejauhmana perubahan sosial dalam masyarakat Yogyakarta turut mempengaruhi sikap kelompok-kelompok masyarakat yang dekat dengan kraton tersebut. Ada dua kelompok masyarakat yang dekat dengan kekuasaan tradisional di Yogyakarta yaitu abdi dalem dan prajurit kraton Yogyakarta, studi tentang abdi dalem sudah cukup banyak dilakukan oleh akademisi-akademisi maupun oleh media massa, sebaliknya studi tentang prajurit kraton Yogyakarta sampai sekarang masih sangat sedikit dilakukan bahkan buku-buku tentang prajurit kraton khususnya tentang prajurit kraton Yogyakarta sangatlah sedikit sehingga referensi lebih banyak diambil dari bukubuku tentang sejarah Yogyakarta dan juga buku tentang upacara grebeg, hal inilah yang kemudian mennyebabkan penulis mengambil fokus terhadap prajurit kraton Yogyakarta. 4

Prajurit kraton ini juga memiliki sejarah panjang, bregada-bregada ini telah melewati masa ke masa menghadapi kekuatan perubahan yang pada akhirnya menciptakan Bregada Prajurit Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekarang ini. Proses sejarah telah membentuk bregada Kasultanan Ngayogyakarta dari tidak ada menjadi ada, dan dari yang jumlahnya besar menjadi bregada yang jumlahnya minimalis dan kemudian menjadi prajurit yang hanya memiliki fungsi seremonial. Prajurit Kraton yang hidup sekarang sudah kehilangan fungsi asli mereka sebagai pasukan militer dan pasukan keamanan dan menjadi prajurit seremonial yang fungsinya mendukung upacara-upacara adat yang diadakan oleh Kraton Yogyakarta. Pada masa Sri Sultan HB I-IX urusan keprajuritan masuk ke dalam Kawedanan Hageng Punakawan yang anggotanya menjadi abdi dalem penuh. Namun setelah sempat dibubarkan pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942, Bregada Kraton kemudian mulai dibentuk kembali pada tahun 1956 oleh masyarakat sekitar kraton dan pada tahun 1971 oleh Sultan HB IX dengan sekaligus mendirikan Pangageng Tepas Keprajuritan sebagai lembaga yang mengurusi bregada Kraton Yogyakarta. Pangageng Tepas Keprajuritan ini tergolong lembaga baru karena baru berdiri pada tanggal 2 Maret 1971. Selain membawahi urusan keprajuritan, Tepas ini juga mengelola Museum Pagelaran, Sithihinggil dan Taman Sari. Perubahan lembaga tersebut secara tidak langsung juga membawa perubahan-perubahan didalam keprajuritan tersebut baik secara personal maupun secara kelompok. Secara personal bregada-bregada tersebut memiliki latar belakang yang berbeda. Terpisahnya dengan Kawedanan Hageng Punakawan juga menyebabkan adanya beberapa prajurit yang ikut ke dalam 2 lembaga dalam kraton 5

Yogyakarta karena terdapat abdi dalem yang juga merangkap menjadi prajurit kraton. Prajurit kraton tidak setiap hari berada di kawasan keraton bahkan cenderung hanya berada di kawasan keraton pada even-even tertentu. Meskipun begitu peran prajurit tidaklah kecil, prajurit tetap memiliki peran dalam menjaga kraton dalam hal ini menjaga nilai budaya kraton dan menjadi salah satu simbol kraton dalam masyarakat. Hal itu dikarenakan masih banyaknya upacara-upacara adat di Yogyakarta baik oleh kraton maupun masyarakat umum yang selalu mengikutsertakan simbol prajurit budaya tersebut. Salah satu dari prajurit dan merupakan salah satu embrio dari prajurit modern Kraton Yogyakarta adalah Prajurit Dhaeng. Seperti namanya, prajurit ini dahulunya lahir/berasal dari luar kraton yaitu berasal dari Sulawesi. Prajurit Dhaeng bukan satusatunya prajurit kraton yang berasal dari luar, masih ada Prajurit Bugis yang sama-sama berasal Sulawesi. Prajurit Dhaeng menjadi salah satu embrio dari munculnya prajurit kraton Yogyakarta karena prajurit ini merupakan satu dari empat prajurit yang dibentuk kembali pada tahun 50-an. Dan di era modern ini, Prajurit Dhaeng termasuk kelompok prajurit yang paling menonjol daripada prajurit-prajurit kraton lainnya, mereka menjadi salah satu bregada yang paling kompak dan satu-satunya bregada yang memiliki paguyuban (KRT Kusumanegara, wawancara, 7 Januari 2014). Oleh karena itu, penelitian ini akan meneliti tentang Bregada Kraton Yogyakarta dengan studi kasus Prajurit Dhaeng. Penelitian tentang prajurit kraton ini menjadi semakin menarik ketika isu di dalam kraton kita dihadapkan dengan realitas yang terjadi pada masyarakat Yogyakarta 6

sendiri. Yogyakarta saat ini berbeda dengan Yogyakarta 60 tahun yang lalu, keadaan sosial yang berbeda, sistem sosial yang berbeda dan dipimpin oleh Sultan yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan ini muncul dikarenakan perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta, sehingga menjadi hal yang penting pula untuk melihat bagaimana sikap yang terbentuk dari masyararakat Yogyakarta dalam kerangka dinamika yang terjadi di Yogyakarta untuk melihat bagaimana yang terjadi pada Yogyakarta di masa yang akan datang. Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang dekat dengan kraton maka akan menjadi pertanyaan bagi kita bagaimana sikap mereka terhadap UU Keistimewaan Yogyakarta khususnya berkaitan aspek politiknya yaitu berkaitan suksesi gubernur dan wakil gubernr DIY. Hal ini dapat dilihat sebagai wujud pengawasan dari pelaksanaan UU Keistimewaan yang telah disahkan sehingga tidak ada penyelewengan dalam pelaksanaannya kedepannya. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas seblumnya maka pertanyaan penelitian yang peneliti ajukan adalah: Bagaimanakah pengaruh perubahan sosial di Yogyakarta terhadap dinamika dan pola perubahan di dalam bregada Dhaeng Kraton Yogyakarta khususnya dalam melihat isu Keistimewaan Yogyakarta? C. Kajian Pustaka Studi tentang prajurit kraton sangat jarang dilakukan, tidak seperti studi tentang abdi dalem yang hingga saat ini menjadi salah satu daya tarik ketika seseorang meneliti tentang kraton. Studi prajurit ini tentu berbeda dengan studi tentang abdi dalem 7

dikarenakan meskipun sama-sama bekerja untuk kraton namun fungsi mereka sesungguhnya berbeda. Selain dapat dengan abdi dalem, prajurit kraton Yogyakarta juga dapat dibandingkan dengan prajurit Praja Kejawen lainnya seperti yang ada di Kadipaten Paku Alam, Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran meskipun perkembangan prajurit setiap kerajaan tetap berbeda. Karya tulis yang diterbitkan tentang prajurit khususnya tentang Prajurit Kraton Yogyakarta sangatlah jarang ditemukan, di dalam karya modern peneliti hanya dapat menemukan sebuah buku yang membahas secara khusus tentang prajurit kraton Yogyakarta yaitu buku yang berjudul Prajurit Kraton Yogyakarta: filosofi dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta. Karena menjadi satu-satunya buku yang mendeskripsikan dan menjelaskan secara khusus masalah Prajurit Kraton Yogyakarta maka buku tersebut menjadi buku induk yang digunakan untuk mendeskripsikan prajurit kraton Yogyakarta. Pada bab awal buku tersebut secara ringkas menjelaskan tentang proses kelahiran dan perkembangan prajurit keraton Yogyakarta pada masa prakemerdekaan, perkembangan prajurit sebelum bergabung dengan negara Republik Indonesia memang berjalan beriringan bersama perkembangan kraton sendiri sehingga tidak ada catatan khusus yang membahas tentang perkembangan prajurit kraton. Prajurit kraton Yogyakarta pada masa pemerintah penjajah memang kurang mendapat perhatian dari pemerintah penjajah, berbeda dengan Praja Mangkunegaran yang karena kedekatannya dengan pemerintah kolonial waktu itu sehingga prajurit atau legiun mereka mendapatkan perhatian khusus baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun 8

Inggris. Kedekatan dengan pihak penjajah tersebut pula yang menyebabkan catatan tentang legiun Mangkunegaran cenderung lebih banyak daripada catatan tentang prajurit dari praja-praja kejawen lainnya. Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan Prajurit Mangkunegaran atau sering disebut Legiun Mangkunegaran secara lengkap dapat ditemukan dalam buku Legiun Mangkunegaran (1808-1942) karya Iwan Santosa (2011), dalam buku ini juga secara sekilas menceritakan kekuatan prajurit kraton Yogyakarta. Meskipun buku Prajurit Kraton Yogyakarta hanya menggambarkan secara ringkas, namun buku tersebut tetap memberikan gambaran secara umum tentang perkembangan prajurit pada masa sebelum kemerdekaan tersebut sehingga hal tersebut tetap dapat menjadi dasar pengetahuan untuk mengetahui prajurit kraton Yogyakarta yang sekarang. Buku Prajurit Kraton Yogyakarta secara keseluruhan lebih banyak membahas tentang prajurit kraton Yogyakarta yang dibentuk kembali pada tahun 1956 setelah bergabungnya Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia yang hidup hingga sekarang. Prajurit kraton pada masa ini telah menjadi prajurit seremonial yang berfungsi pada upacara-upacara adat kraton sehingga di buku lebih banyak memberikan deskripsi dan makna filosofis dari keberadaan prajurit kraton Yogyakarta. Meskipun data kepustakaan yang membahas prajurit Kraton Yogyakarta secara khusus sangat terbatas, namun keberadaan pustaka-pustaka tentang sejarah Yogyakarta, sejarah Kraton Yogyakarta, sejarah Kerajaan Mataram dan juga pustaka tentang upacara-upacara adat kraton dapat melengkapi data-data kepustakaan tentang prajurit kraton Yogyakarta tersebut. Hal ini dikarenakan perkembangan prajurit yang tidak lepas 9

dari perkembangan kraton dan masyarakat Yogyakarta. Kepustakaan tentang Daerah Istimewa Yogyakarta, Kraton Yogyakarta, Kerajaan Mataram Islam dan tentang upacara-upacara adat Jawa atau Yogyakarta cukup gampang untuk ditemukan dan di dalam buku-buku tersebut tidak jarang akan ditemukan pembahasan tentang prajuritprajurit kraton Yogyakarta. D. Tujuan penelitian - Guna mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada Bregada Kraton. - Guna mengetahui pengaruh perubahan sosial terhadap sikap politik bregada Kraton. - Guna mengetahui posisi dan peran prajurit kraton dalam menanggapi isu-isu politik terkini khususnya isu keistimewaan Yogyakarta. - Guna mengetahui peran prajurit dalam mengawasi pelaksanaan Undang- Undang Keistimewaan Yogyakarta. - Guna mengetahui pelaksanaan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta kedepannya. E. Landasan Teori Pengertian Perubahan Sosial Masyarakat memiliki sifat dinamis. Betapapun homogen suatu masyarakat perubahan akan tetap terjadi. Begitu pula dengan masyarakat Yogyakarta, masyarakat Jogja memang mayoritas merupakan orang Jawa dan istilah orang Jogja sendiri sudah membawa sifat khusus yaitu dengan diidentikkan kraton. Dan oleh sebab itu pula dinamika masyarakat Yogyakarta juga tidak bisa terlepas terhadap keberadaan kraton 10

maupun Sultan itu sendiri. Kraton dan Sultan tidak lepas dari perubahan-perubahan, kita mengetahui bahwa meskipun Sultan dijabat seumur hidup namun bukan berarti tidak ada suksesi di dalam jabatan tersebut. Jabatan Sultan tetap ada pergantian selayaknya suksesi Sultan Hamengku Buwono I ke HB II, HB II ke HB III dan seterusnya, dan setiap suksesi tersebut akan diikuti dengan perubahan pola-pola kepemimpinan yang juga berpengaruh pada kerajaan dan rakyatnya. Yogyakarta juga bagian dari sebuah negara besar Negara Republik Indonesia, oleh karena itu Yogyakarta baik Sultan, Kraton maupun masyarakatnya juga tidak terlepas dari relasi administratif dan kuasa mereka dengan pemerintah. Relasi kuasa antar lembaga ini juga tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang berakibat pada perubahan di setiap lembaga-nya. Konsep Perubahan sosial dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai sosial, sikap, dan pola tingkah laku antar kelompok masyarakat (Soemardjan, 1981; hal 303). Sebenarnya konsep perubahan sosial lebih luas dari itu, konsep perubahan sosial menurut Gillin John dan John Philip Gillin (dalam Ranjabar, 2008, hal: 16) mengataka arti perubahan sosial adalah perubahab-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahanperubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan bru dalam masyarakat. Selo Soemardjan sendiri memilih untuk menggunakan konsep yang menekankan pada perubahan-perubahan kelembagaan dikarenakan pengalaman beliau tinggal dan melakukan penelitian di Yogyakarta pada masa pra-kemerdekaan dan masa revolusi 11

kemerdekaan Indonesia. Penelitian ini juga menggunakan konsep milik Selo Soemardjan dikarenakan memiliki fokus kajian dan aktor yang hampir sama. Kategori Perubahan Sosial Perubahan sosial dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu perubahan yang disengaja /intended change dan yang tidak disengaja /unintended change (Soemardjan, 1981, hal: vii). Perubahan sosial yang disengaja memiliki maksud bahwa perubahan yang telah diketahui dan direncanakan sebelumnya oleh para anggota masyarakat yang berperan sebagai pelopor perubahan. Sedangkan perubahan sosial yang tidak disengaja adalah perubahan yang terjadi tanpa diketahui atau tanpa direncanakan sebelumnya oleh anggota masyarakat. Perubahan sosial yang disengaja sebagian besar didominasi oleh perubahan sosial yang terjadi dalam bidang kehidupan bernegara, sedangkan perubahan sosial yang tidak disengaja sebagian besar terjadi pada perubahan sosial dalam bidang kehidupan bermasyarakat. Jika kedua kategori tersebut dilihat dalam kasus Keistimewaan Yogyakarta maka perubahan sosial yang disengaja dapat dijelaskan dengan adanya pemerintah baik pusat maupun daerah yang melalui undang-undang maupun peraturan-peraturan yang ada mencoba mengadakan perubahan-perubahan secara terencana terhadap Yogyakarta. Sedangkan perubahanperubahan yang tidak terencana ataupun tidak disengaja dapat dilihat dengan perubahan budaya di dalam masyarakat Yogyakarta yang diakibatkan masuknya budaya-budaya asing. Soemardjan (1981; hal. 305) kembali menambahkan dalam konsep perubahan sosial yang sengaja dan tidak sengaja ini belum mencakup pengertian antisipasi (anticipation) dan non-antisipasi. Hal tersebut dikarenakan bahkan dalam perubahan 12

sosial yang tidak disengaja-pun masih mungkin untuk diperkirakan. Namun meskipun begitu perubahan sosial yang tidak sengaja ini pada dasarnya memang sangat sulit untuk diduga dan diantisipasi, hal ini bertambah sulit karena biasanya perubahan sosial bukan hasil dari faktor sosial yang tunggal namun terjadi karena banyak faktor. Perubahan sosial kemudian disertai adaptasi atau penyesuaian oleh masyarakat. Pada dasarnya adaptasi oleh masyarakat guna menuju keseimbangan sosial, namun dalam realitasnya adaptasi tersebut juga merupakan bagian dari proses perubahan sosial itu sendiri sehingga yang terjadi pada awalnya memang sebuah keseimbangan sosial namun kemudian memunculkan proses kontrakdiksi/ketidakseimbangan lain yang memicu perubahan sosial yang baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Ranjabar (2008, hal: 21) di mana perubahan sosial pada dasarnya menimbulkan kontradiksi, di mana hal tersebut menimbulkan kecenderungan munculnya pertentangan, dilema dan unsur-unsur yang tidak berkesesuaian dalam sistem sosial masyarakat dan kontradiksi ini akan menjadi penggerak utama perubahan sosial. Penyebab Perubahan Sosial Perubahan sosial tidak berjalan secara independen atau berjalan dengan sendirinya, perubahan sosial terjadi karena sebelumnya telah ada penyebab terjadinya perubahan baik itu yang bersifat internal maupun eksternal masyarakat. Secara umum ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial (Ranjabar, 2008, hal: 82-101) diantaranya: - Penemuan-penemuan baru - Struktur sosial (perbedaan posisi dan fungsi dalam masyarakat) 13

- Inovasi - Perubahan lingkungan hidup - Ukuran penduduk dan komposisi penduduk - Inovasi dalam teknologi Secara singkat penyebab-penyebab tersebut dapat disarikan ke dalam 3 sumber utama dari perubahan sosial yaitu terletak dalam lingkup biologi, teknologi, dan ideologi(maclver dalam Soemardjan, 1981, hal: 303). Dalam kasus Yogyakarta kita dapat melihat perubahan sosial yang berasal dari perubahan-perubahan ideologi dasar masyarakat Jawa di Yogyakarta dengan melihat aktor baik individu, kelompok maupun lembaga. Ketika kita melihat dari sudut pandang ini maka kita akan dihadapkan dengan peran orang atau kelompok yang mempelopori masyarakat Yogyakarta untuk meninggalkan masa lampau dan menuju jaman yang baru, yakni pelopor yang menetapkan kaidah sistem sosial baru atau yang diperbarui yang diikuti oleh para anggota masyarakat lainnya berdasarkan otoritas sang pemimpin yang diakui. Orang atau kelompok yang berperan menjadi pelopor dalam perubahan sosial masyarakat Yogyakarta pada masa lalu adalah Sultan ataupun Kraton Kasultanan Ngayogyakarta, hal ini dikarenakan bentuk Yogyakarta pada masa lalu yang merupakan sebuah kerajaan, pada masa lalu Kasultanan Yogyakarta juga tidak lepas dari pengaruh pemerintahan penjajah, hanya saja bentuk daerah swapraja yang diberikan oleh pemerintah penjajah memberikan leluasa pada Sultan maupun kraton dalam mengelola kerajaan dan wilayahnya meskipun tetap terikat dengan aturan-aturan yang ada. Pada masa sekarang kita tidak dapat menampikkan pemerintah nasional (negara) sebagai 14

salah satu kekuatan yang mempengaruhi Yogyakarta, meskipun kekuatan kraton juga masih cukup kuat namun beberapa kali perubahan di Yogyakarta juga dipengaruhi oleh tindakan dari negara sehingga negara menjadi salah satu pelopor perubahan di Yogyakarta. Penelitian ini juga akan dilihat bagaimana lembaga-lembaga yang saling mempengaruhi yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Interaksi antara pemerintah, Sultan, Kraton, Bregada kasultanan Yogyakarta dan juga masyarakat Yogyakarta secara umum berakibat terjadinya perubahan dalam lembaga-lembaga tersebut. Lembaga politik dalam masyarakat modern seringkali menjadi tokoh pelopor perubahan. Kasus keistimewaan Yogyakarta menunjukkan bagaimana pemerintah nasional menjadi pelopor perubahan bagi Sultan, Kraton, Bregada Kasultanan Yogyakarta bahkan masyarakat Yogyakarta secara umum. Dan sebalikanya, dinamika di Yogyakarta selama ini penuh dengan ketidakjelasan dan hal tersebut juga yang menginisiasikan pemerintah untuk mencoba mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam ketidakjelasan tersebut melalui kebijakan-kebijakannya. Pendorong Terjadinya Perubahan Sosial Sumber/penyebab perubahan tidak hanya berjalan sendirian, dalam prosesnya terdapat faktor-faktor lain yang mendorong terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat tersebut berjalan di sebuah masyarakat. Faktor-faktor pendorong perubahan sosial yang berasal dari dalam masyarakat (Ranjabar, 2008, hal: 101-104) diantaranya adalah: - Toleransi 15

- Sistem lapisan masyarakat yang terbuka - Penduduk yang heterogen - Adanya rasa tidak puas - Karakter masyarakat - Pendidikan - Ideologi Beberapa faktor yang menjadi pendorong perubahan sosial di atas tidak semuanya di miliki rakyat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Yogyakarta pada khususnya. Perbedaan-perbedaan yang karakter setiap masyarakat yang didasarkan pada faktor-faktor di atas menyebabkan perubahan yang terjadi juga berbeda dan berpengaruh terhadap penerimaan dan penolakan masyarakat pada sebuah perubahan. Hambatan dan Resiko dalam Perubahan Sosial Perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat modern identik dengan ketidakpastian. Dengan ketidakpastian yang dibawa oleh perubahan sosial tersebut mengakibatkan sebagian masyarakat tidak mengetahui akibat-akibat yang akan terjadi, apakah perubahan yang terjadi dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada kerugian yang ditimbulkannya ataukah kerugian yang dimunculkan oleh perubahan tersebut akan lebih besar daripada manfaat yang dimunculkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan sosial yang telah disebutkan sebelumnya dan juga sifat perubahan sosial yang terkadang menghasilkan ketidakpastian menyebabkan munculnya kemungkinan adanya penolakan terhadap sebuah perubahan oleh masyarakat. Kasus keistimewaan Yogyakarta beberapa saat lalu 16

juga dapat menjadi contoh bahwa sebagian masyarakat Yogyakarta belum berkenan ada perubahan-perubahan yang fundamental dalam Keistimewaan Yogyakarta. Penolakan oleh masyarakat terhadap perubahan dapat dikarenakan beberapa sebab, diantaranya adanya hambatan-hambatan perubahan dalam internal masyarakat ataupun adanya kesadaran masyarakat bahwa perubahan juga membawa resiko. Hambatan dalam Perubahan Sosial Proses perubahan sosial tidak selalu berjalan secara sempurna dalam setiap kelompok masyarakat. Proses perubahan seperti itu juga yang sering terjadi di dalam mayoritas perubahan-perubahan yang terjadi di Yogyakarta bahwa proses perubahan yang terjadi tidak secara utuh diterima oleh masyarakat. Perubahan-perubahan khususnya yang berasal dari eksternal masyarakat Yogyakarta mendapat filter tersendiri baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Ada beberapa alasan di mana masyarakat enggan menerima perubahan yang terjadi (Soemardjan, 1981: hal 315-318) yaitu: - Mereka tidak memahaminya - Perubahan itu bertentangan dengan nilai-nilai serta norma-norma yang ada. - Para anggota masyarakat yang berkepentingan dengan keadaan yang ada (vested interest) cukup kuat menolak perubahan. - Resiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih besar daripada jaminan sosial dan ekonomi yang bisa digunakan. - Pelopor perubahan ditolak. 17

Resiko dalam Perubahan Sosial Penolakan terhadap perubahan sosial juga dapat dikarenakan adanya sebagian masyarakat menyadari bahwa perubahan sosial juga membawa resiko. Pengetahuan masyarakat akan resiko yang akan terjadi jika perubahan itu terjadi menjadikan masyarakat tersebut enggan untuk menerima perubahan yang diinisiasikan oleh pelopor perubahan. Ranjabar (2008, hal: 106-111) menjelaskan bahwa ada beberap resiko yang dibawa oleh perubahan sosial terhadap masyarakat, diantaranya: - Adanya kepentingan individu - Timbulnya masalah sosial - Kesenjangan budaya (cultural lag) - Kehilangan semangat hidup Perubahan sosial memang sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari apalagi oleh masyarakat modern yang dikenal sebagai masyarakat dinamis. Fenomena sosial ini tidak hanya membawa keuntungan bagi masyarakatnya namun juga membawa resiko dalam masyarakat tersebut, sehingga seringkali terjadi pro-kontra di dalam masyarakat ketika masyarakat tersebut dihadapkan dengan perubahan-perubahan yang ada. Bentuk antisipasi sering dilakukan oleh lembaga negara dengan kebijakan-kebijakan termasuk keluarnya amandemen UUD 1945 pasal 18b tentang Daerah Istimewa yang keluar pasca reformasi 1998. F. Definisi Operasional Penelitian ini akan mengambil fokus kajian terhadap perubahan sosial yang terjadi pada bregada prajurit Kraton Yogyakarta dan hubungan antara perubahan sosial 18

yang terjadi dengan isu RUU Keistimewaan Yogyakarta yang telah disahkan menjadi UU no 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data yang diperlukan maka perlu dilihat dalam beberapa capaian, yaitu: 1. Sejarah Prajurit Kraton Yogyakarta dan Prajurit Dhaeng 2. Relasi Prajurit Kraton dengan lembaga-lembaga lain (Kraton dan Pemerintah) 3. Kebijakan-kebijakan yang diambil Kraton tentang keprajuritan. 4. Perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar (eksternal) Prajurit Kraton Yogyakarta. 5. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam tubuh (internal) prajurit kraton. 6. Peran prajurit Kraton Yogyakarta, baik di dalam maupun di luar kraton 7. Pengetahuan prajurit tentang Keistimewaan Yogyakarta. 8. Tanggapan prajurit terhadap Keistimewaan Yogyakarta. G. Metode Penelitian G. 1. Jenis Penelitian Penelitian ini mencoba melihat perubahan sosial di dalam Bregada Prajurit Kraton Yogyakarta terhadap Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta di tengah perubahan sosial yang terjadi disekitarnya. Guna untuk mengetahui perubahanperubahan di dalam bregada tersebut maka saya memutuskan untuk menggunakan penelitian kualitatif dan dengan metode studi kasus. Pemilihan kualitatif sebagai bentuk penelitian dikarenakan objek penelitian ini merupakan Prajurit Kraton Yogyakarta yang 19

dimana data yang akan diambil akan lebih mendalam jika melalui metode kualitatif, dan dengan dibantu dengan metode studi kasus sebagai metode penelitian maka hal ini akan membantu penelitian tentang sebuah kelompok budaya seperti halnya Prajurit Kraton secara lebih fokus dan tepat. Penelitian kualitatif menurut Creswell (2010: 4) memiliki pengertian berupa metode-metode yang digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Oleh karena itu dengan menggunakan metode ini saya akan mencoba mengeksplorasi tentang bagaimana perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta dan Bregada Prajurit Kraton Yogyakarta yang merupakan salah satu kelompok budaya yang diakui di Yogyakarta dan bagaimana posisi mereka dalam menanggapi tentang masalah yang sangat dekat dengan mereka yaitu tentang Undang- Undang Keistimewaan Yogyakarta. Bognan dan Taylor juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 1994: 3). Definisi dari Bognan dan Taylor tersebut menunjukkan tentang 2 hal penting yang perlu diperhatikan dalam metode kualitatif, yaitu tentang sumber data dan hasil penelitian. Sumber data utama untuk penelitian kualitatif dapat diperoleh melalui informan secara langsung melalui wawancara atau interview ataupun tidak secara langsung yaitu melalui data-data tertulis, selain itu data dalam metode penelitian kualitatif juga diperoleh melalui pengamatan langsung pada perilaku. Sedangkan salah satu hasil dari penelitian 20

kualitatif merupakan sebuah data deskriptif yang merupakan gambaran dari data-data yang diperoleh. Model penelitian kualitatif memiliki beberapa bentuk metode seperti; studi kasus, etnografi, historiografi, fenomenologi, grounded theory dan biografi. Menurut Robert K. Yin (2011: 1) dalam memilih metode ini harus memperhatikan beberapa faktor, faktor yang pertama adalah berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan. Kedua, berdasarkan kontrol yang dimiliki peneliti terhadap peristiwa yang akan diteliti. Dan yang terakhir, berdasarkan fokus terhadap fenomena penelitiannya(fenomena kontemporer ataukah fenomena historis). Dengan melihat faktor-faktor tersebut maka kemudian saya memutuskan bahwa metode yang paling tepat untuk penelitian saya adalah metode studi kasus. Beberapa alasannya adalah pertama, dilihat dari pertanyaan penelitian yang saya rumuskan maka penelitian akan terfokus terhadap sebuah kelompok budaya beserta dinamika yang terjadi disekitarnya yang berkenaan dengan bagaimana dan mengapa sehingga data akan lebih mendalam jika menggunakan metode studi kasus. Yang kedua adalah peneliti di sini merupakan orang luar dari peristiwa ataupun fenomena yang diteliti, peneliti hanya memiliki sedikit bahkan tidak memiliki kontrol terhadap terjadinya peristiwa/fenomena yang diteliti, dan yang terakhir fokus penelitian juga secara khusus membahas satu kasus yang bersifat kontemporer yaitu tentang isu Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang belum lama disahkan serta masih berjalan proses pelaksanaannya; meskipun akan menyinggung beberapa hal yang bersifat empiris/historis, namun hal tersebut hanya digunakan untuk melengkapi atau mendukung data yang ada. 21

G. 2. Teknik Pengumpulan Data G. 2. 1. Sumber Data Penelitian ini memiliki dua jenis sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer di sini merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung terhadap informan serta pengamatan terhadap objek penelitian. Wawancara ini dilakukan secara mendalam atau sering disebut sebagai indepth interview. Sumber data primer ini peneliti berencana untuk melakukan interview terhadap setidaknya 3 aktor. Pertama adalah prajurit kraton Yogyakarta,yang kedua keluarga atau warga yang berada disekitar tempat tinggal prajurit, dan yang terakhir adalah pengurus Tepas Keprajuritan yang diberi wewenang oleh Kraton Yogyakarta untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan prajurit. Dan jika dimungkinkan akan ditambah lagi dengan beberapa pengamat budaya dan sejarah Kraton Yogyakarta. Data yang kedua adalah data sekunder, di mana data sekunder ini merupakan data yang diperoleh dari sumber selain wawancara dan pengamatan/observasi langsung. Untuk data sekunder ini peneliti mencoba lebih mendalami tentang prajurit kraton dengan membaca literatur-literatur yang terkait. Oleh karena itu data sekunder ini akan lebih bersifat kepustakaan yaitu dengan mencari data-data pendukung yang ada dalam buku atau karya tulis lainnya. Pencarian sumber data dapat didukung dengan dua unsur penunjang agar dapat berlangsung lebih efektif (Sobana, 2008). Yaitu: a. Pencarian sumber data harus berdasarkan bibliografi kerja dan kerangka penelitian. Hal ini dikarenakan dengan melihat dan memperhatikan 22

permasalahan-permasalahan yang tersirat dalam kerangka tulisan (bab dan sub-bab) maka peneliti dapat mengetahui sumber-sumber yang belum ditemukan. b. Dalam pencarian sumber data di perpustakaan, peneliti wajib memahami sistem katalog perpustakaan yang bersangkutan. Dengan melihat dua unsur penunjang di atas maka diharapkan peneliti nanti akan mampu terbantu dalam mencari sumber data yang lebih efektif dan valid. G.2.2. Cara Pengumpulan Data Penelitian ini akan menggunakan beragam data atau sering disebut sebagai multiple source of data. Sebagai sumber utama dari penelitian ini maka saya menggunakan teknik wawancara dan observasi lapangan. Teknik wawancara dilakukan secara mendalam guna menggali informasi yang lebih banyak dan mendalam dari informan. Teknik wawancara ini akan menjadi media utama dalam menggali informasi dari para prajurit dan informan lainnya. Wawancara dilakukan tidak hanya satu kali, untuk beberapa informan yang memiliki pengetahuan dan informasi tentang masalah lebih banyak maka dilakukan lebih dari 3 kali. Selain dengan teknik wawancara tersebut, penelitian ini juga dilengkapi juga teknik observasi langsung. Dengan teknik ini peneliti terjun langsung ke lapangan dan mengamati secara langsung kegiatankegiatan dari para prajurit baik ketika bertugas di kraton maupun ketika sedang di rumah. Selain teknik di atas, peneliti juga menggunakan dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data. Dokumentasi digunakan sebagai data tambahan yang digunakan 23

untuk melengkapi data-data yang diperoleh di lapangan. Bentuk dokumentasi ini didapat dari dokumentasi pribadi peneliti, dokumentasi dari informan, sumber internet, dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan tema. G.2.3. Teknik Analisa Data Teknik analisa data dilakukan setelah data yang berasal baik dari wawancara, observasi dan dokumentasi didapatkan. Data wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian dianalisa dengan cara mengelompokkan data-data yang terkait dan membandingkan antar data. Pengelompokan data dilakukan agar data yang diperoleh dari berbagai sumber dapat terkerangkai dan mudah untuk dianalisa. Setelah data dikelompokkan berdasarkan kerangka/topik yang sama,baru kemudian data-data tersebut dilakukan perbandingan. Data hasil wawancara seornag informan dibandingkan dengan informan lainnya, juga membandingkan data wawancara dengan dokumendokumen lain selain hasil wawancara. Data-data yang dianalisa dalam penelitian ini menyangkut beberapa aspek, yaitu sejarah (baik Bregada Kraton Yogyakarta maupun sejarah Bregada Dhaeng), keistimewaan Yogyakarta (baik secara konstitusi/undang-undang maupun realitas di lapangan), politik gelar dan kepangkatan prajurit kraton Yogyakarta, perilaku politik prajurit kraton Yogyakarta dan pandangan politik prajurit kraton Yogyakarta. Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara ini digunakan untuk mengetahui atau menggambarkan logika berfikir informan berkaitan dengan tema. 24

Analisa dalam penelitian ini juga dibingkai melalui teori yang terkait. Meskipun begitu tidak semua fenomena di lapangan sejalan dengan apa yang dituliskan teori. Sehingga penelitian ini hanya memaparkan data yang benar-benar terjadi di lapangan. H. Sistematika Penulisan a. Bab I : Pendahuluan Bagian pertama memberikan paparan-paparan dasar yang menjadi dasar bagi bagian-bagian selanjutnya. Bab pertama ini memuat latar belakang, rumusan masalah, serta tujuan dari penulisan ini. Di dalam bab ini juga dipaparkan teori tentang konsep perubahan sosial yang dapat digunakan untuk melihat dinamika dan sikap Bregada Kraton Yogyakarta. b. Bab II : Bregada Kasultanan Yogyakarta: Latar, Sejarah dan Profil Bagian kedua akan membahas tentang deskripsi dan profil tentang Bregada Kraton Yogyakarta khususnya Prajurit Dhaeng. Dalam bagian ini memuat sejarah terbentuknya Bregada dan dinamika yang menyertainya. Selain itu pada bagian ini juga memberikan sedikit gambaran tentang relasi kuasa dalam Bregada Kraton Yogyakarta. c. Bab III : Bregada Kraton Yogyakarta dan Yogyakarta Kontemporer (Perubahan Sosial dan Pengaruhnya terhadap Bregada Dhaeng) Bagian ketiga menggambarkan Bregada pada masa kontemporer di mana terdapat proses perubahan sosial yang mempengaruhi bregada Dhaeng. Bagian awal pada bab ini akan dipaparkan pembahasan tentang kondisi masyarakat Yogyakarta saat ini yang menjadi habitat dan latar dari dinamika 25

Bregada dan juga relasi-relasinya dengan lembaga kekuasaan yang ada di Yogyakarta. Kemudian akan diikuti dengan paparan tentang dinamika Bregada Kraton Yogyakarta baik yang di dalam Kraton maupun di luar. Dalam bab ini juga dipaparkan tentang dinamika kuasa yang terjadi di dalam tubuh Bregada Dhaeng yang juga turut mempengaruhi dinamika bregada tersebut. d. Bab IV : Bregada Dhaeng dalam Menghadapi Perubahan Sosial di Yogyakarta Bagian ke-empat memuat tentang analisa perubahan sosial yang terjadi pada Bregada Kraton Yogyakarta. Bagian ini juga mencoba menganalisa tentang sikap Bregada Kraton Yogyakarta terhadap aspek politik. Selain melihat sikap prajurit terhadap isu politik dalam keistimewaan Yogyakarta, bagian ini juga mencoba memprediksi bagaimana bentuk Yogyakarta dalam waktu yang akan datang berdasarkan analisis perubahan sosial terhadap sikap Bregada Kraton Yogyakarta. e. Bab V : Kesimpulan Bagian terakhir akan diisi dengan epilog sederhana yang akan membahas tentang kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan tentang pengaruh perubahan sosial dalam Bregada Dhaeng Kraton Yogyakarta. 26