BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode tatkala individu mengalami transisi dari

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Potensi yang dimiliki individu dapat tumbuh dan berkembang secara

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB II. Tinjauan Pustaka

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

Positive Self-Esteem (Self-Esteem Yang Sehat)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kelompok teman sebaya memiliki kedudukan yang penting bagi siswa

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan asset yang kelak akan menjadi penerus keluarga, menjadi

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BLUE PRINT SKALA KEMATANGAN VOKASIONAL. Kematangan vokasional merupakan kesiapan dan kemampuan individu dalam

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA. Skripsi

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

Teori Perkembangan Psikososial. Oleh : Yulia Ayriza

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dimulai pada tugas perkembangan masa dewasa awal, yaitu fase

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II LANDASAN TEORI

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PSIKOLOGI PELATIHAN FISIK

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB I PENDAHULUAN. Mengikuti Sanggar Pengembangan Kepribadian X Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Individu mulai mengenal orang lain di lingkungannya selain keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, keadaan dunia pendidikan di Indonesia mengalami. perkembangan. Salah satu perkembangan terbaru yang terjadi adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses yang melibatkan penguasaan suatu kemampuan, keterampilan, serta

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. seorang peserta didik adalah belajar. Menurut Gagne (Hariyanto, 2010), belajar

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak belajar tentang banyak hal, sejak lahir ke dunia ini. Anak belajar untuk mendapatkan perhatian, memuaskan keinginannya, maupun mendapatkan respon yang positif dan menyenangkan dari orang lain yang signifikan baginya. Anak adalah makhluk yang berkembang secara aktif dan energik. Banyak bagian hidupnya digunakan untuk bermain dan bereksplorasi aktif ke lingkungannya. Saat bermain tersebut ia belajar berbagai hal dan juga belajar tentang lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. Pada middle childhood, anak mulai mengembangkan pemahaman akan dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat. Pemahaman psikologis, misalnya Aku pintar dan populer atau Aku biasanya suka marah, tetapi sekarang aku sudah lebih baik. Aku juga merasa bangga bila berprestasi di sekolah. Anak-anak usia sekolah dasar mendefinisikan dirinya berdasarkan karakteristik sosial dan perbandingan sosial. Seringkali anak menggunakan acuan kelompok-kelompok sosial dalam mendeskripsikan diri (file.upi.edu). Misalnya menghayati bahwa dirinya dapat mengerjakan soal ulangan matematika siang tadi dengan mudah dibandingkan teman-temannya. Saat hasil ulangan dibagikan, biasanya anak-anak mulai membandingkan nilainya dengan teman-temannya yang lain. Apakah dirinya mendapatkan nilai yang lebih tinggi, rata-rata, atau lebih rendah dibandingkan nilai teman-temannya yang lain, dengan begitu anak akan

2 belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Penting bagi anak late childhood untuk menghargai dirinya sendiri agar memiliki citra yang positif (Santrock, 1997). Anak yang memiliki citra yang positif akan menilai positif terhadap dirinya, anak menilai dirinya mampu mengerjakan dan menyelesaikan sesuatu, maupun menilai dirinya menarik sehingga anak akan menghargai dirinya sendiri. Sangatlah bermakna bila anak lebih mengenali diri sendiri sehingga pada saat tumbuh dan berkembang menjadi individu dewasa, anak tersebut dapat menerima dan menghargai diri apa adanya, yang sekaligus mencerminkan selfesteem (Susan Harter, The Process of Parenting 4 th edition, 1996 Mayfield Pub., London, p.38; dari Harter, 1999). Self-esteem merupakan penilaian mengenai terhadap diri sendiri secara keseluruhan melalui perbandingan dirinya dengan orang lain (Brinthaupt & Erwin, 1992; dari Harter, 1999). Susan Harter mengkaji, self-esteem berdasarkan enam aspek, yaitu kompetensi akademik, penerimaan teman sebaya, kompetensi atletik, penampilan fisik, behavioral conduct, dan global self-worth. Anak yang menilai dirinya tinggi dalam kompetensi akademik merasa dirinya mampu dalam mengerjakan baik setiap tugas maupun ulangan yang diberikan, mendapatkan nilai-nilai yang bagus, maupun mudah memahami apa yang dijelaskan oleh gurunya. Anak yang menilai dirinya tinggi dalam penerimaan sebaya merasa dirinya populer, disukai oleh teman-temannya, dan memiliki teman yang banyak. Anak yang menilai dirinya tinggi dalam kompetensi atletik merasa dirinya mampu mengikuti permainanpermainan olahraga bahkan yang baru saja dipelajarinya, lebih senang untuk terlibat sebagai pemain dalam suatu tim, maupun saat ditunjuk sebagai kapten tim.

3 Anak yang menilai dirinya tinggi dalam penampilan fisik merasa senang dengan penampilan maupun tubuhnya sendiri. Anak yang menilai tinggi dalam behavioral conduct merasa dirinya bertingkah laku sesuai aturan sehingga tidak akan mendapatkan masalah. Sedangkan anak yang menilai tinggi dalam global self-worth merasa senang dan bahagia menjadi dirinya sendiri. Anak pun tidak harus menilai dirinya tinggi pada keseluruhan aspek untuk merasa berharga. Susan Harter juga menyatakan self-esteem itu perlu untuk perkembangan mental yang sehat (Susan Harter, 1999). Self-esteem merupakan komponen penting dalam perkembangan kepribadian anak. Menurut Santrock (2002) apabila anak memiliki self-esteem yang tinggi, maka anak itu percaya bahwa dirinya mampu memahami dan mengatasi suatu hal yang terjadi dalam kehidupannya dengan sikap yang positif. Anak yang memiliki sikap positif akan tidak mudah menyerah, memiliki harapan yang realistis sesuai kemampuannya, dan ramah pada orang lain. Anak yang memiliki self-esteem rendah akan menilai dirinya rendah bahkan menjadi tidak yakin pada kemampuan dirinya. Ketidakyakinan pada diri inilah yang menyebabkan seorang anak akan selalu menemui kesulitan untuk berprestasi. Anak yang memiliki self-esteem yang tinggi akan pandai dalam mengelola suatu kegagalan yang ditemuinya dan akan menerima kekurangankekurangannya dengan alasan-alasan yang rasional, tidak dengan mencari kambing hitam atau menggunakan defense mechanism yang irrasional. Jika anak selalu merasakan bodoh dan tidak memiliki harapan karena kegagalan yang dialaminya sampai pada akhirnya merendahkan diri sendiri, maka dia akan

4 terjerumus ke dalam rasa rendah diri yang mendalam (file.upi.edu/positifselfesteem). Seseorang yang memiliki self-esteem rendah akan mengalami ketidaknyamanan secara emosional (Santrock, 2002). Self-esteem rendah bisa saja bersifat sementara (temporary), namun ada pula yang berkembang ke arah masalah-masalah lain (Usher & others, 2000; Zimmerman, Copeland & Shope, 1997 dalam Santrock, 2002). Seperti misalnya anak dapat menjadi korban bullying karena selalu menilai dirinya negatif, tidak menunjukkan perlawanan dan tidak mampu menghayati bahwa dirinya tidak pantas diperlakukan kasar oleh teman-temannya. Self-esteem rendah pun dapat berimplikasi pada depresi, bunuh diri, anorexia nervosa, delinquency, dan masalah-masalah penyesuaian diri lainnya. Media Indonesia pernah memberitakan (13 Desember 2009), bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar keempat di dunia. Lebih lanjut, Rusli Lutan (2003:10-11) mengemukakan self-esteem bagi seseorang ibarat fondasi sebuah bangunan rumah. Self-esteem merupakan sebuah struktur penting bagi perkembangan kemampuan lainnya. Contohnya, bila selfesteem dan penilaian diri rendah maka prestasi yang dibangun justru tidak akan optimal. Ada keragu-raguan dalam melakukan segala sesuatunya sehingga justru menghambat segala sesuatu yang harus dilakukannya. Itulah sebabnya self-esteem harus dibangun sekokoh mungkin agar seseorang dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

5 Selain itu, self-esteem juga dapat menghindarkan anak dari tindakan bullying. Anak yang menghargai dirinya sendiri tidak akan membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan orang lain. Dirinya akan berusaha agar menjadi lebih cemerlang dibanding teman-temannya yang lain sehingga dengan begitu anak akan merasa diterima dan dinilai baik oleh orang dewasa maupun teman sebaya yang penting untuknya (www.mesacc.edu). Anak akan berusaha untuk menjadi unggul di bidang akademik, penerimaan sosial, bidang olahraga, penampilan fisik, tingkah lakunya yang sesuai aturan, maupun merasa bahagia menjadi diri sendiri. Mengingat pentingnya self-esteem bagi anak, peneliti melakukan wawancara terhadap 25 orang siswa kelas lima dan enam mengenai penilaian kompetensinya. Atas dasar itu diperoleh sekitar 12% anak menilai dirinya tinggi dalam aspek kompetensi akademik. Anak merasa dirinya cepat menyerap apa yang diterangkan guru di kelas, menjawab tugas maupun ulangan dengan mudah, maupun mendapatkan nilai-nilai yang bagus. Sekitar 16% anak menilai dirinya tinggi dalam aspek penerimaan sosial. Anak merasa dirinya memiliki teman yang banyak dan disukai oleh teman-temannya sehinggi menjadi populer. Sekitar 12% anak menilai dirinya tinggi dalam aspek kompetensi atletik dan karenanya terpilih menjadi anggota tim olahraga di sekolahnya. Sekitar 8% anak menilai dirinya tinggi dalam aspek penampilan fisiknya. Anak merasa puas dengan penampilan fisiknya dan secara umum merasa dirinya berharga di mata orang-orang disekitarnya. Sekitar 8% anak menilai dirinya tinggi dalam aspek behavioral conduct. Anak merasa bahwa dirinya mentaati peraturan sehingga dirinya tidak akan terlibat dengan masalah. Ada pula sekitar 8% anak menilai dirinya tinggi

6 dalam aspek global self-worth. Anak merasa senang dan bahagia menjadi dirinya sendiri. Ilustrasi di atas mengekspresikan penghayatan anak akan self-esteemnya yang tinggi (sebanyak 64%) dalam kompetensi akademik, penerimaan sosial, kompetensi atletik, penampilan fisik, behavioral conduct, dan global self-worth. Sedangkan sekitar 8% anak menilai dirinya rendah dalam aspek kompetensi akademik. Anak meskipun mendapatkan nilai yang bagus saat tugas ataupun ulangan bahkan menjadi juara kelas, namun tetap menilai dirinya rendah dalam bidang akademiknya karena ingin mendapatkan nilai yang sempurna dan ingin selalu menjadi nomor satu diantara teman-temannya. Sekitar 4% anak menilai dirinya rendah dalam aspek penerimaan sosial. Anak merasa bahwa dirinya tidak disukai oleh teman-temannya sehingga hanya sedikit yang ingin berteman dengannya. Sekitar 8% anak menilai dirinya rendah dalam aspek kompetensi atletik. Anak merasa dirinya tidak mahir dalam permainan olahraga apapun sehingga lebih baik menjadi penonton di pinggir lapangan saja. Sekitar 4% anak menilai dirinya rendah dalam penampilan fisik. Anak merasa tidak senang dengan bentuk tubuhnya maupun penampilannya secara keseluruhan. Sekitar 4% anak menilai dirinya rendah dalam aspek behavioral conduct. Anak merasa dirinya sering mendapatkan masalah karena tidak mentaati peraturan yang ada. Ada pula sekitar 8% anak menilai dirinya rendah dalam aspek global selfworth. Anak merasa tidak senang dengan dirinya sendiri. Ilustrasi di atas menunjukkan penghayatan anak yang memiliki self-esteem rendah (sebanyak 36%) dalam kompetensi akademik, penerimaan sosial, kompetensi atletik, penampilan fisik, behavioral conduct, dan global self-worth.

7 Berdasarkan paparan di atas, peneliti bermaksud untuk mengetahui secara empirik seperti apakah gambaran self-esteem pada anak late childhood, khususnya pada anak-anak kelas lima dan enam SD X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian ini diidentifikasi sebagai Seperti apakah gambaran self-esteem pada anak late childhood di SD X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Penelitian ini bermaksud memperoleh gambaran mengenai self-esteem pada siswa late childhood di SD X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tinggi-rendahnya self-esteem siswa SD X Bandung pada enam area kompetensi, yaitu kompetensi akademik, kompetensi fisik, penampilan fisik, penerimaan teman sebaya, behavioral conduct, dan global self-worth.

8 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Memanfaatkan kajian psikologi perkembangan dalam menilai self-esteem pada anak late childhood di SD X Bandung sehingga dapat diketahui seperti apakah anak-anak bersangkutan memandang positif atau negatif dirinya berdasarkan kompetensi-kompetensi tersebut. Manfaatkan kajian psikologi pendidikan dalam menilai self-esteem pada anak late childhood di SD X Bandung sehingga dapat diketahui seperti apakah anak-anak bersangkutan memandang positif atau negatif di sekolah berdasarkan kompetensi-kompetensi tersebut. Memberikan tambahan informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai derajat self-esteem. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada wali kelas di SD X Bandung mengenai self-esteem pada anak late childhood, agar pihak sekolah dapat menstimulasi anak untuk mengembangkan penilaian positif pada dirinya. Memberi informasi kepada para orang tua siswa mengenai self-esteem pada anak late childhood, agar dapat membantu anak dalam menstimulasi pengembangan penilaian positif pada dirinya. Memberi informasi kepada siswa mengenai pentingnya self-esteem, agar dapat mengembangkan penilaian positif pada dirinya.

9 1.5 Kerangka Pemikiran Childhood, yaitu masa kanak-kanak, merupakan suatu periode dalam selfdiscovery saat anak belajar banyak mengenai dirinya, misalnya penemuan dan pengenalan anak tentang kemampuannya di bidang akademis, ekstrakurikuler, dan aktivitas rekreasi juga dalam berelasi dengan orang lain. Setiap aktivitas yang dilakukan anak merupakan hal penting bagi perkembangannya, yaitu untuk memahami kompetensi dirinya secara menyeluruh. Apabila anak tersebut siswa sekolah dasar, maka dirinya harus mengetahui murid seperti apakah dirinya, atlet yang sehandal apakah dirinya dalam kegiatan olahraga yang ditekuninya, musisi yang handal memainkan alat musik apakah dirinya, atau teman seperti apa dirinya di mata teman-temannya. Penilaian-penilaian tersebut dapat diketahui melalui interaksi antara anak bersangkutan dengan orang-orang disekitarnya, termasuk teman-teman sekelasnya, berpartisipasi dalam permainan olahraga, usahanya dalam memainkan alat musik, dan interaksinya dalam konteks pertemanan dengan sebayanya. Banyaknya aktivitas yang diikuti kiranya akan membantu anak mendapatkan feedback dari orang lain yang pada akhirnya membantu anak bersangkutan dalam memahami dirinya sendiri (Santrock, 2002). Siswa kelas lima dan enam SD sedang berada pada rentang late childhood. Pada late childhood, seorang anak dapat menilai kemampuannya secara keseluruhan, menghasilkan penilaian negatif maupun positif tentang kapabilitas dirinya (Harter, 1998). Dirinya mulai membandingkan kemampuannya dalam bidang akademik, olahraga maupun dalam menjalin pertemanan sebanyakbanyaknya dengan orang-orang sebaya disekitarnya (Damon & Hart, dalam

10 Harter, 1999). Harter juga menyebutkan, anak late childhood dapat mengidentifikasi dirinya sebagai orang baik meskipun dirinya tidak unggul dalam bidang-bidang tertentu. Anak memahami bahwa dirinya baik setidaknya dalam salah satu bidang. Anak-anak tidak harus kompeten dalam semua bidang untuk menilai dirinya berharga, misalnya bisa saja anak merasa dirinya kompeten dalam mata pelajaran matematika dan perasaan kompeten tersebut didukung dan diakui oleh lingkungan sekitarnya, sehingga akan menimbulkan rasa bangga pada dirinya. Anak tersebut akan menilai dirinya positif dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap peningkatan rasa keberhargaan diri. Oleh karena itu sejak dini anak harus mampu menilai dirinya secara positif sehingga akan menghargai dirinya sendiri (Gonzales-Mena, 2009). Penilaian mengenai diri sendiri disebut self-esteem. Self-esteem merupakan penilaian mengenai kepuasan terhadap diri sendiri secara keseluruhan dan membandingkannya dengan orang lain (Brinthaupt & Erwin, dalam Harter, 1999). Self-esteem pun merupakan hal yang penting dalam perkembangan anak, yaitu prediktor dalam menentukan kesuksesan seorang anak di sekolah maupun dalam menguasai suatu keahlian. Self-esteem dibagi lagi menjadi enam bagian, yaitu kompetensi akademis, kompetensi atletik, penampilan fisik, penerimaan teman sebaya, behavioral conduct, dan global self-worth (Susan Harter, 1985). Pertama adalah kompetensi akademis, merujuk pada penilaian anak atas kemampuannya dalam bidang akademis. Misalnya saja anak kelas lima dan enam SD yang memiliki self-esteem yang tinggi akan menilai dirinya mampu menyelesaikan tugas-tugannya dengan baik sehingga berpeluang untuk mendapatkan nilai

11 memuaskan. Sedangkan anak kelas lima dan enam SD yang menunjukkan selfesteem yang rendah saat menerima tugas sudah menilai dirinya tidak akan mampu menyelesaikan soal tersebut dengan baik. Kedua adalah kompetensi atletik, merujuk pada penilaian anak terhadap kemampuannya dalam bidang olahraga. Anak kelas lima dan enam SD dengan self-esteem tinggi akan menilai dirinya pasti mampu untuk mengikuti berbagai macam permainan olahraga dan merasa lebih baik dibandingkan dengan temantemannya. Sedangkan anak kelas lima dan enam SD dengan self-esteem rendah akan merasa kesulitan dalam bidang olahraga apalagi untuk mencoba permainan olahraga yang baru sehingga akan lebih memilih menonton di pinggir lapangan saja. Ketiga adalah penampilan fisik, merujuk pada penilaian anak terhadap penampilan fisiknya. Anak kelas lima dan enam SD yang menunjukkan tingginya self-esteem merasa puas dengan bentuk tubuhnya serta segala sesuatu yang ditampilkannya secara fisik. Sedangkan anak yang memiliki self-esteem rendah cenderung tidak menyukai penampilannya, tidak puas dengan keadaan fisiknya, dan menyamakan keadaan dirinya dengan teman yang tidak populer. Keempat adalah penerimaan sosial, merujuk pada penilaian anak tentang penerimaan sosial dirinya. Anak kelas lima dan enam SD yang memiliki selfesteem tinggi akan memiliki teman yang banyak dan populer di mata teman sebayanya. Anak-anak ini tidak memiliki kesulitan berarti untuk menjalin relasi dengan orang-orang yang baru ditemuinya pada kesempatan pertama. Sedangkan anak kelas lima dan enam SD dengan self-esteem rendah memiliki kesulitan

12 dalam menjalin relasi dengan sebayanya dan cenderung lebih senang menyendiri karena tidak memiliki teman dekat. Kelima adalah behavioral conduct, merujuk pada penilaian anak terhadap perilakunya secara umum, seberapa santunkah perilakunya di mata orang sekitarnya, seberapa patuh dirinya menjalani aturan-aturan sekolah dan rumahnya. Anak kelas lima dan enam SD yang self-esteemnya tinggi pada area kompetensi ini merasa bahwa perilakunya sudah sesuai dengan tuntutan lingkungannya dan cenderung tidak mencoba-coba untuk mencari masalah. Sedangkan anak kelas lima dan enam SD yang memiliki self-esteem rendah bertingkah laku tidak semestinya seperti melanggar aturan yang menyebabkan dirinya mendapat hukuman. Keenam adalah global self-worth, merujuk pada penilaian anak terhadap kapabilitas dirinya sendiri secara menyeluruh, merasa bahagia dengan menjadi dirinya sendiri dan dengan apa yang telah dilakukannya. Sedangkan anak kelas lima dan enam SD yang menunjukkan self-esteem yang rendah merasa tidak puas dengan apa yang telah dilakukannya bahkan tidak bahagia menjadi dirinya sendiri dan berharap menjadi orang lain. Self-esteem yang tinggi merupakan pegangan anak late childhood dalam menghadapi tantangan hidup juga dalam mengembangkan kepribadian yang sehat. Anak yang memiliki self-esteem yang tinggi biasanya mampu menyelesaikan konflik yang misalnya saja terjadi dengan temannya atau saudaranya. Selain itu anak mampu menghadapi tekanan negatif, seperti pengharapan lingkungan yang berlebih dan tidak sesuai dengan kemampuan anak secara lebih mudah. Anak

13 yang memiliki self-esteem adalah anak yang realistik atas kemampuan dirinya dan optimis dalam menghadapi rintangan-rintangan yang ada. Selain itu anak-anak akan senang berinteraksi dengan orang lain, adanya perasaan nyaman dalam suatu lingkungan sosial dan menikmati kegiatan kelompok sebagaimana cara anak untuk menjadi independen. Anak yang memiliki self-esteem tinggi saat menghadapi tantangan akan mencari solusinya dan mampu menyuarakan ketidaksukaannya tanpa merendahkan dirinya maupun orang lain. Contohnya saat anak kelas lima dan enam SD mengalami kesulitan dalam memahami suatu penjelasan dari gurunya, anak akan mengatakan, Saya masih tidak mengerti, daripada mengatakan, Saya memang bodoh. Anak mengetahui kekuatan dan kelemahannya, dan menerima dirinya apa adanya (Sheslow, 2008). Sedangkan anak yang memiliki self-esteem rendah saat menghadapi tantangan akan merasa cemas dan frustrasi. Anak akan berpikir negatif tentang dirinya dan merasa sulit dalam menemukan solusinya. Adanya pemikiran selfcritical seperti Saya jelek, saat merasa dirinya tidak semenarik teman-temannya yang populer atau Saya tidak dapat menyelesaikan soal-soal ini, saat menghadapi kesulitan dalam mengerjakan tugas sehingga anak dapat menjadi pasif, menarik diri, atau depresi. Jadi saat anak dengan self-esteem rendah menghadapi tantangan akan langsung dijawab dengan Saya tidak bisa. Anak pun tidak ingin mencoba hal-hal baru dan sering berbicara negatif mengenai dirinya seperti: Saya bodoh, Saya tidak bisa menyelesaikannya, atau Tidak ada teman-teman yang peduli dengan saya. Anak menunjukkan toleransi yang rendah pada frustrasi, menyerah dengan mudah atau menunggu orang lain untuk

14 membantunya saat menghadapi kesulitan. Selain itu anak menjadi terlalu mengkritik dan mudah kecewa dengan dirinya (Sheslow, 2008). Keenam aspek self-esteem dapat dimaknai berbeda-beda oleh masingmasing anak, karena pada dasarnya pemaknaan itu dipengaruhi oleh relasi anak dengan orangtua dan relasi anak dengan lingkungannya. Berdasarkan pemaknaan yang tentu saja berisi penilaian-penilaian atas kapabilitas anak di mata lingkungannya itu, maka akan menghasilkan penghayatan anak akan selfesteemnya, positifkah atau negatifkah. Menurut Harter (1999), respon maupun opini dari orang lain dalam selfevaluations melibatkan suatu proses internalisasi pada sikap orang lain terhadap dirinya. Anak membutuhkan pengakuan dari orang-orang di lingkungan yang signifikan bagi dirinya. Dukungan dari orang yang signifikan seperti orang tua, teman sebaya, dan guru sangat penting bagi perkembangan self-esteem anak, maka jika anak tidak mendapat dukungan akan berpengaruh buruk pada perkembangan kepribadian anak. Anak merasa tidak dihargai dan diakui oleh orang-orang yang signifikan dalam hidupnya. Orang tua memberikan pengaruh yang cukup besar dalam setiap aspek kehidupan anak. Orang tua yang memberikan respon positif berupa perhatian saat anak mengalami kebahagiaan maupun permasalahan juga feedback yang membangun saat anak melakukan kesalahan, akan membuat anak merasa dihargai. Oleh karena itu anak pun akan menghargai dan menilai dirinya pun positif dan meningkatkan self-esteem anak. Orang tua yang memberikan respon negatif berupa cibiran ataupun ketidakpedulian saat anak mendapatkan kebahagiaan maupun permasalahan, akan

15 membuat anak merasa tidak dihargai sehingga anak pun menilai dirinya negatif dan menurunkan self-esteem anak. Adapula teman sebaya yang juga memberikan pengaruh saat anak mulai mengenal pertemanan. Teman yang memberikan respon positif berupa dukungan maupun feedback yang membangun saat anak mendapatkan kebahagiaan maupun permasalahan membuat anak merasa dirinya dihargai sehingga anak menilai dirinya positif. Hal itu akan meningkatkan self-esteem anak. Sedangkan teman yang memberikan respon negatif berupa ketidakpedulian bahkan cemoohan saat anak mendapatkan kebahagiaan maupun permasalahan akan membuat anak merasa tidak dihargai, sehingga anak pun menilai dirinya negatif. Hal itu akan menurunkan self-esteem anak. Selain itu guru memiliki pengaruh selama anak mengenyam pendidikan. Guru yang memberikan respon positif berupa dukungan, pujian, dan feedback yang membangun saat anak mendapatkan kebahagiaan maupun permasalahan akan membuat anak merasa dihargai. Anak akan menilai dirinya positif sehingga meningkatkan self-esteem dirinya. Guru yang memberikan respon negatif berupa ketidakpedulian bahkan cemoohan saat anak mendapatkan kebahagiaan maupun permasalahan akan membuat anak merasa tidak dihargai. Anak akan menilai dirinya negatif sehingga menurunkan self-esteem anak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema kerangka pikir berikut ini.

16 Orang tua Teman Guru Internalisasi Anak pada masa late childhood Self-esteem Tinggi Rendah Aspek-aspek self-esteem: Kompetensi akademik Kompetensi atletik Penampilan fisik Penerimaan teman sebaya Behavioral conduct Global self-worth Bagan 1.5 Kerangka Pikir

17 1.6 Asumsi Anak yang menilai dirinya kompeten dalam salah satu aspek merupakan isyarat dari self-esteem yang tinggi. Self-esteem yang tinggi akan menjadi prediktor bagi berkembangnya kepribadian yang sehat. Anak yang menilai dirinya rendah dalam semua aspek, merupakan isyarat bagi peluangnya mengembangkan kepribadian yang tidak sehat dan sekaligus menjadi cikal-bakal terjadinya gangguan perilaku. Self-esteem akan diinternalisasikan oleh anak berdasarkan penilaian atas kompetensi dirinya yang diberikan oleh lingkungan (orang tua, teman sebaya,dan guru).