BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab 2. Nilai Batas Dosis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 RADIOGRAFI PANORAMIK. secara umum di kedokteran gigi untuk mendapatkan gambaran utuh dari keseluruhan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tenaga kesehatan membutuhkan cara untuk mendukung pekerjaan agar terlaksana

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini survei deskriptif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat bantu pengumpul data.

BAB I PENDAHULUAN. tepat menghasilkan kualitas gambar intraoral yang dapat dijadikan untuk. sebelumnya (Farman & Kolsom, 2014).

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB. I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. bersinggungan dengan sinar gamma. Sinar-X (Roentgen) mempunyai kemampuan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Perbandingan rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1 hingga 4:1.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Teknik radiografi yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi ada dua yaitu teknik intraoral dan ekstraoral.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT MENGENAI PEMERIKSAAN FOTO RONSEN DALAM BIDANG KEDOKTERAN GIGI DI KABUPATEN BARRU SKRIPSI

RADIOLOGI KEDOKTERAN GIGI. Ghita Hadi Hollanda, drg

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keparahannya berbanding lurus dengan dosis dan memiliki ambang batas. Jika

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. gigi, mulut, kesehatan umum, fungsi pengunyahan, dan estetik wajah.1 Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker kepala dan leher merupakan salah satu tumor ganas yang banyak

untuk melihat area yang luas pada rahang atas dan rahang bawah pada satu film c. Foto ekstraoral

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langsung maupun tidak langsung. Interaksi antara sinar X dengan sel akan terjadi

BAB I. dalam kehidupan sehari-hari. Kesehatan pada dasarnya ditunjukan untuk. untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Penyakit gigi dan mulut

BUKU PANDUAN PROGRAM PROFESI DOKTER GIGI RADIOLOGI KEDOKTERAN GIGI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan Computed Tomography (CT scan) merupakan salah salah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.

BAB 1 PENDAHULUAN 3,4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGUKURAN DOSIS PAPARAN RADIASI DI AREA RUANG CT SCAN DAN FLUOROSKOPI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG. Novita Rosyida

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid.

BAB III Efek Radiasi Terhadap Manusia

BAB 2 EKSTRAKSI GIGI. Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN KLINIS DAN PERAWATAN ANOMALI ORTODONTI PADA PENDERITA SINDROMA WAJAH ADENOID YANG DISEBABKAN OLEH HIPERTROPI JARINGAN ADENOID

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan para tenaga kerjanya (Siswanto, 2001). penting. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

LEMBAR PENGESAHAN. No. Dok : Tanggal : Revisi : Halaman 1 dari 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME. Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Proteksi Radiasi

RADIASI PENGION DAN PENGARUHNYA TERHADAP RONGGA MULUT

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan, dan perbaikan dari keharmonisan dental dan wajah. 1 Perawatan

BAB I PENDAHULUAN. secara keseluruhan karena dapat mempengaruhi kualitas kehidupan termasuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maturitas adalah proses pematangan yang dihasilkan oleh pertumbuhan dan

III. RENCANA PERAWATAN

RONTGEN Rontgen sinar X

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tindakan tertentu, maupun terapetik. Di antara prosedur-prosedur tersebut, ada

Perbandingan Otsu Dan Iterative Adaptive Thresholding Dalam Binerisasi Gigi Kaninus Foto Panoramik

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Pedersen, 1966). Selama melakukan prosedur pencabutan gigi sering ditemukan

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di

BAB I PENDAHULUAN. meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi perhatian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengantar skills lab INTERPRETASI RADIOGRAFIK DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI. Hanna H. Bachtiar Iskandar Menik Priaminiarti

PERBANDINGAN DOSIS DAN KUALITAS GAMBAR RADIOGRAFI PANORAMIK KONVENSIONAL DENGAN RADIOGRAFI PANORAMIK DIGITAL

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

BAB I PENDAHULUAN. prognosis dan rencana perawatan khususnya pasien dengan pertumbuhan

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiografi Kedokteran Gigi Dalam bidang kedokteran gigi, pemeriksaan radiografi memiliki peran yang sangat penting. Hampir semua perawatan gigi dan mulut membutuhkan data dukungan pemeriksaan radiografi agar perawatan yang dilakukan mencapai hasil yang optimal. 1,2 2.1.1 Definisi Radiografi Kedokteran Gigi Radiografi kedokteran gigi adalah suatu teknik yang digunakan untuk mendapatkan gambaran keadaan atau kelainan yang tidak terlihat secara klinis di rongga mulut, memberikan hasil berupa foto ronsen dimana dapat memberikan gambaran yang bergradasi dari hitam sampai putih, membantu dalam menegakkan diagnosa dan menentukan rencana perawatan penyakit di rongga mulut. Radiografi merupakan langkah awal untuk mendeteksi keparahan penyakit. 2 2.2 Klasifikasi Radiografi Kedokteran Gigi Radiografi kedokteran gigi ada dua macam yaitu radiografi intra oral dan radiografi ekstra oral. 2 2.2.1 Radiografi Intra Oral Adalah radiografi yang memperlihatkan gambaran gigi dan struktur disekitarnya, dimana filmnya diletakkan didalam mulut pasien. Pemeriksaan intra oral merupakan pokok dari radiografi kedokteran gigi. 2

Tipe radiografi intra oral yaitu : a. Periapikal radiografi Adalah pemeriksaan radiografi yang hanya menggambarkan beberapa gigi saja (2-4 gigi) secara individual beserta jaringan pendukung disekitarnya. Teknik yang digunakan adalah paralelling dan bisekting. Pemeriksaan radiografi bisekting merupakan teknik yang paling rutin dilakukan dalam radiografi kedokteran gigi, karena dianggap lebih mudah dan praktis dalam pelaksanaannya dibandingkan dengan teknik paralelling. 2 Pada pemeriksaan bisekting, film ditempatkan sedekat mungkin dengan gigi, sumbu panjang gigi membentuk sudut pada film. Posisi film tidak sejajar dengan sumbu panjang gigi dan sumbu film. Arah sinar tegak lurus terhadap bidang yang dibentuk oleh sumbu panjang gigi dan sumbu film, konus yang digunakan adalah konus pendek. Sedangkan pada teknik paralelling, posisi film didalam mulut terhadap sumbu panjang gigi adalah sejajar dan arah sinar tegak lurus terhadap bidang film. 2 b. Interproksimal radiografi Digunakan untuk memeriksa crown, crest tulang alveolar di maksila dan mandibula, serta daerah interproksimal gigi yang dilakukan sekaligus dalam satu film. Teknik ini dilakukan dengan cara menggigit sayap dari film untuk stabilisasi film didalam mulut dengan sudut antara bidang vertikal dengan konus sebesar 0-10 derajat. 2 c. Oklusal radiografi Digunakan untuk melihat area yang lebih luas pada maksila dan mandibula dalam satu film. Oklusal radiografi juga digunakan untuk melihat lokasi akar gigi, supernumerary teeth, gigi tidak erupsi, salivary tone di saluran kelenjar submandibular, evaluasi dari perluasan lesi seperti kista, tumor, serta mengukur perubahan dalam bentuk dan ukuran dari maksila dan mandibula. Film yang digunakan adalah film oklusal atau film khusus. 2

2.2.2 Radiografi Ekstra Oral Merupakan pemeriksaan radiografi yang lebih luas pada kepala dan rahang. Film yang digunakan berada diluar mulut. 1,3 Tipe radiografi ekstra oral yaitu : a. Panoramik Digunakan untuk melihat perluasan suatu lesi atau tumor, fraktur rahang dan fase gigi bercampur. Panoramik juga akan memperlihatkan daerah maksila dan mandibula yang lebih luas sekaligus dalam satu film. 3 b. Lateral Jaw Digunakan untuk melihat keadaan disekitar lateral tulang muka, diagnosa fraktur dan keadaan patologis tulang tengkorak dan muka. 3 c. Lateral Cephalometric Digunakan untuk melihat tengkorak tulang wajah akibat trauma suatu penyakit, serta kelainan pertumbuhan dan perkembangan. Teknik ini juga digunakan untuk melihat jaringan lunak nasofaringeal, sinus paranasal dan palatum keras. 3 d. Postero-anterior Digunakan untuk melihat keadaan penyakit, trauma atau kelainan pertumbuhan dan perkembangan tengkorak. Teknik ini juga memberikan gambaran struktur wajah antara lain yaitu sinus frontalis dan ethmoidalis, fossanasalis, dan orbita. 3 e. Antero Posterior Digunakan untuk melihat kelainan pada bagian depan maksila dan mandibula, gambaran sinus frontalis, sinus ethmoidalis, serta tulang hidung. 3 f. Proyeksi Water s Digunakan untuk melihat sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis, sutura zigomatikum frontalis, dan rongga nasal. 3

g. Proyeksi Reverse-Towne Digunakan untuk pasien yang kondilusnya mengalami perubahan tempat, serta melihat dinding postero lateral pada maksila. 3 h. Proyeksi Submantovertex Digunakan untuk melihat dasar tengkorak, posisi kondilus, sinus sphenoidalis, lengkung mandibula, dinding lateral sinus maksila dan arcus zigomatikus. 3 2.3 Prosedur Penggunaan Radiografi Kedokteran Gigi Prosedur yang harus dilalui dalam penggunaan radiografi kedokteran gigi adalah sebagai berikut: 1. Izin dari dokter/dokter gigi Dalam melakukan radiografi kedokteran gigi, selain harus memiliki pengetahuan yang luas tentang radiografi juga diperlukan izin dari dokter/dokter gigi jaga yang menentukan penggunaan radiografi. Pada Fakultas Kedokteran/Kedokteran Gigi, selain berguna untuk membimbing mahasiswa kepaniteraan klinik dalam hal pemeriksaan klinis, izin dari dokter/dokter gigi jaga juga sangat berguna agar tidak terjadi penyalahgunaan nantinya dalam melakukan radiografi. 4 2. Persiapan Proteksi Radiasi a. Persiapan Operator : 4 - Operator memakai pakaian pelindung - Operator berdiri dibelakang dengan mengambil jarak menjauh dari sumber x- ray pada saat melakukan penyinaran - Pastikan pasien tidak melakukan pergerakan pada saat penyinaran - Matikan alat setelah selesai digunakan dan kembalikan posisi kepala pada tempatnya - Ambil kaset dan kemudian kaset siap untuk diproses.

b. Persiapan Pasien : 4 - Untuk melakukan pemeriksaan dengan menggunakan sinar-x hanya dilakukan atas permintaan dokter atau dokter gigi - Pemakaian filtrasi maksimum pada sinar primer - Pemakaian voltage yang lebih tinggi sehingga daya tembusnya lebih kuat - Jarak fokus pasien jangan terlalu dekat, hal ini sesuai dengan hukum fokus Kuadrat terbalik yaitu intensitas sinar-x berbanding terbalik dengan jarak pangkat dua - Daerah yang disinar harus sekecil mungkin - Waktu penyinaran harus sesingkat mungkin - Melindungi alat kelamin sebisanya - Pasien hamil, terutama pada trimester pertama tidak dibolehkan untuk melakukan radiografi c. Persiapan Lingkungan : 4 - Memastikan perangkat sinar-x digunakan dengan teknik yang baik - Mengurangi efek maksimal dari kemungkinan kebocoran dengan menggunakan kepala tabung harus radiopak - Filtrasi dari bekas sinar-x dengan mengatur ketebalan filter, dimana ketebalan filter tergantung pada tegangan operasi dari peralatan sinar-x. d. Penggunaan Apron Apron merupakan suatu benda yang terbuat dari timah dan dilapisi karet atau plastik yang dipakaikan pada pasien pada saat melakukan radiografi. Fungsinya adalah melindungi pasien dari paparan radiasi yang diterimanya. Dasar perlindungan terhadap radiasi adalah prinsip ALARA yaitu tidak peduli sekecil apapun dosis, efek merusak tetap ada. Penggunaan apron tidak sulit, tidak beresiko, nyaman dan sangat memperhatikan kepentingan kesehatan pasien. Penggunaan apron dapat mengurangi 98% paparan radiasi pada kelenjar gonad dan pada kelenjar tiroid hingga 92%. 5,12

3. Pemilihan Film dan Sensor a. Pemilihan Film Dibidang kedokteran gigi, terdapat dua jenis film yang digunakan yaitu : - Non-screen film (film intraoral) Jenis film yang digunakan untuk film intra oral dimana dibutuhkan kualitas gambar yang baik dan detail anatomi yang jelas. Ukuran film yang sering digunakan antara lain 31 x 41 mm (untuk periapikal), 22 x 35 mm (bitewing) dan 57 x 76 mm (untuk foto oklusal). 4,5 Film ini dikemas dalam satu paket yang terdiri dari : 1. Pembungkus luar dari plastik lunak yang berfungsi untuk melindungi dari cairan saliva yang dapat mengkontaminasi film. 2. Kertas hitam yang berfungsi untuk melindungi film dari cahaya yang dapat merusak film, dan mencegah masuknya saliva ke film. 3. Lead foil terletak dibelakang film, yang berfungsi untuk mencegah adanya sisa radiasi yang dapat melewati film menuju ke jaringan pasien. 4. Film, yang terdiri dari: - Plastic base merupakan bahan dasar yang transparan dan terbuat dari selulosa asetat dengan ketebalan ± 0,2 mm. - Lapisan adhesif (gelatin) yang memfiksasi emulsi melekat pada bahan dasar. - Lapisan pelindung (protective layer) yang berfungsi melindungi emulsi dari kerusakan mekanis. - Emulsi kristal AgBr. - Screen film (film ekstraoral) Jenis film ini saat penggunaanya dikombinasikan dengan intensifying screens pada cassette. Keuntungannya adalah digunakan tingkat eksposur yang pendek dari sinar-x, sehingga dosis radiasi yang diberikan ke pasien menjadi rendah. Namun, kualitas gambar yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan dengan non-screen film. Ukuran screen film, terdiri dari 15 cm x 30 cm (panoramik), 24 cm x 30 cm (cephalometry) dan 13 cm x 15 cm (carpal bone). 5

Bagian-bagian screen film sebenarnya sama dengan bagian non-screen film, tapi screen film memiliki : 1. Emulsi AgBr pada film ini lebih sensitif terhadap cahaya biasa daripada sinar-x. 2. Terdapat beberapa emulsi yang produksinya sensitif terhadap cahaya biru, cahaya hijau, dan cahaya merah. Tingkat sensitifitas tergantung dari jenis intensifying screen yang digunakan, yaitu : - Standard emulsi AgBr (sensitif terhadap cahaya biru) - Modifikasi emulsi AgBr dengan ultraviolet sensitizer (sensitif terhadap cahaya ultraviolet) - Emulsi orthochromatic (sensitif terhadap cahaya hijau) - Emulsi panchromatic (sensitif terhadap cahaya merah) b. Sensor Digital Imaging merupakan hasil interaksi sinar X dengan elektron dalam sensor pixel elektronik (elemen gambar), konversi data analog ke data digital, prosesing komputer, dan display gambar tampak pada layar komputer. Data didapat melalui sensor yang berkomunikasi dengan komputer. Digital imaging ini ada dua metode pengambilan gambarnya yaitu direk digital imaging dan indirek digital imaging. 4,5 - Direct Digital Imaging Metode direct digital imaging memproduksi gambaran dinamik yang menyediakan tampilan gambar secara langsung, peningkatan kualitas gambar, penyimpanan, retrieval, dan transmisi. Sensor digital lebih sensitive dibanding film dan menghasilkan paparan radiasi yang lebih rendah. Sensor direk digital imaging ada charge-coupled device (CCD) atau complementary metal oxidesemiconductor active pixel sensor (CMOS-APS). CCD digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk radiografi intraoral, panoramik dan sefalometri. Detektor CCD mempunyai permukaan aktif yang lebih kecil areanya dibandingkan detektor lain. 5

- Indirect Digital Imaging Metode indirect digital imaging menyiratkan gambar yang telah dipapar secara analog dan dikonversikan menjadi format digital. Teknik indirect digital imaging menggunakan scan optikal untuk mengkonversikan gambaran analog ke digital. Teknik ini membutuhkan scanner optical yang bisa memproses gambar transparan serta perangkat lunak yang sesuai untuk menghasilkan citra digital.contoh sensor gambar yang digunakan dalam metode ini adalah PSP (Photo stimuable Phosphor Plates). Foto ini diambil di plat fosfor sebagai informasi analog dan diubah menjadi format digital ketika plat diproses. PSP terdiri dari dasar poliester dilapisi dengan emulsi halida kristal yang mengubah radiasi-x menjadi energi yang tersimpan. 5 4. Melakukan Exposure Dalam melakukan eksposure, kita harus memperhatikan dosis radiasi, kv, dan ma yang akan diterima oleh pasien. White pada tahun 1990 yang mempublikasi ICRP mereferensikan nilai batas dosis dalam bidang kedokteran gigi. 4,5 Tabel 1. Dosis Efektif Dan Resiko Dari Setiap Teknik Radiografi Kedokteran Gigi. 4,7 Teknik sinar-x Dosis efektif (μsv) Dosis resiko terkena kanker fatal (perjuta) Radiografi intra oral 1-8,3 0,02-0,6 (bitewing/periapikal) Oklusal anterior maksila 8 0,4 Panoramik 3,85-30 0,21-1,9 Radiografi lateral sefalometri 2-3 0,34 Cross-sectional 1-189 1-14 CT-scan mandibula 364-1202 18,2-88 CT-scan maksila 100-3324 8-242

Menurut Eric Whaites (2007), dosis efektif pada pemeriksaan rutin gigi yaitu dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Dosis Efektif Pada Pemeriksaan Rutin Gigi. 7 Jenis Foto Dosis Efektif (μsv) Lateral 0,01 Bitewing/periapikal 0,001-0,008 Oklusal 0,008 Panoramik 0,004-0,03 Lateral Cefalometri 0,002-0,003 CT mandibula 0,36-1,2 CT maksila 0,1-3,3 Skull/Kepala 0,03 2.4 Efek Dosis Radiasi Kedokteran Gigi Dosis pasien dari radiografi biasanya sebesar yang diterima organ target, ukuran yang paling umum adalah paparan pada kulit atau permukaan. Paparan permukaan yang diperoleh secara langsung merupakan cara paling mudah untuk mencatat paparan pasien terhadap sinar X. Rincian jumlah yang kecil tetap dipakai untuk menghitung dosis yang diterima oleh organ yang berada atau dekat dengan titik pengukuran. 8 a. Dosis Aktif Sumsum Tulang Dosis aktif sumsung tulang berasal dari dosis jaringan spesifik yang sesuai dengan efek stokastik sebagian, leukemia. Dosis akut sumsum tulang adalah dosis radiasi rata-rata yang terdapat pada seluruh sumsum tulang aktif. Dosis sumsum tulang aktif yang berasal dari survey intraoral seluruh mulut dengan sudut bundar sekitar 0,142 msv. Sekali terekspos dengan sudut rectangular hanya sekitar 0,06 msv. Radiografik panoramik memberikan dosis sumsum tulang aktif sekitar 0,01

msv/ film. Sebagai perbandingan dosis tulang aktif dalam 1 film thorax adalah 0,03 msv. 8 b. Dosis Tiroid Besarnya kelenjar tiroid merupakan faktor penting dalam menentukan besarnya dosis yang diterima. Pemeriksaan mulut komplit dengan film A21 memberikan dosis tiroid 0,94 mgy. Nilai ini 1/6 dari pemeriksaan radiografi sinar servikal. Dosis tiroid dalam radiografi panoramik sekitar 74 μgy, 1% dari pemeriksaan spina servikal. 8 c. Dosis Kulit Total dosis radiasi yang dapat menyebabkan eritema (reddening) pada kulit adalah 250 rads (2,5 Gy) dalam waktu 14 hari. 8 d. Dosis Mata Lebih dari 200.000 mrads (2 Gy) dosis yang dapat menyebabkan katarak atau pengaburan lensa mata. Kornea mata yang terkena radiasi pada saat dilakukan radiografi gigi adalah berkisar 60 mrads (0,0006 Gy). 8 2.5 Efek Negatif Radiasi Sinar-X Radiografi selain memiliki sifat yang menguntungkan juga memiliki beberapa efek yang berdampak buruk pada tubuh maupun lingkungan. Ketika menembus jaringan tubuh, radiasi sinar ionisasi menimbulkan kerusakan pada tubuh, terutama dengan ionisasi atom-atom pembentuk jaringan. Indikasi radiasi yang merusak dalam tingkat atom akan menimbulkan perubahan molekul, yang menimbulkan kerusakan seluler, serta menimbulkan fungsi sel abnormal atau hilangnya fungsi sel. 8,13 Efek radiasi pada manusia merupakan hasil dari rangkaian proses fisik dan kimia yang terjadi segera setelah terpapar (10-15 detik), kemudian diikuti dengan proses biologi dalam tubuh. Proses biologi meliputi rangkaian perubahan pada tingkat molekuler, seluler, jaringan dan tubuh. Konsekuensi yang timbul dapat berupa kematian sel atau perubahan pada sel. Bergantung pada dosis radiasi yang diterima tubuh. 8,13

2.5.1. Efek non stokastik (Deterministik) Efek non stokastik adalah dimana paparan akut dosis relative tinggi, efek yang timbul merupakan hasil kematian dari sel yang dapat menyebabkan gangguan fungsi jaringan dan organ tubuh, bahkan kematian, yang umumnya segera dapat teramati secara klinis setelah tubuh terpapar radiasi dengan dosis diatas dosis ambang. Selain itu, radiasi dapat tidak mematikan sel tetapi menyebabkan perubahan atau transformasi sel sehingga terbentuk sel baru yang abnormal. Contohnya adalah erythema, kerontokan rambut, pembentukan katarak, dan berkurangnya kesuburan. 8,13 a. Efek Radiasi pada Membran Mukosa Mulut Radiasi pada daerah kepala dan leher khususnya nasofaring akan mengikut sertakan sebagian besar mukosa mulut. Akibatnya dalam keadaan akut akan terjadi efek samping pada mukosa mulut berupa mukositis yang dirasa pasien sebagai nyeri pada saat menelan, mulut kering dan hilangnya cita rasa (taste). Keadaan ini sering diperparah oleh timbulnya infeksi jamur pada mukosa lidah serta palatum. 13 b. Efek radiasi pada jaringan dan organ. Radiosensitivity pada jaringan atau organ tubuh diukur dengan adanya respon terhadap radiasi. Kehilangan moderat sel tidak mempengaruhi fungsi organ tubuh. Namun, dengan hilangnya sejumlah besar sel sehingga dapat mempengaruhi organisme. Tingkat keparahan perubahan ini tergantung pada dosis radiasi yang diberikan. 8,13 2.5.2 Efek stokastik Terjadinya efek stokastik ini disebabkan karena fungsi dan dosis radiasi yang diterima oleh seseorang tanpa suatu nilai ambang. 8,13 a. Karsinogenesis Radiasi menyebabkan kanker dengan mengubah DNA. Mekanisme akibat radiasi yang paling mungkin adalah mutasi gen. Dimana tindakan radiasi sebagai promotor, merangsang sel untuk berkembang biak sehingga mengubah sel premaligna menjadi lebih ganas. 8,13

b. Kanker tiroid Insiden karsinoma tiroid meningkat pada manusia setelah terpapar. Hanya sekitar 10% atau kurang dari individu yang terkena kanker dapat menyebabkan kematian. 8,13 c. Leukimia Insiden leukimia (selain leukimia lumphocytic kronis) meningkat setelah terpapar radiasi pada sumsum tulang. Bagi individu yang terpapar pada usia dibawah 30 tahun, risiko untuk pengembangan leukimia adalah setelah sekitar 30 tahun. Bagi individu terpapar sebagai orang dewasa, risiko tetap ada sepanjang hidup. 8,13 d. Kanker kelenjar ludah Insiden ini meningkat pada pasien yang melakukan terapi radiasi untuk penyakit kepala dan leher. Risiko tertinggi terjadi pada penderita yang melakukan terapi radiasi sebelum usia 20 tahun. 8,13 2.6 Proteksi Radiasi Teknik pengawasan keselamatan radiasi dalam masyarakat umumnya selalu berdasarkan pada konsep dosis ambang. Setiap dosis betapapun kecilnya akan menyebabkan terjadinya proses kelainan, tanpa memperhatikan panjangnya waktu pemberian dosis. Karena tidak adanya dosis ambang ini, maka masalah utama dalam pengawasan keselamatan radiasi adalah dalam batas dosis tertentu sehingga efek yang akan ditimbulkannya masih dapat diterima baik oleh masyarakat. Oleh karena itu, setiap kemungkinan penerimaan dosis oleh pekerja radiasi maupun anggota masyarakat bukan pekerja radiasi harus diusahakan serendah mungkin. 9 Nilai batas dosis untuk seluruh tubuh yang bergantung pada pekerja radiasinya (dengan pengecualian pada wanita hamil dan wanita masa usia subur) adalah : 9 1. NBD untuk pekerja radiasi yang memperoleh penyinaran seluruh tubuh ditetapkan 50 msv (5000 mrem) per tahun.

2. Batas tertinggi penerimaan pada abdomen pada pekerja radiasi wanita dalam masa subur ditetapkan tidak lebih dari 13 msv (1300 mrem) dalam jangka waktu 13 minggu dan tidak melebihi NBD pekerja radiasi. 3. Pekerja wanita yang mengandung harus dilakukan pengaturan agar saat bekerja dosis yang diterima janin terhitung sejak dinyatakan mengandung hingga saat kelahiran diusahakan serendah rendahnya dan sama sekali tidak boleh melebihi 10 msv (1000 mrem). Nilai batas dosis yang ditetapkan oleh BAPETEN, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Bapeten No. 01/Ka-BAPETEN/V-99 yaitu mengenai penerimaan dosis yang tidak boleh dilampaui oleh seorang pekerja radiasi dan anggota masyarakat selama jangka waktu 1 tahun, tidak bergantung pada laju dosis tetapi tidak termasuk penerimaan dosis dari penyinaran medis dan penyinaran alam. 10 Nilai batas dosis bukan batas tertinggi yang apabila dilampaui seseorang akan mengalami akibat merugikan yang nyata. Meskipun demikian setiap penyinaran yang tidak perlu harus dihindari dan penerimaan dosis harus diusahakan serendahrendahnya. 10 Nilai batas dosis tersebut ditetapkan sebagai berikut : 10 1. Nilai batas dosis bagi pekerja radiasi untuk seluruh tubuh 50 msv per tahun 2. Nilai batas dosis untuk anggota masyarakat umum untuk seluruh tubuh 50 msv per tahun. 3. Dalam penyinaran lokal pada bagian-bagian khusus dari tubuh, dosis ratarata dalam tiap organ atau jaringan yang terkena harus tidak lebih dari 50 msv (Depkes, 2006). 2.7 Program Belajar Fakultas Kedokteran Gigi di Malaysia Fakultas Kedokteran Gigi merupakan sebuah institusi pendidikan tinggi yang pertama didirikan untuk melatih mahasiswa setempat menjadi dokter gigi di negara Malaysia. Setelah lulus, mereka akan melayani negara dan masyarakat. Sejak awal,

mahasiswa dididik supaya menganggap pasien bukan hanya dari kasus kedokteran gigi, melainkan menjadi seorang yang layak mendapat tempat dalam masyarakat. Fasilitas perawatan gigi umum dan spesialis dapat diberikan kepada semua yang membutuhkan perawatan di sini. 11 Keterampilan klinis siswa dalam bidang kedokteran gigi mulai dikembangkan di laboratorium selama setahun dan setelah itu selama tiga tahun lagi di klinik-klinik di mana mereka akan merawat pasien-pasien di bawah pengawasan staf pengajar. Selain dari keterampilan klinis, siswa dibantu untuk mengembangkan sifat ingin tahu dan bakat mengkritik yang bisa memicu kesadaran dirinya sendiri mengenai kepentingan melanjutkan pembelajaran berkelanjutan dan penelitian. 11 Proyek elektif yang diperkenalkan dalam kurikulum lima tahun merupakan salah satu cara untuk mengenalkan mahasiswa pada metode penelitian. Fakultas Kedokteran Gigi memiliki fasilitas-fasilitas untuk mencapai tujuan ini. Fakultas ini telah direncanakan untuk mengadakan fasilitas perawatan yang paling baik. Hal yang diutamakan dan menjadi prioritas adalah tentang kebenaran dalam menentukan diagnosis, perencanaan, perawatan, pencegahan dan pelayanan kedokteran gigi masyarakat. 11 Periode minimum untuk program studi adalah lima tahun dimana siswa harus menyelesaikan: 11 a. Bagian Pra-Klinis (tahun pertama dan kedua) dalam waktu dua tahun tahun. b. Bagian Klinis (tahun ketiga, keempat dan kelima (akhir)) dalam waktu tiga Periode maksimumnya adalah delapan tahun di mana mahasiswa diwajibkan menyelesaikan: a. Bagian Pra-Klinis (tahun pertama dan kedua) selama tiga tahun tahun. b. Bagian Klinis (tahun ketiga, keempat dan kelima (akhir)) selama lima

2.7.1 Pembagian Program Studi 2.7.1.1 Klinik 1. Tahun Pertama Pada tahun ini pelajaran yang diberikan berkaitan langsung dengan praktek kedokteran gigi, yaitu: 11 a. Penyakit Mulut yaitu kemampuan mengidentifikasi manifestasi mulut penyakit sistemik, dan hubungan antara perawatan kondisi mulut dan kedokteran gigi dengan pasien secara keseluruhan. b. Ilmu Konservasi untuk pemeriksaan, analisis dan diagnosis kasus serta pengobatan gigi yang berkaries, trauma, dan haus. c. Ilmu Prostodonti yang berhubungan dengan perawatan pasien dentulus dan edentulus. d. Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat yaitu tentang sejarah kejadian, epidemiologi dan pencegahan penyakit mulut yang biasa, aspek kesehatan publik untuk perawatan kesehatan mulut. e. Bedah Mulut, Maksilofacial dan Radiologi Kedokteran Gigi, dimana komponen bedah mulut dan maksilofasial adalah aspek-aspek pembentukan, infektif, trauma dan neoplastik dan juga lesi-lesi lain yang melibatkan jaringan kedokteran gigi dan oral serta struktur-struktur yang terkait dengannya di daerah maksilofasial. Sedangkan komponen radiologi adalah pengenalan terhadap fisik radiologi, teori dan cara pengambilan radiografi intraoral dan extraoral, anatomi rahang dan tengkorak dari gambar radiografi, prinsip - prinsip umum dalam menginterpretasikan gambar radiografi. Pembelajaran seperti scan CT, MRI, radiografi digital dan ultrasound. Menginterpretasi secara rinci infeksi, kista, tumor neoplastik dan lesi fibro-osseous di daerah maksilofasial.

f. Patologi Mulut yaitu tentang etiologi, patogenesis, diagnosis, prinsip pengobatan penyakit dan pembentukan abnormal untuk gigi, mukosa mulut, rahang dan struktur yang terkait. g. Ilmu Periodontal yaitu tentang anatomi periodontium, etiologi, epidemiologi dan patogenesis penyakit periodontium. Pemeriksaan, diagnosis, rencana perawatan dan pengobatan awal penyakit periodontium radang kronis. h. Ilmu Kesehatan Gigi Anak dan Ortodonti, dimana komponen ilmu kesehatan gigi anak adalah tentang perkembangan kedokteran gigi anak dari lahir, diagnosis, analisis dan perawatan gigi berkaries, maloklusi, trauma dan penyakit jaringan mulut yang dialami anak normal dan cacat. Komponen ortodonti yaitu pertumbuhan dan perkembangan rangka kraniofasial; oklusi normal dan maloklusi, etiologi, diagnosis, analisis kasus dan perawatan maloklusi. 2. Tahun Kedua Dimana mata kuliah yang dipelajari berkaitan langsung dengan praktek kedokteran gigi, yaitu: 11 - Bedah Mulut dan Maksilofasial - Radiografi Kedokteran Gigi - Ilmu Penyakit Mulut Dan Periodontal - Ilmu Konservasi - Ilmu Prostodontik - Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Ilmu Kesehatan Gigi Anak dan Ortodontik - Proyek elektif (Tugas Akhir), dimana semua mahasiswa tahun keempat diwajibkan menjalani proyek elektif atau tugas akhir, di mana mahasiswa diberi kelonggaran untuk memilih dan menjalankan tugas akhir ini yang dibimbing oleh seorang staf akademik, dalam bidang yang diminati. 3. Tahun Ketiga Dimana pada tahun akhir ini mahasiswa berkaitan langsung dengan praktek kedokteran gigi, atau biasa yang disebut dengan praktek klinik. Untuk komponen

perawatan utama, pengajaran metode pemeriksaan dan diagnosa serta rencana darurat dan paliatif dimulai pada tahun ketiga sampai tahun kelima. Pengajaran ini meliputi manajemen tempat praktek, memberi layanan dan pengobatan kedokteran gigi yang menyeluruh, mengidentifikasi kebutuhan perawatan dan selanjutnya meningkatkan keterampilan dalam manajemen tempat praktek, memberi layanan dan pengobatan kedokteran gigi yang menyeluruh, mengidentifikasi kebutuhan perawatan dan selanjutnya meningkatkan keterampilan klinis serta pengungkapan pada pasien-pasien luar di bagian perawatan utama yang membutuhkan perawatan darurat. 11