BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Krisis finansial yang menimpa kawasan Asia Timur pada tahun 1997 1998 bermula di Thailand, menyebar ke hampir seluruh ASEAN dan turut dirasakan juga oleh Korea Selatan, Hong Kong, China, Jepang dan bahkan Amerika Serikat. Krisis tersebut menghasilkan dampak yang signifikan secara makro, terutama dalam hal penurunan nilai mata uang, saham, dan aset-aset lainnya di beberapa negara Asia. GDP nominal ASEAN menurun sebesar US$ 9.2 milyar pada tahun 1997 dan US$ 218.2 milyar (31.7%) pada tahun berikutnya. Di Indonesia menurun sebesar 42.3% pada tahun 1997, 21.2% di Thailand, 19% di Malaysia, 18.5% di Korea Selatan, dan 12.5% di Filipina. 1 Oleh karena banyaknya kegiatan perekonomian yang terhenti, jutaan orang jatuh ke bawah garis kemisikinan. Di luar Asia, krisis tersebut sedikit banyak mempengaruhi perilaku para investor internasional dalam menyalurkan dananya kepada negara-negara berkembang, mengakibatkan lemahnya kegiatan perekonomian di banyak negara berkembang di seluruh dunia pada masa itu. Krisis yang kemudian terjadi di Rusia, Brazil, dan Argentina juga tidak dapat dianggap sepenuhnya terlepas dari dampak krisis Asia 1997. Krisis tersebut menyadarkan banyak pihak bahwa kesuksesan kawasan tersebut selama beberapa dekade sebelumnya The East Asian Miracle telah dibangun di atas suatu landasan yang sangat rapuh dan rentan. Luas dan dalamnya dampak krisis tersebut, singkatnya periode krisis tersebut terjadi dan berakhir, dan naturnya yang tidak terprediksi 1 http://www.adb.org/documents/books/key_indicators/2001/rt11_ki2001.xls 1
Grafik 2: Pergerakan Nilai Tukar Mata Uang Negara-negara Asia Timur 1,900 Brunei 1,800 1,700 1,600 1,500 BND/USD BND/ICB BND/CCB BND/ACU 1,400 4600,000 Cambodia 4400,000 4200,000 4000,000 3800,000 3600,000 KHR/USD KHR/ICB KHR/CCB KHR/ACU 3400,000 8,800 8,600 8,400 8,200 8,000 7,800 7,600 7,400 7,200 CNY/USD CNY/ICB CNY/CCB CNY/ACU China
12000,000 Indonesia 11000,000 10000,000 9000,000 8000,000 7000,000 IDR/USD IDR/ICB IDR/CCB IDR/ACU 6000,000 1350,000 1300,000 1250,000 1200,000 1150,000 1100,000 1050,000 1000,000 950,000 900,000 850,000 KRW/USD KRW/ICB KRW/CCB KRW/ACU Korea 12000,000 11000,000 10000,000 9000,000 8000,000 7000,000 6000,000 5000,000 4000,000 LAK/USD LAK/ICB LAK/CCB LAK/ACU Lao PDR
4,100 4,000 3,900 3,800 3,700 3,600 3,500 3,400 3,300 3,200 MYR/USD MYR/ICB MYR/CCB MYR/ACU 7,000 6,800 6,600 6,400 6,200 6,000 5,800 5,600 5,400 5,200 MMK/USD MMK/ICB MMK/CCB MMK/ACU 60,000 55,000 50,000 45,000 40,000 PHP/USD PHP/ICB PHP/CCB PHP/ACU 35,000
1,900 1,800 1,700 1,600 1,500 SGD/USD SGD/ICB SGD/CCB SGD/ACU 1,400 46,000 44,000 42,000 40,000 38,000 36,000 34,000 THB/USD THB/ICB THB/CCB THB/ACU 32,000 18000,000 17500,000 17000,000 16500,000 16000,000 15500,000 15000,000 14500,000 14000,000 13500,000 13000,000 VND/USD VND/ICB VND/CCB VND/ACU
Malaysia Myanmar Philippines
Singapore Thailand Vietnam
oleh para ekonom telah menjadikannya topik bahasan yang sangat banyak dibahas oleh para akademisi. Berbagai kritik ditujukan khususnya terhadap IMF, sebagai lembaga internasional yang dianggap bertanggungjawab atas berlarutnya krisis. Meskipun hingga kini belum ada konsensus mengenai penyebab pasti dari krisis tersebut, salah satu faktor yang diyakini banyak pihak turut memberikan sumbangsih bagi terjadinya krisis Asia adalah dianutnya de facto dollar peg sebagai acuan kebijakan nilai tukar mayoritas negara di ASEAN pada masa sebelum krisis. 2 Peg ini dianggap kurang tepat untuk diterapkan di kawasan ASEAN oleh karena struktur perekonomian kawasan yang banyak juga berinteraksi dengan negara-negara selain Amerika Serikat seperti dengan Jepang, Uni Eropa, dan Cina. Dengan struktur perekonomian seperti ini, banyak pihak berpendapat bahwa mata uang negara-negara di kawasan ASEAN sebaiknya menganut sistem nilai tukar yang tidak serta-merta didominasi oleh dollar. 3 Selama periode krisis, banyak dari negara-negara ASEAN yang beralih dari dollar peg kepada sistem yang lebih fleksibel. Akan tetapi, setelah periode krisis berlalu mata uang dollar kembali menjadi acuan de facto kebijakan nilai tukar mayoritas negara di kawasan tersebut. Meskipun kebijakan yang memberikan bobot yang lebih besar terhadap mata uang selain dollar lain adalah baik untuk ASEAN, negara-negara tersebut enggan untuk beralih dari de facto dollar peg. Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai bentuk ketakutan setiap negara untuk menjadi yang pertama dalam melakukan hal tersebut. Apabila suatu negara beralih dari dollar peg kepada, misalnya, currency basket yang memberi bobot cukup besar pada yen dan euro (selain pada dollar), sementara negaranegara ASEAN lainnya tetap menganut sistem dollar peg, maka negara tersebutlah yang akan mengalami kerugian paling besar (Mori et al, 2002; Ogawa dan Shimizu, 2006a). Oleh karena adanya risiko tersebut, lebih aman bagi negara tersebut untuk tetap menganut 2 lihat misalnya Kawai dan Akiyama (2000). 3 lihat misalnya Mundell (2003). 2
dollar peg sambil menunggu negara-negara lain bertindak. Apabila semua negara terus berpikir secara risk averse seperti ini, maka perpindahan negara-negara ASEAN kepada sistem nilai tukar yang lebih tepat untuk kawasan tidak akan terjadi. Sebagaimana yang telah kita pelajari dari pengalaman tahun 1997, kondisi seperti ini menjadikan kawasan tersebut sangat rentan terhadap suatu krisis finansial. Untuk mencegah kembali terjadinya krisis serupa, negara-negara Asia Timur harus beralih dari dollar peg kepada suatu sistem yang lebih sesuai dengan karakteristik perekonomian kawasan. Permasalahannya adalah, belum ada suatu kerangka yang memungkinkan negara-negara tersebut untuk melakukan hal itu tanpa membahayakan nilai tukar mata uang mereka. Adanya kenyataan ini menjadi alasan perlunya suatu koordinasi kebijakan nilai tukar yang harmonis dari negara-negara Asia Timur (Kawai dan Takagi, 2000). Selain untuk alasan pencegahan krisis finansial, suatu koordinasi kebijakan moneter di Asia Timur juga penting untuk meningkatkan volume perdagangan dan investasi di kawasan, melalui semakin stabilnya nilai tukar mata uang intra- maupun extra-kawasan. Apabila nilai tukar di antara negara-negara Asia Timur stabil, maka intensitas perdagangan dan investasi intra-regional akan meningkat. Demikian pula, apabila nilai tukar negaranegara kawasan terhadap mitra-mitra utama mereka selain AS yakni Jepang dan Eropa semakin stabil, volume perdagangan dan investasi inter-regional diharapkan akan meningkat pula. Meningkatnya perdagangan dan investasi akan mempercepat proses pembangunan di kawasan tersebut. Ide mengenai suatu koordinasi kebijakan nilai tukar di Asia Timur didukung pula oleh fakta keberhasilan penciptaan dan penggunaan mata uang euro di kawasan Uni Eropa. Seiring dengan semakin terintegrasinya sistem moneter Eropa melalui ECU dan euro, kawasan tersebut menikmati pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat. Pengalaman 3
proses integrasi moneter Uni Eropa telah banyak dijadikan model untuk studi mengenai kemungkinan kerja sama moneter di kawasan Asia Timur. Idealnya, Asia Timur menjadi suatu currency union seperti Uni Eropa, memiliki suatu mata uang tunggal. Namun dalam jangka pendek hingga menengah, hal ini belum dapat terjadi oleh karena faktor-faktor ekonomi dan khususnya politik. Berbagai studi telah menegaskan bahwa kawasan Asia Timur belum merupakan suatu optimum currency area. Akan tetapi, dalam usaha untuk mencapai tujuan akhir menjadi currency union, Asia Timur dapat mengkoordinasikan mata uang mereka dalam suatu bentuk kerja sama lain. 4 Berbagai bentuk kerja sama tersebut telah diajukan oleh para akademisi, namun hingga kini belum ada kesepakatan mengenai bentuk kerja sama mana yang paling tepat. Bentuk-bentuk kerja sama yang telah diajukan meliputi single currency peg, parallel currency, dan G3 currency basket (baik individual maupun common). Melalui skripsi ini, penulis bermaksud untuk memberikan tinjauan terhadap berbagai bentuk kerja sama ini, dan mencoba menyimpulkan berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis sendiri. Pada akhirnya penulis juga memaparkan langkah-langkah yang perlu dilakukan kawasan dalam persiapan menerapkan bentuk kerja tersebut. I.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan bentuk kerja sama nilai tukar yang paling tepat untuk diterapkan dalam konteks Asia Timur saat ini. 4 lihat Kawai dan Takagi (2000); Williamson (2005); Branson dan Healy (2006). 4
I.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian ini adalah: a. Currency basket adalah pilihan bentuk kerja sama yang paling tepat untuk diterapkan di kawasan Asia Timur saat ini. b. Currency basket terdiri dari komponen mata uang dolar, yen, dan euro (G3) dengan memberikan bobot terbesar terhadap dolar tanpa menjadikannya dominan. c. Kerja sama ini dapat diikuti oleh setiap negara ASEAN+2. d. Setiap negara yang tergabung dalam kerja sama ini menerapkan bobot yang sama untuk mata uang komponen dalam keranjang nilai tukarnya (common currency basket). I.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi mengenai kerja sama nilai tukar di Asia Timur, khususnya mengenai penerapan currency basket. Pada akhirnya, penelitian ini beserta penelitian-penelitian serupa diharapkan mampu mendorong terlaksananya suatu bentuk nyata dari kerja sama nilai tukar di Asia Timur. 5
I.5 Struktur Pembahasan Struktur pembahasan dari skripsi ini secara garis besar adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan. Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, hipotesis, manfaat penelitian, serta struktur pembahasan. Bab II Landasan Teori. Pada bab ini akan dijabarkan mengenai berbegai rezim nilai tukar yang dapat dianut suatu negara, kemudian membandingkan berbagai rezim tersebut dalam kaitan dengan kecocokannya untuk diterapkan pada suatu kerja sama nilai tukar di kawasan Asia Timur. Bab III Perbandingan Perkembangan Kerja Sama Nilai Tukar di Eropa dan di Asia Timur. Pada bab ini perkembangan kerja sama nilai tukar di Eropa dan di Asia Timur dibandingkan. Dari pembahasan ini dicoba diambil pelajaran dari pengalaman kerja sama nilai tukar di Eropa. Bab IV Metodologi Penelitian. Pada bab ini diuraikan mengenai sumber data, periode data, dan metodologi yang digunakan untuk perhitungan-perhitungan dalam penelitian ini. Bab V Hasil dan Analisis. Pada bab ini diuraikan mengenai hasil temuan dan analisis yang dilakukan. Bab VI Kesimpulan, Rekomendasi Kebijakan, dan Keterbatasan Studi. Pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan yang dicapai, rekomendasi kebijakan, serta keterbatasan penelitian dari skripsi ini. 6