PENGELOLAAN PULAU KECIL UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI (STUDI KASUS PULAU LIUKANG LOE, KABUPATEN BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN)

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

3. METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA SELAM DI PERAIRAN PULAU PANJANG, JEPARA, JAWA TENGAH. Agus Indarjo

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

Carrying capacity of Liukang Loe Island waters for marine ecotourism activities

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ahmad Bahar *1, Fredinan Yulianda 2, Achmad Fahrudin 3

KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH. Agus Indarjo

Studi Kesesuaian Wisata dan Mutu Air Laut untuk Ekowisata Rekreasi Pantai di Pantai Maron Kota Semarang

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

3. METODE PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA BAHARI DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

III. METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT

Oleh: HAZMI C SKRlPSl Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan Dan llmu Kelautan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 3 bulan terhitung sejak

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

Kesesuaian Wisata Pantai Berpasir Pulau Saronde Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

7. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR

STUDI KESESUSIAN WISATA DI PANTAI SENDANG SIKUCING KABUPATEN KENDAL SEBAGAI OBJEK WISATA REKREASI PANTAI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN POTENSI UNTUK EKOWISATA DI PANTAI TANGSI KABUPATEN LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN SWOT ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar,

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

PERSEPSI WISATAWAN MANCANEGARA TERHADAP ATRAKSI PARIWISATA AIR DI KAWASAN GILI TRAWANGAN TUGAS AKHIR

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

Transkripsi:

PENGELOLAAN PULAU KECIL UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI (STUDI KASUS PULAU LIUKANG LOE, KABUPATEN BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN) MUHAMMAD ARHAN RAJAB SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Pengelolaan Pulau Kecil Untuk Pengembangan Ekowisata Bahari (Studi Kasus Pulau Liukang Loe, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan), adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Muhammad Arhan Rajab NRP C252110201

RINGKASAN MUHAMMAD ARHAN RAJAB. Pengelolaan Pulau Kecil Untuk Pengembangan Ekowisata Bahari (Studi Kasus Pulau Liukang Loe, Kab. Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan ISDRADJAD SETYOBUDIANDI. Pulau-pulau kecil memiliki keanekaragaman ekosistem yang sangat tinggi ditandai dengan adanya ekosistem mangrove, lamun, pantai dan terumbu karang serta biota yang hidup disekitar wilayah pulau-pulau kecil. Potensi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan wisata bahari. Untuk itu, pemanfaatan pulau kecil untuk pengembangan wisata bahari penting mengedepankan dimensi ekologi agar pemanfaatan berkelanjutan. Penelitian ini mengkaji tentang daya dukung ekologi dengan pendekatan ruang dan kualitas air di kawasan wisata bahari Pulau Liukang Loe dalam menampung aktivitas wisatawan. Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji jumlah maksimum wisatawan yang dapat ditampung tanpa menimbulkan gangguan terhadap sumberdaya pesisir. Penelitian dilakukan di Pulau Liukang Loe yang berlangsung pada bulan Agustus 2012 dan Februari-Maret 2013. Data biofisik dikumpulkan melalui survey lapangan dan dilengkapi unsur data sekunder dari penelitian yang telah ada. Metode analisis data terdiri dari analisis kesesuaian dan daya dukung wisata bahari dengan pendekatan spasial dengan menggunakan SIG. Berdasarkan hasil penelitian dan interpretasi citra satelit, diperoleh 3 (tiga) aktivitas wisata bahari di Pulau Liukang Loe yakni wisata pantai kategori rekreasi, snorkling dan diving. DDK pendekatan ruang di peroleh bahwa wisata pantai/rekreasi kategori sesuai dengan total panjang area yang dimanfaatkan sebesar 1 411 m dapat menampung wisatawan sebesar 56 orang/hari, wisata snorkling sebesar 24.65 ha mampu menampung wisatawan sebesar 986 orang/hari dan wisata selam (diving) sebesar 14.73 ha mampu menampung wisatawan sebesar 589 orang/hari. Dengan demikian total wisatawan yang dapat ditampung untuk keseluruhan aktivitas wisata sebesar 1 631 orang/hari. Sementara DDK dengan pendekatan kualitas air parameter BOD diperoleh untuk pemanfaatan 10 tahun mendatang masih berada dibawah ambang baku mutu yang dipersyaratkan untuk wisata bahari. Implikasi hasil penelitian ini dapat dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah dan pihak terkait lainnya dengan penerapan prinsip wisata berkelanjutan. Kata kunci : Daya Dukung Ekologi, Wisata Bahari, Pulau Liukang Loe.

SUMMARY MUHAMMAD ARHAN RAJAB. The Small Island Management Of Marine Ecotourism Development (Case Study in Liukang Loe Island, Bulukumba Region, South Sulawesi). Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI. Small islands have very high ecosystem diversity characterized by mangrove, seagrass, beach and coral reef also organisms who live around the small island area. The potential can be used to support marine tourism development. To that end, the utilization of small island for marine tourism development is important to promote the ecological dimension in order the sustainable utilization. This research examines the ecological carrying capacity with space approach and water quality in the marine tourism area Liukang Loe Island to accommodate tourist activities. The purpose of this research is assessing the maximum number of tourists who can be accommodated without causing disturbance against the coastal resources. The research was conducted in the Liukang Loe Island in August 2012 and February-Maret 2013. Biophysical data collected through field survey and secondary data element comes from existing research. Data analysis method consists of sustaibility analysis and carrying capacity of marine tourism with spatial approach by using GIS. Based on the results of research and interpretation of satellite imagery, obtained 3 (three) marine tourism activities in the Liukang loe island is beach tourism of recreation category, snorkeling and diving. DDK space approach obtained that Coastal tourism / recreation categories according to the total length area that utilized around 1 441 m can accommodate 56 people/day, snorkeling tourism around 24.57 ha can accommodate 986 people / day and Diving tourism around 14.73 ha is able to accommodate 589 people / day. Thus the total tourist can be accommodated to the overall tourist activity around 1 631 people / day. While DDK with BOD parameters water quality approach obtained the utilization for 10 years later is still under the threshold standard that required for marine tourism. The implication of this result can be given in government policy and other relevant parties with implementation of sustainable tourism principle Keyword : Ecological Carrying Capacity, Marine tourism, Liukang Loe Island.

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGELOLAAN PULAU KECIL UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI (STUDI KASUS PULAU LIUKANG LOE, KABUPATEN BULUKUMBA, PROVINSI SULAWESI SELATAN) MUHAMMAD ARHAN RAJAB Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc

Judul Tesis Nama NRP : Pengelolaan Pulau Kecil Untuk Pengembangan Ekowisata Bahari (Studi Kasus Pulau Liukang Loe, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan) : Muhammad Arhan Rajab : C252110201 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Ketua Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr Ir Luky Adrianto, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian : 30 Desember 2013 (tanggal pelaksanaan ujian tesis) Tanggal Lulus: (tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)

PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang disusun ini berjudul Pengelolaan Pulau Kecil Untuk Pengembangan Ekowisata Bahari (Studi Kasus Pulau Liukang Loe, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan). Tesis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah setempat dalam mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan wisata bahari, sekaligus memberikan masukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan wisata pantai yang berkelanjutan. Terima kasih Penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. selaku pembimbing, serta Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan teman-teman mahasiswa pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Januari 2014 Muhammad Arhan Rajab

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xii xiii xiii 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 4 1.4 Manfaat Penelitian... 4 1.5 Kerangka Pikir Penelitian... 5 2 TINJAUAN PUSTAKA... 7 2.1 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil... 7 2.2 Ekowisata Bahari... 9 2.3 Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Pulau-Pulau Kecil... 10 2.4 Pencemaran di Lingkungan Pesisir dan Laut... 11 3 METODE PENELITIAN... 13 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian... 13 3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian... 13 3.3 Analisis Data Penelitian... 18 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 22 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 22 4.2 Kondisi Biofisik Kawasan... 25 4.3 Kondisi dan Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Liukang Loe... 29 4.4 Karakteristik Sumberdaya Pulau Liukang Loe... 30 4.5 Perkembangan Kunjungan Wisatawan... 34 4.6 Analisis Kesesuaian Wisata Bahari di Pulau Liukang Loe... 35 4.7 Daya Dukung Ekologi Wisata Bahari Pulau Liukang Loe... 42 4.8 Strategi Pengelolaan Wisata Bahari di Pulau Liukang Loe... 46 5 KESIMPULAN DAN SARAN... 49 5.1 Kesimpulan... 49 5.2 Saran... 49 DAFTAR PUSTAKA... 50 LAMPIRAN... 55

DAFTAR TABEL 2.1 Baku mutu air laut untuk peruntukkan wisata bahari... 12 3.1 Jenis data yang dibutuhkan, sumber data dan metode pengumpulan data 15 3.2 Stasiun penelitian ekosistem terumbu karang 17 3.3 Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai... 19 3.4 Matriks kesesuaian lahan untuk wisata snorkling... 19 3.5 Matriks kesesuaian lahan untuk wisata selam... 20 3.6 Potensi ekologis pengunjung dan Luas area kegiatan... 20 3.7 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan... 20 4.1 Data pengukuran kecepatan arus dan arah arus di Pulau Liukang Loe... 27 4.2 Pengukuran kualitas air laut di Pulau Liukang Loe... 27 4.3 Parameter bakteri E. Coli di Pulau Liukang Loe... 28 4.4 Nilai daya dukung kawasan wisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan pendekatan ruang/spasial... 43 4.5 Nilai daya dukung kawasan wisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan pendekatan kualitas air... 45

DAFTAR GAMBAR 1.1 Kerangka pikir penelitian... 6 2.1 Inteaksi antar komponen pulau-pulau kecil... 8 2.2 Skema konsep ekowisata bahari... 9 3.1 Peta lokasi penelitian Pulau Liukang Loe Kabupaten Bulukumba... 14 3.2 Tahapan penelitian... 16 4.1 Persentase tutupan karang hidup Pulau Liukang Loe... 31 4.2 Kelimpahan ikan karang Pulau Liukang Loe... 32 4.3 Kelimpahan kelompok ikan karang Pulau Liukang Loe... 33 4.4 Tipologi pantai di Pulau Liukang Loe... 34 4.5 Grafik kunjungan wisatawan di Pulau Liukang Loe... 35 4.6 Kondisi terumbu karang Pulau Liukang Loe... 37 4.7 Peta kesesuaian wisata pantai di Pulau Liukang Loe... 38 4.8 Peta kesesuaian wisata snorkling di Pulau Liukang Loe... 39 4.11 Peta kesesuaian wisata selam di Pulau Liukang Loe... 41 4.12 Konsentrasi BOD di Pulau Liukang Loe... 46 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Liukang Loe... 57 2 Spesies ikan karang di Pulau Liukang Loe... 58 3 Hasil pengukuran parameter kualitas air di Pulau Liukang Loe... 60 4 Perhitungan nilai indeks kesesuaian dan daya dukung wisata pantai... 61 5 Perhitungan nilai indeks kesesuaian dan daya dukung wisata snorkling.. 62 6 Perhitungan nilai indeks kesesuaian dan daya dukung wisata selam... 63 7 Daya dukung kawasan wisata bahari per kategori wisata di Pulau Liukang Loe dengan pendekatan ruang... 64 8 Daya dukung kawasan wisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan pendekatan kualitas air... 65 9 Angka kunjungan wisatawan 5 tahun terakhir (2008-2012) serta Jumlah penduduk di Pulau Liukang Loe... 69

1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem khas tropis dengan produktivitas hayati tinggi. Selain potensi terbarukan pulau-pulau kecil juga memiliki potensi yang tak terbarukan seperti pertambangan dan energi kelautan serta jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya. Dari sekian ribu konfigurasi pulau-pulau di Indonesia, sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil yang jumlahnya diperkirakan lebih dari ± 10 000 pulau. Dalam perkembangannya bahwa keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia belum mendapat perhatian serius sehingga dalam pengelolaannya belum optimal. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar hingga lahirnya UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menunjukan betapa pentingnya wilayah pesisir dan keberadaan pulau-pulau kecil yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk kemakmuran seluruh masyarakat baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang sehingga dibutuhkan aturan khusus dalam pengelolaannya. Pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar ditandai dengan adanya keanekaragaman ekosistem seperti pada ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang beserta biota yang hidup di sekitar wilayah pulaupulau kecil. Keberadaan potensi tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produksi perikanan, ekowisata bahari, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya. Pulau-pulau kecil rentan terhadap perubahan, oleh sebab itu diperlukan kebijakan dalam pengelolaan yang dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Kabupaten Bulukumba sebagai salah satu kabupaten pesisir di Sulawesi Selatan memiliki sejarah dan budaya masyarakat yang kaya dengan khazanah kehidupan pesisir dan laut. Secara antropologis, pola pikir, ekonomi dan perilaku sosial budaya masyarakat di Kabupaten Bulukumba tidak dapat dipisahkan dari lingkungan kelautan dan perikanan. Sebagai daerah pesisir, corak budaya dan kegiatan perekonomian Kabupaten Bulukumba banyak dipengaruhi oleh kondisi pesisir, baik dalam bentuk mata pencaharian maupun adat istiadat. Kabupaten Bulukumba merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah pesisir di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 153 km dari Makassar (Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan). Kabupaten Bulukumba memiliki panjang garis pantai 128 km yang memungkinkan mayarakat melakukan aktivitas pada sektor kelautan dan perikanan (DKP Provinsi Sulawesi Selatan, 2012). Kecamatan Bontobahari merupakan salah satu kecamatan yang terletak di wilayah pesisir Kabupaten Bulukumba dan sangat berpotensi untuk pengembangan aktivitas pesisir dan lautan termasuk ekowisata bahari. Kabupaten

2 Bulukumba memiliki ikon wisata yaitu Tanjung Bira, akan tetapi seiring dengan meningkatnya tekanan menyebabkan degradasi sumberdaya, belum lagi ditambah dalam pengelolaannya yang belum maksimal dan berkelanjutan. Pulau Liukang Loe merupakan pulau yang terletak di Kabupaten Bulukumba yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah sebagai destinasi wisata. Pulau Liukang Loe sangat unik dengan karakteristik budaya masyarakat lokal yang khas dan secara fisik wilayah pulau hampir dikelilingi pasir putih dan rataan terumbu karang yang tentu dapat mendukung kegiatan wisata bahari di Pulau Liukang Loe seperti aktivitas wisata pantai (rekreasi/bersantai), snorkling dan menyelam. Sampai saat ini, belum ada perhatian serius dalam hal pengelolaan Pulau Liukang Loe sehingga kontribusinya bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba juga terbilang masih minim. Oleh karena itu diperlukan instrumen tepat dalam pengelolaan Pulau Liukang Loe untuk lebih memberdayakan wilayah kepulauan menjadi kawasan yang menguntungkan secara ekologi, sosial dan ekonomi (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bulukumba, 2012). Salah satu tipologi kegiatan wisata yang menjadi alternatif kegiatan wisata bahari saat ini adalah ekowisata bahari yang mengedepankan keaslian alam yang dapat memberikan manfaat ekonomi, ekologis dan sosial budaya (Bookbinder et al. 2000; Bjork, 2000). Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil sebagai lokasi ekowisata bahari memerlukan koordinasi dan integrasi dari beberapa unsur dengan mengacu pada kondisi internal lokasi yang menyangkut aspek ekologi, kesesuaian, daya dukung dan sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu perlu dirancang desain pengelolaan yang terpadu. Selain itu juga pulau-pulau kecil sangat rentan karena sifatnya yang khas akibat kecilnya ukuran dibanding daratan (smallness) serta terisolasi dari pulau besar/induk (remotness) serta akibat tekanan dari aktivitas manusia yang sifatnya destruktif (Dahuri, 2003; Bengen, 2003). Wisata beresiko menjadi tidak berkelanjutan jika sistem ekologi dan kapasitas kultur sosial ekonomi masyarakat lokal tidak dihargai (Wall 1997 in Teh dan Cabanban, 2007). Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara aktivitas ekowisata bahari wisatawan dengan kualitas lingkungan perairan, ekosistem dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dimana kualitas lingkungan perairan dan ekosistem yang baik akan mendukung pengembangan aktivitas ekowisata bahari dan secara tidak langsung akan mendukung peningkatan kapasitas sosial ekonomi masyarakat lokal. Saat ini kegiatan wisata yang telah berlangsung di Pulau Liukang Loe adalah wisata pantai (rekreasi pantai), snorkling dan diving yang dilakukan oleh wisatawan lokal yang umumnya berasal dari Kota Makassar dan sekitarnya maupun wisatawan mancanegara. Berbagai kelompok masyarakat baik dalam rombongan keluarga, kelompok mahasiswa dan instansi pemerintah biasanya memanfaatkan hari libur untuk berwisata di kawasan Pulau Liukang Loe. Untuk sampai ke kawasan Pulau Liukang Loe, wisatawan dapat menggunakan sarana transportasi berupa motor laut milik masyarakat, sarana transportasi pribadi berupa speed boat atau yang disewa selama kurang lebih 30 menit dari Pantai Pasir Putih Tanjung Bira. Kunjungan wisatawan ke obyek wisata Pulau Liukang Loe berlangsung setiap tahunnya. Akan tetapi, kunjungan mencapai puncak pada bulan Juni hingga

3 akhir tahun. Hal ini terkait dengan periode musim yang terjadi pada bulan tersebut yakni musim kemarau dimana kondisi pantai cenderung bersih. Permasalahannya adalah peningkatan kunjungan pada musim puncak juga meningkatkan seluruh aktivitas wisata baik aktivitas wisata maupun aktivitas transportasi antar pulau, perdagangan souvenir dan kegiatan perikanan lainnya. Keragaman jenis bahan pencemar pun bertambah salah satunya pencemaran oleh bahan organik. Adanya peningkatan kegiatan tersebut menyebabkan tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat, sehingga berpengaruh terhadap kondisi ekologi sumberdaya laut di Pulau Liukang Loe yaitu terumbu karang serta penurunan kualitas perairan laut. Kondisi perairan tersebut jika terus berlanjut dan nilai parameter perairan melebihi batas baku mutu peruntukkan wisata bahari yang telah ditetapkan, maka perairan laut tersebut telah tercemar baik secara fisik, kimia maupun biologi. Oleh karena itu diperlukan penelitian strategi pengembangan ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan mengacu pada daya dukung kawasan untuk keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem Pulau Liukang Loe. 1.2 Perumusan Masalah Sebagai kawasan pesisir dan pulau kecil, Pulau Liukang Loe memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata bahari. Selain itu, adanya keragaman budaya dan sejarah yang ada di pulau ini menjadikan Pulau Liukang Loe menjadi sangat prospektif untuk pengembangan lebih lanjut. Kegiatan wisata yang telah ada di Pulau Liukang Loe adalah wisata pantai (rekreasi), snorkling dan diving menikmati panorama alam sehingga dapat dikatakan Pulau Liukang Loe memiliki potensi wisata yang lengkap dan beragam. Pulau Liukang Loe dengan kondisi potensi sumberdaya yang cukup besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Belum optimalnya kegiatan wisata ini disebabkan karena kurangnya dukungan pemerintah karena dalam pengelolaan belum dilakukan secara serius dan professional dalam mengembangkan Pulau Liukang Loe menjadi suatu kawasan wisata bahari. Kurangnya dukungan pemerintah ini yaitu dalam hal ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana yang mendukung perjalanan wisata bahari relatif kurang tersedia dan tidak memadai sehingga belum dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat lokal. Keberadaan potensi sumberdaya yang beranekaragam dapat memberikan manfaat baik secara ekologi maupun ekonomi. Manfaat tersebut akan dapat diterima jika dikelola secara baik dan benar berdasarkan konsep pengelolaan yang komprehensif dengan mempertimbangkan daya dukung yang dimiliki baik biofisik maupun sosial ekonomi. Jika melebihi batas tersebut dan pembangunan yang tidak terencana akan mengalami degradasi lingkungan dan konflik sosial (Wong, 1991). Selain itu, dalam pengelolaan Pulau Liukang Loe perlu juga diperhatikan aktivitas wisatawan dan keberadaan masyarakat lokal yang telah ada. Berbagai aktivitas masyarakat kemudian ditambah dengan adanya kunjungan wisatawan akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas ekosistem. Tekanan terhadap sumberdaya ekosistem akan terus berlanjut jika persepsi masyarakat lokal dan

4 wisatawan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada cenderung eksploitatif dan mengesampingkan aspek pelestarian terhadap sumberdaya yang ada. Hal ini terkait dengan tingkat pembangunan yang secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung (carrying capacity) sesuai dengan kaidah-kaidah ekologis sehingga dampak negatif dapat ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan ekosistem pesisir dan pulaunya. Selain itu, kontribusi limbah yang dihasilkan dapat dilakukan prediksi status pencemaran di Pulau Liukang Loe. Dimana pengaruh yang ditimbulkan bukan hanya pada penurunan daya dukung tapi dapat mengancam keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut. Upaya meminimalkan dampak negatif dengan adanya aktivitas wisata bahari dapat ditempuh dengan pengalokasian aktivitas wisata bahari dengan mempertimbangkan kesesuaian kawasan untuk peruntukkan wisata bahari dan daya dukung dalam menyediakan lahan dan sumberdaya bagi setiap kegiatan. Oleh karena itu, pemanfaatan Pulau Liukang Loe untuk pengembangan wisata bahari harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan secara lestari dan berkelanjutan. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi sumberdaya untuk mendukung aktivitas ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe. 2. Bagaimana kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan Pulau Liukang Loe untuk pengembangan ekowisata bahari. 3. Bagaimana strategi dalam pengelolaan Pulau Liukang Loe untuk ekowisata bahari berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan : 1.3 Tujuan 1. Mengkaji kondisi sumberdaya perairan untuk mendukung aktivitas ekowisata di Pulau Liukang Loe. 2. Mengukur kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan untuk aktivitas ekowisata di Pulau Liukang Loe. 3. Menentukan strategi pengelolaan untuk pengembangan Pulau Liukang Loe berbasis ekowisata bahari. 1.4 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi dasar dalam perumusan perencanaan pembangunan pulau-pulau kecil (PPK) terutama untuk pengelolaan untuk mengatasi/meminimalisir beban limbah akibat aktivitas wisatawan dan masyarakat lokal di Pulau Liukang Loe. Selain itu, dapat menjadi bahan informasi bagi pihak swasta ataupun stakeholder yang ingin terlibat dalam kegiatan ekowisata bahari Pulau Liukang Loe dan menjadi acuan atau pedoman ilmiah bagi pengembangan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.

5 1.5 Kerangka Pemikiran Pulau Liukang Loe merupakan sumberdaya pulau kecil yang memiliki potensi yang cukup besar. Variabel penelitian dengan inventarisasi sumberdaya berupa ekosistem alami yang tersedia di Pulau Liukang Loe antara lain terumbu karang dan pantai berpasir, analisis kesesuaian wisata, analisis daya dukung di tinjau dari aspek ekologi dengan pendekatan ruang/ketersediaan ruang serta kualitas air sehingga diperoleh rekomendasi pengelolaan Pulau Liukang Loe untuk ekowisata bahari berkelanjutan. Sebagai pulau kecil, Pulau Liukang Loe rentan terhadap berbagai tekanan baik dari masyarakat lokal dengan segala aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, selain itu juga dari aktivitas wisatawan yang mengunjungi dan memanfaatkan sumberdaya dan jasa lingkungan di kawasan tersebut untuk kebutuhan wisata. Oleh karena itu sangat penting untuk mempertimbangkan aspek ekologi dalam pengembangan kawasan ini. Pengembangan Pulau Liukang Loe untuk kegiatan ekowisata bahari tentu perlu dikaji terlebih dahulu potensi dan informasi terkait mengenai sumberdaya dan kondisi masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil dengan maksud mengidentifikasi karakteristik sumberdaya dan kesesuaian lahan pemanfaatan agar dalam pemanfaatannya secara optimal. Dalam penelitian ini, penentuan zona pengembangan wisata bahari dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang didasarkan pada kriteria kesesuaian untuk setiap aktivitas wisata bahari dimana melaui pendekatan ini akan diperoleh kawasan mana saja yang sesuai dan tidak sesuai untuk berbagai jenis wisata. Selanjutnya, dilakukan penentuan daya dukung kawasan untuk menampung wisatawan yang masuk tanpa mengganggu keseimbangan ekologis. Perhitungan daya dukung dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan ruang/spasial untuk mengetahui jumlah wisatawan yang dapat ditampung ditiap sub zona kegiatan wisata berdasarkan luas kawasan yang sesuai dan pendekatan kualitas air terkait dengan limbah yang dihasilkan oleh masyarakat dan wisatawan selama melakukan aktivitas di Pulau Liukang Loe. Informasi tersebut sangat diperlukan dalam pengelolaan dan pengembangan Pulau Liukang Loe untuk ekowisata bahari untuk keberlanjutan system sumberdaya dan aktivitas wisata itu sendiri. Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 sebagai berikut.

6 Pengelolaan Sumberdaya Pulau Liukang Loe Identifikasi Potensi Sumberdaya PPK Identifikasi Pemanfaatan Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) Analisis Kesesuaian Ekowisata Bahari Wisata Pantai Snorkling Selam Daya Dukung Ruang Limbah Masyarakat Limbah Wisata Lingkungan Pesisir Pengelolaan Pulau Liukang Loe Untuk Ekowisata Bahari Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian

7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem dan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu : 1). Hak 2). Ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugusan pulau 3). Sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri, 2003). Pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut pulaupulau kecil perlu mempertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karakteristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistematik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi (Adrianto, 2005). Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengelolaan pembangunan pada kawasan tersebut apabila tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan dampak eksternal yang cukup nyata. Dengan demikian kegiatan dalam bentuk apapun itu yang dilakukan akan berdampak pada fungsi ekosistem pulau-pulau kecil. Oleh karena itu dalam pengelolaan pulau-pulau kecil harus memperhatikan persyaratan pengelolaan lingkungan yang serius. Wisata memberikan keuntungan dalam mengatasi keterbatasan ukuran dalam tiga cara. Pertama, menyediakan volume barang dan jasa yang cukup memenuhi permintaan pasar secara efisien dan skala ekonomi yang mampu menyediakan lebih barang dan jasa sehingga menurunkan biaya satuan produksi. Kedua, meningkatkan persaingan dengan mendorong pendatang baru di pasar, sehingga memberikan dampak positif pada tingkat harga barang dan layanan. Ketiga, wisata dengan memberikan skala dan kompetisi bersama dengan pilihan konsumen yang lebih besar dan keterbukaan perdagangan, dapat meningkatkan taraf hidup sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup di sebuah negara kecil. Konsep pengelolaan wisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi juga mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Oleh karena sifat sumberdaya dan ekosistem pesisir dan lautan alami sering rentan dan dibatasi oleh daya dukung, maka pengembangan pasar yang dilakukan menggunakan pendekatan product driven, yaitu disesuaikan dengan potensi, sifat, perilaku objek daya tarik wisata alam dan budaya yang tersedia, seperti tidak tahan lama (perishable), tidak dapat pulih (non recoverable) dan tidak tergantikan (non substitutable) diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya (Yulianda, 2007).

8 Aktivitas Manusia Lingkungan Perairan Laut Lingkungan Daratan Hubungan Keterkaitan Komponen Gambar 2.1 Interaksi Antar Komponen Pulau-Pulau Kecil Pada Gambar 2.1 dapat diidentifikasi bahwa dalam sistem pulau-pulau kecil terdapat 5 (lima) proses alam, proses sosial, proses ekonomi, perubahan iklim dan proses pertemuan antara daratan dan lautan yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen pulau-pulau kecil yaitu sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut dan sistem aktivitas manusia (Debance, 1999). Secara umum kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan memberikan implikasi antara lain percepatan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya. Penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut antara lain : 1). Perbedaan hak-hak (entelimen) yang sangat mencolok antara berbagai lapisan masyarakat 2). Sumberdaya alamnya mengalami semacam akses terbuka (aquasiopen-access resources) yang semua pihak cenderung memaksimumkan keuntungan dalam pemanfaatannya 3). Kekurangan dalam sistem penilaian (undervaluation) terhadap sumberdaya alam terhadap sistem ekonomi pasar yang terjadi dimana sangat erat kaitannya dengan aspek teknis finansial dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat setempat. Menurut Bengen (2002), pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu : (1). Keharmonisan spasial (2). Kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan (3). Pemanfaatan potensi sesuai daya dukungnya. Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi peruntukan pembangunan (pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian (suitability) lahan (pesisir dan laut) dan keharmonisan antara pemanfaatan. Keharmonisan spasial mensyaratkan suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukan bagi zona pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keharmonisan spasial, juga menuntut pengelolaan pembangunan dalam zona pemanfaatan dilakukan secara bijaksana. Artinya

9 kegiatan pembangunan di tempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang dimaksud. 2.2 Ekowisata Bahari Terminologi ekowisata bahari akhir-akhir ini semakin popular di seluruh dunia. Kebanyakan negara-negara yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk Indonesia mulai mendengungkan ekowisata bahari sebagai suatu bentuk baru dari pariwisata yang berlawanan dengan bentuk pariwisata massal yang tradisional dan berbasis industri. Hal ini tentu saja selain didasarkan atas tuntutan dari para pecinta lingkungan bahwa kegiatan wisata seharusnya memperkecil dampak negarif terhadap lingkungan melalui kegiatan konservasi, tetapi lebih dari itu adalah bentuk kesadaran dan tanggung jawab manusia dalam memelihara keberlanjutan sumberdaya alam. Konsep ekowisata bahari (marine ecotourism) merupakan pengembangan dari wisata bahari (marine tourism). Selanjutnya Orams (1999) mendefenisikan wisata bahari sebagai aktivitas rekreasi yang meliputi perjalanan jauh dari suatu tempat tinggal menuju lingkungan laut (dimana yang dimaksud dengan lingkungan laut sendiri adalah perairan yang bergaram dan dipengaruhi oleh pasang surut). Secara spesifik, Yulianda (2007) mendefenisikan ekowisata bahari sebagai ekowisata yang memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut serta manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Alam Output tidak langsung Input Output langsung konservasi alam Manusia Input Ekowisata Bahari Output lansung (hiburan, pengetahuan) Gambar 2.2 Skema Konsep Ekowisata Bahari Ekowisata bahari merupakan kegiatan pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Konsep ekowisata bahari dari pengembangan suatu kawasan seperti terlihat pada Gambar 2.2 di atas bahwa output langsung yang diterima wisatawan berupa hiburan dan pengetahuan dan untuk alam yaitu insentif yang dikembalikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam. Output

10 tidak langsung yaitu tumbuhnya kesadaran wisatawan untuk memperhatikan sikap hidup yang tidak berdampak buruk bagi alam. Kesadaran ini tumbuh akibat kesan yang diperoleh wisatawan selama berinteraksi langsung dengan lingkungan di kawasan konservasi. 2.3 Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Pulau-Pulau Kecil 2.3.1 Analisis Kesesuaian Pada dasarnya suatu kegiatan pemanfaatan yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya. Oleh karena itu, analisis kesesuaian yang dimaksud adalah analisis kesesuaian dari potensi sumberdaya untuk dikembangkan sebagai objek ekowisata bahari karena setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan objek wisata yang akan dikembangkan (Yulianda, 2007). Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya. Pengembangan daerah yang optimal dan berkelanjutan membutuhkan suatu pengelolaan keruangan wilayah pesisir yang matang. Berkaitan dengan hal tersebut, maksimum kajian tentang model pengelolaan dan arahan pemanfaatan wilayah pesisir yang berbasis digital dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu dikaji (Harjadi, 2004). Selanjutnya, Fauzi dan Anna (2005) mengatakan bahwa kebijakan menyangkut pulau-pulau kecil pada dasarnya harus berbasiskan kondisi dan karakteristik biogeofisik serta sosial ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi ekosistem pesisir maupun bagi kehidupan ekosistem daratan (mainland) agar sumberdaya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Adapun kriteria wilayah yang diperlukan untuk menentukan zona kegiatan pariwisata, yakni : 1. Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati sehingga membawa kepuasan dan memberikan rasa relaksasi dan memulihkan semangat produktif 2. Memiliki keaslian panorama alam dan keaslian budaya 3. Memiliki keunikan ekosistem 4. Di dalam lokasi wisata tidak terdapat ancaman atau gangguan binatang buas, arus maupun angin kencang 5. Tersedia sarana dan prasarana (mudah dijangkau, baik melalui darat maupun melalui laut, kemungkinan pengembangan aksesibilitas cukup baik, dekat dengan restoran, penjualan cinderamata, tempat penginapan/hotel, dan tersedia air bersih.

11 2.3.2 Analisis Daya Dukung Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari melalui ukuran kemampuannya. Pada dasarnya, konsep daya dukung wilayah pesisir ditujukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Daya dukung (carrying capacity) adalah ukuran batas maksimal penggunaan suatu area berdasarkan kepekaan atau toleransinya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alami seperti terhadap ketersediaan makanan, ruang untuk tempat hidup, tempat berlindung dan ketersediaan air (Maldonado dan Montagnini, 2004). Di dalam konteks ini ada tiga indikator untuk mencerminkan komponen di pulau kecil (Cocosis, 2005) in PKSPL IPB (2005). Beberapa komponen yang menjadi indikator antara lain : 1). Indikator fisik-ekologis 2). Indikator demographic-sosial 3). Indikator politis-ekonomi. Semua indikator tersebut secara langsung berhubungan dengan konsep dan implementasi dari aktivitas di pulau kecil. Indikator keberlanjutan juga diperlukan ketika terjadi indikasi terjadinya perubahan kemampuan untuk bertahannya sumberdaya tersebut. Dalam pembuatan dan pemilihan kebijakan atau perencana dapat menyusun indikator yang sesuai untuk wilayahnya. Daya dukung ekowisata tergolong spesifik dan lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan (biofisik dan sosial) terhadap kegiatan pariwisata dan pengembangannya (McNeely, 1994). Daya dukung ekowisata juga diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh sarana prasarana (infrastruktur) objek wisata alam. Jika daya tampung sarana dan prasarana tersebut dilampaui maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, kepuasan pengunjung tidak terpenuhi dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya (Ceballos-Lascurin, 1991; Simon et al. 2004). Terlampauinya daya dukung wisata akibat meningkatnya jumlah infrastruktur (dermaga melalui reklamasi, hotel dan lainnya) serta pemukiman penduduk, menyebabkan hilangnya beberapa vegetasi daratan dan ekosistem perairan laut (terumbu karang, sumberdaya ikan dan non ikan). Peningkatan infrastruktur dan jumlah penduduk secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas air melalui peningkatan jumlah limbah padat dan cair (Wong, 1991). 2.4 Pencemaran di Lingkungan Pesisir dan Laut Adanya pembangunan di lingkungan pesisir dan laut akan memberikan dampak baik itu positif ataupun negatif. Menurut Sorensen et al. (1999) in Ismail (2000) bahwa pemanfaatan berbagai sektor di lingkungan pesisir akan saling mempengaruhi dan menimbulkan dampak positif dan negatif. Pencemaran perairan merupakan dampak logis dari adanya pemanfaatan sehingga memerlukan pengelolaan tersendiri. Sementara itu dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan semakin pesatnya pembangunan di wilayah pesisir (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dll) maka akan menimbulkan tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir (Bengen, 2004).

12 Sampah (solid waste) pada umumnya didominasi oleh bahan-bahan organik meskipun tipe dan komposisinya sangat bervariasi dimana tipe dan komposisi sampah sangat mempengaruhi sifat-sifat sampah. Peningkatan penggunaan bahan-bahan pembersih, deterjen dan obat-obatan akan sangat mempengaruhi proses-proses yang terjadi dalam sampah. Limbah yang masuk ke perairan pantai mengakibatkan perubahan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan. Perubahan tersebut lambat laun akan mengganggu kestabilan ekosistem. Terganggunya kestabilan ekosistem pantai dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran perairan pantai (Samawi, 2007). Salah satu cara pengelolaan sampah yang dapat ditempuh adalah dengan penimbunan dan pemadatan secara berlapis-lapis (sanitary landfills) dengan pertimbangan daerah-daerah ekoton tidak dijadikan sebagai lokasi pembuangan sampah akhir dan lokasi pembuangan akhir harus jauh dari kantong-kantong air tanah. Air yang terserap ke dalam lapisan tanah, bila melalui lapisan sampah akan membentuk cairan yang disebut leachate yang mengandung padatan terlarut dan zat-zat lain yang merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikroba. Leachate tersebut mampu mengalir bersama air permukaan atau meresap dan masuk ke dalam air akhirnya sampai ke perairan pesisir. Adapun kualitas perairan untuk wisata bahari di analisis dengan berpedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut, dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut. Tabel 2.1 Baku mutu air laut untuk peruntukkan wisata bahari No. Parameter Satuan Baku Mutu Air Laut Wisata Bahari 1. BOD mg/l 10 2. Oksigen terlarut mg/l >5 3. Amonia mg/l 2 4. ph - 6.5-8.5 5. Kekeruhan NTU 5 6. Suhu 0 C Alami 7. Salinitas 0 / Alami Sumber : Lampiran I dan II SK Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. Berbagai aktivitas manusia dapat mempengaruhi kualitas perairan. Limbah cair ataupun limbah padat yang dibuang pada permukaan tanah akan menambah bahan-bahan kimia yang mencemari air permukaan dan air tanah hingga jarak yang jauh dan dalam waktu yang lama. Akan tetapi, untuk wilayah pesisir dan lautan dengan jarak yang sangat pendek sangat memungkinkan terjadinya pencemaran yang tinggi dan sangat merugikan.

13 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari 2 tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 2012 untuk survey data awal dan pada bulan Februari-Maret 2013 pengambilan data lapangan dan penelusuran data sekunder. Lokasi penelitian adalah Pulau Liukang Loe, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Letak lokasi penelitian terletak di wilayah perairan sebelah selatan pulau Sulawesi tepatnya pada posisi 05 38' 30.4" LS dan 120 26' 62.4" BT. Dengan batas-batas wilayah : Sebelah utara Sebelah timur Sebelah selatan Sebelah barat : Pantai Bira : Pulau Kambing : Pulau Selayar : Laut Flores Pelaksanaan survey penelitian disesuaikan dengan tingkat kedatangan wisatawan dimana dalam penelitian ini dilakukan pada dua periode yakni musim puncak (peak season) dan musim kedatangan kurang (low season). Menurut Wong (1998), peningkatan intensitas kegiatan wisata pesisir di Asia Tenggara umumnya terjadi pada musim panas (bulan Mei sampai September). Letak lokasi dan stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1. 3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dan pertimbangan kondisi wilayah penelitian, maka penelitian ini dilakukan dengan metode survey dan studi literatur dimana data bersumber dari data primer yakni data yang dikumpulkan melalui observasi dan pengukuran langsung di lapangan dan data sekunder yang bersumber dari instansi terkait dengan pengelolaan Pulau Liukang Loe sebagai kawasan wisata bahari. Adapun objek dalam penelitian ini yakni terkait dengan aktivitas wisata bahari antara lain ekosistem terumbu karang untuk aktivitas wisata selam dan snorkling, pantai berpasir putih untuk wisata pantai serta kualitas perairan kaitannya dengan daya dukung ekologi. Adapun jenis data yang dibutuhkan, sumber dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 3.1 sebagai berikut.

Gambar 3.1 Peta Lokasi dan Stasiun Penelitian di Pulau Liukang Loe Kabupaten Bulukumba 14

15 Tabel 3.1 Jenis data yang dibutuhkan, sumber data dan metode pengumpulan data No. Parameter Stasiun 1,.dst Baku Mutu *) Alat/Metode Ket. A. Fisika-Kimia-Biologi 1. BOD (mg/l) 2. Oksigen terlarut (mg/l) 3. Amonia (mg/l) 4. ph 5. Salinitas ( 0 / ) 6. Suhu ( 0 C) 7. Kekeruhan (NTU) 8. Bakteri E. coli (MPN/100 ml) 10 >5 2 6.5-8.5 Alami Alami 5 1 000 Titrasi DO meter Spektrofotometer ph meter Refraktometer Termometer Turbidimeter Titrasi Lab. In situ Lab. In situ In situ In situ In situ Data sekunder B. Biologi/Non-Biologi 1.Tutupan terumbu karang (%) 2. Profil pantai - Tipe pantai (m) - Lebar pantai (m) - Kemiringan pantai 3. Ikan karang 4. Vegetasi pantai 5. Biota berbahaya - - - - - Meteran/LIT Meteran, Waterpass, - - - Data sekunder In situ Data sekunder In situ In situ C. Hidroosanografi 1. Kecerahan (m) 2. Kedalaman (m) 3.Kecepatan arus (cm/dtk) 4. Material dasar 5. Ketersediaan air tawar - - - - - Secchi disk Tali penduga & meteran Layang-layang arus,kompas dan stopwatch - - In situ In situ In situ In situ In situ D Peta - Analisis SIG Citra Quickbird Keterangan : *) = Baku mutu wisata pesisir (Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004). 3.2.1. Rancangan Penelitian Pada penelitian ini Dusun yang dijadikan tempat pengambilan contoh adalah Dusun Ta buntuleng dan Pasilohe. Pengambilan contoh lokasi ini didasarkan pada keterwakilan pemanfaatan sumberdaya dan mata pencaharian masyarakat secara dominan. Adapun kelompok masyarakat yang terambil menjadi contoh adalah Nelayan, Tokoh Masyarakat, Pemerintah Desa dan Jasa. Sementara untuk pengambilan contoh wisatawan, teknik pengambilan contoh dilakukan secara accidental sampling, yaitu contoh yang diambil dari siapa saja yang kebetulan berada/ditemui dan atau yang pernah ke Pulau Liukang Loe yang bersedia menjadi responden. Adapun tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.2, dimulai dengan identifikasi potensi dan pemanfaatan sumberdaya, kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari, daya dukung ekologi meliputi pendekatan ruang/spasial dan kualiats air serta rekomendasi pengelolaan keberlanjutan ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe.

16 Sumberdaya Pulau Liukang Loe untuk pengembangan ekowisata bahari berkelanjutan Masukan Identifikasi potensi dan pemanfaatan sumberdaya Pulau Liukang Loe Analisis kesesuaian ekowisata bahari Pulau Liukang Loe Proses Analisis daya dukung ekologi Pulau Liukang Loe (Pendekatan ruang/spasial dan parameter kualitas perairan) Pengelolaan Pulau Liukang Loe untuk ekowisata bahari berkelanjutan Luaran Gambar 3.2 Tahapan Penelitian

17 3.2.2. Penentuan Stasiun Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survey yang dirancang untuk mendeskripsikan kondisi ekologis objek penelitian Pulau Liukang Loe. Variabel penelitian antara lain inventarisasi sumberdaya dan tingkat pemanfaatan, kesesuaian ekowisata bahari, daya dukung dengan pendekatan ruang/spasial dan kualitas air serta rekomendasi pengelolaan keberlanjutan ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe. Pengambilan contoh diambil di daerah pesisir yang dianggap bisa mewakili kondisi kualitas perairan dan pantai Pulau Liukang Loe. Penentuan stasiun penelitian dilakukan berdasarkan keterwakilan variabilitas kondisi ekologi. Lokasi pengambilan contoh juga didasarkan pada keberadaan dan penyebaran sumberdaya biofisik yang bersumber dari data sekunder dan hasil survey lapangan. Data potensi sumberdaya penting yang diketahui dari data sekunder maka pengamatan hanya melakukan ground check. Pengukuran parameter biofisik perairan diukur dengan menggunakan pengukuran in situ. Sementara stasiun sosial ekonomi berada di sebelah utara pulau (Kampung Ta buntuleng) yang merupakan pusat pengembangan ekowisata bahari dan sebelah tenggara pulau (Kampung Pasilohe). Berikut adalah pengamatan kondisi biofisik ekosistem pantai dan terumbu karang di Pulau Liukang Loe dengan teknik observasi sebagai berikut : 1. Pantai Pengamatan data kondisi pantai untuk peruntukan wisata pantai meliputi parameter kemiringan pantai, tipe pantai, lebar pantai, penutupan lahan/vegetasi pantai, kedalaman perairan, substrat dasar perairan, kecepatan arus dan ketersediaan air tawar dilakukan dengan observasi dan pengukuran langsung di lapangan. Keberadaan pantai berpasir yang sesuai untuk wisata pantai berada di sebelah utara yaitu Kampung Ta buntuleng, sebelah barat pulau dan sebelah tenggara pulau. 2. Terumbu karang Penentuan stasiun terumbu karang berdasarkan sebaran terumbu karang yang berada di perairan dangkal Pulau Liukang Loe. Secara detail stasiun terumbu karang dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 3.2 Stasiun penelitian ekosistem terumbu karang di Pulau Liukang Loe Stasiun Lintang Bujur Nama Lokasi Stasiun I 120.25454-5.394960 Batubong Stasiun II 120.25152-5.384443 Panekang Kera Stasiun III 120.26202-5.381295 Ujung Baturapa Stasiun IV 120.26570-5.381690 Batu Sobbalong Identifikasi terumbu karang dengan menggunakan Metode Line Intercept Transect (LIT). Pengamatan kondisi terumbu karang untuk peruntukan wisata

18 snorkling dan selam, terutama penutupan karang dapat dihitung dengan rumus tutupan karang hidup menurut English et al. (1994), yaitu : Kehadiran tiap kategori (%) = 100%... 1 Hasil perhitungan tersebut kemudian dianalisis dengan kategori menurut Brown (1986) yang menyatakan bahwa persentase tutupan karang dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu : 1. Kategori rusak : 0.0-24.9 % 2. Kategori sedang/kritis : 25.0-49.9 % 3. Kategori baik : 50.0-79.9 % 4. Kategori sangat baik : 80.0-100 % Persentase tutupan adalah persentase luas area yang ditutupi oleh pertumbuhan karang. Persentase karang hidup yang tinggi menandakan bahwa terumbu karang di suatu perairan berada dalam keadaan sehat. 3.3 Analisis Data 3.3.1 Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung untuk Wisata Suatu kegiatan pemanfaatan yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukkannya. Matriks kesesuaian untuk ekowisata bahari meliputi peruntukkan untuk wisata pantai, wisata snorkling dan wisata selam (diving). Setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan objek wisata yang akan dikembangkan. Untuk menghitung kesesuaian wisata dapat menggunakan rumus (Yulianda et al. 2010) : IKW = x 100%.. 2 Dimana : IKW = Indeks Kesesuaian Wisata Ni = Nilai parameter ke-i (bobot x skor) N maks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata Penentuan kesesuaian berdasarkan perkalian dari skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter. Kesesuaian kawasan dilihat dari tingkat persentase kesesuaian yang diperoleh melalui penjumlahan nilai dari seluruh parameter. Penentuan kesesuaian berdasarkan perkalian dari skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter. Kesesuaian kawasan dilihat dari interval kesesuaian yang diperoleh dari penjumlahan nilai dari seluruh skor parameter yang dibandingkan dengan nilai maksimal dari setiap indeks kesesuaian dari setiap jenis aktivitas wisata. Persen interval yang didapatkan dari perhitungan indeks adalah sebagai berikut, kategori tidak sesuai (TS) yaitu <

19 37.5 %, sesuai bersyarat (SB) 37.5 % - < 62.5 %, sesuai (S) 62.5 % - < 87.5 % dan sangat sesuai (SS) sebesar 87.5 % - 100 %. Matriks kesesuaian dapat dilihat pada Tabel sebagai berikut. Tabel 3.3 Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai Parameter Bobot Kategori SS (S1) Skor Kategori S (S2) Skor Kategori SB (S3) Skor Kategori TS (N) Skor Tipe pantai (m) Lebar pantai (m) Kedalaman (m) Material dasar Arus (m/dtk) Kemiringan pantai ( 0 ) Kecerahan (m) Penutupan lahan pantai Biota berbahaya Ketersediaan air tawar 3 3 3 2 2 2 1 1 1 1 Pasir putih >15 0-2 Pasir 0-0,10 < 25 >75 Kelapa, lahan terbuka Tidak ada <0,5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 Pasir putih,sedikit karang 10-15 > 2-4 Karang berpasir > 0,10-0,40 > 25-45 >50-75 Semak belukar Bulu babi 0,5-1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Pasir hitam, Berkarang 3-<10 >4-6 Pasir berlumpur, berkarang >0,40-0,50 >45-75 >25-50 Belukar tinggi Bulu babi, ikan pari >1-2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Lumpur, berbatu, <3 >6 Lumpur >0,50 >75 <25 Hutan bakau, pemukiman Bulu babi, ikan pari,lepu ikan hiu >2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Sumber : dimodifikasi dari (Yulianda et al. 2010). Keterangan : Nilai maksimum = 76 Tabel 3.4 Matriks kesesuaian lahan untuk snorkling Parameter Bobot Kategori SS (S1) Skor Kategori S (S2) Skor Kategori SB (S3) Skor Kategori TS (N) Skor Tutupan karang (%) 3 >75-100 4 >50-75 3 >25-50 2 <25 1 Jenis life form 3 >12 4 8-12 3 4-7 2 <4 1 Jenis ikan karang 2 >50 4 26-50 3 10-25 2 <10 1 Kecerahan (%) perairan 2 100 4 80-<100 3 >25-80 2 <25 1 Kecepatan (cm/dtk) arus 2 <10 4 >10-30 3 >30-50 2 <50 1 Kedalaman karang (m) terumbu 1 1-3 4 >3-5 3 >5-10 2 <10;<1 1 Lebar hamparan dasar karang (m) 1 >100 4 50-100 3 20-50 2 <20 1 Sumber : dimodifikasi dari 1) Yulianda (2010); 2) Kepmen LH nomor 4 tahun 2001; 3) Yulianda et al. (2010). Keterangan : Nilai maksimum = 56

20 Tabel 3.5 Matriks kesesuaian lahan untuk wisata selam Parameter Bobot Kategori SS (S1) Skor Kategori S (S2) Skor Kategori SB (S3) Skor Kategori TS (N) Skor Tutupan karang (%) dan benda bersejarah di laut 1,2 ) 3 >75-100 4 >50-75 3 >25-50 2 <25 1 Jenis life form 3 >12 4 8-12 3 4-7 2 <4 1 Jenis ikan karang 2 >100 4 50-100 3 20-49 2 <20 1 Kecerahan (%) perairan 2 >80 4 50-80 3 >20-49 2 <20 1 Kecepatan (cm/dtk) arus 2 0-15 4 >15-30 3 >30-50 2 >50 1 Kedalaman karang (m) terumbu 1 5-15 4 >15-20 dan >3-<5 3 >20-30 2 <3 dan > 30 1 Sumber : dimodifikasi dari 1) Yulianda (2010); 2) Kepmen LH nomor 4 tahun 2001; 3) Yulianda et al. (2010). Keterangan : Nilai maksimum = 52 Adapun potensi ekologis pengunjung, unit area dan waktu yang dihabiskan wisatawan untuk setiap unit kegiatan dapat dilihat sebagai berikut. Tabel 3.6 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) No. Jenis Kegiatan Pengunjung Unit Area Keterangan (orang) (Lt) 1 Rekreasi pantai 1 50 m 2 3 Snorkling Selam Sumber : Yulianda et al. (2010). 1 2 500 m 2 2 000 m 2 1 orang setiap 50 m panjang pantai Setiap 1 orang dalam 100 x 5 m Setiap 2 orang dalam 200 x 10 m Tabel 3.7 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan No. Jenis Kegiatan Waktu yang dibutuhkan Wp (jam) Total waktu 1 Hari Wt (jam) 1 2 3 Rekreasi pantai Snorkling Selam Sumber : Yulianda et al. (2010). 3 3 2 6 6 8 Hasil analisis kesesuaian yang ada dari kawasan yang sangat sesuai dan sesuai akan digunakan sebagai dasar penentuan daya dukung sebagai luas atau panjang area yang dimanfaatkan (Lp). Daya dukung dihitung agar diketahui jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang tersedia pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan

21 manusia. Perhitungan Daya Dukung Kawasan (DDK) tersebut dapat dilihat dalam persamaan berikut (Yulianda et al. 2010) : DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp.. 3 Dimana : DDK = Daya Dukung Kawasan K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu 3.3.2 Pencemaran dan Daya Dukung Lingkungan Pulau Liukang Loe Daya dukung lingkungan sangat erat hubungannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan perairan tanpa menimbulkan polusi (UNEP, 1993). Stasiun pengamatan berdasarkan keberadaan aktivitas masyarakat dan wisatawan serta aliran beban limbah yang masuk ke perairan pantai Pulau Liukang Loe. Adapun yang menjadi parameter limbah organik dalam penelitian ini yaitu oksigen terlarut (DO) dan biological oxygen demand (BOD). Selain itu juga dilakukan pengukuran parameter suhu, salinitas, ph, NH 3 dan kekeruhan serta pengukuran terhadap keberadaan bakteri Escherichia coli (E. Coli) di perairan Pulau Liukang Loe. Metode analisa parameter fisika, kimia dan biologi perairan laut mengacu pada Kepmen LH No.51 Tahun 2004. Data beban limbah diperoleh melalui pengukuran kualitas air untuk peruntukan aktivitas wisata bahari pada tiap-tiap stasiun pengamatan. Besarnya tekanan pemanfaatan (aktivitas penduduk maupun wisata) menyebabkan tingginya laju pembuangan limbah khususnya limbah organik yang bersumber dari limbah toilet (MCK) ataupun limbah dapur yang apabila langsung dibuang ke laut akan berdampak pada pencemaran perairan dan ekosistem pesisir. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian kualitas air sehingga daya dukung tidak terlampaui serta dampak pencemaran dan laju degradasi ekosistem dapat diminimalkan. Adapun langkah-langkah dalam penentuan daya dukung melalui pendekatan pencemaran perairan sebagai berikut : 1. Menghitung jumlah penduduk lokal dan wisatawan yang berkunjung di Pulau Liukang Loe yaitu dengan cara menghitung tingkat pertumbuhan penduduk dan wisatawan berdasarkan kondisi pada saat penelitian kemudian diprediksikan jumlah penduduk dan wisatawan untuk 10 tahun kedepan. 2. Pengambilan sampel air laut per stasiun penelitian meliputi parameter DO, ph, kekeruhan kemudian melakukan analisis laboratorium untuk parameter BOD, NH3 dan bakteri E. Coli pada kondisi eksisting. 3. Membandingkan hasil pengukuran tiap parameter per stasiun penelitian dengan nilai baku mutu air laut untuk peruntukkan wisata bahari (sesuai Kepmen LH No. 51 Tahun 2004)

22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.1 Geografi dan Administrasi 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Liukang Loe terletak di wilayah perairan sebelah selatan pulau Sulawesi tepatnya pada posisi 05 0 38 20 05 0 39 84 LS dan 120 0 25 14.87 120 0 26 46,75 BT. Pulau Liukang Loe termasuk dalam wilayah administrasi Dusun Liukang Loe Desa Bira Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba. Pulau Liukang Loe terdiri dari dua dusun yakni Dusun Ta buntuleng dan Dusun Pasilohe. Luas wilayah Pulau Liukang Loe sekitar 5.67 km 2 (termasuk mikro island) dengan panjang pantai sekitar ± 3 km. Sebagian besar daratan Pulau Liukang Loe tersusun dari batu karang dan merupakan pulau berbukit. Akses menuju pulau Liukang Loe adalah dari pantai Bira. Pulau Liukang Loe dapat dicapai dengan menggunakan perahu motor tempel dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari Pantai Bira. Jadwal penyeberangan sehari sebanyak 3-4 kali mulai jam 07.00 pagi hingga jam 15.00 wita. 4.1.2 Demografi Jumlah penduduk di pulau Liukang Loe sekitar ± 650 orang dengan jumlah Kepala Keluarga sekitar 203. Komposisi penduduk berdasarkan umur adalah : - 0 5 tahun : 30 orang - 5 17 Tahun : 220 orang - >17 tahun : 400 orang Sedangkan komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian 80 % nelayan sementara sisanya bermata pencaharian PNS, pedagang, bengkel, dan pengrajin. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan : - Sarjana : 10 orang - Tamat SMA : 30 orang. - Tamat SMP : 50 orang - Tamat SD : 200 orang - Tidak tamat SD : 360 orang Rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi dari nelayan akan memberikan kemudahan dalam menerapkan atau mengadopsi teknologi baru maupun dalam proses menjalin kerja sama dengan lembaga ekonomi baik formal maupun informal, disamping itu nelayan akan terampil dalam mengelola usaha perikanan. Komposisi penduduk berdasarkan agama adalah 100 % agama Islam.

23 4.1.3 Aktifitas Masyarakat Umumnya masyarakat di pulau Liukang Loe adalah perantau, setelah mengumpulkan banyak modal kemudian kembali dan menjadi nelayan mandiri, sehingga tidak terdapat kelembagaan punggawa-sawi di pulau tersebut. Alat tangkap yang digunakan nelayan pada umumnya adalah alat tangkap yang ramah lingkungan seperti panah dan jaring sehingga mendukung pelestarian sumberdaya pulau. Produksi perikanan tangkap di pulau ini cukup tinggi dimana pemasaran dilakukan di Pantai Bira bahkan sampai ke ibukota Kabupaten Bulukumba. Jumlah nelayan tangkap sekitar 200 orang. Jenis ikan hasil tangkapan berupa ikan karang, seperti ikan kerapu, baronang, cepa dan lainnya. Secara umum produksi perikanan tangkap sekitar 5 kg/nelayan/hari sedangkan yang memiliki armada penangkapan yang besar mampu menghasilkan ikan sekitar 1 ton/20 hari/unit perahu. Sarana penangkapan yang banyak ditemukan di pulau ini berupa perahu yang digunakan berupa perahu tanpa motor serta perahu motor tempel berkekuatan 24 PK. Jumlah perahu sekitar 100 buah dengan peralatan tangkap berupa panah dan jaring. Lokasi penangkapan ikan karang oleh masyarakat di pulau ini umumnya dilakukan sekitar pulau sampai ke wilayah perairan pulau Kambing. Jenis kegiatan pariwisata bahari yang telah dikembangkan adalah wisata pantai, diving dan snorkling. Selain itu, kegiatan peternakan juga terdapat di Pulau ini berupa peternakan kambing, ayam serta bebek yang dilakukan masyarakat. Kegiatan lain seperti kerajinan berupa kain tenun, pembuatan batako serta kerajinan dari kerangkerangan dimana hasil kegiatan kerajinan umumnya dipasarkan ke wilayah pantai bira sebagai pusat kegiatan pariwisata di Kabupaten Bulukumba. Kegiatan pertanian dan perkebunan masyarakat di Pulau Liukang Loe umumnya dilakukan dalam skala kecil. Tanaman yang terdapat di pulau yang dibudidayakan oleh masyarakat berupa tanaman lantoro, srikaya batu, asam, kelor dan petai yang ditanam di daerah perbukitan pulau, sedangkan tanaman pisang,ubi kayu, jagung, kelapa, dan pepaya dilakukan di sekitar pemukiman masyarakat. 4.1.4 Sosial Budaya Masyarakat Sejarah pulau Liukang Loe mulai ditempati oleh masyarakat sekitar tahun 1940. Warga pertama kali yang menempati pulau ini ada 2 orang yakni Ballosang di Kampung Ta bungtuleng (berarti mentok/ujung atau tidak ada jalan) yang merupakan RK pertama dan Dorahing di Dusun Passiloe (berarti banyak pasir). Wilayah perairan pulau Liukang Loe sebelum tahun 1940-an sampai 1990 merupakan lokasi nelayan dari pantai Bira yang menangkap ikan sampai keperairan sekitar pulau kambing, selain itu juga memanfaatkan pulau ini untuk tempat persinggahan ketika cuaca buruk, mula-mula mereka membangun rumah semipermanen (gubuk) dan lama-kelamaan akhirnya mereka menetap dan berkembang menjadi seperti sekarang. Liukang Loe memiliki 2 arti yakni Liukang Loe berasal dari dua suku kata yaitu Liukang yang berarti dikelilingi, dan Loe yang berarti banyak, sehingga Liukang Loe dapat diartikan sebagai tempat yang dikelilingi oleh banyak air.

24 Sedangkan versi lain dan kebanyakan warga mengetahui yakni Liukang berasal dari kata Liu Liukang yang berarti jenis kayu khas (kayu hitam) yang terdapat di pulau ini dan Loe berarti banyak. Menurut cerita masyarakat bahwa jenis kayu ini dahulu banyak ditemukan namun sekarang sudah jarang karena tahun 1990-an sudah dieksploitasi besar-besaran karena harganya cukup mahal yang dipasarkan sampai ke Makassar. Status kepemilikan pulau ini secara umum masih merupakan tanah Negara. Namun menurut cerita masyarakat bahwa telah ada beberapa orang yang berasal dari luar pulau mengklaim sebagai tanah adat dari keluarga mereka. Namun pada tahun 2000-an sebanyak 100 kavling (50 kavling di Ta bungtuleng dan 50 Kavling di Pasilohe) dengan luas 18 x 20 meter setiap kavling telah disertifikasi hak milik melalui program Prona oleh BPN. Umumnya masyarakat di pulau ini merupakan masyarakat perantau. Hal ini menjadi kebiasaan/budaya masyarakat apabila telah remaja (tamat SMA) sudah diizinkan pergi meratau. Umumnya mereka menjadi pelaut, pedagang dan sebagainya. Umumnya wilayah yang sering di datangi seperti Kepulauan Selayar, Makassar, Papua dan Nusa Tenggara. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah ini cukup baik dengan keberadaan atau kondisi perumahan yang tergolong cukup baik. Penataan perumahan dan kondisi rumah yang sudah kebanyak merupakan rumah permanen (rumah batu) dengan fasilitas rumah yang cukup lengkap menandakan tingkat ekonomi masyarakat tergolong baik. Pemukiman masyarakat cukup padat di kedua dusun. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai sumberdaya perikanan sudah tinggi bahkan sampai pada distribusi pemasarannya. Begitu pula dengan lokasilokasi di sekitar pulau secara detail masyarakat memberikan nama seperti Batubong, Panekang Kera, Ujung Papaiya yang berada disebelah Barat pulau. Kemudian Panralangan, Kassi Tabua, Batu Sobbalong, Bate Baroso disebelah utara. Selanjutnya Ujung Baturapa disebelah Timur Pulau. 4.1.5 Kelembagaan Masyarakat Pulau Liukang Loe merupakan pulau kecil dengan tingkat kepadatan penduduk 115 jiwa/km 2. Kondisi pulau yang tidak terlalu luas menjadikan penduduk yang bermukim di Pulau Liukang Loe saling mengenal dan sebagian besar ada yang memiliki ikatan persaudaraan. Hal ini menimbulkan sifat kekeluargaan yang kuat antar penduduk jika dilihat dari adanya kegiatan gotong royong, saling membantu dan saling menjaga keamanan. Keamanan di Pulau Liukang Loe bisa dibilang sangat aman karena selain sifat kekeluargaan yang kental, luas pulau yang tidak terlalu luas, akses keluar masuk pulau-pulau sangat terbatas sehingga mudah untuk mengenali apakah ada orang asing yang keluar masuk pulau. Masyarakat Pulau Liukang Loe memiliki organisasi kemasyarakatan yang dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe formal/legal (memiliki kekuatan hukum) yang meliputi LKMD, organisasi profesi dan organisasi pemuda. Sedangkan tipe informal/non legal formal (hanya berdasarkan kesepakatan bersama) meliputi

25 kelompok nelayan, kelompok pengajian dan lain-lain. Pengorganisasi masyarakat dan proses-proses pembangunan di tingkat Dusun difasilitasi oleh sebuah lembaga pemerintahan dusun yang terdiri dari kepala dusun yang dibantu oleh kepala kampung serta beberapa warga desa sebagai bagian perangkat pemerintahan dusun. Beberapa bantuan telah pernah mereka peroleh seperti bantuan sarana budidaya rumput laut, alat pengolahan ikan sampai ke panel solarcell. 4.2.1 Kondisi Iklim 4.2 Kondisi Biofisik Kawasan Pulau Liukang Loe tersusun dari batu karang yang mendominasi dan hanya sebagian kecil merupakan hamparan pasir putih. Secara umum kawasan hamparan pasir putih dijadikan sebagai kawasan perumahan sedangkan kawasan batu karang (perbukitan) dijadikan kawasan perkebunan. Kondisi meteorologi di Pulau Liukang Loe tidak begitu berbeda dengan kondisi meteorologi Kabupaten Bulukumba secara umum. Angin yang bertiup di sekitar Pulau Liukang Loe merupakan angin musim yang berubah arah dua kali dalam setahun dengan rata-rata kecepatan 3-7 knot. Rata-rata curah hujan di sekitar Pulau Liukang Loe adalah 1 000-1 500 mm/tahun. Suhu rata-rata berkisar antara 23.82 ºC - 27.68 ºC. Suhu pada kisaran ini sangat cocok untuk pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Kabupaten Bulukumba berada di sektor timur, musim gadu antara Oktober -Maret dan musim rendengan antara April-September. Daerah dengan curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah barat laut dan timur sedangkan pada daerah tengah memiliki curah hujan sedang sedangkan pada bagian selatan curah hujannya rendah. dengan curah hujan sebagai berikut : 1. Curah hujan antara 800 1 000 mm/tahun meliputi Kecamatan Ujungbulu, sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian besar Bontobahari. 2. Curah hujan antara 1 000 1 500 mm/tahun meliputi sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian Bontotiro. 3. Curah hujan antara 1 500 2 000 mm/tahun meliputi Kecamatan Gantarang, sebagian Rilau Ale, sebagian Ujung Loe, sebagian Kindang, sebagian Bulukumpa, sebagian Bontotiro, sebagian Herlang dan Kecamatan Kajang. 4. Curah hujan di atas 2 000 mm/tahun meliputi Kecamatan Kindang, Kecamatan Rilau Ale, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Herlang. 4.2.2 Kondisi Oseanografi Kondisi oseanografi memegang peranan penting dalam mempengaruhi dinamika ekosistem dan kondisi perairan, karena permukaan perairan tidak pernah diam dan selalu terjadi gerakan (dinamis). Gerakan permukaan ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah pola arus, pola gelombang, peristiwa pasang surut, dan batimetri. Kondisi oseanografi di pulau Liukang Loe dapat dilihat sebagai berikut :

26 a. Pasang surut Pasang surut merupakan naik turunnya paras laut, terutama karena gaya tarik akibat gravitasi (gravitational attraction) antara bulan, matahari dan bumi. Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali sehari (pasut tunggal), atau dua kali sehari (pasut ganda), sedangkan pasut lainnya yang tidak berperilaku seperti di atas disebut pasut campuran. Pengukuran pasang surut dilakukan di Kampung ta buntuleng (dermaga) dan diasumsikan mewakili kondisi pasang surut daerah survey. Adapun tipe pasang surut di Pulau Liukang Loe adalah campuran condong ke semidiurnal yang memiliki ciri khas yakni terjadi dua kali air tinggi (pasang) dan dua kali air rendah (surut) dalam satu hari (24 jam) dimana salah satu air pasang memiliki amplitudo yang lebih tinggi dari air pasang lainnya. Selain tipe pasut juga dihasilkan tunggang pasut, yakni perbedaan tinggi air pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Tunggang pasut yang diperoleh adalah 135 cm, yang berarti bahwa lokasi termasuk dalam klasifikasi pantai microtidal (tunggang pasut antara < 2 m). Karena memiliki tunggang pasut yang kecil (< 2 m) maka diperkirakan pengaruh pasut terhadap pergerakan dan transpor sedimen di wilayah kajian relatif kecil. b. Gelombang Gelombang memiliki peran terhadap proses abrasi dan sedimentasi pantai, melalui mekanisme perombakan material sedimen pantai. Gelombang yang sangat sering terjadi di laut dan cukup penting adalah Gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Gelombang dibangkitkan oleh angin karena adanya pengalihan energi dari angin ke permukaan laut akibat fluktuasi tekanan udara pada permukaan air laut. Proses pembangkitan ini terjadi pada suatu daerah yang disebut daerah pembangkitan Gelombang (Wind wave generating area). Gelombang yang mendekati pantai akan mengalami transformasi (perubahan) karena terjadinya perubahan kedalaman dan adanya halanganhalangan berupa pulau-pulau atau bangunan-bangunan pantai. Gelombang yang mendekati pantai akan memusat jika mendekati tanjung, dan menyebar jika menemui/memasuki teluk (cekungan). Selain itu gelombang yang mendekati pulau juga akan mengalami perubahan kemiringan (rasio antara tinggi dan panjang gelombang) dan pada akhirnya pecah secara spilling, plunging, collapsing atau surging tergantung dari keadaan topografi dasar lautnya. Tinggi gelombang signifikan pada kondisi normal relatif lemah yaitu kurang dari 0.5 m dengan arah datang gelombang dominan dari Selatan (175 185 0 ). Periode gelombang bervariasi dari 4.6 detik sampai dengan 6.2 detik. Berdasarkan prediksi BMKG, pada bulan Juni 2012 tinggi gelombang maksimum dapat mencapai 0.75 1.25 m di perairan pantai Bira dengan arah datang gelombang dari Timur. Gelombang di laut lepas umumnya berasal dari arah timur. Ketika memasuki laut dangkal mengalami proses refraksi oleh kontur kedalaman laut dan proses difraksi oleh pulau-pulau di depan daerah kajian. Akibatnya terjadi pembelokan arah rambat dan tinggi gelombang ketika mendekati pantai.

27 c. Arus Arus merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan untuk melakukan aktivitas wisata snorkling dan selam. Hasil pengukuran arus pada stasiun penelitian menunjukkan bahwa arah dan kecepatan arus sesaat bervariasi di masing-masing stasiun pengamatan. Data kecepatan arus dapat dilihat pada Tabel 4.1 sebagai berikut. Tabel 4.1 Data Pengukuran Kecepatan Arus dan Arah Arus di Pulau Liukang Loe Stasiun Lintang Bujur Kec. Arus Arah Arus (m/detik) Stasiun I 120.25454-5.394960 0.17 240-280 o Stasiun II 120.25152-5.384443 0.10 310-320 o Stasiun III 120.26202-5.381295 0.14 310-360 o Stasiun IV 120.26570-5.381690 0.21 310-360 o Sumber : DKP Provinsi Sulawesi Selatan, 2012. Hasil pengukuran, menunjukkan arah arus umumnya dari timur ke utara dengan kecepatan berkisar antara 0.1 0.21 m/detik. Kecepatan arus tertinggi diperoleh pada stasiun 4 yakni 0.21 m/detik dan terendah pada stasiun ke 2 yakni sebesar 0.10 m/detik. d. Parameter kualitas air laut Kualitas air merupakan salah satu penentu utama dalam pengembangan wisata bahari. Kualitas air mempengaruhi pertumbuhan karang dan keragaman ikan karang yang merupakan daya tarik utama dalam kegiatan wisata bahari. Perbedaan musim berpengaruh terhadap nilai parameter kualitas perairan (fisik, kimia, biologi dan oseanografi). Nybakken (1999) menyatakan bahwa parameter kualitas perairan memiliki hubungan dan pengaruh antara satu dengan lainnya. Hasil analisis perbandingan antara nilai kualitas perairan di Pulau Liukang Loe dengan baku mutu air laut untuk kegiatan ekowisata pesisir disajikan pada Tabel 4.2 sebagai berikut : Tabel 4.2 Pengukuran Kualitas Air Laut di Pulau Liukang Loe Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Parameter (Batubomg) (Panekang Kera) (Ujung Baturapa) (Batu Sobbalong) Rata- Rata Baku Mutu BOD (mg/l) 1.12 1.01 1.19 1.17 1.12 10 DO (mg/l) 5.91 5.79 5.52 6.56 5.95 >5 NH3 (mg/l) 0.10 0.13 0.11 0.08 0.11 2 ph 6.80 6.95 7.17 7.47 7.10 6.5-8.5 Kekeruhan (NTU) 0.91 1.10 0.75 0.90 0.91 5 Salinitas ( 0 / ) 33.65 33.15 33.45 33.50 33.44 Alami Suhu ( 0 C) 28.40 28.85 28.75 28.50 28.63 Alami

28 Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata parameter kualitas perairan laut di pulau Liukang Loe umumnya berada pada kisaran baku mutu atau nilai parameter yang disyaratkan dalam kegiatan ekowisata bahari. Nilai tingkat kecerahan di perairan ini sangat tinggi, menjadikan algae zooxanthellae yang terdapat di hewan karang tersebut dapat memperlancar proses fotosintesisnya dan mempengaruhi peningkatan penyebaran ekosistem terumbu karang (Nybakken 1999). Walaupun demikian parameter BOD yang menjadi indikator pencemaran limbah organik dalam penelitian ini belum melebihi batas maksimum baku mutu atau yang disyaratkan dalam kegiatan ekowisata pesisir dengan konsentrasi pada masing-masing stasiun I sampai IV (1.12, 1.01, 1.19 dan 1.17) dimana menurut lee et al. 1978 bahwa parameter BOD 2.9 termasuk dalam kategori tidak tercemar. Hasil pengamatan dalam penelitian ini menunjukkan nilai parameter kualitas perairan belum mengalami perubahan yang mendasar. Hasil pengamatan kondisi DO yang diukur untuk beberapa lokasi di perairan Pulau Liukang Loe menunjukan nilai rata-rata 5.95 mg/l atau masing-masing per stasiun I sampai IV (5.91, 5.79, 5.52 dan 6.56). Kisaran nilai tersebut masih tergolong memenuhi syarat baku mutu lingkungan. Sementara terkait dengan kandungan nitrogen yang diukur dalam penelitian ini adalah nitrogen dalam bentuk amonia (NH3) dimana kandungan amonia di seluruh stasiun pengamatan rata-rata berkisar 0.11 atau masing-masing per stasiun I sampai IV (0.10, 0.13, 0.11, 0.08) dimana kadar ini masih berada dibawah ambang baku mutu atau lebih rendah dibanding nilai baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH/51/2004 untuk peruntukan wisata bahari sebesar 2 mg/l. Sementara hasil pengukuran nilai ph dan kekeruhan selama penelitian menunjukkan kisaran nilai 6.80-7.50 dan 0.75-1.10 NTU. Selain status kualitas air parameter lain yang dijadikan acuan tercemar atau tidaknya suatu lingkungan pesisir yaitu keberadaan bakteri Escherichia coli (E. Coli). Kehadiran bakteri E-Coli terkait dengan keberadaan bakteri pathogen yang dapat menyebabkan penyakit pada suatu perairan. Nilai kandungan E-Coli pada suatu perairan sangat ditentukan oleh aktivitas yang terdapat disekitar perairan tersebut. Aktivitas yang paling banyak menyebabkan kandungan E. Coli suatu perairan adalah limbah buangan rumah tangga seperti tinja. Nilai parameter E. Coli pada perairan Liukang Loe berkisar antara 95 240 MPN/100 ml. Nilai parameter E-Coli pada perairan Liukang Loe dapat dilihat pada Tabel 4.3 dibawah ini. Tabel 4.3 Parameter Bakteri Escherichia coli (E. Coli) di Pulau Liukang Loe Koordinat E. Coli (MPN/100 Baku No. Lintang Bujur ml) Mutu 1 120.254543-5.39496 240 2 120.251515-5.384443 95 1 000 3 120.262024-5.381295 163 4 120.265799-5.38169 126 Sumber : DKP Provinsi Sulawesi Selatan, 2012.

29 Berdasarkan Tabel 4.3 tersebut terlihat bahwa parameter bakteri Escherichia coli (E. Coli) sebagai indikator pencemaran di Pulau Liukang Loe masih tergolong rendah atau berada dibawah ambang baku mutu peruntukkan wisata bahari. Berdasarkan nilai pengukuran tersebut menunjukkan bahwa lokasi penelitian sedikit menerima limpahan limbah dari aktivitas antropogenik (aktivitas wisata maupun pemukiman masyarakat) atau karena kemampuan perairan untuk memulihkan dirinya (self purification) sehingga mampu mengencerkan limbah, ini berarti bahwa kondisi perairan Pulau Liukang Loe relatif lebih baik untuk kegiatan wisata bahari. 4.3 Kondisi dan Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Liukang Loe Pulau Liukang Loe memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar baik di lingkungan perairan berupa ekosistem terumbu karang maupun potensi di lingkungan teresterial berupa sumberdaya hutan, perkebunan, peternakan, hewan langka dan lain-lain. Pemanfaatan sumberdaya di Pulau Liukang Loe sudah tergolong cukup tinggi dimana terjadi penurunan tutupan karang dari tahun ketahun sampai saat ini tutupan karang yang tergolong masih bagus hanya di temukan di sisi utara hingga timur pulau. Hal ini terjadi mengingat tingginya aktivitas nelayan yang menangkap ikan disekitar wilayah Pulau Liukang Loe menggunakan bom ataupun penggunaan potassium sehingga berdampak nyata pada penurunan tutupan karang secara drastis. Akan tetapi dengan adanya peraturan yang ketat dari pemerintah daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Bulukumba serta digalakkannya sosialisasi dan penyuluhan akan pentingnya pelestarian terumbu karang di Pulau Liukang Loe secara perlahan masyarakat lokal mulai sadar akan kondisi tersebut. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tidak lagi menggunakan bom melainkan hanya menggunakan pancing, panah dan jaring yang di pasang di pinggir pantai. Bentuk pemanfaatan sumberdaya di Pulau Liukang Loe tergolong cukup tinggi, hal ini terlihat dari kondisi sumberdaya terumbu karang yang rusak. Kondisi kerusakan terumbu karang diperparah dengan adanya penambangan karang hal ini terkait dengan kebutuhan material untuk bahan bangunan yang terus meningkat. Selain penambangan, ancaman pengeboman atau racun juga menjadi penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Liukang Loe akan tetapi kejadian ini sudah mulai berkurang karena masyarakat mulai merasa ikan mulai berkurang. Daerah yang menjadi tempat daerah pengeboman di sebelah barat pulau. Menurut Adrianto (2005) menyatakan bahwa kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan (bom dan racun) dan penambangan karang untuk bahan bangunan merupakan indikasi umum terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di pulau kecil. Selain itu, adanya aktivitas antropogenik seperti aktivitas wisata juga berpotensi menurunkan kualitas sumberdaya karena wisatawan yang berkunjung dapat menginjak terumbu karang sehingga diperlukan keterampilan khusus atau

30 tour guide dalam melakukan wisata di Pulau Liukang Loe. Adapun aktivitas wisata seperti berjemur, menikmati keindahan alam, memancing, snorkling dan selam bisa dikembangkan di kawasan ini. Walaupun wisatawan yang berkunjung ke kabupaten Bulukumba sebagian besar sasaran utamanya adalah Pantai Bira, namun sebagian di antaranya berminat untuk berkunjung atau melakukan kegiatan wisata ke Pulau Liukang Loe sebagai satu rangkaian perjalanan wisata. Jika Pulau Liukang Loe dikembangkan scara optimal termasuk fasilitas penunjang, transportasi, dan informasi yang lebih baik, tidak menutup kemungkinan jumlah wisatawan akan meningkat untuk menikmati indahnya kawasan Pulau Liukang Loe. Adanya aktivitas antropogenik (wisata bahari) akan memberikan ancaman limbah. Selama survey yang dilakukan tidak ditemukannya tempat pembuangan akhir dari sampah. Masyarakat membuang sampah ke laut begitu saja tanpa melakukan pengelolaan sampah terlebih dahulu agar mudah diurai oleh lingkungan. Selain mencemari ekosistem yang ada dengan adanya penurunan kualitas air, sampah dapat mengurangi nilai estetika pantai. 4.4 Karakteristik Sumberdaya Pulau Liukang Loe 4.4.1 Ekosistem Terumbu Karang Pulau Liukang Loe termasuk Pulau yang berpasir putih dan memiliki formasi terumbu karang dapat kita jumpai pada kedalaman 3 meter hingga 10 meter. Kondisi terumbu karang Pulau Liukang Loe tergolong baik hingga rusak, dimana tutupan karang berkisar 10.2 % sampai 51.24 %. Berdasarkan pengamatan kondisi karang dengan menggunakan metode LIT pada stasiun 1 kondisi terumbu karang tergolong rusak baik pada kedalaman 3 meter maupun pada kedalaman 10 meter. Komponen lain yang mendominasi pada stasiun 1 adalah pasir (S) yang mencapai 39.08% pada kedalaman 3 meter dan 28.92% pada kedalaman 10 meter. Patahan karang (R) sebesar 3.52% pada kedalaman 3 meter sedangkan pada kedalaman 10 meter ditemukan cukup tinggi yaitu sebesar 14.20%. Pengamatan kondisi terumbu karang pada stasiun 2 hanya dilakukan pada satu kedalaman yaitu 5 meter, disebabkan kedalaman 3 meter tidak ditemukan formasi terumbu karang, dan kedalaman lebih dari 5 meter merupakan hamparan pasir. Tutupan karang hidup pada stasiun ini hanya sebesar 10,68% tergolong rusak. Komponen patahan karang (R) cukup tinggi yaitu sebesar 30.84%. komponen karang mati yang ditutupi alga (DCA) sebesar 21.16%. Pengamatan kondisi terumbu karang Stasiun 3 dilakukan pada kedalaman 5 meter dan 7 meter. Jika dibandingkan dengan stasiun lain, tutupan karang hidup stasiun 3 jauh lebih tinggi. Kondisi terumbu karang stasiun 3 dimana tutupan karang hidup pada kedalaman 5 meter sebesar 51.24%, yang terdiri dari karang Acropora bercabang (ACB) sebesar 7.16%, Acropora Tabulate (ACT) sebesar 1.80%, Acropora submasive (ACS) sebesar 7.52%, dan Acropora digitate sebesar 0.60%. Karang hidup selain genus Acropora ditemukan sebesar

31 34.16% yang didominasi oleh karang masive (CM) sedangkan pada kedalaman 7 meter tutupan karang hidup ditemukan yaitu sebesar 46.84%. 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 3 meter 10 meter 5 meter 5 meter 7 meter 5 meter 7 meter Stasiun 1 (Batubong) Stasiun 2 (Panekang Kera) Stasiun 3 (Ujung Baturapa) Stasiun 4 (Batu Sobbalong) Gambar 4.1 Persentase Tutupan Karang Hidup Pulau Liukang Loe Kondisi terumbu karang stasiun 4 dimana tutupan karang hidup pada kedalaman 5 meter sebesar 33.84% sedangkan pada kedalaman 7 meter ditemukan cukup tinggi yaitu sebesar 51.24%. 4.4.2 Ikan Karang Pengamatan terhadap ikan karang menggunakan metode Underwater Fish Visual Sensus (UVC), dimana ikan yang dijumpai pada jarak 2.5 m di sebelah kiri dan kanan garis transek sepanjang 70 meter dicatat jenis dan jumlahnya. Pengamatan ikan karang difokuskan pada tiga kategori yaitu ikan target (ikan ekonomis penting yang biasa ditangkap untuk kepentingan konsumsi), ikan mayor (ikan yang berukuran kecil dengan pewarnaan yang beragam atau dikenal juga dengan ikan hias) dan ikan indikator (jenis ikan karang yang menjadi indikator kesuburan daerah ekosistem tersebut). Pengamatan ikan karang dilakukan dengan teknik visual sensus yang mengikuti garis transek karang. Ikan Karang yang ditemukan di Pulau Liukang Loe sebanyak 77 spesies dengan kelimpahan total dari 4 stasiun pengamatan adalah sebesar 1 033 ind. Ikan karang yang tercatat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok ikan indikator, kelompok ikan target dan kelompok ikan mayor.

32 Kelimpahan (individu/m²) 300 250 200 150 100 50 0 Kelimpahan Ikan Karang di Pulau Liukang Loe 3 m 10 m 5 m 5 m 7 m 5 m 7 m Stasiun 1 (Batubong) Stasiun 2 (Panekang Kera) Stasiun 3 (Ujung Baturapa) Stasiun 4 (Batu Sobbalong) Gambar 4.2 Kelimpahan Ikan Karang Pulau Liukang Loe Kelimpahan ikan karang yang tertinggi ditemukan di stasiun 1 kedalaman 3 meter yaitu sebesar 256 individu dan pada kedalaman 10 meter sebanyak 228 individu. Kelimpahan ikan karang pada stasiun 2 sebanyak 170 individu, stasiun 3 kedalaman 5 meter sebanyak 205 individu dan kedalaman 7 meter sebanyak 210 individu serta stasiun 4 pada kedalaman 5 meter sebanyak 174 individu dan pada kedalaman 7 meter sebanyak 183 individu. Sementara kelimpahan kelompok ikan mayor banyak ditemukan di stasiun 1 yaitu 194 individu pada kedalaman 3 meter dan 182 individu pada kedalaman 10 meter. Ikan mayor yang banyak ditemukan merupakan jenis Dascyllus reticulatus dan Odonus niger. Kelimpahan kelompok ikan mayor stasiun 2 sebesar 128 individu, stasiun 3 sebesar 172 individu pada kedalaman 5 dan 165 pada kedalaman 7 meter dan stasiun 4 pada kedalaman 5 sebesar 133 individu dan 154 pada kedalaman 7 meter. Kelimpahan kelompok ikan indikator tertinggi ditemukan di stasiun 1 kedalaman 10 meter yaitu sebesar 9 individu, stasiun 3 sebesar 8 individu, stasiun 2 sebesar 5 individu dan stasiun 4 sebesar 2 individu. Jenis ikan indikator yang ditemukan antara lain Chaetodon vagabundus, Chaetodon klenii, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon rafflessi dan Heniochus varius. Kelimpahan kelompok ikan target juga banyak ditemukan di stasiun 1 yaitu sebesar 61 individu pada kedalaman 3 meter, stasiun 4 sebesar 39 individu, stasiun 2 sebesar 37 individu dan stasiun 3 sebesar 25 individu. Ikan target yang banyak ditemukan di Pulau Liukang Loe adalah jenis Ctenochaetus striatus dan Pseundanthias dispar.

33 250 Kelimpahan Kelompok Ikan Karang di Pulau Liukang Loe 200 150 100 50 0 3 m 10 m 5 m 5 m 7 m 5 m 7 m Stasiun 1 (Batubong) Stasiun 2 (Panekang Kera) Stasiun 3 (Ujung Baturapa) Stasiun 4 (Batu Sobbalong) Mayor Indikator Target Gambar 4.3 Kelimpahan Kelompok Ikan Karang Pulau Liukang Loe. 4.4.3 Karakteristik Pantai Pulau Liukang Loe tidak semua dikelilingi oleh pantai berpasir. Pantai berpasir hanya ditemui disisi utara, selatan dan timur pulau dengan lebar pantai yang bervariasi. Lebar pantai sebelah utara pulau rata-rata 30 m, sebelah tenggara 13 m dan sebelah barat 5 m. Pantai Liukang Loe merupakan tipe pantai berpasir halus dengan tingkat kecerahan perairan mencapai 100 % serta tingkat kemiringan pantai yang landai 3-10 0. Penutupan lahan rata-rata vegetasi pantai di pulau ini terbagi beberapa bagian dimana vegetasi tergantung dari kondisi tekstur tanahnya. Untuk wilayah pemukiman (berpasir) umumnya vegetasi didominasi oleh tanaman kelapa, pisang, mangga, pepaya, dan tanaman perdu. Hasil wawancara dengan penduduk lokal menunjukkan bahwa gelombang besar dari arah Barat terjadi pada bulan Januari-Maret (musim barat) yang menggerakkan sedimen ke arah timur dan sebaliknya pada musim Timur (Juli- Agustus) dimana gelombang datang dari arah tenggara membawa sedimen ke arah barat kembali sehingga terjadi keseimbangan kembali. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika sedimen pantai sangat bergantung kondisi gelombang yang dibangkitkan oleh angin muson (musim barat dan timur). Untuk biota berbahaya seperti bulu babi hanya ditemukan pada pantai sebelah selatan sementara pantai bagian utara dan barat hampir tidak ditemukan. Sedangkan sumber air tawar berada di sekitar pantai karena adanya pemukiman yang memiliki sumber air dari sumur. Tipologi pantai Pulau Liukang Loe yang seperti ini sangat sesuai untuk dimanfaatkan sebagai wisata rekreasi pantai. Ini terbukti dengan adanya kawasan pantai yang dimanfaatkan sebagai tempat wisata.

34 (A) (B) (C) (D) Gambar 4.4 Tipologi Pantai di Pulau Liukang Loe Pada Gambar 4.4 dapat dilihat tipologi pantai berpasir yang terdapat di Pulau Liukang Loe dan termasuk dalam kategori sesuai untuk pengembangan wisata pantai. Pada Gambar (A) dan (B) merupakan tipe pantai yang terletak di sebelah utara pulau atau di Kampung Ta buntuleng. Pada Gambar (C) merupakan tipe pantai yang terletak di sebelah barat dan Gambar (D) merupakan tipe pantai yang terletak di sebelah tenggara pulau atau terletak di Kampung Pasilohe. 4.5 Perkembangan Kunjungan Wisatawan Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Liukang Loe berasal dari dalam maupun luar negeri. Wisatawan yang berasal dari luar negeri yaitu berasal dari Kanada, Perancis, Belanda, Jerman, Swiss, Italia, dan Australia. Data kunjungan wisatawan ke Pulau Liukang Loe secara rinci belum tersedia di instansi maupun kantor desa setempat mengingat bahwa letak ataupun status Pulau Liukang Loe ini berada dalam satu paket pengembangan wisata bahari dengan Pantai Pasir Putih Bira. Akan tetapi, diperkirakan sekitar 10-15% total wisatawan yang berkunjung ke Pulau Liukang Loe (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bulukumba, 2012).

35 Data bulanan mengenai kunjungan wisatawan yang diperoleh dari tahun 2008-2012 juga dapat dilihat bahwa kunjungan wisatawan terbanyak ke Pulau Liukang Loe yaitu dimulai pada bulan Agustus hingga akhir tahun. Hal ini disebabkan karena pada bulan tersebut adalah periode musim timur, dimana pada periode tersebut kawasan Pulau Liukang Loe lebih bersih dibandingkan pada bulan-bulan sebelumnya dan perairannya sangat jernih sehingga merupakan waktu terbaik untuk berkunjung. Gambaran detail mengenai kunjungan wisatawan dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut ini. Jumlah Kunjungan Wisatawan 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun Gambar 4.5 Grafik Kunjungan Wisatawan di Pulau Liukang Loe (Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bulukumba, 2012). 4.6 Analisis Kesesuaian Wisata Bahari di Pulau Liukang Loe Setiap aktivitas wisata yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukkannya. Analisis kesesuaian pemanfaatan wisata bahari berbasis konservasi mencakup penyusunan matriks kesesuaian setiap kategori ekowisata bahari yang ada pada setiap stasiun pengamatan, pembobotan dan serta dilakukan analisis indeks kesesuaian setiap kategori. Analisis kesesuaian wisata bahari juga menjelaskan bahwa seberapapun menariknya suatu lokasi wisata secara ekologis, tapi tetap memiliki keterbatasan dalam hal jumlah dan frekuensi kunjungan dalam suatu ruang dan waktu sesuai dengan peruntukkan masing-masing aktivitas wisata bahari. Kegiatan wisata pulau-pulau kecil terkait dengan potensi sumberdaya alam dikenal dengan istilah 3S (Sea, Sun dan Sand). Sea terkait dengan sumberdaya terumbu karang, mangrove dan biota pesisir lainnya, sun terkait dengan aktivitas berjemur sedangkan sand terkait dengan rekreasi (Dodds, 2007). Adapun aktivitas wisata dalam penelitian ini yaitu : (1). Wisata pantai (2). Wisata snorkling (3). Wisata selam.

36 Penilaian kesesuaian wisata bahari di Pulau Liukang Loe didasarkan pada kriteria/parameter dengan menggunakan pendekatan sistem informasi geografis (SIG) dengan metode tumpang susun (overlay) yang disajikan dalam bentuk peta kesesuaian lahan dan besaran luasan dengan warna yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil analisis spasial dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil kesesuaian wisata yaitu kawasan pesisir sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi, snorkling dan diving (selam). 4.6.1 Analisis Kesesuaian Wisata Pantai Wisata pantai adalah jenis wisata yang memanfaatkan pantai dan perairan tepi pantai sebagai obyek dan daya tarik wisata dan kepentingan rekreasi. Pulau Liukang Loe memiliki panjang garis pantai ± 3 km. Kawasan pantai Pulau Liukang Loe yang merupakan pantai berpasir dan tidak bervegetasi berdasarkan hasil pengamatan berada pada wilayah Utara dan Barat. Salah satu daerah yang sesuai dan telah dijadikan untuk wisata pantai adalah pantai sebelah utara atau terletak di Kampung Ta buntuleng (Gambar A dan B) karena dianggap memiliki panorama yang indah oleh wisatawan serta menjadi spot bagi wisatawan yang datang berlibur. Potensi ini juga dapat dijadikan sebagai alternatif bagi wisatawan sehingga tidak terfokus pada satu jenis wisata saja. Aktivitas wisata pantai yang bisa dilakukan disekitar wilayah pantai Liukang Loe mulai dari kegiatan berjemur, bersantai, melihat pemandangan, berkemah serta olahraga pantai. Hasil analisis menunjukkan dua kelas kesesuaian, yaitu sesuai (S) warna hijau dengan panjang pantai 1 411 m dan sesuai bersyarat (SB) warna kuning dengan panjang pantai 1 279 m, sehingga total potensi untuk wisata pantai sekitar 2 690 m. Kelas sesuai berada di pantai sebelah utara (Kampung Ta buntuleng) dengan potensi ekologis atau panjang area yang dimanfaatkan sebesar 932 m, pantai sebelah barat dengan panjang area yang dimanfaatkan sebesar 164 m dan pantai sebelah tenggara (Kampung Pasilohe) dengan panjang area yang dimanfaatkan sebesar 318 m. Adanya kategori kelas sesuai untuk wisata pantai didasarkan pada keberadaan panorama alam pantai pasir putih dan tingkat kecerahan perairan yang sangat jernih yang hampir terdapat pada kawasan pulaupulau kecil. Sementara itu kelas sesuai bersyarat dikarenakan adanya penutupan lahan pantai oleh vegetasi belukar dan pohon kelapa, lebar pantai yang kecil, tipe pantai yang terjal, material dasar berlumpur dan berkarang serta keberadaan biota berbahaya seperti bulu babi meskipun jarak dengan pemukiman penduduk relatif dekat. Parameter fisik penentu kesesuaian ekowisata pantai menurut Daby (2003) terkait dengan keruhnya air dan keberadaan biota berbahaya di atas dan di dalam sedimen pada musim tertentu yang menunjukkan kualitas lingkungan di sekitar pantai yang buruk dan dapat mengancam keselamatan para turis. Adapun peta kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi dapat dilihat pada Gambar 4.7.

37 4.6.2 Analisis Kesesuaian Wisata Snorkling Analisis kesesuaian untuk wisata snorkling dilakukan pada kawasan terumbu karang dengan kedalaman antara 3-5 m. Aktivitas snorkling bisa menjadi pilihan wisata tersendiri. Hal ini karena tidak semua wisatawan bisa melakukan wisata selam untuk menikmati keindahan terumbu karang. Pembobotan kelas kesesuaian untuk wisata snorkling dengan mempertimbangkan faktor pembatas yang terdiri dari tutupan terumbu karang, jenis life form, kecerahan perairan, jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang. Gambar 4.6 Kondisi terumbu karang Pulau Liukang Loe Hasil analisis kesesuaian yang dilakukan didapatkan luas terumbu karang di Pulau Liukang Loe dengan pembagian pada tiga kelas kesesuaian, yaitu kelas sangat sesuai (SS) warna hijau dengan luas kawasan 16.85 ha, kelas sesuai (S) warna kuning dengan luas kawasan 7.80 ha dan kelas sesuai bersyarat (SB) warna merah dengan luas kawasan 23.95 ha. Kelas sangat sesuai berada di sebelah timur pulau yaitu stasiun Bate Baroso dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 101 133 m2 dan Ujung Baturapa dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 21 433 m2 sedangkan kelas sesuai berada di sebelah utara pulau yaitu stasiun Kassi Tabua dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 41 433 m2 dan Batu Sobbalong dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 81 733 m2. Parameter kecerahan dan tutupan komunitas karang juga sangat menentukan dalam kegiatan snorkeling. Perairan yang jernih mengundang rasa ingin tahu untuk melihat keindahan bawah laut sedangkan tutupan komunitas karang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut. Berdasarkan kondisi eksisting dan hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa potensi pengembangan wisata dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Pulau Liukang Loe terdapat di sisi utara hingga sisi timur pulau dengan kondisi baik. Hasil analisis SIG menunjukkan kelas kesesuaian pada kelas sangat sesuai (S1) dan sesuai (S2). Peta kesesuaian wisata snorkling dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Gambar 4.7 Peta Kesesuaian wisata pantai di Pulau Liukang Loe 38

Gambar 4.8 Peta Kesesuaian wisata snorkling di Pulau Liukang Loe 39

40 4.6.3. Analisis Kesesuaian Wisata Selam Kawasan yang memiliki potensi sebagai lokasi wisata bahari kategori wisata selam yang dianalisis adalah perairan yang memiliki kedalaman diatas 6 meter, dimana tujuan wisata adalah wisatawan dapat melihat keindahan bawah laut dengan peralatan SCUBA (Yusniar, 2010). Faktor yang menjadi pertimbangan dalam penentuan kriteria kesesuaian wisata selam yaitu tutupan karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecerahan perairan, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang. Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan pengembangan wisata bahari kategori selam (diving) di perairan Pulau Liukang Loe bahwa hanya lokasi sebelah utara hingga timur yang sesuai untuk wisata selam (diving) yakni pada stasiun Batu Sobbalong dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 73 900 m 2 dan stasiun Ujung Baturapa dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 73 400 m 2. Sementara pada lokasi sebelah barat pulau kondisi terumbu karang dalam kondisi rusak. Kondisi terumbu karang untuk sisi timur dalam kondisi baik sedangkan pada sisi utara relatif sedang. Tingkat kecerahan pada stasiun Batu Sobbalong dan Ujung Baturapa mencapai 100%. Kecerahan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegitan wisata diving. Semakin cerah suatu perairan maka keindahan bawah laut yang dapat dinikmati wisatawan akan semakin tinggi. Kawasan wisata diving dengan kecerahan 80-100% adalah lokasi yang sangat sesuai untuk wisata diving. Kawasan terumbu karang dengan kecerahan 50-80% adalah sesuai untuk wisata diving sedangkan kawasan terumbu karang yang nilai kecerahannya kurang dari 20% dianggap tidak sesuai, Persentase tutupan komunitas karang, jenis lifeform, dan jenis ikan karang mempunyai nilai daya tarik bagi wisatawan karena memiliki variasi morfologi dan warna yang menarik (Arifin, 2008). Pada wisata selam berbeda dengan wisata snorkling dimana kedalaman menjadi faktor pembatas. Kedalaman terumbu karang yang bisa dinikmati dengan menyelam antara kedalaman 7-15 m. Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan pengembangan wisata bahari kategori selam (diving) di perairan Pulau Liukang Loe diperoleh tiga kelas kesesuaian yakni kelas sangat sesuai (SS) warna hijau dengan luas 7.39 ha, kelas sesuai (S) warna kuning dengan luas 7.34 ha dan kelas sesuai bersyarat (SB) warna merah dengan luas 9.83 ha. Adapun faktor yng menjadi pembatas untuk kesesuaian wisata selam di Pulau Liukang Loe adalah kecilnya persentase tutupan karang. Hasil analisis SIG menunjukkan kelas kesesuaian pada kelas sangat sesuai (S1) dan sesuai (S2). Peta kesesuaian wisata pantai dapat dilihat pada Gambar 4.9 sebagai berikut.

Gambar 4.9 Peta Kesesuaian wisata selam di Pulau Liukang Loe 41

42 4.7 Daya Dukung Ekologi Wisata Bahari Pulau Liukang Loe Konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum dalam mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukung ekologi dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditolelir oleh suatu kawasan wisata untuk waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya alam (objek wisata). Aktivitas wisata di Pulau Liukang Loe tidak bersifat mass tourism, maka penentuan daya dukung kawasan harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK ini disesuaikan dengan kondisi dan persepsi pelaku wisata di lokasi penelitian, misalnya rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata pantai, snorkling dan selam. Penghitungan daya dukung kawasan dilakukan terhadap tiap sub zona wisata yang dianggap sangat sesuai dengan asumsi bahwa wisatawan yang datang terspesifikasi berdasarkan jenis kegiatan wisata. Untuk ekowisata pantai, penghitungan dilakukan berdasarkan panjang pantai, sedangkan untuk ekowisata bahari jenis kegiatan snorkling dan selam berdasarkan luas kawasan yang sesuai. DDK Sub Zona Wisata Pantai. Pantai berpasir putih dengan tipe susbtrat berpasir merupakan faktor utama yang berperan dalam penentuan pemanfaatan kawasan ekowisata untuk kegiatan wisata pantai sehingga diberikan bobot yang tinggi (3). Hal ini karena pantai berpasir putih memiliki daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan aktivitas seperti berjemur, berenang, olahraga volley pantai ataupun hanya duduk-duduk sambil menikmati pemandangan alam. Hasil analisis kesesuaian menunjukkan bahwa ada 3 stasiun pengamatan yang termasuk kategori yang sesuai untuk kegiatan rekreasi pantai. Berdasarkan hasil analisis, maka diperoleh pada pantai sebelah utara atau stasiun Kampung Ta buntuleng jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 37 orang/hari, pantai sebelah barat pulau dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 6 orang/hari dan pantai sebelah tenggara pulau atau stasiun Kampung Pasilohe jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 13 orang/hari atau total panjang pantai yang sesuai untuk wisata pantai 1 411 m dan jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona wisata pantai setiap hari adalah 56 orang/hari dengan waktu yang dibutuhkan setiap wisatawan untuk beraktivitas selama 3 jam. Hal ini menunjukan bahwa banyaknya wisatawan yang dapat melakukan aktivitas wisata di pantai sangat dipengaruhi oleh panjang pantai. DDK Sub Zona Wisata Snorkling. Luasan ekosistem terumbu karang diasumsikan sebagai luasan area yang akan digunakan untuk aktifitas snorkling yang berdasarkan hasil analisis kesesuaian termasuk dalam kelas sangat sesuai. Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukkan bahwa kawasan yang termasuk kategori sangat sesuai untuk aktivitas snorkling yaitu stasiun Bate Baroso dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 405 orang/hari dan stasiun Ujung Baturapa dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 89 orang/hari sedangkan kelas sesuai berada di sebelah utara pulau yaitu stasiun Kassi Tabua dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 166 orang/hari dan Batu Sobbalong dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung

43 sebesar 327 orang/hari atau dengan kata lain total luas areal karang untuk peruntukkan wisata snorkeling sebesar 24.65 ha dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona wisata snorkling setiap hari adalah 986 orang/hari dengan waktu yang dibutuhkan setiap wisatawan untuk beraktivitas selama 3 jam. DDK Sub Zona Wisata Selam. Ekosistem terumbu karang merupakan faktor utama yang menentukan dalam penetapan kawasan wisata bahari karena merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan aktivitas wisata snorkling dan selam. Luasan ekosistem terumbu karang di tiap stasiun pengamatan diasumsikan sebagai luasan area yang akan digunakan untuk selam yang berdasarkan hasil analisis kesesuaian termasuk dalam kelas sangat sesuai. Hasil analisis kesesuaian lahan diperoleh bahwa untuk aktivitas selam diperoleh kelas kesesuaian yakni kelas sesuai dengan luas areal 14.73 ha. Berdasarkan luas kawasan tersebut maka diperoleh jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona wisata selam yaitu stasiun Batu Sobbalong dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 296 orang/hari dan stasiun Ujung Baturapa dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 294 orang/hari atau total wisatawan yang dapat ditampung untuk wisata selam sebesar 589 orang/hari dengan waktu yang dibutuhkan setiap wisatawan untuk beraktivitas selama 2 jam. Hasil analisis daya dukung ekowisata dari sisi ekologi di Pulau Liukang Loe disajikan pada Tabel 4.4 berikut. Tabel 4.4 Nilai daya dukung kawasan ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan pendekatan ruang (spasial) No. Jenis Wisata Luas/Panjang Area yang Dimanfaatkan/ Potensi Ekologis (Lp) Nilai Daya Dukung Kawasan - DDK (Orang/Hari) 1 Pantai 1 411 m 56 2 Snorkling 246 510 m 2 986 3 Selam 147 311 m 2 589 Total Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2012. 1 631 orang/hari 595 315 orang/tahun Tabel 4.4 menunjukkan bahwa daya dukung ekologi untuk kegiatan wisata pesisir (wisata pantai, snorkling, selam) di Pulau Liukang Loe yakni 1 631 orang per hari atau jika ditotalkan dalam setahun sebesar 595 315 orang per tahun. Jika dibandingkan dengan data kunjungan wisatawan pada musim puncak sebesar 321 orang/hari yang artinya jumlah tersebut masih berada dibawah berdasarkan perhitungan daya dukung kawasan untuk pengembangan ekowisata bahari sehingga berdasarkan kegiatan pemanfaatan saat ini, diketahui kegiatan ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe masih berada di bawah daya dukung ekologi sehingga masih dapat ditingkatkan kuantitasnya. Daya dukung wisata pantai memiliki jumlah yang lebih kecil dibanding ketiga kegiatan wisata lainnya, oleh karena keterbatasan kawasan pantai yang sesuai. Zakai and Chadwick-Furman (2002) merekomendasikan 5 (lima) upaya pengelolaan wisata selam dalam meminimalisasi kerusakan terumbu karang yakni : (1). Pembatasan jumlah

44 penyelam per lokasi per tahun (2). Diperlukan guide untuk seluruh penyelaman (3). Transfer keterampilan bagi penyelam pemula mulai dari kawasan terumbu karang yang rentan kerusakan sampai kawasan berpasir, (4). Mengalihkan tekanan penyelaman dari kawasan terumbu karang alami ke terumbu karang buatan, dan (5). Pengembangan pendidikan lingkungan bagi penyelam melalui kursus keterampilan mengenai tata cara dan perintah yang dilakukan bersama selama melakukan kegiatan di bawah air. Selanjutnya, pemanfaatan sumberdaya Pulau Liukang Loe untuk menunjang kegiatan wisata bahari sangat berkaitan dengan kesesuaian dan daya dukung kawasan tersebut. Sementara kesesuian dan daya dukung suatu kawasan sangat bergantung pada kondisi ekologis dari lingkungan. Pada sisi lain kondisi lingkungan ekologis terukur dari parameter diantaranya parameter fisika dan kimia. Selanjutnya kondisi fisika dan kimia suatu kawasan pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya beban limbah yang masuk. Menurut Mara (2004) menyatakan bahwa konsentrasi limbah organik mencapai 70 % di perairan pesisir seperti protein, karbohidrat dan lemak. Untuk mengetahui konsentarsi limbah organik di perairan maka dapat dilakukan dengan perhitungan DO dan BOD. Nilai BOD menggambarkan jumlah oksigen yang digunakan mikroba untuk merombak bahan organik yang ada di badan air. Sementara semakin rendahnya konsentrasi DO menandakan adanya bahan organik dalam badan air sebagai dampak dari aktivitas mikroorganisme. Sementara dengan adanya peningkatan kunjungan wisatawan sampai ke daya dukung kawasan di Pulau Liukang Loe diperlukan skenario rancangan kebijakan yang dapat dilaksanakan dalam kondisi nyata yang didasarkan pada faktor-faktor yang berpengaruh di masa yang akan datang. Skenario yang dimodelkan mencoba menganalisis jumlah maksimum wisatawan dan masyarakat lokal yang beraktivitas di lingkungan pesisir Pulau Liukang Loe hubungannya dengan batas maksimum nilai kualitas perairan yang diperbolehkan (baku mutu) wisata bahari. Sehingga diasumsikan bahwa aktivitas wisatawan dan masyarakat lokal yang ada di Pulau Liukang Loe berpeluang untuk mencemarkan perairan (batas baku mutu). Oleh karena itu dibangun simulasi dengan asumsi model akan terus berlanjut dimasa yang akan datang. Asumsi yang digunakan untuk skenario model ini secara umum adalah : 1. Periode waktu simulasi dibatasi hanya 10 tahun adalah periode umur efektif dari Instalasi Pengolahan air Limbah. 2. Jumlah penduduk dan wisatawan mengikuti pola pertumbuhan yang terjadi saat penelitian. 3. Parameter limbah yang digunakan dalam model adalah BOD dan konsentrasinya mengacu pada saat penelitian. 4. Migrasi penduduk tidak diperhitungkan dan dianggap nol. Hasil simulasi dengan analisis kualitas perairan dan dibandingkan dengan baku mutu menunjukkan bahwa kondisi daya dukung dengan pendekatan kualitas air masih bisa mentolerir aktivitas wisata dengan sumbangan BOD ke lingkungan perairan Pulau Liukang Loe hingga tahun 2022 atau masih berada di bawah baku

45 mutu yang dipersyaratkan Kepmen Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Hal ini didukung oleh hasil perhitungan daya dukung dengan pendekatan kualitas perairan dengan parameter BOD dan baku mutu di perairan Pulau Liukang Loe seperti disajikan pada Tabel 4.5 sebagai berikut : Tabel 4.5 Nilai daya dukung kawasan ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan pendekatan kualitas air Tahun Kategori BOD Daya Dukung (mg/l) (orang/hari) 2013 Masyarakat 3.27 688 Wisatawan 6.73 1 420 2014 Masyarakat 3.19 727 Wisatawan 6.81 1 550 2015 Masyarakat 3.14 765 Wisatawan 6.86 1 672 2016 Masyarakat 3.09 803 Wisatawan 6.91 1 794 2017 Masyarakat 3.05 841 Wisatawan 6.95 1 919 2018 Masyarakat 3.01 880 Wisatawan 6.99 2 041 2019 Masyarakat 2.98 918 Wisatawan 7.02 2 162 2020 Masyarakat 2.95 956 Wisatawan 7.05 2 286 2021 Masyarakat 2.92 994 Wisatawan 7.08 2 409 2022 Masyarakat 2.90 1 033 Wisatawan 7.10 2 531 Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013. Total 2 108 2 277 2 437 2 597 2 760 2 921 3 080 3 242 3 403 3 564 Hasil analisis dengan asumsi tidak melakukan perhitungan kontribusi BOD dari perairan lain menunjukkan bahwa untuk mengkaji daya dukung dengan pendekatan kualitas perairan 10 tahun mendatang dengan BOD sebagai indikator pencemaran organik diperoleh nilai BOD akan mencapai ambang baku mutu dengan nilai maksimum jumlah penduduk dan wisatawan mengalami peningkatan dimana pada Tahun 2022 diprediksi sebesar 3 564 orang/hari dengan komponen masyarakat sebesar 1 033 orang atau kontribusi BOD sebesar 2.90 mg/l dan jumlah wisatawan sebesar 2 531 orang/hari dengan kontribusi BOD sebesar 7.10 mg/l.

46 Konsentrasi BOD (mg/l) 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Baku Mutu 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 Tahun Gambar 4.10 Prediksi Konsentrasi BOD di Pulau Liukang Loe. Pada Gambar 4.10 dapat dilihat prediksi kontribusi BOD untuk komponen wisatawan semakin meningkat setiap tahun akan tetapi belum mencapai ambang baku mutu yang dipersyaratkan untuk peruntukkan wisata bahari hingga tahun 2022. Hal ini mengindikasikan pada kondisi saat ini dengan jenis serta tingkat kegiatan yang berlangsung di Pulau Liukang Loe, kondisi kualitas perairan belum mencapai baku mutu maksimum BOD yaitu 10. Akan tetapi, ancaman pencemaran wilayah pesisir Pulau Liukang Loe bukan berarti tidak ada sama sekali. Hal ini kemungkinan terkait dengan meningkatnya aktivitas masyarakat termasuk wisata dan kegiatan pemanfaatan lain (perikanan dan transportasi) dimasa mendatang. 4.8 Strategi Pengelolaan Wisata Bahari Pulau Liukang Loe Perumusan alternatif kebijakan pengembangan wisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan menggunakan atribut ekologi. Menurut Dahuri (2001) menyebutkan bahwa terdapat beberapa metode untuk pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, diantaranya : 1). Menetapkan batas-batas (boundaries) baik vertikal maupun horizontal terhadap garis pantai (coastal line), wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan (management unit) 2). Menghitung luasan 3). Mengalokasi atau melakukan zonasi wilayah pesisir tersebut menjadi 3 zona utama, yaitu : 1). Preservasi 2). Konservasi 3). Pemanfaatan. Selain itu, diperlukan juga pengaturan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukan serta tidak melebihi daya dukung (Adrianto, 2005). Pulau Liukang Loe memiliki ekosistem yang unik yang patut untuk dikelola secara arif dan bijaksana, untuk diperlukan pengaturan sumberdaya demi kelestarian sumber alam yang ada. Menurut masyarakat kawasan yang menjadi daerah penangkapan ikan dulunya memiliki terumbu karang hidup dalam kondisi yang masih baik. Namun, sejalan dengan banyaknya aktivitas yang bersifat merusak yang masih dilakukan oleh nelayan dan masyarakat lokal ditambah

47 dengan adanya aktivitas wisata sehingga ekosistem terumbu karang mengalami tekanan dan mendorong terjadinya kerusakan terumbu karang. Untuk menghindari kerusakan ekosistem terumbu karang semakin parah, maka perlu dilakukan pembatasan daerah pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya di Pulau Liukang Loe sehingga tercapai keseimbangan antara aktivitas pemanfaatan dan konservasi. Pengelolaan Wisata Pulau Liukang Loe untuk pemanfaatan wisata bahari sebaiknya dilakukan di kawasan yang sesuai agar pemanfaatan yang dilakukan bisa memberikan kepuasan bagi wisatawan, tidak mengganggu aktivitas pemanfaatan lain dan tidak merusak kondisi ekologi yang terkait di sekitar pesisir Pulau Liukang Loe. Pembatasan pemanfaatan sesuai dengan daya dukung pemanfaatan yang sudah diukur dari luas kawasan sesuai harus dilakukan agar wisatawan mendapatkan kepuasan, kenyamanan dan ketenangan dalam berwisata, hal ini dilakukan agar keberadaan sumberdaya yang dimanfaatkan tetap lestari dan bisa berkelanjutan. Berdasarkan analisis kesesuaian wisata snorkling dan selam di Pulau Liukang Loe tergolong cukup sesuai untuk kedua jenis wisata tersebut. Persentase tutupan karang hidup cukup beragam, mulai dari kategori rusak hingga baik. Keberadaan ekosistem karang tersebut jika tidak dilestarikan kemungkinan akan mengalami perubahan atau penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas tersebut tentunya akan mengurangi nilai estetika alam bawah laut dan akan mengancam keberlanjutan kegiatan wisata yang telah ada. Untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya ekosistem terumbu karang yang ada di Pulau Liukang Loe, berbagai upaya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba antara lain : 1. Penetapan pemanfaatan kawasan secara tegas oleh pemerintah daerah terhadap pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang Pulau Liukang Loe. Penetapan aturan yang jelas dan tegas dalam melakukan aktivitas wisata akan mampu mendorong pencapaian misi konservasi sehingga dengan pendekatan ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan pada masyarakat lokal. Strategi ini menjadi yang utama mengingat kondisi eksisting ekosistem terumbu karang yang menyebar di perairan Pulau Liukang Loe terutama di sebelah barat pulau berada pada kondisi buruk sehingga dalam penetapan pemanfaatan kawasan ini seharusnya merupakan full protected area yang artinya asset-aset wisata tidak diperkenankan beroperasi di kawasan tersebut. 2. Melakukan pengawasan terhadap jumlah wisatawan agar tidak melebihi daya dukung kawasan. Hal ini akan sangat menjadi krusial sehingga patut mendapat perhatian serius dimana terkhusus untuk periode musim puncak (peak season) kunjungan wisatawan dengan cara membatasi jumlah penjualan tiket masuk atau dengan cara menerapkan sistem kuota dan menetapkan lama tinggal wisatawan di lokasi wisata mengingat kegiatan wisata bahari berpeluang mass tourism.

48 3. Meningkatkan upaya pemulihan ekosistem terumbu karang melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam ekowisata bahari meningkatkan upaya konservasi terhadap terumbu karang merupakan salah satu strategi yang penting dengan melibatkan masyarakat lokal melalui pemberian insentif seperti mata pencaharian alternatif. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap sumberdaya yang ada pada ekosistem tersebut sehingga laju kerusakan terumbu karang dapat diminimalkan dan daya dukung dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Pengetahuan dan keterlibatan masyarakat lokal perlu ditingkatkan dalam pengelolaan ekowisata bahari. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan agar masyarakat menjaga dan melestarikan sumberdaya pesisir yang ada sehingga kegiatan-kegiatan destruktif seperti bom dan bius yang sifatnya merusak dapat diminimalisir. Upaya pelestarian terumbu karang dapat dilaksanakan apabila peran serta masyarakat sudah optimal untuk menjaga sumberdaya alam secara langsung dan menikmati hasil dari pengelolaan sumberdaya tersebut. Secara umum adanya penurunan persentase tutupan karang dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa tingginya kerusakan terumbu karang. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat bahwa kerusakan terumbu karang terjadi akibat penangkapan ikan yang sifatnya destruktif oleh nelayan seperti bom ikan dan penggunaan sianida, akan tetapi belakangan ini masyarakat mulai sadar dan mengganti alat tangkat dengan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan seperti panah dan jaring ikan. Munculnya kesadaran tersebut karena masyarakat menganggap wisatawan tidak akan berkunjung ke Pulau Liukang Loe jika sumberdaya (terumbu karang) rusak dan secara langsung akan berpengaruh terhadap kesejahteraan ekonomi masyarakat. Untuk itu diperlukan regulasi terhadap kawasan yang terancam sehingga dampak ekologi bisa diminimalkan. Rusaknya sumberdaya untuk pemanfaatan akan berdampak pada buruknya kondisi lingkungan dan kelangkaan sumberdaya. Jika hal ini terjadi maka kemungkinan adanya pemanfaatan yang merusak dan konflik antar masyarakat bisa terjadi dan tujuan kesejahteraan ekonomi masyarakat otomatis tidak akan tercapai.

49 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Kondisi sumberdaya Pulau Liukang Loe meliputi ekosistem pantai dengan potensi ekologis 1 411 m dan ekosistem terumbu karang berada dalam kategori baik pada sisi utara hingga timur Pulau Liukang Loe. 2. Jenis kegiatan wisata pantai, snorkling dan selam termasuk dalam kategori sesuai untuk dilakukan di perairan Pulau Liukang Loe. 3. Daya dukung kawasan untuk wisata pantai 56 orang/hari, wisata snorkling 983 orang/hari serta wisata selam 589 orang/hari, sehingga total daya dukung kawasan sebesar 1 631 orang/hari. 4. Pengembangan wisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan menitikberatkan pada penyusunan dan penetapan regulasi yang tegas dalam pengelolaan Pulau Liukang Loe secara menyeluruh serta upaya konservasi terumbu karang untuk pengembangan ekowisata bahari dengan melibatkan masyarakat lokal, LSM dan Pemerintah Daerah. Saran dalam penelitian ini adalah : 5.2 Saran 1. Perlu adanya kerja sama antar stakeholder dalam upaya mempromosikan kawasan wisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan tetap memperhatikan kesesuaian dan daya dukung yang ada agar pemanfaatan optimum dan lestari. 2. Perlu penelitian lanjutan tentang perhitungan aliran limbah dari perairan lain dan beban limbah yang dapat ditampung di perairan Pulau Liukang Loe.

50 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L, Matsuda Y. 2004. Fishery Resources Appropriation in Yoron Island. Kagoshima Prefecture. Japan : A Static and Dinamic Analysis. Kagoshima University. Adrianto, L. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan (Sustainable Small Islands Development and Management). In Working Paper Kebijakan Pengelolaan Perikanan dan Wilayah Pesisir Tahun 2004 (Eds : Adrianto L) Part-5. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan- Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Adrianto L. 2005. Pengantar penilaian ekonomi sumberdaya pesisir dan laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Andreev AG, Kusakabe M. 2001. Interdecadal variability in dissolved oxygen in the intermediate water layer of the Western Subarctic Gyre and Kuril Basin (Okhotsk Sea). Geophysical Research Letter, 28 (12): 2453-2456. Arifin T. 2008. Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh Kota Bitung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Arun AU. 2005. Impact of artificial structures on biodiversity of estuaries: a case study from cochin estuary with emphasis on clam beds. Applied Ecology and Environmental Research, 4(1): 99-110. Bengen, D.G. 2002. Identifikasi Permasalahan Pola Pergeseran Sistem Pengelolaan dari Rejim Sentralistik kepada Otonomi Daerah. Bogor (ID). Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Bengen DG. 2003. Definisi, Batasan dan Realitas Pulau-pulau Kecil. Makalah disajikan pada Seminar Sehari Validasi Jumlah Pulau-pulau dan Panjang Garis Pantai di Indonesia. Jakarta (ID). Bengen DG. 2004. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan laut Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Bengen DG, Retraubun A. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID). Bjork P. 2000. Ecotourism from a conceptual perspective, an extended definition of a unique tourism form. International Journal of Tourism Research, 2 (2000): 189-202. Ceballos-Lascurain H. 1991. Tourism, Ecotourism and Protected Areas Parks. Journal of Suistainable Tourism. 2: 31-35.Daby D. 2003. Effect of seagrass bed removal for tourism purposes in a Mauritian bay. Environmental Pollution 125 : 313-324.

Dahuri R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu : Menata Kembali Pembangunan Teluk Jakarta. Makalah Pertemuan Para Ahli Dalam Pengeloaan dampak Kota Besar Terhadap Perairan di Depannya. P3OLIPI, 7 8 April 1999. Jakarta (ID). Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1998. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT Pradnya Paramitha. Jakarta (ID). Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta (ID). Davis D, Tisdell C. 1995. Recreational scuba-diving and carrying capacity in marine protected areas. Ocean and Coastal Management, 26 (1): 19-40, in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Departement of Economics University of Queensland. Debance KS. 1999. The Challenges of Sustainable Management for Small Island. http://www.insula.org/islands/small-islands.html. Acces in Oktober 29, 2009. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. 2012. Laporan Akhir Zonasi Kabupaten Bulukumba. Makassar (ID). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bulukumba. 2012. Penetapan Pembagian Zona Kegiatan Kepariwisataan dan Standar Pengoperasian Banana Boat di Pantai Pasir Putih Bira Kec. Bontobahari Kab. Bulukumba. Bulukumba (ID). Dodds R. 2007. Malta s Tourism Policy: Standing Still or Advancing Towards Sustainability? Islands Studies Journal, 2(1), 2007: 47-66. Elyazar N, Mahendra MS, Wardi IN. 2007. Dampak aktivitas masyarakat terhadap tingkat pencemaran air laut di Pantai Kuta Kabupaten Badung serta upaya pelestarian lingkungan. Ecotrophic 2 (1) : 1-18. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Ed ke-2. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Fauzi A dan Anna S. 2005. Pemodelan sumberdaya perikanan dan kelautan untuk analisis kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta (ID). Harjadi B. 2004. Karakteristik Sumberdaya Lahan Sebagai Dasar Pengelolaan DAS di Sub DAS Merawu, DAS Serayu. Forum Geografi. Vol. 18(2) Desember 2004: 98. Ismail 2000. Analisis Kebijakan Pengembangan Rumput Laut Pada Kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah di Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor (ID). [Kepmen Negara LH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari. Jakarta (ID): KLH. [PKSPL IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor. 2005. Kajian Daya Dukung Lingkungan Pengembangan Pulau Wetar Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Bogor (ID): IPB. 51

52 Ketchum BH. 1971. Pollution, natural resources and biological effects of pollution of estuaries and coastal waters. The Massachusetts Institute of Technology. Massachusetts. Kurniawan F. 2011. Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil Untuk Wisata Berkelanjutan (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur).Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Lee et al. 1978. Benthic Macroinvertebrate and Fish as Biological Indicator of Water Quality With Reference to Community Diversity Development Countries. Bangkok. P. 233. Maldonado E, Montagnini F. 2004. Carrying Capacity of La Tigra National Park, Honduras : can the park be self suistainable. Journal of Suistainable Forestry 19 (4):29-48. Manahan SE. 2002. Environmental Chemistry. Seventh Edition, Lewis Publisher, Inc., New York. Mara D. 2004. Domestic Wastewater Treatmen in Devoloping Countries Earthscan. London. McNeely JA. 1994. An Introduction to Protected Area Economics and Policy (In: Protected Area Economics and Policy, Munasinghe, M and J. McNeely eds. 1-11) The World Bank, Washington DC. Nybakken JW. 1999. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa: H.M Edman, Koesoebiono, D. Bengen, M. Hutomo dan S Sukardjo. Jakarta (ID). Penerbit PT Gramedia. Orams M. 1999. Marine tourism, development, impacts, and management. London: Routledge. Pradhan UK, Shirodkar PV, Sahu BK. 2009. Physico-chemical characteristics of the coastal water off Devi estuary, Orissa and evaluation of its seasonal changes using chemometric techniques. Current Science, 96 (9):1203-1209. Samawi MF. 2007. Desain Sistem Pengendalian Pencemaran Perairan Pantai Kota (Studi Kasus Perairan Pantai Kota Makassar). Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor (ID). Soewardi K. 2002. Pengelolaan Kualitas Air Tambak, Makalah Dalam Seminar Penetapan Standar Kualitas Air Buangan Tambak. Ditjen Perikanan Budidaya, Puncak, 7 9 Agustus 2002. Bogor (ID). Teh, Cabanban AS. 2007. Planning for sustainable tourism in southern Pulau Banggi: An assessment of biophysical conditions and their implications for future tourism development. Journal of Environmental Management 85 : 999-1008. Trisnawulan IAM, Suyasa IWB, Sundra IK. 2007. Analisis kualitas air sumur gali di kawasan pariwisata Sanur. Ecotrophic 2 (2) : 1-9. [UNEP] 1993. Training Manual on Assessment of the Quantity and Type of Land- Based Pollutant Discharges Into the Marine and Coastal Environment. RCU/EAS Technical Reports Series No.1. Bangkok, 65p [Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007]. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta (ID).

Wong PP. 1991. Coastal tourism in Southeast Asia. ICLARM, Education Series 13, Manila. Wong P. 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia : relevance and lessons for coastal zone management. Ocean & Coastal manag. 38:89-109. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. [Makalah]. Disampaikan pada Seminar Sains 21 Februari 2007. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, Kang HS. 2010. Pengelolaan Pesisir dan Laut secara Terpadu. Bogor (ID): Pusdiklat Kehutanan Departemen Kehutanan RI SECEM-Korea International Cooperation Agency. Yusniar. 2010. Kajian Kesesuaian Terumbu Karang Kawasan Pulau Liwutongkidi dan Sekitarnya Untuk Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Buton.Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Zakai D, Chadwick-Furman NE. 2002. Impact of intensive recreational diving on reef corals at Eilat, northen Red Sea. Biological Conservation. 53

L A M P I R A N 55

56

57 Lampiran 1 Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Pulau Liukang Loe untuk Peruntukkan Wisata Selam dan Snorkling Persentase Tutupan LIT No Kategori Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 3 m 10 m 5 m 5 m 7 m 5 m 7 m 1 ACB 3.96 2.08 0.44 7.16 8.01 1.56 1.09 2 ACT 0.72 0.88 0 1.80 2.23 0 0 3 ACE 0.00 0.00 0.4 0.00 0 0 0 4 ACS 0.00 0.00 0 7.52 6.53 1.76 1.88 5 ACD 0.34 0.00 0 0.60 1.05 1.44 1.74 6 CB 4.32 3.08 0.96 4.64 5.08 7.4 8.9 7 CM 7.62 3.92 8.56 17.00 15 3.6 4.05 8 CE 1.90 0.24 0.32 0.00 0 0.76 1.04 9 CS 0.00 0.00 0 11.88 12.59 12.16 13.03 10 CF 0.00 0.00 0 0.44 1 1.12 1.19 11 CMR 0.00 0.00 0 0.20 0.8 4.04 4.1 12 CME 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 13 CHL 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 14 DC 0.00 0.00 0 0.00 0 0.12 0.98 15 DCA 25.20 30.62 21.16 20.16 22.58 13.6 12.7 16 MA 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 17 TA 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 18 CA 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 19 HA 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 20 AA 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 21 SC 12.30 15.38 5.92 7.28 6.26 4.04 3.34 22 SP 0.00 0.28 0 1.80 1.06 4.76 3.8 23 ZO 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 24 OT 0.00 0.40 0 2.44 1.55 6.24 5.12 25 S 39.08 28.92 10.28 16.00 15 2.72 3.6 26 R 3.52 14.20 30.84 0.96 1.29 34.68 33 27 SI 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 28 WA 0.00 0.00 0 0.00 0 0 0 29 RCK 1.04 0.00 21.12 0.12 0.16 0 0 Total 100 100 100 100 100 100 100

58 No Kategori Famili Spesies Stasiun 1 1 Lampiran 2 Spesies Ikan Karang di Pulau Liukang Loe Scaridae Scarus rivulatus 9 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 3 m 10 m 5 m 5 m 7 m 5 m 7 m 2 Scaridae Scarus dimidiatus 1 2 3 Scaridae Scarus sp 1 4 Labridae Labriodes dimidiatus 3 1 2 1 3 3 5 Labridae Labriodes sp 1 1 6 Labridae Halichoeres hortulanus 2 2 7 Labridae Hologymnosus doliatus 1 8 Labridae Hemigymnus melanopterus 1 1 9 Labridae Thalassoma lunare 2 1 1 4 5 10 Labridae Thalassoma hardwicke 1 3 9 7 11 Labridae Thalassoma amblycephalum 40 43 12 Labridae Thalassoma jansenii 1 4 13 Labridae Chirrhilabrus solorensis 50 47 20 23 14 Labridae Cheilinus fasciatus 2 3 15 Labridae Bodianus mesothorax 1 1 16 Labridae Cheilo inermis 1 1 17 Labridae Novaculichthys taeniolurus 1 1 1 18 Labridae Pteragogus guttatus 2 19 Pomacentridae Chromis margaritifer 2 1 Mayor 20 Pomacentridae Chromis weberi 30 33 1 2 21 Pomacentridae Chrysiptera talboti 1 7 22 Pomacentridae Chrysiptera parasema 14 18 18 23 Pomacentridae Chrysiptera sp 15 6 24 Pomacentridae Pomacentrus muloccensis 1 2 5 7 25 Pomacentridae Pomacentrus brachialis 1 1 26 Pomacentridae Pomacentrus amboinensis 24 27 Pomacentridae Pomacentrus bangkainensis 2 1 28 Pomacentridae Amblyglyphidodon curacao 2 25 23 29 Pomacentridae Plectroglyphidodon melas 1 1 30 Pomacentridae Dascyllus trimaculatus 16 18 31 Pomacentridae Dascyllus reticulatus 66 51 32 Pomacentridae Amphiprion sandaracinos 3 33 Mullidae Parupeneus bifasciatus 6 2 34 Mullidae Parupeneus multifasciatus 2 2 1 3 2 2 3 35 Mullidae Parupeneus barberinus 1 36 Balistidae Balistapus undulatus 1 37 Balistidae Balistoides conspicillum 1 1 38 Balistidae Odonus niger 37 22 50 55 50

59 39 Balistidae Melichthys vidua 2 40 Balistidae Rhinecanthus verrococus 1 1 2 41 Zanclidae Zanclus cornutus 1 2 2 2 3 42 Pomacanthidae Centropyge vrolikii 1 1 1 2 43 Pomacanthidae Centropyge bicolor 2 3 6 5 44 Pomacentridae Pomacanthus emperator 1 45 Tetraodontidae Arothron hispidus 1 1 46 Tetraodontidae Canthigaster valentini 3 2 47 Ostraciidae Ostracion meleagris 1 2 48 Ostraciidae Ostracion cubicus 1 49 Aulostomidae Aulostomus chinensis 1 2 3 50 Ephippidae Platax pinnatus 1 2 51 Fistularidae Fistularia commersonii 11 10 52 Blennidae Meiacanthus grammistes 47 53 Monacanthidae Aluterus scriptus 1 1 54 Centriscidae Aeoliscus strigatus 20 22 55 Chaetodontidae Chaetodon vagabundus 4 2 2 56 Chaetodontidae Chaetodon klenii 3 3 1 1 2 3 57 Chaetodontidae Chaetodon baronessa 1 58 Indikator Chaetodontidae Chaetodon speculum 2 2 59 Chaetodontidae Heniochus varius 1 3 60 Chaetodontidae Chaetodon trifasciatus 2 2 61 Chaetodontidae Chaetodon rafflesii 2 2 62 Acanthuridae Ctenochaetus striatus 47 26 18 20 33 35 63 Acanthuridae Naso lituratus 2 2 64 Acanthuridae Zebrasoma scopas 3 2 1 1 65 Acanthuridae Acanthurus pyroferus 5 1 1 1 1 1 66 Acanthuridae Acanthurus nubilus 2 67 Lutjanidae Lutjanus kasmira 1 68 Serranidae Epinephelus merra 1 69 Serranidae Pseudanthias dispar 30 4 6 Target 70 Serranidae Pseudanthias huchtii 2 71 Serranidae Cephalopolis boenack 6 72 Serranidae Chepalopolis urodeta 1 73 Serranidae Variola louti 1 74 Siganidae Siganus coralinus 1 1 75 Lethrinidae Monotaxis grandoculus 1 1 2 1 76 Nemipteridae Scolopsis bilineata 1 1 2 77 Nemipteridae Scolopsis lineata 3 Jumlah Individu 256 228 170 205 210 174 183 Jumlah Spesies 31 31 20 33 32 20 20

60 Lampiran 3 Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas perairan di Pulau Liukang Loe BOD DO NH3 ph Salinitas Turbiditas Suhu A B A B A B A B A B A B A B 1.50 0.73 5.60 6.21 0.19 0.01 6.73 6.90 34.3 33.00 0.30 1.50 27.80 29.00 1.40 0.61 6.20 5.38 0.18 0.07 7.09 6.80 34.3 32.00 0.30 1.90 27.70 30.00 1.80 0.58 5.90 5.14 0.17 0.04 7.44 6.90 33.9 33.00 0.50 1.00 28.50 29.00 1.80 0.53 7.90 5.22 0.15 0.01 7.23 7.70 34 33.00 0.70 1.10 28.50 28.50 1.12 5.94 0.10 7.10 33.44 0.91 28.63 Keterangan : A = 2 Februari 2013 B = 24 Februari 2013

61 Lampiran 4 Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian dan Daya Dukung Wisata Pantai I. Indeks Kesesuaian Wisata Pantai No. Parameter Bobot Skor Nilai Ratarata 1 2 3 4 5 6 7 Skor 1 Tipe pantai 3 4 4 3 3 3 3 3 3.29 2 Lebar pantai 3 4 4 3 4 4 4 4 3.86 3 Kedalaman perairan (m) 3 4 4 3 3 3 3 3 3.29 4 Material dasar 2 4 4 4 4 3 3 3 3.57 5 Kecepatan arus (m/dtk) 2 3 3 4 4 4 4 4 3.71 6 Kemiringan pantai ( 0 ) 2 4 4 4 4 4 4 4 4.00 7 Kecerahan perairan (%) 1 4 4 4 4 4 4 4 4.00 8 Penutupan lahan pantai 1 4 4 3 3 2 1 4 3.00 9 Biota berbahaya 1 4 4 4 4 2 2 2 3.14 10 Ketersediaan air tawar 1 4 4 2 2 4 4 4 3.43 Nilai IKW (%) 74 74 61 67 61 61 66 Kelas Kesesuaian S S SB S SB SB S Keterangan : SS = Sangat Sesuai SB = Sesuai Bersyarat S = Sesuai TS = Tidak Sesuai II. Daya Dukung Kawasan Wisata Pantai Lokasi Jumlah Pengunjung (K) Unit Area (Lt) (m) Panjang area yang dimanfaatkan (Lp) (m) Waktu yang dibutuhkan (Wp) (Jam) Total waktu satu hari (Wt) (Jam) Daya Dukung Kawasan (DDK) Site I 1 50 318 3 6 13 Site II 1 50 164 3 6 6 Site III 1 50 932 3 6 37 Total 56

62 Lampiran 5 Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian dan Daya Dukung Wisata Snorkling I. Indeks Kesesuaian Wisata Snorkling No. Parameter Bobot Skor Nilai Rata-rata 1 2 3 4 Skor 1 Tutupan karang (%) 3 1 1 3 2 1.75 2 Jenis life form 3 4 4 4 4 4 3 Jenis ikan karang 3 3 3 3 3 3 4 Kecerahan perairan (%) 2 4 3 4 4 3.75 5 Kecepatan arus (m/dtk) 2 4 4 4 4 4 6 Kedalaman terumbu karang (m) 2 4 3 3 3 3.25 7 Lebar hamparan dasar karang 1 4 4 4 4 4 Nilai IKW (%) 60 60 89 84 Kelas Kesesuaian SB SB SS S Keterangan : SS = Sangat Sesuai SB = Sesuai Bersyarat S = Sesuai TS = Tidak Sesuai II. Daya Dukung Kawasan Wisata Snorkling Lokasi Jumlah Pengunjung (K) Unit Area (L t ) (m 2 ) Luas area yang dimanfaatkan (L p ) (m 2 ) Waktu yang dibutuhkan (W p ) (Jam) Total waktu satu hari (W t ) (Jam) Daya Daya Dukung Dukung Kawasan Pemanfaatan (DDK) (DDP) Kassi Tabua 1 500 41 433 3 6 166 17 Batu Sobbalong 1 500 81 733 3 6 327 33 Bate Baroso 1 500 101 133 3 6 405 40 Ujung Baturapa 1 500 21 433 3 6 89 9 Total 245 731 986 98

63 Lampiran 6 Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian dan Daya Dukung Wisata Selam I. Indeks Kesesuaian Wisata Selam No. Parameter Bobot Skor Nilai Rata-rata Skor 1 2 3 3 1 Tutupan karang (%) dan benda bersejarah di laut 3 1 2 3 2 1.67 2 Jenis life form 3 4 4 4 4 4 3 Jenis ikan karang 2 2 2 2 2 2 4 Kecerahan perairan (%) 2 3 4 4 4 5.33 5 Kecepatan arus (m/dtk) 2 4 4 4 4 4 6 Kedalaman terumbu karang (m) 1 4 4 4 4 4 Nilai IKW (%) 61 80 86 80 Kelas Kesesuaian SB S SS S Keterangan : SS = Sangat Sesuai SB = Sesuai Bersyarat S = Sesuai TS = Tidak Sesuai II. Daya Dukung Kawasan Wisata Selam Waktu Jumlah Luas area yang Unit Area yang Lokasi Pengunjung dimanfaatkan (L t ) (m 2 ) dibutuhkan (K) (L p ) (m 2 ) (W p ) (Jam) Total waktu satu hari (W t ) (Jam) Daya Dukung Kawasan (DDK) Daya Dukung Pemanfaatan (DDP) Batu Sobbalong 2 2 000 73 900 2 8 296 29 Ujung Baturapa 2 2 000 73 400 2 8 294 29 Total 147 300 589 58

64 Lampiran 7 Daya dukung kawasan wisata bahari per kategori wisata di Pulau Liukang Loe pendekatan ruang Persamaan : DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp 1. Potensi Maksimum Wisatawan per Unit Area per Kategori Wisata No. Jenis Kegiatan 1 2 3 Wisata pantai Snorkling Selam Pengunjun g (orang) 1 1 2 Unit Area (Lt) 50 m 500 m 2 2 000 m 2 Keterangan 1 orang setiap 50 m panjang pantai. Setiap 1 orang dalam 100 x 5 m Setiap 2 orang dalam 200 x 10 m 2. Waktu yang Digunakan untuk setiap Kegiatan Wisata No. Jenis Kegiatan Waktu yang dibutuhkan Wp (jam) 1 2 3 Rekreasi pantai Snorkling Selam 3 3 2 Total waktu 1 Hari Wt (jam) 6 6 8 3. Hasil Analisis Daya Dukung Kawasan No. Jenis Wisata Luas/Panjang Area yang Dimanfaatkan/ Potensi Ekologis (Lp) Nilai Daya Dukung Kawasan - DDK (Orang/Hari) 1 Pantai 1 411 m 56 2 Snorkling 246 510 m 2 986 3 Selam 147 311 m 2 589 1 631 orang/hari Total 595 315 orang/tahun

65 Lampiran 8 Daya dukung kawasan wisata bahari dengan pendekatan kualitas air * Rata-rata Penggunaan air untuk kegiatan domestik = 200 liter/org/hari * Kontribusi BOD = 1.12 mg/liter/hari Maka dilakukan perhitungan prediksi peningkatan jumlah wisatawan dan masyarakat untuk 10 tahun men datang sebagai berikut : Tahun Jumlah Penduduk Wisatawan Total Rata-Rata Penggunaan Air (ltr/orang/hari) Penggunaan air (orang/hari) 2008 497 232 729 146 2009 502 330 832 166 2010 578 360 938 188 2011 586 375 961 192 2012 650 441 1 091 218 2013 688 493 1 181 236 2014 727 546 1 273 255 2015 765 598 1 363 200 273 2016 803 650 1 453 291 2017 841 702 1 543 309 2018 880 755 1 635 327 2019 918 807 1 725 345 2020 956 859 1 815 363 2021 994 911 1 905 381 2022 1 033 964 1 997 399 Sehingga dapat diprediksi daya dukung dengan pendekatan kualitas air Pulau Liukang Loe sebagai berikut : Tahun 2008 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 497 3.80 Wisatawan 800 6.20 Total 1 297 10.00

66 Tahun 2009 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 502 3.33 Wisatawan 988 6.67 Total 1 490 10.00 Tahun 2010 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 578 3.46 Wisatawan 1 097 6.54 Total 1 675 10.00 Tahun 2011 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 586 3.40 Wisatawan 1 134 6.60 Total 1 720 10.00 Tahun 2012 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 650 3.33 Wisatawan 1 298 6.67 Total 1 948 10.00 Tahun 2013 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 688 3.27 Wisatawan 1 420 6.73 Total 2 108 10.00 Tahun 2014 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 727 3.19 Wisatawan 1 550 6.81 Total 2 277 10.00

67 Tahun 2015 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 765 3.14 Wisatawan 1 672 6.86 Total 2 437 10.00 Tahun 2016 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 803 3.09 Wisatawan 1 794 6.91 Total 2 597 10.00 Tahun 2017 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 841 3.04 Wisatawan 1 919 6.96 Total 2 760 10.00 Tahun 2018 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 880 3.01 Wisatawan 2 041 6.99 Total 2 921 10.00 Tahun 2019 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 918 2.98 Wisatawan 2 162 7.02 Total 3 080 10.00 Tahun 2020 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 956 2.95 Wisatawan 2 286 7.05 Total 3 242 10.00

68 Tahun 2021 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 994 2.92 Wisatawan 2 409 7.08 Total 3 403 10.00 Tahun 2022 Kategori Daya Dukung (orang/hari) BOD Masyarakat 1 033 2.90 Wisatawan 2 531 7.10 Total 3 564 10.00 Pada Grafik berikut ini dapat dilihat dimana kontribusi BOD dari Masyarakat dan Wisatawan dari Tahun 2008-2022 : Konsentrasi BOD (mg/l) 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 Tahun

69 Lampiran 9 Angka kunjungan wisatawan 5 tahun terakhir (2008-2012) serta jumlah penduduk ke Pulau Liukang Loe a. Angka kunjungan wisatawan di Pulau Liukang Loe No. Bulan Tahun 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 2008 2009 2010 2011 2012 10 8 10 11 12 23 40 63 18 17 15 15 15-15 30 15 30 40 105 15 30 15 15 15-15 30 15 30 45 105 15 30 30 30 15 15 15 30 30 30 45 15 90 60 30-15 15 30 15 45 30 15 105 Jumlah 232 330 360 375 441 30 75 30 36 Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bulukumba, 2012. b. Perkembangan jumlah dan Kepadatan Penduduk di Pulau Liukang Loe. Tahun Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk 2007 460 0,23 2008 497 0,25 2009 502 0,25 2010 578 0,29 2011 586 0,29 2012 650 0,3 Sumber : Kantor Desa Bira, 2012.

70 Lampiran 10. Foto Lokasi Stasiun Penelitian Pantai Berpasir Stasiun 1 (Pengamatan Pantai berpasir) Stasiun 2 (Pengamatan Pantai berpasir) Stasiun 3 (Pengamatan Pantai berpasir) Stasiun 4 (Pengamatan Pantai berpasir) Stasiun 5 (Pengamatan Pantai berpasir) Stasiun 6 (Pengamatan Pantai berpasir)

71 Lampiran 11 Foto Lokasi Stasiun Penelitian Terumbu Karang Stasiun 1 (Pengamatan Terumbu karang) Stasiun 2 (Pengamatan Terumbu karang) Stasiun 3 (Pengamatan Terumbu karang) Stasiun 4 (Pengamatan Terumbu karang)

72 Lampiran 12 Foto Sarana dan Prasarana di Pulau Liukang Loe Dermaga di Pulau Liukang Loe Sarana Air Tawar di Pulau Liukang Loe Sarana Transportasi Sarana Kesehatan di Pulau Liukang Loe Masjid di Pulau Liukang Loe Jalan Penghubung di Pulau Liukang Loe

73 Lampiran 13 Foto Vegetasi Pantai di Pulau Liukang Loe