Proyeksi Kebutuhan dan Penyediaan Energi serta Indikator Energi - OEI 2014

dokumen-dokumen yang mirip
ESDM untuk Kesejahteraan Rakyat

Analisis Kebutuhan dan Penyediaan Energi Di Sektor Industri - OEI 2012

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

Peranan Energi Baru dan Terbarukan Dalam Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang (Outlook Energi Indonesia 2012)

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

Optimalisasi Pemanfaatan Biodiesel untuk Sektor Transportasi- OEI 2013

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Potensi Sumber Daya Energi Fosil [1]

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan

Versi 27 Februari 2017

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI

Review Kebijakan Energi untuk Mendukung Pemanfaatan Energi Terbarukan

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI

BAB I PENDAHULUAN. manajemen baik dari sisi demand maupun sisi supply energi. Pada kondisi saat ini

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS

BaB i Pendahuluan OutlOOk EnErgi indonesia 1

OUTLOOK ENERGI INDONESIA : PROSPEK ENERGI BARU TERBARUKAN Indonesia Energy Outlook : New and Renewable Energy Prospect

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan

Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008

INDONESIAN 2050 PATHWAYS CALCULATOR SEKTOR PASOKAN ENERGI: PRODUKSI BATUBARA, MINYAK DAN GAS BUMI. Sekretariat Badan Litbang ESDM 2

OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2009

POTENSI BISNIS ENERGI BARU TERBARUKAN

PERANAN MIGAS DALAM MENDUKUNG KETAHANAN ENERGI

Proyeksi Emisi Gas Rumah Kaca Tahun

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

PEMILIHAN STRATEGI ENERGI UNTUK MENDORONG PEMANFAATAN EBT DI SEKTOR TRANSPORTASI

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014

Dewan Energi Nasional Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan

PEMENUHAN SUMBER TENAGA LISTRIK DI INDONESIA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI KALOR PADA INDUSTRI TAHU

V. GAMBARAN UMUM PENYEDIAAN DAN KONSUMSI ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Kajian INDONESIA ENERGY OUTLOOK

Oleh: Maritje Hutapea Direktur Bioenergi. Disampaikan pada : Dialog Kebijakan Mengungkapkan Fakta Kemiskinan Energi di Indonesia

Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia

VI. SIMPULAN DAN SARAN

OUTLOOK KELISTRIKAN INDONESIA : PROSPEK PEMANFAATAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

PERUBAHAN POLA PENGGUNAAN ENERGI DAN PERENCANAAN PENYEDIAAN ENERGI

Sembuh Dari Penyakit Subsidi BBM: Beberapa Alternatif Kebijakan

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

OPSI NUKLIR DALAM BAURAN ENERGI NASIONAL

VIII. EFISIENSI DAN STRATEGI ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Upaya Penghematan Konsumsi BBM Sektor Transportasi

PENGEMBANGAN MODEL INDONESIA 2050 PATHWAY CALCULATOR (I2050PC) SISI PENYEDIAAN DAN PERMINTAAN ENERGI BARU TERBARUKAN. Nurcahyanto

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN

Data Historis Konsumsi Energi dan Proyeksi Permintaan-Penyediaan Energi di Sektor Transportasi

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

Pulau Ikonis Energi Terbarukan sebagai Pulau Percontohan Mandiri Energi Terbarukan di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Namun demikian cadangan BBM tersebut dari waktu ke waktu menurun. semakin hari cadangan semakin menipis (Yunizurwan, 2007).

INDONESIA MENUJU NET OIL EXPORTER

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

DIRECTORATE GENERAL OF NEW RENEWABLE AND ENERGY COSERVATION. Presented by DEPUTY DIRECTOR FOR INVESTMENT AND COOPERATION. On OCEAN ENERGY FIELD STUDY

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANALISIS PENYEDIAAN DAN KEBUTUHAN ENERGI SEKTOR RUMAH TANGGA DI PROVINSI GORONTALO

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN PENGEMBANGAN KILANG INDONESIA KEDEPAN

Pemodelan Kebutuhan Energi Sulawesi Selatan dengan Skenario Energi Baru/Terbarukan

Energi di Indonesia. Asclepias Rachmi Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi. 3 Mei 2014

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

Simulasi Kalkulator Energi Baru Terbarukan (EBT) Guna Memenuhi Ketahanan Energi di Indonesia

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

Kebijakan. Manajemen Energi Listrik. Oleh: Dr. Giri Wiyono, M.T. Jurusan Pendidikan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN

SENSITIVITAS ANALISIS POTENSI PRODUKSI PEMBANGKIT LISTRIK RENEWABLE UNTUK PENYEDIAAN LISTRIK INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL JANGKA PANJANG DI INDONESIA

STUDI PROYEKSI PERMINTAAN ENERGI JANGKA PANJANG DENGAN PROGRAM MAED

Tatang H. Soerawidaja

KomUNIKASI SINgKAT: BAgAImANA NASIB ENERgI TERBARUKAN DI INDoNESIA PASCA TURUNNyA harga minyak DUNIA?

Krisis Pangan, Energi, dan Pemanasan Global

PP NO. 70/2009 TENTANG KONSERVASI ENERGI DAN MANAGER/AUDITOR ENERGI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010

Kekayaan Energi Indonesia dan Pengembangannya Rabu, 28 November 2012

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya peran energi dalam kebutuhan sehari-hari mulai dari zaman dahulu

PROYEKSI KEBUTUHAN LISTRIK PLN TAHUN 2003 S.D 2020

Secara garis besar penyusunan proyeksi permintaan energi terdiri dari tiga tahap,

Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE)

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi sejalan dengan

SOLUSI KEBIJAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN GAS DOMESTIK

ANALISIS PEMANFAATAN ENERGI PADA PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK DI INDONESIA

KEBIJAKAN KONVERSI BAHAN BAKAR GAS UNTUK KENDARAAN BERMOTOR

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN KONSERVASI ENERGI NASIONAL

Indonesia Energy Outlook

Transkripsi:

Proyeksi Kebutuhan dan Penyediaan Energi serta Indikator Energi - OEI 214 Ira Fitriana 1 1 Perencanaan Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi E-mail: fitriana.ira@gmail.com, irafit_24@yahoo.com Abstract National energy demand follows the development of GDP because GDP is built by energy sector. This growing energy demand is not only caused by the industrial sector, but also by transport and commercial sectors that directly affected by economic developments. In addition, the use of energy in the residential sector also encourages the growth of national energy demand. Indonesia will be one of developed countries with its economy is supported mostly by industrial sector. The role of the transport sector in supporting economic movements also continued to increase following the development of the industry. Petroleum fuel dominates national energy demand because the petroleum fuel-based technology is more efficient than others. Indonesia is one country that is inefficient in energy use. On the other hand the energy supply is relatively stagnant and even showed a declining trend, particularly in fuel oil supply. Meanwhile, energy consumption in all sectors tends to increase. This resulted in Indonesia highly dependent on imports, especially imports of oil fuel. Energy indicators indicated by the ratio between the total energy supply to GDP, also can be shown by a comparison between the total energy supply per capita. Indications of both these comparisons can indicate the level of prosperity and indicate more efficient/inefficient use of energy consumption in a country. Keywords: final energy, fueluse, fosil fuel, NRE, energy supply, energy indicators 1. Pendahuluan Dalam menjalankan aktivitas kehidupan, energi diperlukan baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi maupun dalam kegiatan produktivitas di sektor ekonomi. Saat ini penyediaan energi di Indonesia lebih difokuskan pada pemenuhan energi fosil, seperti bahan bakar minyak, gas dan batubara yang sumber dayanya makin lama makin menipis. Penggunaan sumber daya alternatif, seperti energi baru dan terbarukan masih terus dikembangkan, namun masih belum dapat menyaingi pemanfaatan energi konvensional. Pemanfaatan energi berbahan dasar fosil terus meningkat, dimana makin lama sumber dayanya tidak mampu memenuhi kebutuhan energi tersebut. Sebagai akibatnya impor energi akan menutupi kekurangan kebutuhan energi fosil agar perekonomian tetap terus berjalan. Dampaknya ketergantungan terhadap impor akan terus 1

meningkat dan mengakibatkan ketahanan energi nasional menjadi terganggu. Kondisi sekarang juga menunjukkan penggunaan energi yang boros, yang diindikasikan dengan intensitas energi yang cukup besar. Intensitas energi adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi akhir dengan PDB per kapita. Semakin efisien suatu negara, maka intensitasnya akan semakin kecil. Selama ini, subsidi energi yang telah diterapkan pemerintah justru mengakibatkan pemborosan energi, karena penggunaannya kurang optimal.(1) Proyeksi kebutuhan energi dibedakan menjadi kebutuhan energi final Dalam melakukan analisis, kebutuhan energi dibedakan menjadi 5 sektor, yaitu sektor ACM (agriculture, construction and mining atau pertanian, konstruksi, dan pertambangan), sektor industri, sektor transportasi, sektor rumah tangga, dan sektor komersial. Proyeksi kebutuhan energi final di sektor industri dan sektor ACM diprakirakan berdasarkan perkembangan produk domestik bruto (PDB) dan intensitas energi yang dinyatakan dalam nilai tambah dari masingmasing industri dan nilai tambah dari pertanian, konstruksi, dan pertambangan. Proyeksi kebutuhan energi final di sektor transportasi diperkirakan berdasarkan jarak tempuh per jenis alat transportasi yang mengkonsumsi energi dan intensitas energi per jenis alat transportasi yang dinyatakan dalam liter per 1 km jarak tempuh. Berlainan dengan ketiga sektor di atas, pada sektor rumah tangga dan sektor komersial proyeksi kebutuhan energi diprakirakan berdasarkan aktivitas dan intensitas energi, dimana aktivitas dibedakan atas memasak, kepemilikan alat listrik, dan penerangan. 2. Kebutuhan Energi Per jenis Bahan Bakar Setiap aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan energi. Untuk mengetahui kebutuhan energi dari setiap sektor pengguna energi dapat dilakukan dengan pendekatan energi termanfaatkan (useful) dan energi final. Pendekatan energi termanfaatkan memperhitungkan energi yang dibutuhkan untuk melakukan suatu aktivitas, misalnya jumlah kalor (bukan jumlah bahan bakar) yang dibutuhkan untuk memasak atau intensitas cahaya yang dibutuhkan dalam penerangan. Dengan mengkaji kebutuhan energi termanfaatkan, fokus terletak pada total kebutuhan energi, sehingga terbuka peluang untuk kompetisi pemakaian bahan bakar dalam memenuhi total kebutuhan energi tersebut. Namun data penggunaan energi termanfaatkan sangat sulit untuk diperoleh, sehingga perhitungan energi ini sering didekati dengan kebutuhan bahan bakar yang dikaitkan dengan efisiensi teknologi alat. Perkembangan kebutuhan energi nasional sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam kajian ini diasumsikan terjadi perubahan laju pertumbuhan PDB dalam 2 skenario, yaitu skenario dan skenario yang akan memberikan perbedaan proyeksi pemakaian energi final. Untuk skenario laju perkembangan rata-rata dalam kurun waktu 212 235 adalah sebesar 6,2% per tahun, mendorong laju pertumbuhan energi final sebesar 4,5% per tahun atau menjadi 2.98 juta SBM. Laju pertumbuhan PDB pada skenario adalah sebesar 7,6% mengakibatkan perkembangan kebutuhan energi final sebesar 5,6% per tahun atau sebesar 3.798 juta SBM. Teknologi peralatan yang digunakan dalam sektor pengguna akan mempengaruhi penggunaan bahan bakar. Dalam energi final menurut jenis bahan bakar, BBM mendominasi kebutuhan energi nasional karena teknologi berbasis bahan bakar lebih efisien dan mudah eksistensinya. Pemakaian BBM berkembang dengan laju pertumbuhan 4,7% pada skenario dan 5,9% di skenario. Sebagai akibatnya pada tahun 235, penggunaan BBM mencapai 39% terhadap total pemanfaatan energi final. Demikian juga dengan 2

penggunaan batubara dan listrik pada tahun 235, pemakaiannya meningkat tajam yaitu sebesar lebih dari 5 kali lipat () dan menjadi lebih dari 7 kali lipat () terhadap pemakaiannya di tahun 212. Hal ini terjadi karena batubara di sektor industri dan pemanfaatan teknologi berbasis listrik di beberapa sektor akan terus digunakan sesuai dengan perkembangan peralatan yang digunakan dalam sektor pengguna, seperti ditunjukkan pada Gambar 1. 4 35 3 25 2 15 1 5 Historikal 1.79 1.219 Proyeksi 1.52 1.575 2.132 1.916 Gambar 1. Proyeksi Kebutuhan Energi Menurut Jenis Bahan Bakar (Sumber : Olahan dari OEI 214-BPPT [2] ) Sesuai dengan adanya revisi penetapan Mandatori Biofuel menurut Permen no. 25/213, dengan meningkatnya pemakaian peralatan berbasis BBM, sebagai substitusinya perkembangan bahan bakar nabati (BBN) yang berupa biodiesel dan biopremium berupa biosolar (B1) dan bioethanol (E1) juga terus berkembang. Selama kurun waktu 212-235, BBN meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 15,9% per tahun pada skenario dan 17,4% per tahun pada skenario. Pemanfaatan BBN ini didukung dengan adanya kebijakan harga BBM. Dalam hal ini biosolar dan bioethanol diperhitungkan terhadap total pemakaian seluruh minyak diesel dan premium di semua sektor dengan besar prosentase seperti yang diatur dalam Mandatori Biofuel. Sesuai dengan kemampuan produksi gas bumi dan LPG yang mengandalkan impor, maka secara bertahap pemakaiannya hanya 2.398 2.873 2.98 212 215 22 225 23 235 3.798 Biomasa Kayubakar BBN LPG Listrik Gas Batubara BBM TOTAL meningkat tipis sebesar 2,7% dan 2,1% per tahun pada skenario dan pada skenario berkembang hanya sebesar 3,1% dan 2,7% per tahun. Pemakaian kayubakar dan biomasa yang teknologinya kurang efisien secara bertahap pemakaiannya terus menurun dengan laju penurunan sekitar 1,3% untuk kayubakar dan,6% untuk biomasa. Kemudian bahan bakar berbasis biomasa ini banyak digantikan dengan teknologi berbasis listrik yang lebih efisien, oleh karena itu penggunaan peralatan listrik akan terus meningkat di semua sektor. 3. Kebutuhan Energi Per Sektor Untuk dapat menjadi negara maju, Indonesia harus dapat mendorong perkembangan sektor industri sebagai sumber ekonomi negara. Diharapkan kebutuhan energi di sektor industri masih mendominasi perkembangan energi final nasional. Setiap sektor pengguna energi menggunakan berbagai jenis teknologi yang berbeda, menghasilkan fluktuasi pemakaian bahan bakar pada setiap sektor. Hal ini terkait dengan efisiensi dari peralatan yang digunakan. Sebagai sektor penunjang pergerakan perekonomian, transportasi juga terus meningkat pesat dengan perkembangan sedikit lebih tinggi dari sektor industri, yaitu 5,6% dan 6,7% berturut-turut untuk skenario dan. Penggunaan energi di sektor rumah tangga meningkat tipis sesuai dengan perkembangan penduduk nasional yang berkembang dengan laju pertumbuhan,96% per tahun. Dengan mempertimbangkan pemakaian kayu bakar dalam sektor rumah tangga, selama kurun waktu 23 tahun, sektor ini meningkat hanya sebesar 1% dan 1,4% untuk skenario dan. Perkembangan bangunan komersial seperti hotel, perkantoran, rumah sakit serta properti menyebabkan pemanfaatan energi pada sektor komersial dan lainnya yang berupa kegiatan pertanian, konstruksi dan pertambangan berkembang cukup pesat. 3

Peranan sektor industri pada tahun 212 adalah sebesar 35% terhadap total kebutuhan energi final, dan terus berkembang hingga tahun 235 menjadi 42% pada skenario dan 44% pada skenario. Demikian juga dengan sektor transportasi yang kebutuhannya terus meningkat pada tahun 235 menjadi 3,5 kali lipat kebutuhan energi tahun 212 untuk skenario dan menjadi 4,5 kali pada skenario. Sebagai akibatnya pangsa kebutuhan energi di sektor rumah tangga mengalami penurunan dari 31% di tahun 212 menjadi 14% dan 12% pada skenario dan skenario, walaupun kebutuhan energi di sektor ini mengalami sedikit peningkatan. 4 35 3 25 2 15 1 5 Historikal 1.79 1.219 Proyeksi 2.132 1.916 1.52 1.575 2.873 2.98 2.398 Gambar 2. Proyeksi Kebutuhan Energi Menurut Sektor Pengguna (Sumber : Olahan dari OEI 214-BPPT [2] ) Untuk sektor komersial yang pemanfaatan energinya dipengaruhi oleh perkembangan kebutuhan manusia akan pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan membuat pangsa ini terus meningkat. Pada tahun 212, peranan sektor ini sebesar 3% terhadap total kebutuhan energi final kemudian di tahun 235 menjadi 5%. Penggunaan energi di sektor lainnya terus meningkat namun tidak merubah pangsanya terhadap total kebutuhan energi final. Dari tahun 212 hingga tahun 235, pangsa kebutuhan energi sektor pertanian, konstruksi dan pertambangan tetap 2%. 4. Proyeksi Penyediaan Energi 3.798 212 215 22 225 23 235 Lainnya Komersial Rumah Tangga Transportasi Industri TOTAL = BAU = High Untuk memenuhi semua kebutuhan energi, proses dan konversi energi dibutuhkan pasokan energi yang memadai. Pada skenario penyediaan energi primer pada tahun 212 adalah sebesar 1.542 juta SBM kemudian hingga tahun 235 meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 4,7% per tahun. Pada skenario tinggi untuk memenuhi kebutuhan energi yang lebih tinggi, maka pasokan energi juga meningkat lebih tajam dengan laju pertumbuhan sebesar 5,9% per tahun hingga pada tahun 235 mencapai 5.799 juta SBM. Pada awal proyeksi, yaitu di tahun 212 BBM masih mendominasi total penyediaan energi dengan pangsa sekitar 45,8%, diikuti oleh batubara 26,5%, sedangkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) termasuk BBN hanya mencapai 7,8%. Namun dengan makin besarnya pemakaian batubara di sektor ketenagalistrikan sesuai dengan target Fast Track Program (FTP) I dan FTP II, maka pada akhir proyeksi batubara menggeser posisi BBM. Pada tahun 235, pangsa pemakaian batubara mencapai 46,1% pada skenario dan menjadi 5,8% pada skenario. Peranan EBT yang terus didorong perkembangannya, meningkat menjadi 14,6% (skenario ) dan 11,9% (skenario ). Lebih kecilnya peranan EBT pada skenario tinggi diakibatkan dari sumber daya EBT yang dapat dikembangkan saat ini hingga tahun 235 tidak banyak perubahan, adanya peningkatan ekonomi tidak mempengaruhi perkembangan EBT. Jika dibandingkan dengan bauran energi yang lain, misalnya dengan ESDM dalam Perpres No.5/26, targetnya pada tahun 225 berturut-turut batubara, BBM, gas bumi dan EBT adalah sebesar 33%, 2%, 3% dan 17%. Dalam OEI 214 berbeda dengan target ESDM dimana peranan batubara, BBM, gas bumi dan EBT pada tahun 225 masingmasing adalah menjadi 38%, 33%, 14% dan 15%. Dalam penyediaan energi peranan gas bumi tidak dapat berperan banyak karena kondisi kemampuan produksi gas yang hingga saat ini belum banyak peningkatan. 4

Diperkirakan belum ditemukannya lapanganlapangan gas baru, demikian juga alternatif bahan bakar gas seperti CBM dan shale gas yang hingga saat ini belum ada perkembangan yang siknifikan. Akibatnya peranan gas bumi pada akhir proyeksi (235) menjadi sangat kecil dibandingkan bahan bakar lainnya yaitu sebesar 9,9% untuk skenario dan 8,5% untuk skenario. Sebagai konsekuensinya peranan batubara dan BBM lebih didorong. Belum adanya penambahan kilang dalam negeri akan menyebabkan tingginya impor baik berupa minyak mentah maupun bahan bakar minyak. 6 5 4 3 2 1 1.542 1.542 1.744 1.738 2.32 2.21 3.188 Gambar 3. Proyeksi Penyediaan Energi Primer (Sumber : Olahan dari OEI 214-BPPT [2] ) Dalam kesetimbangan energi nasional, dipertimbangkan peranan produksi energi dari fosil, produksi energi dari EBT, impor energi, penggunaan energi dalam negeri yang 2.829 4.38 3.65 5.799 212 215 22 225 23 235 4.475 EBT Kayu Bakar Gas Minyak Batubara Total Sken Total sudah mempertimbangkan proses energi dan konversi energi yang dinyatakan dalam net pasokan dalam negeri serta ekspor energi. Dari gambaran ini dapat diperoleh kesetimbangan antara produksi dan konsumsi energi yang dilakukan di dalam negeri. Pada skenario dapat dilihat bahwa produksi fosil dan produksi EBT masih dapat memenuhi net pasokan dalam negeri hingga tahun 233. Dalam kondisi tersebut secara nasional masih dilakukan ekspor energi, oleh karena itu Indonesia masih disebut negara eksportir. Selanjutnya mulai tahun 233 untuk memenuhi net pasokan dalam negeri, selain produksi fosil dan produksi EBT juga dibutuhkan impor energi. Oleh karena itu diperkirakan mulai tahun 233 ini, Indonesia menjadi negara importir. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4. Pada skenario dasar, net pasokan energi bertambah dengan laju pertumbuhan rata-rata 4,7% per tahun, sedangkan ekspor energi terus menurun dengan laju penurunan sekitar 1,4% per tahun. Sementara itu produksi energi fosil meningkat sebesar 1,4% per tahun, produksi EBT dengan laju 3,8%. Meskipun laju pertumbuhan produksi EBT cukup tinggi, namun belum dapat memenuhi seluruh net pasokan dalam negeri. Oleh karena itu impor energi meningkat cukup tinggi dengan laju pertumbuhan 6,6% per tahun. 8 DASAR 8 TINGGI 7 7 6 6 5 4 5 4 3 3 2 2 1 1 212 213 214 215 216 217 218 219 22 221 222 223 224 225 226 227 228 229 23 231 232 233 234 235 212 213 214 215 216 217 218 219 22 221 222 223 224 225 226 227 228 229 23 231 232 233 234 235 Produksi Fosil Produksi EBT Impor Net Pasokan Dalam Negeri Ekspor Produksi Fosil Produksi EBT Impor Net Pasokan Dalam Negeri Ekspor Gambar 4. Proyeksi total produksi, ekspor, dan impor energi primer untuk skenario dasar dan tinggi (Sumber : Olahan dari OEI 214-BPPT [2] ) 5

Pada skenario tinggi, titik balik dari eksportir menjadi importir terjadi lebih cepat yaitu sekitar tahun 23. Hal ini terjadi karena laju pertumbuhan net pasokan energi dalam negeri mengalami pertumbuhan cukup tinggi yaitu sebesar 5,9% per tahun, sedangkan ekspor menurun tetap dengan laju penurunan 1,4% per tahun. Dalam kondisi tersebut, kemampuan peningkatan produksi fosil sebesar 2,4%, peningkatan produksi EBT sebesar 4%. Sebagai akibatnya laju peningkatan impor meningkat menjadi 7,8% per tahun. 5. Peranan EBT Dalam Penyediaan Energi Nasional Potensi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia cukup besar, seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Namun, perkembangan EBT tidak terlalu siknifikan, penyebabnya antara lain, teknologi berbahan bakar EBT, memiliki efisiensi yang masih kecil (seperti tenaga surya, angin, dll), energi yang dihasilkan merupakan sumber energi setempat (energi panas bumi, mikrohidro), investasi untuk menerapkan teknologi berbasis EBT masih tinggi. Hal-hal tersebut menjadikan EBT masih sulit bersaing dengan teknologi berbahan bakar fosil yang berefisiensi tinggi dan mudah didistribusikan. Selain dari hal tersebut, saat ini harga energi nasional masih rendah, sehingga membuat teknologi EBT makin sulit berkembang. Tabel 1. Sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia Kapasitas No Sumber energi Potensi terpasang 1 Panas bumi 2 Hidro 3 Minimikrohidro 4 Biomasa 16.52 MW (Cadangan) 75. MW (Sumberdaya) 769,7 MW (Sumberdaya) 13.662 MWe (Cadangan) 1.341 MW (Sampai Mei 213) 7.59 MW 512 MW 1.364 Mwe 75,5 Mwe (On Grid) No Sumber energi Potensi Kapasitas terpasang 5 Energi surya 4,8 kwh/m /day 42,78 MW 6 Energi angin 3-6 m/s 1,33 MW 7 Uranium 3 MW 3 MW 8 Gas metana batubara (CBM) Shale gas 9 Sumber: Ditjen EBTKE, 213 453 TSCF (Sumberdaya) 574 TSCF (Sumberdaya) Dalam skenario, pasokan EBT di tahun 212 menyumbang peranannya sebesar 7,8% dalam total pasokan energi nasional. Namun dengan makin berkembangnya teknologi EBT serta makin beragamnya jenis EBT yang dapat diterapkan, sehingga EBT berkembang dengan laju pertumbuhan cukup tinggi yaitu sebesar 8,5% per tahun yang menyebabkan pangsanya meningkat hingga 14,6% di tahun 235. Energi Baru dan Terbarukan yang dipertimbangkan dalam kajian ini adalah panas bumi, energi air termasuk minihidro dan mikrohidro, energi surya, energi angin, biomasa, Bahan Bakar Nabati (BBN), CBM, kelautan dan Nuklir. Di tahun dasar, 212, yang dapat bersaing adalah energi panas bumi, energi air, biomasa dan BBN. Kemudian dengan perkembangan teknologi dan pertimbangan investasi dan harga energi, energi lainnya seperti solar, angin, CBM, CTL, kelautan dan nuklir mulai bersaing dalam bauran energi nasional. Total peranan EBT menjadi sebesar 629 juta SBM pada tahun 235. Peranan EBT dalam bauran energi nasional dapat dilihat pada Gambar 5. Kondisi di tahun 212, peranan yang mendominasi total EBT adalah biomasa dengan pangsa 43%, hidro (32%) dan energi panas bumi (21%), namun dengan perkembangan teknologi dan persaingan harga energi pada tahun 235 peranan energi panas bumi menjadi dominan (37%), diikuti oleh hidro (23%) dan biomasa (8%) terhadap total EBT. 6

8 6 4 2 7,8% 12 Proyeksi 8,1% 122 13,1% 259 14,8% 387 Gambar 5. Proyeksi penyediaan EBT dan rasio kontribusi EBT skenario dasar (Sumber : Olahan dari OEI 214-BPPT [2] ) Untuk skenario tinggi, pasokan EBT tumbuh dengan laju pertumbuhan sebesar 8,8% per tahun, atau naik sedikit dibandingkan dengan kondisi EBT di skenario. Dengan bertambahnya penyediaan energi total pada skenario, dimana perkembangan EBT tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan skenario, maka pangsa EBT mulai tahun 22 mengalami penurunan dan pada tahun 235 menjadi lebih kecil yaitu sebesar 11,9%. Lihat Gambar 6. Kenaikan pasokan EBT dalam skenario tidak terlalu siknifikan, yaitu sebesar 4,8 juta SBM di tahun 235, yang merupakan kenaikan pasokan BBN yang mengikuti kenaikan BBM sesuai Mandatori Biofuel. Sedangkan pasokan EBT lainnya seperti panas bumi, air dan biomasa tetap pada kemampuan produksi yang sama dengan yang dipertimbangkan dalam Skenario. 12 9 6 3 Gambar 6. Perbandingan proyeksi penyediaan EBT skenario dasar dan tinggi (Sumber : Olahan dari OEI 214-BPPT [2] ) 15,% 51 212 215 22 225 23 235 Historikal 7,8% 8,2% 7,8% 8,1% Proyeksi +.84 13,1% 12,6% + 4.46 14,8% 13,4% + 11.95 14,6% 629 15,% 12,9% 16% 14% 12% 1% 8% 6% 4% 2% % + 3.26 Rasio Kontribusi EBT 14,6% Kelautan Panas Bumi Nuklir Matahari Hidro Biomasa Angin CTL BBN CBM Total EBT Rasio Kontribusi EBT 2% 16% 11,9% + 4.83 12% % 212 215 22 225 23 235 Total EBT, Selisih - Rasio EBT, Rasio EBT, 8% 4% Rasio EBT 6. Indikator Energi Indikator Energi diindikasikan dengan intensitas energi yang merupakan perbandingan antara total pasokan energi terhadap PDB, juga dapat ditunjukkan dengan perbandingan antara total pasokan energi per kapita. Indikasi dari kedua perbandingan ini dapat menunjukkan tingkat kemakmuran dan mengindikasikan makin efisien/borosnya pemakaian energi di suatu negara. Dalam studi ini menunjukkan bahwa pasokan energi per kapita (penduduk) meningkat. Hal ini menunjukkan tingkat kemakmuran negara meningkat sejalan dengan bertambahnya penduduk. Dalam skenario dasar perbandingan pasokan energi terhadap penduduk meningkat sebesar 3,7%. Sejalan dengan meningkatnya PDB pada skenario tinggi, maka perbandingan ini juga meningkat dengan laju pertumbuhan lebih tinggi sebesar 4,9% per tahun. Sebaliknya dalam intensitas energi perbandingan antara pasokan energi terhadap PDB, dalam kajian ini menunjukkan pemakaian energi yang makin efisien. Dalam dua tahun pertama terlihat penggunaan energi menjadi lebih boros, namun kemudian dengan adanya perubahan teknologi pemakaian energi terhadap ekonomi menjadi lebih efisien. Dalam perbandingan penggunaan energi terhadap ekonomi untuk kedua skenario tidak menunjukkan banyak perbedaan. Hal ini diakibatkan adanya kenaikan ekonomi juga didukung oleh kenaikan penggunaan energi. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 7. TOE/populasi 3, 2,5 2, 1,5 1,,5, Pasokan Energi/penduduk () Pasokan Energi/penduduk () Pasokan Energi/GDP current () Pasokan Energi/GDP current () 212 213 214 215 216 217 218 219 22 221 222 223 224 225 226 227 228 229 23 231 232 233 234 235 Gambar 7. Intensitas Pasokan Energi Terhadap penduduk dan PDB,3,25,2,15,1,5, TOE/ US$ 7

(Sumber : Olahan dari OEI 214-BPPT [2] ) Indikator energi lainnya yang menunjukkan tingkat kemajuan suatu negara adalah dengan mengetahui penggunaan peralatan berbasis listrik. Konsumsi listrik nasional masih dibawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang pada tahun 211 sudah mencapai 4.232 kwh/kapita [3] dan 2.218 kwh/kapita [3]. Pada buku Key World Energy Statistics 213 tercatat bahwa kondisi Indonesia pada tahun 211 adalah sebesar 684 kwh/kapita, hamper sama dengan kondisi di India yaitu sebesar 673 kwh/kapita. Pada tahun 212, penggunaan listrik per kapita di Indonesia mengalami sedikit kenaikan yaitu sebesar 79 kwh/kapita kemudian pada tahun 235 mencapai 2.953 kwh/kapita pada skenario dan 4.21 kwh/kapita pada skenario. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada tahun 235 untuk skenario baru dapat bersaing dengan kondisi kelistrikan Malaysia pada tahun 211. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya kondisi kelistrikan di Indonesia, antara lain karena kondisi kepulauan yang menyulitkan pembangunan infrastruktur jaringan listrik untuk dapat mencapai seluruh penduduk. Selain itu infrastruktur energi yang masih sulit mencapai seluruh wilayah kepulauan. Pada Gambar 8 berikut ini menggambarkan kondisi kelistrikan nasional per penduduk. Listrik/Kapita (kwh/populasi) 45 4 35 3 25 2 15 1 5 Listrik/penduduk () Listrik/penduduk () 212 213 214 215 216 217 218 219 22 221 222 223 224 225 226 227 228 229 23 231 232 233 234 235 Gambar 8. Konsumsi Listrik per penduduk (Sumber : Olahan dari OEI 214-BPPT [2] ) 7. Kesimpulan dan Saran Perkembangan kebutuhan energi nasional sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Teknologi peralatan yang digunakan dalam sektor pengguna akan mempengaruhi penggunaan bahan bakar. Hingga akhir proyeksi, BBM mendominasi kebutuhan energi nasional karena teknologi berbasis bahan bakar lebih efisien dan mudah eksistensinya. Pada tahun 235, penggunaan BBM mencapai 39% terhadap total pemanfaatan energi final. Untuk dapat menjadi negara maju, Indonesia harus dapat mendorong perkembangan sektor industri sebagai sumber ekonomi negara. Peranan sektor industri dalam kebutuhan energi final terus berkembang hingga tahun 235 menjadi 42% pada skenario dan 44% pada skenario. Namun dalam penyediaan energi pada akhir proyeksi didominasi oleh batubara karena makin besarnya pemakaian batubara di sektor ketenagalistrikan sesuai dengan target Fast Track Program (FTP) I dan FTP II, maka pada akhir proyeksi batubara menggeser posisi BBM. Perkembangan EBT tidak terlalu siknifikan, penyebabnya antara lain, efisiensi dalam teknologi berbahan bakar EBT relatif kecil (seperti tenaga surya, angin, dll), energi yang dihasilkan merupakan sumber energi setempat yang membutuhkan investasi cukup besar untuk membangun jaringan (seperti energi panas bumi, mikrohidro), investasi untuk menerapkan teknologi berbasis EBT tersebut masih tinggi. Diharapkan dengan diterapkannya harga ekonomi untuk pemanfaatan bahan bakar fosil dan pemberian insentif untuk penggunaan teknologi EBT akan mendorong penggunaan teknologi berbasis EBT di masa depan. Dengan mendorong perkembangan infrastruktur di sektor ketenagalistrikan, dengan demikian akan memacu pemakaian listrik di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah terpencil. Diharapkan dengan usaha ini akan menaikkan 8

indikator energi dan penggunaan listrik per kapita. Daftar Pustaka [1] Elinur, et.al, Perkembangan Konsumsi Dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia, Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE), ISSN 287-49X, Volume 2, Nomor 1, Desember 21, [2] Outlook Energi Indonesia 214, BPPT, 214 [3] Key World Energy Statistics 213, International Energy Agency (IEA) [4] Ditjen EBTKE, 213 9