*Penulis korespondensi. Tel: Diterima: 10 Maret 2014 Disetujui: 17 Mei Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
KERAGAMAN JENIS RAYAP PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU, SULAWESI TENGAH

Zulkaidhah 1), Abdul Hapid 1) dan Ariyanti 1) Staf Pengajar Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako Palu,

I. PENDAHULUAN. Deforestasi hutan tropis dan konversi hutan menjadi sistem penggunaan

KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN TEGUH PRIBADI

KOMPOSISI RAYAP DI KEBUN GAMBIR MASYARAKAT DI KANAGARIAN SIGUNTUR MUDA KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN JURNAL

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

AGRIVITA VOLUME 28 No 3 OKTOBER 2006 ISSN : Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap...

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Rayap Pada Kayu Umpan Di Kampung Babakan Cimareme Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur

PENGENALAN RAYAP PERUSAK KAYU YANG PENTING DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

BAB III METODE PENELITIAN

APAKAH KEANEKARAGAMAN SPESIES POHON DALAM AGROFORESTRI KARET DAPAT MEMPERTAHANKAN CADANGAN KARBON?

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil

Aah Ahmad Almulqu *, Elias **, Prijanto Pamoengkas ** *

BAB I PENDAHULUAN. dengan sifat dan ciri yang bervariasi, dan di dalam tanah terjadi kompetisi antara

ABSTRACT STRUCTURE AND COMPOSITION OF THE VEGETATION IN HEPANGAN AGROFORESTRY SYSTEM AT GUMAY ULU AREA LAHAT DISTRICT SOUTH SUMATERA

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

POPULASI RAYAP PADA PERTANAMAN LADA DI WAY KANAN, LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah (Marlinda, 2008). Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kumpulan tanaman pinus. Pinus yang memiliki klasifikasi berupa : Species : Pinus merkusii (van Steenis, et al., 1972).

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

II. TINJAUAN PUSTAKA

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi bijinya. Biji gulma

PENDUGAAN CADANGAN KARBON TUMBUHAN BAWAH PADA KEMIRINGAN LAHAN YANG BERBEDA DI HUTAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KABUPATEN KARO SKRIPSI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. hidup dari bidang pertanian (Warnadi & Nugraheni, 2012). Sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

III. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

POPULASI RAYAP PADA PERTANAMAN LADA DI WAY KANAN, LAMPUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah

BAB III BAHAN DAN METODE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PENDUGAAN KANDUNGAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA KAWASAN ARBORETUM UNIVERSITAS RIAU

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI

PRAKATA. Purwokerto, Februari Penulis

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

III. METODE PENELITIAN

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Arthropoda merupakan filum terbesar dalam dunia Animalia yang mencakup serangga, laba-laba, udang,

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS

TULISAN PENDEK. Beberapa Catatan Tentang Aspek Ekologi Cacing Tanah Metaphire javanica (Kinberg, 1867) di Gunung Ciremai, Jawa Barat.

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN. Analisis Vegetasi dengan Point Intercept

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGUKURAN BIODIVERSITAS

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

Transkripsi:

J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 21, No.2, Juli 2014: 213-219 KAJIAN KOMUNITAS RAYAP AKIBAT ALIH GUNA HUTAN MENJADI AGROFORESTRI DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU, SULAWESI TENGAH (Termites Community Impact of Forest Conversion to Agroforestry in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi) Zulkaidhah 1,*, Musyafa 2, Soemardi 2 dan Suryo Hardiwinoto 2 1 Program Doktor Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan UGM, Jl.Agro No.1 Bulaksumur, Sleman Yogyakarta 55281 2 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur Yogyakarta 55281. *Penulis korespondensi. Tel: 081341374695. Email: zul.untad@gmail.com. Diterima: 10 Maret 2014 Disetujui: 17 Mei 2014 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komunitas rayap akibat alih guna hutan dan hubungannya dengan faktor lingkungan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2011 sampai Juni 2013. Dilaksanakan di wilayah Taman Nasional Lore Lindu di sekitar Desa Rahmat, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Pengamatan rayap dilakukan dengan menggunakan metode transek. Parameter yang diamati adalah parameter lingkungan, iklim mikro, sifat fisik dan kimia tanah. Total diversitas rayap yang ditemukan adalah 20 spesies, yang terdiri dari 15 spesies pada hutan primer, 15 spesies pada hutan sekunder dan 8 spesies pada agroforestri. Biomassa pohon tertinggi pada hutan primer (620,91 Mg/ha), nekromas dan jumlah seresah tertinggi pada hutan sekunder yaitu masing-masing 8,22 Mg/ha dan 19 Mg/ha. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa alih guna hutan menjadi agroforestri diikuti oleh perubahan komunitas rayap. Suhu tanah dan suhu udara meningkat setelah alih guna hutan. Kata Kunci: alih guna lahan, diversitas rayap, hutan primer, hutan sekunder, agroforestri, biomassa Abstract This study was conducted to evaluate the termines community impact forest conversion and its relation with the environmental factors. It was conducted from December 2011 to June 2013 and implemented in Lore Lindu National Park located in around of Rahmat village, subdistrict of Palolo, district of Sigi. The observation of termites community was performed using method of transect. The measured parameters were environmental parameters, microclimate, and physic and chemical characteristics of the soil. There were 20 species found totally, consisted of 15 species in primary forest, 15 species in secondary forest, and 8 species in agroforestry. The highest biomass of tree in primary forest was 620.90 Mg/ha, whereas the necromass and highest amount of litter in secondary forest were respectively 8.22 Mg/ha and 19 Mg/ha. Land use change in TN. Lore Lindu was alearly followed by the change of termites diversity. The soil and water temperatures were increased. Keywords: landuse change, termites diversity, primary forest, secondary forest, agroforestry, biomass PENDAHULUAN Alih guna hutan yang terjadi akan menghasilkan suatu struktur lansekap baru atau bahkan bisa menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat diyakini menjadi salah satu ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem (Laurance & Bierregard, 1997 dalam Genet dkk., 2001), karena hal ini tidak saja menyebabkan berkurang atau hilangnya vegetasi hutan yang diketahui memiliki peran ekologis yang sangat vital bagi kemaslahatan manusia, tetapi juga mengakibatkan berkurang atau hilangnya berbagai jenis fauna yang hidup di habitat tersebut (Gaston, 1994 dalam Sahabuddin, 2003). Baumgardner (2007), mengemukakan bahwa perubahan ekosistem hutan menjadi sistem perkebunan akan menyebabkan berkurangnya kelimpahan dan keanekaragaman jenis serangga. Kief (2001), melaporkan bahwa perubahan tata guna lahan di wilayah TNLL mencapai puncaknya pada periode tahun 1990 2000 yaitu sekitar 41,6%. Penerapan sistem pengelolaan lahan yang mampu mempertahankan sebanyak mungkin vegetasi alami merupakan upaya konservasi keanekaragaman hayati yang cukup efektif. Meskipun demikian sejauh mana pengaruh alih guna lahan terhadap kehilangan keanekaragaman hayati belum dipelajari lebih detail (Sahabuddin dkk., 2007) khususnya berbagai jenis serangga yang memperlihatkan respon terhadap kerusakan habitat (fragmentasi habitat), di antaranya kumbang

214 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 21, No.2 koprofagus (Sahabuddin dkk., 2007), laba -laba (Galle, 2008) dan komunitas arthropoda (Baumgardner, 2007). Rayap merupakan salah satu serangga (fauna tanah) yang sangat melimpah di semua jenis hutan (Miyashita dkk., 1998). Rayap adalah organisme tanah yang cocok digunakan sebagai indikator untuk mempelajari efek alih guna hutan karena struktur komunitas dan distribusi rayap sangat dipengaruhi oleh tingkat penutupan vegetasi, struktur fisik, dan kondisi iklim mikro pada suatu habitat (Genet dkk., 2001). Survey terhadap keragaman jenis rayap akibat alih guna hutan telah dilakukan di beberapa tempat (Jones dkk., 2003). Kerusakan habitat akibat fragmentasi habitat dilaporkan menyebabkan penurunan keanekaragaman jenis rayap (Richard, 2002). Namun studi yang mengkaji tentang komunitas rayap akibat alih guna hutan menjadi agroforestrimasih sangat terbatas. Pada studi ini akan dikaji lebih mendalam komunitas rayap akibat perubahan penggunaan lahanmenjadi agroforestri dan hubungannya dengan beberapa faktor lingkungan. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2011 sampai Juni 2013 di wilayah Taman Nasional Lore Lindu di sekitar Desa Rahmat Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Metode Penelitian Pengambilan data Pengamatan karakter ekologis rayap dilakukan dengan menggunakan metode transek yang berukuran 2 x 100 m, yang dibagi menjadi 20 bagian (masing -masing berukuran 2 x 5 m). Transek dibuat pada masing-masing tipe penggunaan lahan. Identifikasi rayap dilakukan menggunakan kasta prajurit hingga tingkat spesies berdasarkan morfologi rayap dengan menggunakan buku panduan rayap Tho (1992) dan Thapa (1981). Untuk akumulasi bahan organik dilakukan pengamatan terhadap keseluruhan sumber bahan organik yang meliputi nekromass dan serasah permukaan. Untuk serasah dan kayu mati dengan diameter < 10 cm dilakukan pengumpulan sampel dengan plot serasah (0,5 x 0,5 m). Ketebalan seresah diukur dari lima titik yang berjarak 8 m antara titik di masing-masing lokasi, pengukuran nekromass, sifat fisika dan kimia tanah serta pengukuran iklim mikro (suhu tanah, suhu udara, kelembaban dan kadar air tanah). Analisis data Dominasi, kelimpahan, dan nilai diversitas rayap dihitung berdasarkan hasil pengukuran di lapangan.pengukuran parameter lingkungan dilakukan untuk menghitung biomassa pohon, bimassa nekromass dan biomassa serasah. HASIL DAN PEMBAHASAN Komunitas Rayap Kelimpahan relatif Hasil identifikasi rayap pada tiga tipe penggunaan lahan di TN Lore Lindu, ditemukan 20 spesies rayap yang dikelompokkan dalam 10 genus dari 3 famili (Tabel 1). Total kelimpahan relatif rayap yang ditemukan pada penelitian ini adalah 103 encounter (Tabel 1). Hutan sekunder merupakan kawasan dengan kelimpahan relatif rayap tertinggi, tercatat diperoleh 43 encounter. Schedorhinotermes javanicus adalah spesies dengan kelimpahan relatif tertinggi, sedangkan Coptotermes sepangensis, Coptotermes javanicus, Glyptotermes sp. dan Subulitermes sp. merupakan spesies dengan kelimpahan relatif terendah. Genus Hospitalitermes (Termitidae) merupakan satu-satunya rayap dari kelompok rayap epifit yang ditemukan.golongan rayap ini memakan lumut kerak dan ganggang, hidup secara bebas merumput dan bergerak bebas pada permukaan batang (Jones dan Prasetyo, 2002). Dominasi jenis rayap Hasil analisis proporsi spesies rayap pada seluruh sistem penggunaan lahan yang diamati di TN Lore Lindu dapat dilihat pada Gambar 1. S. Javanicus nampaknya memiliki tingkat toleransi paling tinggi di TN Lore Lindu. Hal tersebut dapat diartikan bahwa jenis ini mampu untuk beradaptasi pada berbagai kondisi iklim mikro dan berbagai tingkat ketersediaan makanan (Aini dkk., 2006). Sebaliknya bahwa C. sepangensis dan C. javanicus merupakan jenis yang paling rendah tingkat adaptasinya. Tingkat keragaman jenis Setiap tipe penggunaan lahan yang diamati memiliki kekayaan jenis yang bervariasi. Pada tipe hutan primer ditemukan 15 spesies (8 genus), sementara pada hutan sekunder ditemukan 15 spesies (7 genus) dan memperlihatkan penurunan kekayaan jenis seiring dengan perubahan penggunaan lahan, dimana pada tipe agroforestri ditemukan 8 spesies (6 genus).

Juli 2014 ZULKAIDHAH DKK.:KAJIAN KOMUNITAS RAYAP 215 Tabel 1.Spesies rayap dan kelimpahan relatif pada masing-masing tipe penggunaan lahan Spesies Famili Kelimpahan Relatif (KR) HP HS AF Total Nasutitermes neoparvus Termitidae 3 4 4 11 Nasutitermes havilandi Termitidae 3 3 3 9 Nasutitermes matangensis Termitidae 2 3 0 5 Bulbitermes constrictus Termitidae 5 7 2 14 Bulbitermes contrictiformis Termitidae 2 5 0 7 Odontotermes sp. 1 Termitidae 5 2 1 8 Odontotermes sp. 2 Termitidae 3 2 1 6 Odontotermes sp. 3 Termitidae 0 4 2 6 Coptotermes kalshoveni Rhinotermitidae 6 2 3 11 Coptotermes sepangensis Rhinotermitidae 0 2 0 2 Coptotermes javanicus Rhinotermitidae 3 0 0 3 Microcerotermes serrula Termitidae 3 0 0 3 Microcerotermes dubius Termitidae 2 1 0 3 Schedorhinotermes javanicus Rhinotermitidae 0 1 0 1 Schedorhinotermes medioobscurus Rhinotermitidae 0 1 0 1 Hospitalitermes sp.1 Termitidae 1 0 0 1 Hospitalitermes sp.2 Termitidae 1 3 3 7 Longipeditermes sp Termitidae 1 0 0 1 Glyptotermes sp. Kalotermitidae 0 2 0 2 Subulitermes sp. Termitidae 1 0 0 1 Jumlah 41 43 19 103 Alpha Diversity 15 15 8 Beta Diversity HP Vs HS Vs HS = AF = 7 10 Gamma Diversity 20 Keterangan: HP (Hutan Primer), HS (Hutan Sekunder), AF (Agroforestri) AF Vs HP = 9 Untuk nilai kemerataan terkecil terlihat pada tipe hutan primer dan hutan sekunder, yang menandakan bahwa pada tipe hutan primer terdapat jenis rayap yang dominan, sub dominan dan tidak dominan karena kelimpahan antar jenis dalam komunitas tersebut tidak merata. Gambar 1. Tingkat proporsi (%) spesies rayap di TN Lore Lindu (dihitung berdasarkan proporsi total tiga tipe penggunaan lahan) Tabel 2. Tingkat keragaman jenis rayap pada empat tipe penggunaan lahan yang berbeda di TN Lore Lindu, Sulawesi Tengah TPL S H D Mg E Spesies dominan HP 15 2,56 3,76 0,94 Schedorhinotermes javanicus HS 15 2,56 3,72 0,94 Bulbitermes constrictus AF 8 1,98 2,37 0,95 Nasutitermes neoparvus Keterangan: TPL (Tipe penggunaan lahan ), S (jumlah jenis), H (Indeks Shannon), D Mg (Indeks Margalef), E (Indeks Pielou) Parameter Lingkungan Variasi kelimpahan rayap yang berbeda pada tiga tipe penggunaan lahan dan munculnya dominasi rayap tertentu di TN Lore Lindu dapat dijelaskan melalui hasil pengukuran faktor lingkungan. Biomassa pohon Sistem penggunaan lahan berpengaruh sangat nyata terhadap biomassa pohon (p<0,01).hasil pengukuran biomassa pohon pada tiga tipe penggunaan lahan di TN Lore Lindu tertinggi pada tipe hutan primer (6 20,91 Mg/ha), kemudian pada hutan sekunder (241,07 Mg/ha) dan agroforestri (95,07 Mg/ha). Adanya alih guna lahan hutan menurunkan biomassa pohon antara 70% (pada hutan sekunder) hingga 90% (pada agroforestri). Perbedaan jumlah biomassa antara tipe penggunaan lahan berkaitan dengan kerapatan, jenis dan umur tanaman. Semakin tua umur tanaman, maka

216 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 21, No.2 Tabel 3. Iklim mikro (suhu tanah, suhu udara, kelembaban dan KA tanah) pada tiga tipe penggunaan lahan di TN Lore Lindu Iklim mikro HP HS AF Suhu tanah ( o C) 19,83 20,81 23,80 Suhu udara ( o C) 20,73 21,24 24,19 Kelembaban (%) 80,94 81,49 78,43 KA tanah (%) 52,07 50,36 42,19 Gambar 2. Biomassa pohon pada tiga tipe penggunaan lahan di TN Lore Lindu Gambar 3. Biomassa nekromass pada tiga tipe penggunaan lahan di TN Lore Lindu Gambar 4. Biomassa seresah permukaan pada tiga tipe penggunaan lahan di TN Lore Lindu biomassa pohonnya juga semakin besar. Kerapatan juga sangat berpengaruh terhadap biomassa. Nekromass Nekromass merupakan sisa-sisa atau komponen dari tumbuhan mati berupa batang pohon, baik yang masih berdiri maupun yang telah tumbang. Pada hutan primer, nekromass berasal dari tunggul pohon mati, pohon tumbang dan dahan serta ranting yang berserakan di lantai hutan. Pada hutan sekunder, nekromass berasal dari sisa tebangan kayu hutan ditambah dengan tunggul sisa tebangan, rubuhan pohon, dahan dan ranting. Sementara pada agroforestri, nekromass berasal dari tunggul pohon mati, sisa pangkasan kakao dan sisa kayu tumbang yang tidak terangkut pada saat pembukaan lahan. Alih guna hutan menjadi agroforestri berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap ketersediaan nekromass. Hutan sekunder merupakan tipe lahan yang menghasilkan nekromass yang terbesar (8,22 Mg/ha), diikuti oleh hutan primer (6,04 Mg/ha) dan terakhir agroforestri (4,02 Mg/ha) Serasah permukaan Seresah permukaan terdiri dari seresah kasar (utuh) maupun seresah halus (hancur). Seresah merupakan sumber utama unsur hara pada suatu ekosistem. Ketebalan seresah pada permukaan tanah dapat ditunjukkan oleh berat kering seresah yang diambil pada permukaan tanah. Berdasarkan hasil analisis bahwa alih guna hutan menjadi lahan perkebunan berpengaruh sangat nyata terhadap biomassa serasah (p<0,001). Hasil pengukuran biomassa seresah permukaan menunjukkan bahwahutan sekunder menghasilkan biomassa seresah permukaan tertinggi yaitu 19 Mg/ha (Gambar 4), kemudian berturut-turut pada hutan primer (18 Mg/ha) dan agroforestri (15 Mg/ha). Komposisi seresah permukaan pada semua tipe penggunaan lahan lebih didominasi oleh ranting(seresah kasar). Suhu tanah, suhu udara, kelembaban dan KA tanah Hasil pengukuran iklim mikro (suhu tanah, suhu udara, kelembaban dan kadar air tanah) pada tiga tipe penggunaan lahan disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis menunjukkan terjadi kenaikan suhu tanah yang sangat nyata setelah alih guna hutan (p<0,01). Hasil pengukuran suhu tanah pada kedalaman 10 cm untuk empat tipe penggunaan lahan terlihat semakin meningkat seiring dengan alih guna lahan. Suhu udara merupakan salah satu komponen lingkungan yang ikut berubah seiring dengan alih guna lahan. Suhu udara dan kelembaban pada tiga tipe penggunaan lahan terlihat semakin meningkat seiring dengan alih guna lahan. Hasil analisis menunjukkan peningkatan suhu udara yang sangat nyata (p<0,01) seiring dengan alih guna hutan. Sementara untuk kelembaban, tidak terlihat pengaruh yang signifikan akibat alih guna hutan. Kelembaban tertinggi pada tipe hutan sekunder dengan rata-rata 81,49% dan terendah pada tipe kebun monokultur dengan ratarata 78,11%. Untuk kadar air tanah menurun seiring

Juli 2014 ZULKAIDHAH DKK.:KAJIAN KOMUNITAS RAYAP 217 alih guna hutan menjadi lahan agroforestri (p<0,01). Hasil pengamatan terhadap kadar air aktual pada kedalaman 0 10 cm menunjukkan pada tipe hutan primer rata-rata 52,07%, ini menunjukkan bahwa hutan primer memiliki kemampuan yang tertinggi dalam mengikat air karena kandungan bahan organiknya yang tinggi. Sifat fisik dan kimia tanah Parameter ph merupakan salah satu parameter penting suatu tanaman dapat tumbuh atau tidak. Semakin rendah ph tanah maka semakin sulit tanaman untuk tumbuh karena tanah bersifat masam dan mengandung toksik (racun). Sebaliknya, jika ph tanah tinggi maka tanah bersifat basa dan mengandung kapur. Hasil analisis ph menunjukkan bahwa ph tanah di lokasi penelitian berada pada rentang 6,2 hingga 6,7. Berdasarkan klasifikasi kemasaman menurut USDA, kisaran ph tersebut tergolong dalam kelas agak masam mendekati ph netral. Kondisi ini cukup mendukung perkembangan orgaanisme tanah karena pada tanah yang derajat kemasamannya (ph) tergolong sangat masam menyebabkan unsur hara sulit untuk diserap tanaman dan mempengaruhi perkembangan organisme tanah (Rusdiana dan Lubis, 2012). Nisbah karbon dan nitrogen memiliki arti yang penting bagi tanah karena mempengaruhi berbagai macam proses yang berlangsung di dalam tanah. Kandungan C org yang menurun diikuti dengan N total yang juga menurun mengakibatkan C/N rasio juga mengalami penurunan setelah terjadi alih guna hutan. Pada lokasi dengan vegetasi yang lebih beragam akan meningkatkan variabilitas kandungan nitrogen dan karbon (Martinus dkk., 2004). Porositas berpengaruh pada proses aerase tanah yang menjadi salah satu faktor penting dalam produktivitas tanah. Bulk density berbanding terbalik dengan porositas. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada tiga tipe penggunaan lahan di TN Lore Lindu disajikan Tabel 4. Hubungan antara komunitas rayap dengan faktorlingkungan Kelimpahan rayap berhubungan erat dengan faktor lingkungan. Rayap sangat sensitif terhadap variasi lingkungan, dan dapat merubah prilakunya dalam merespon perubahan lingkungan.hasil uji korelasi antar rayap dengan beberapa faktor lingkungan disajikan pada Tabel 5. Diversitas rayap berhubungan erat dengan kondisi iklim mikro, dimana terlihat bahwa secara keseluruhan komponen iklim mikro yang diukur menunjukkan korelasi yang nyata hingga sangat nyata dengan diversitas rayap. Suhu udara (r = - 0,978; p>t hit = 0,022; R 2 = 0,95), suhu tanah (r = - 0,962; p>t hit = 0,038; R 2 = 0,92), kelembaban (r = 0,984; p>t hit = 0,016; R 2 = 0,96) dan kadar air tanah (r = 0,994; p>t hit = 0,006; R 2 = 0,98). Sekitar 98% dari diversitas rayap adalah berkorelasi sangat nyata dengan variasi kadar air tanah (Gambar 5). Tabel 4. Sifat fisik dan kimia tanah pada tiga tipe penggunaan lahan di TN Lore Lindu TPL ph (H 2 O) C -org (%) BO (%) N -tot (%) C/N Porositas (%) BD (g/cm 3 ) HP 6,67 2,38 4,14 0,22 11,05 52,83 1,15 HS 6,69 2,31 4,01 0,22 10,89 52,13 1,16 AF 6,75 2,12 3,68 1,19 10,51 50,02 1,19 Tabel 5. Korelasi antara rayap dengan beberapa faktor lingkungan yang diamati Parameter Diversitas rayap Nasutitermes spp. Bulbitermes spp. Coptotermes spp. r P>t hit R P>t hit r P>t hit r P>t hit Biomassa pohon 0,793 0,207 0,451 0,549 0,508 0,492 0,603 0,397 Biomassa serasah 0,899 0,101 0,927 0,073 0,846 0,154 0,786 0,214 Nekromass 0,930 0,070 0,994** 0,006 0,962* 0,038 0,912 0,088 Suhu udara -0,978* 0,022-0,792 0,208-0,868 0,132-0,926 0,074 Suhu tanah -0,962* 0,038-0,741 0,259-0,822 0,178-0,891 0,109 Kelembaban 0,984* 0,016 0,903 0,097 0,963 0,037 0,987* 0,013 KA tanah 0,994** 0,006 0,842 0,158 0,876 0,124 0,908 0,092 Keterangan: K (Korelasi), P (Probabilitas), * ( berkorelasi nyata pada p<0,05), ** (berkorelasi sangat nyata pada p<0,01)

218 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 21, No.2 (a) (b) (c) (d) Gambar 5. Korelasi antara diversitas rayap dengan beberapa faktor lingkungan di TN Lore Lindu. (a) suhu udara, (b) suhu tanah, (c) kelembaban udara, (d) kadar air tanah KESIMPULAN Alih guna hutan menjadi agroforestri menurunkan diversitas rayap. Perkembangan populasi rayap dibatasi oleh faktor lingkungan (biomassa pohon, nekromass dan serasah), iklim mikro, sifat fisika dan kimia tanah.mempertahankan keragaman jenis pohon pada agroforestri merupakan langkah positif dalam mempertahankan iklim mikro pasca alih guna hutan DAFTAR PUSTAKA Aini F.K., Susilo F.X., Yanuwiadi B., dan Hairiah K. 2006. Meningkatnya Sebaran hama Rayap Odontotermes spp. Setelah Alih Guna Hutan menjadi Agroforestri Berbasis Kopi: Efek Iklim Mikro dan Ketersediaan makanan Terhadap Kerapatan Populasi. Agrivita, 28 (3): 221 237. Baumgardner, M.C. 2007. Forest Fragmentation and It s Effects on Arthropod Populations in Small vs Large Forests in Northwest Ohio. Thesis. Bowling Green State University, Ohio. Galle, R. 2008. The Effect of Naturally Fragmented Landscape on the Spider Assemblages. Department of Ecology University of Szeged. North-Western J. Zoology, 4:61-71 Genet, J.A. Kristen, S.G. Thomas, M.B. Peter, G.M. dan Ariel, E.L. 2001. Response of Termite Community and Wood Decomposition Rates to Habitat Fragmentation in a Subtropical Dry Forest. Tropical Ecology, 42:35-49. Jones, D.T. dan Prasetyo, A.H. 2002. A Survey of The Termites (Insecta : Isoptera) of Tabalong District, South Kalimantan, Indonesia. National University of Singapore.The Raffles Bulletin of Zoology, 50(1):117 128. Jones, D.T., Susilo, F.X., Bignell, D.E., Hardiwinoto, S., Gillison, A.N., dan Eggleton, P. 2003. Termite Assemblage Collapse Along A Land Use Intensification Gradient In Lowland Central Sumatera, Indonesia. J. Appl. Ecology, 40:380 391. Kief, J. 2001. Indigenous Variety Development in Food Crops Strategies on Timor: Their Relevance for In-Situ Biodiversity Conservation and Food Security. Indigenous Knowledge Development Monitor, (7):7 15. Martinus, C., Hofer H., Garcia M.V.B., Rombke J., dan Hanagarth W. 2004. Litter Fall, Litter Stocks and Decomposition Rates in Rainforest and Agroforestry Sites in Central Amazonia. NC Agroecosystem, 68: 137 154. Miyashita, T., Shinkai, A., dan Chida, T. 1998: The Effects of Forest Fragmentation on Web Spider Communities in Urban Areas. Biological Conservation, 86:357-364 Richard, D.G. 2002. Feeding Group Responses of A Neotropical Termite Assemblage to Rain

Juli 2014 ZULKAIDHAH DKK.:KAJIAN KOMUNITAS RAYAP 219 Forest Fragmentation. Oecologia Journal, 133(2):233 242. Rusdiana O. dan Lubis R.S. 2012. Pendugaan Korelasi Antara karakteristik Tanah Terhadap Cadangan Karbon (Carbon Stock) Pada Hutan Sekunder. Jurnal Silvikultur Tropika, 3(1):14 21. Sahabuddin. 2003. Pemanfaatan Serangga Sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan. Pengantar Falsafah Sains. Program Pascasarjana (S3) Institut Pertanian Bogor. Bogor Sahabuddin, Manuwoto, S. Purnama, H. Christian, H.S. dan Woro, A.N. 2007. Respons Kumbang Koprofagus (Coleoptera: Scarabaeidae) Terhadap Perubahan Struktur Vegetasi Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Biodiversitas, 8(1):01 06 Thapa, R.S. 1981. Termites of Sabah. Sabah Forest 12: 1-374. Tho, Y.P. 1992. Termites of Peninsular Malaysia.Malayan Forest Record N. Forest 36. Research Institute Malaysia : 224.