Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah (1) sistem lambang bunyi yang arbiter, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; (2) percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun: baik budi nya. Menunjukkan bangsa, pada budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan). Sumarsono dan Partana (2002:20), mengatakan bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, yang merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan, perilaku masyarakat, dan penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa di dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat. Berbahasa tidak hanya berarti menyusun kata- kata, lebih dari itu menurut Garvin dan Mathiot, yang dikutip oleh Sumarsono dan Partana, (2002:364), di dalam berbahasa terdapat sikap bahasa yang setidaknya mengandung tiga ciri pokok yaitu, (1) language loyalty (kesetiaan berbahasa), (2) language pride (kebanggaan berbahasa) dan (3) awarness of the norm (kesadaran akan norma bahasa). Seseorang menggunakan bahasa pada dasarnya adalah sebagai alat untuk melakukan sesuatu, meminta sesuatu, membuat janji, melaporkan suatu berita, memberi salam, meminta maaf, mencari informasi dan mengundang seseorang di suatu acara. Tindak 1
tutur ini merupakan bagian dari suatu percakapan yang merupakan sesuatu hal yang kadang-kadang menimbulkan suatu masalah baik bagi penutur maupun petuturnya. Selain itu, salah satu masalah yang terjadi adalah hal-hal yang berhubungan dengan norma kesopanan. Ungkapan penerimaan dan penolakan merupakan bagian dari ungkapan persembahan dalam suatu tindak tutur atau tindak berbahasa (speech act). Tindak tutur adalah tindak komunikasi dengan tujuan khusus, cara khusus, aturan khusus sesuai kebutuhan, sehingga memenuhi derajat kesopanan, baik dilakukan dengan tulus maupun basa-basi. Dalam skripsi ini, penulis akan menggunakan teori pragmatik sebagai dasar dari analisis, dan teori kesopanan (politeness theory) Brown dan Levinson (1987), teori Danwa, yang kemudian dihubungkan dengan teori strategi penolakan menurut teori semantik Takahashi, Beebe dan Uliss Weltz (1990). Selanjutnya, menurut Muhammad Rohmadi (2004), teori tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956), seorang guru besar di Universitas Harvard, yang kemudian dibukukan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul How to do Things with words? Akan tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul Speech Acts : An Essay in the Philosophy of Language mengatakan bahwa dalam semua komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (fire performance of speech acts). Tindak tutur merupakan salah satu topik pembahasan dalam kajian pragmatik. Oleh karena itu, penulis memilih teori tindak tutur terutama mengenai cara penolakan yang 2
dilakukan dalam bahasa Jepang. Selain dilatar belakangi oleh tema yang manarik hati penulis, penulis juga ingin mengetahui lebih jauh tentang bagaimana cara yang dipakai orang Jepang ketika menolak sesuatu pemberian atau tawaran dari lawan bicara. Dan mengetahui sebab cara tersebut digunakan dalam masyarakat Jepang. Di dalam ilmu eksak untuk melihat dan menguji kepastian kebenaran kita tidak perlu menggunakan dan melihat unsur ekstrinsik konteks dan sebagainya, sedangkan di dalam ilmu sosial khususnya bidang bahasa harus menghubungkan dengan unsur-unsur ekstrinsik konteks sosial budaya dan sebagainya. Sebagai contoh, di dalam bahasa Jepang seperti dalam bahasa - bahasa lain memiliki bentuk ungkapan yang digunakan untuk memberikan penolakan terhadap ajakan dan atau permintaan lawan bicara. Untuk memahami keseluruhan informasi makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut harus dihubungan dengan konteks sosial budaya masyarakat Jepang. Apabila hanya melihat makna pada teks secara semantis tanpa melihat unsur ekstrinsik masyarakat penutur, maka akan diperoleh pemahaman yang tidak sempurna atau kurang lengkap. Sehingga, dapat menimbulkan kesalah pahaman di antara penutur dan petutur yang mengkibatkan rusak dan putusnya aktivitas berkomunikasi. Sebagai ilustrasi dari Subandi (2005), memperlihatkan sebuah bentuk percakapan. Percakapan ini dikutip dari hasil pengamatan penulis di lapangan, dengan karakter mahasiswa bahasa Jepang (A) yang akan meminta waktu kepada pengajar native (B) yang sedang menulis laporan hasil kerjanya yang harus sudah dikirim satu hari berikutnya, untuk melakukan konsultasi tentang materi perkuliahan. 3
A: すみません 今忙しいですか (Sumimasen, ima isogashii desuka) (Permisi, Bapak sekarang sedang sibuk?) B: いいえ 今ちょっと明日のためのレポートを書いているんですが 何かあるんですか (Iie, Ima chotto ashita no tame no repooto o kaiteirundesuga, nanika arun desuka) (Tidak, sekarang sedang menolis laporan untuk besok, ada apa?) Menurut Subandi (2005:7), dalam konteks seperti ini A selaku pembuka proses komunikasi telah mengawali dengan benar, yaitu menggunakan percakapan seperti A. Selanjutnya B selaku petutur juga telah memberikan respon yang benar dan telah memenuhi prinsip berkomunikasi. Yang perlu diperhatikan, kalimat yang disampaikan oleh B sebagai respon pada A secara semantik memiliki tiga jenis informasi, yaitu B menerangkan aktivitas yang sedang dilakukan bahwa ia sedang menulis ( kaiteiru). Sehingga dapat dikatakan bahwa secara semantik sebenarnya pihak B telah memberikan peluang kepada pihak A untuk melanjutkan proses komunikasi. Selain itu, informasi tersebut dimunculkan untuk membuat irama berakhirnya komunikasi lebih luwes. Artinya, meskipun A memiliki kesempatan menggunakan giliran menyambung proses komunikasi lebih lanjut, tetapi karena sudah dibatasi dengan informasi lain, sebenarnya B memiliki dua tugas yang harus segera dipenuhi. Yaitu, menjawab pertanyaan dan mengakhiri proses komunikasi untuk memenuhi tuntutan pada A. Sehingga pada akan lebih dapat diterima kalau berbentuk misalnya seperti berikut, はい 昨日の授業ですが 今忙しいので今度にします (Hai, kinou no jugyou 4
desuga, ima isogashii node, kondo ni shimasu) (Ya, sebenarnya mau tanya materi kuliah kemarin, tetapi karena sekarang sibuk besok-besok saja). Karena B tidak menginginkan komunikasi berakhir dengan dangkal, dan untuk lebih menjaga posisi A, B harus memunculkan informasi lain untuk memenuhi prinsip sopan santun. Selain itu, B sebenarnya juga telah melakukan tindakan kebohongan kepada A, karena tidak memberikan informasi yang sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan maksim kearifan, seperti yang dikemukakan Leech (1983:125). Maksim kearifan adalah salah satu bagian dari prinsip sopan santun, yang bertugas menciptakan ketenangan dan kenyamanan pada partisipan (Leech, 1983:24). Secara tidak langsung dengan kebohongan tersebut sebenarnya A telah berusaha menyelamatkan Prinsip Kerjasama. Dengan kebohongan tersebut diharapkan lawan bicara tidak merasa dirugikan sehingga hubungan di antara mereka tidak terganggu.sebaliknya B akan menyalahi kaidah berkomunikasi apabila memberikan jawaban yang sebenarnya Hai, isogashii desu (Ya, saya sibuk). Fenomena bahasa semacam ini sering muncul di dalam aktivitas berkomunikasi, khususnya dalam berkomunikasi dalam bahasa asing. Pemaknaan suatu bahasa merupakan kasil dari sebuah proses di dalam pikiran manusia. Di dalam pikiran manusia telah terdapat skema suatu ide yang diverbalkan dengan kata/bahasa sebagai penanda. Pengalaman ide tersebut melatarbelakangi penentuan informasi makna akhir. Selanjutnya teori ini juga dikembangkan dan dihubungkan dengan bidang pragmatik. Dalam pengembangannya pemaknaan pada kognitif semantik mencakup pada skema makna yang ada di dalam pikiran manusia Lecoff (1980). Artinya, untuk menemukan 5
informasi makna bahasa tidak dapat hanya dilihat dari unsur struktur luarnya saja, tetapi harus juga dikembalikan kepada ide yang melatarbelakanginya. 1.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan judul skripsi di atas, peneliti akan mengangkat permasalahan mengenai tindak tutur penolakan dalam komunikasi bahasa Jepang dengan korpus sebuah drama TV Jepang. 1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Dalam penulisan ini penulis akan menganalisis tentang teori tindak tutur dalam masyarakat Jepang. Dari beberapa jenis teori tindak tutur yang ada tersebut, penulis hanya akan membatasi permasalahan pada tindak tutur penolakan yang akan dianalisa dari percakapan lisan drama Jepang berjudul 14 Sai no Haha (2006). 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran dalam melakukan tindak tutur yang baik dalam budaya dan proporsi masyarakat Jepang, dan juga sebagai sarana untuk mendalami bahasa. Sehingga kita mengetahui dengan baik bagaimana caranya berbicara dengan orang Jepang ketika melakukan komunikasi 6
sehingga menyenangkan dan mengurangi terjadinya kesalahpahaman tanpa menimbulkan persepsi yang merugikan ketika mengawali dan mengakhiri percakapan. 1.5 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan semata - mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang terjadi pada penutur bahasa sehingga yang dihasilkan pada penelitian tersebut berupa perian bahasa yang sifatnya seperti potret, paparan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1991: 62). Kemudian dari data korpus tersebut, dianalisis sesuai dengan teori yang mendukungnya. Selanjutnya, Peneliti menggunakan metode kepustakaan dengan menggunakan teori dari berbagai buku dan jurnal yang mendukung penelitian. Buku dan jurnal yang dipakai berfungsi sebagai landasan teori dalam penelitian. Buku buku tersebut didapat dari Perpustakaan Universitas Bina Nusantara, Perpustakaan The Japan Foundation dan sumber lainnya. Selain itu, penulis juga mencari sejumlah sumber data yang diambil dari beberapa situs internet sebagai referensi rujukan dan serta jurnal online yang berkaitan dan dapat menunjang pembuatan skripsi ini. Kemudian menggunakan tehnik pengamatan audiovisual yaitu dengan cara mengamati objek penelitian melalui video rekaman berupa tindak tutur penolakan terhadap proporsi dalam bahasa jepang dalam drama seri Jepang. 7
1.6 Sistematika Penulisan Dalam bahasan permasalahan, sistematika penulisan dapat diuraikan menjadi 5 bab. Bab 1, merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Dengan tujuan agar para pembaca dapat memiliki gambaran awal isi dari penulisan skripsi ini. Bab 2, berisi uraian teori teori yang akan digunakan dalam menganalisis permasalahan yaitu mengenai teori tindak tutur penolakan dalam gramatikal bahasa Jepang sehari hari dan dilihat dari serial drama Jepang 14 Sai no Haha (Jyuuyon-sai no haha). Bab 3, penulis akan memaparkan analisis data yang merupakan sebuah pengamatan dan akan dihubungkan dengan teori teori pada bab 2 untuk menganalisis teori tindak tutur penolakan dalam percakapan bahasa Jepang sehari hari. Bab 4, penulis akan memberikan simpulan dari permasalahan maupun hasil analisis yang telah diteliti dan dimasukkan pula saran saran untuk menunjang penelitian. Bab 5, merupakan pengulangan kembali isi skripsi secara ringkas mengenai teori tindak tutur penolakan percakapan sehari hari bahasa Jepang dalam serial drama 14 sai no Haha. 8