1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dari waktu ke waktu terus melakukan pembangunan untuk mewujudkan negara yang semakin maju, adil, dan sejahtera. Dari berbagai kemajuan yang dicapai dalam pembangunan di Indonesia, pembangunan di bidang ekonomi menunjukkan capaian yang cukup menggembirakan akhirakhir ini. Meskipun dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir mengalami penurunan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tampak masih berada di atas 5 persen, sebagaimana tersaji dalam tebel berikut ini. Tabel 1.1 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2010-2014 Tahun Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%) 2010 6,2 2011 6,5 2012 6,3 2013 5,8 2014 5,2 Sumber : Dioleh dari data BPS (http://www.bps.go.id), 2010-2014.
2 Perkembangan dalam ranah ekonomi ini tentu tidak lepas dari peranan pemerintah, pengusaha swasta, dan masyarakat. Dengan perekonomian Negara yang semakin maju, tentu perekonomian rakyat semakin maju pula dan kebutuhan rakyat semakin meningkat, salah satunya adalah kebutuhan akan sarana transportasi otomotif. Produksi otomotif Indonesia tampak semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini: Tabel 2.1 TOTAL PRODUKSI OTOMOTIF INDONESIA TAHUN 2011-2015 KATEGORI TAHUN 2011 2012 2013 2014 2015 (JAN-SEP) SEDAN TYPE 25.741 34.221 34.199 21.614 48.263 4X2 TYPE 569.768 739.168 787.712 679.856 432.674 4X4 TYPE 5.521 7.396 6.416 5.874 27.896 BUS 3.853 4.472 4.054 3.834 2.804 PICK UP/TRUCK 270.205 311.609 330.907 313.243 207.078 DOUBLE CABIN 17.815 19.364 15.433 11.487 - ENERGY SAVING CAR - - 51.180 172.120 124.639 TOTAL 894.164 1.116.230 1.229.901 1.208.028 843.354 Sumber : Diolah dari data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) http://www.gaikindo.or.id/gaikindo-data/, 2011-2015. Adanya peningkatan produksi otomotif di Indonesia kiranya sejalan dengan peningkatan kebutuhan akan otomotif tersebut, khususnya kebutuhan
3 akan otomotif sebagai sarana mobilitas dan transportasi. Meningkatnya produksi otomotif guna pemenuhan kebutuhan masyarakat akan sarana mobilitas dan transportasi tersebut juga membuka berbagai peluang usaha, salah satunya adalah usaha jasa pelatihan (pelatihan) setir mobil. Peluang usaha ini berkembang sejalan dengan perkembangan industri otomotif di Indonesia karena keterampilan mengemudi merupakan hal utama yang menentukan keselamatan pengendara dan penumpang dalam berkendaraan. Dengan mengikuti pelatihan setir mobil, para calon pengemudi kendaraan akan memperoleh keterampilan dalam mengemudikan kendaraan tersebut. Dari sudut pandang ilmu hukum, hubungan hukum antara penyelenggara pelatihan setir mobil dengan pihak pengguna jasa merupakan suatu perikatan yang lahir dari perjanjian. Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 1 Selanjutnya, Pasal 1314 KUH Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri, sedangkan perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 2 Perjanjian pelatihan setir mobil kiranya termasuk dalam kategori perjanjian atas beban karena 1 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (staatsblad Nomor 23 Tahun 1847). Ibid.
4 mewajibkan pihak yang satu, yaitu pihak penyelenggara pelatihan setir mobil, untuk berbuat sesuatu dan mewajibkan pihak lainnya, yaitu pengguna jasa pelatihan setir mobil untuk memberikan sesuatu. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat 4 (empat) syarat sahnya perjanjian, yaitu: 1. sepakat untuk mereka yang mengikatkan dirinya; 2. cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal. 3 Dengan demikian, seyogyanya perjanjian pelatihan setir mobil juga memenuhi ke empat syarat sahnya perjanjian tersebut. Dalam Bab 7A Buku III KUH Perdata yang berjudul Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan di dalamnya terdapat 3 (tiga) macam perjanjian, yaitu perjanjian kerja, perjanjian pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa. Ketiga perjanjian tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa pihak yang satu melakukan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan menerima upah. Adapun perbedaan antara perjanjian kerja dengan perjanjian pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa yaitu bahwa dalam perjanjian kerja terdapat subordinasi, sedang pada perjanjian pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa ada koordinasi. Mengenai perbedaan antara perjanjian pemborongan dengan perjanjian menunaikan jasa, yaitu bahwa dalam perjanjian pemborongan berupa mewujudkan suatu karya tertentu, sedangkan dalam perjanjian menunaikan jasa berupa melakukan tugas tertentu yang ditentukan 3 Ibid.
5 sebelumnya. 4 Pada perjanjian-perjanjian yang termasuk dalam kategori perjanjian menunaikan jasa, pihak yang satu menghendaki pihak lainnya melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, di mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lain itu. Biasanya pihak lain ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tarip untuk jasanya itu. Upahnya biasanya dinamakan honorarium. 5 Dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan KUH Perdata tersebut di depan, perjanjian antara pihak penyelenggara pelatihan setir mobil dengan pengguna jasa atau konsumen pelatihan setir mobil, kiranya termasuk dalam kategori perjanjian untuk melakukan pekerjaan, khususnya dalam kategori perjanjian untuk menunaikan jasa-jasa tertentu. Dalam perjanjian ini, pihak konsumen menghendaki pihak pelaku usaha atau pihak penyelenggara jasa pelatihan setir mobil melakukan dan/atau memberikan pelatihan mengemudi agar tujuan yang dikehendaki konsumen tercapai, yaitu tujuan agar dapat mengemudikan mobilnya. Untuk tujuan tersebut, konsumen bersedia membayar upah, sedangkan apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diserahkan seluruhnya kepada pihak pelaku usaha. Pelaku usaha dalam hal ini adalah seorang ahli dalam melakukan dan/atau memberikan pelatihan mengemudi. Perjanjian pelatihan setir mobil adalah perjanjian yang melibatkan dua 4 5 F.X. Djumialdji, 1996, Hukum Bangunan, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 5. Subekti (a), 1995, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya, hlm. 57-58.
6 pihak, yaitu pihak pelaku usaha yaitu pihak pelatihan setir mobil dan konsumen yaitu konsumen atau peserta didik. Salah satu jenis perjanjian yang dapat dibedakan menurut berbagai cara adalah perjanjian timbal balik, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. 6 Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa-menyewa, pemborongan pembangunan, tukar menukar. 7 Dalam konteks pelatihan setir mobil yang melibatkan kedua belah pihak yakni pihak pelaku usaha dan pihak konsumen, tentu masing-masing pihak memikul hak dan kewajiban. Pihak pelaku usaha yang memiliki keahlian khusus di bidangnya tentu memiliki kewajiban untuk memberikan pelatihan mengemudi bagi pihak konsumen demi untuk tercapainya tujuan konsumen, yaitu dapat mengemudikan mobil. Ditinjau dari hak pelaku usaha, yaitu adalah mendapatkan upah atau honorarium dari konsumen atas jasa yang telah diberikan oleh pelaku usaha. Sedangkan dilihat dari sudut pandang konsumen, kewajiban daripada konsumen sendiri adalah membayar honorarium atas jasa yang telah didapatinya dan juga wajib menaati peraturan-peraturan yang telah diberikan oleh pihak pelaku usaha dalam pelaksanaannya, itu hak yang dimiliki konsumen adalah mendapatkan pelayanan jasa pelatihan mengemudi yang baik dan aman dari pihak pelaku usaha. Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu. 6 7 Badrulzaman, Mariam Darus, dkk. 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 66. Abdulkadir Muhammad (a), 1980, Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm 86.
7 Perjanjian dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah 8, misalnya: 1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dibuat secara tertulis, sesuai dengan Pasal 57 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebagaimana diatur pada Pasal tersebut, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang tidak dibuat secara tertulis akan memiliki akibat hukum yaitu berubahnya status Perjanjian menjadi Perjanjian Waktu Tidak Tertentu; dan 2. Perjanjian lain yang memerlukan Perjanjian yang dibuat secara tertulis adalah Perjanjian atas pemindahan hak atas saham yang dilakukan dengan akta pemindahan hak, sesuai Pasal 56 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan Terbatas. Perjanjian yang dibuat secara lisan atau tidak tertulis pun tetap mengikat para pihak, dan tidak menghilangkan, hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat. Perlu dipahami pula bahwa suatu persetujuan wajib dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka yang melakukannya, dan karenanya sifat mengikat dari persetujuan tersebut adalah pasti dan wajib. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan: 8 Badrulzaman, Mariam Darus, loc.cit.
8 Pasal 1338 Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang. 9 Suatu perjanjian seharusnya memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para pihak. Jaminan perlindungan hukum tersebut diperlukan antara lain untuk melindungi pihak dalam perjanjian apabila terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian atau keadaan lain yang dapat merugikan dalam pelaksanaan perjanjian. Perjanjian dapat saja diadakan dalam bentuk tertulis maupun lisan. Hal tersebut tidak menimbulkan permasalahan dalam hal isi perjanjian tersebut menyatakan secara jelas perlindungan hukum bagi masingmasing pihak dalam perjanjian. 9 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-tertulis pada hari Kamis, 5 November 2015, pukul 22:14
9 Dalam praktek, perjanjian yang diadakan berkenaan dengan pelatihan setir mobil umumnya merupakan perjanjian tidak tertulis. Pelatihan setir mobil biasanya diawali dengan pendaftaran peserta yang dituangkan pada formulir pendaftaran pelatihan setir mobil. Isi formulir pelatihan setir mobil tersebut antara lain memuat data: 1. nama lengkap peserta; 2. alamat lengkap; 3. jenis kelamin; 4. paket pelatihan yang dipilih, terdiri dari jenis mobil yang dipilih dan banyaknya waktu pertemuan; 5. absensi kehadiran; 6. harga yang disepakati. Memang, bentuk perjanjian lisan dalam pelatihan setir mobil tersebut memberikan fleksibilitas bagi para pihak dalam pelaksanaannya. Misalnya, pelaksanaan pembayaran awalnya ditentukan secara sepihak oleh pihak LPK yaitu pembayaran uang muka pelatihan secara cash saat pendaftaran atau pertemuan pertama dan untuk sisa pelunasannya bisa dibayarkan secara fleksibel oleh peserta didik. Namun demikian, mengingat bahwa pada umumnya perjanjian pelatihan setir mobil merupakan perjanjian lisan, dalam praktek juga tampak tidak adanya standar yang pasti berkenaan dengan isi perjanjian. Akibatnya, perjanjian pelatihan setir mobil cenderung memiliki kekurangan dalam hal isi perjanjiannya, khususnya terkait perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian khususnya pihak Lembaga Pelatihan dan Kursus (LPK). Perjanjian pelatihan setir mobil dapat saja tidak
10 memperjanjikan secara tegas dan jelas perlindungan hukum bagi pihak LPK, misalnya dalam praktek pelatihan setir mobil umumnya ditentukan bahwa pelunasan sisa pembayaran bisa dilakukan secara fleksibel. Hal ini berpotensi memicu terjadinya wanprestasi. Ketiadaan ketentuan tertulis terkait penyelesaian permasalahan wanprestasi tentunya akan mengakibatkan kurang terjaminnya perlindungan hukum dalam pelaksanaan perjanjian pelatihan setir mobil khususnya bagi salah satu pihak dalam perjanjian pelatihan setir mobil yaitu pihak LPK itu sendiri yang merupakan lembaga penyelenggara pelatihan setir mobil. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Penulis tertarik untuk mengambil topik penelitian Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Pelatihan Setir Mobil di Lembaga Pelatihan Setir Mobil di Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pihak LPK dalam perjanjian pelatihan setir mobil di Lembaga Pelatihan Setir Mobil di Yogyakarta? 2. Bagaimana solusi apabila terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan pelatihan setir mobil di Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:
11 1. Tujuan Objektif a. Mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak dalam pelatihan setir mobil di lembaga pelatihan mobil di Yogyakarta. b. Mengetahui solusi solusi apabila terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan pelatihan setir mobil di Yogyakarta. 2. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data dan bahan yang relevan dengan topik yang diteliti dalam rangka penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Bagian ini memuat uraian sistematis tentang laporan, hasil penelitian dan/atau pemikiran peneliti sebelumnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian penulisan hukum ini. Adapun terkait dengan keaslian penelitian dapat dikemukakan bahwa sepanjang pengetahuan penulis melalui penelitian kepustakaan, sebelumnya terdapat penelitian yang mengangkat topik serupa, yaitu penelitian mengenai pelaksanaan pelatihan mengemudi mobil oleh Andi Djuardi Iskandar yang berjudul Tanggung Jawab Yayasan Penyedia Jasa Pelatihan Mengemudi Mobil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui tanggung jawab yayasan penyedia jasa pelatihan mengemudi mobil terhadap pengguna jasa (siswa belajar) apabila terjadi kecelakaan pada saat pelatihan bentuk
12 perjanjian, untuk mengetahui tanggung jawab instruktur terhadap pengguna jasa (siswa belajar) apabila terjadi kecelakaan pada saat pelatihan. Penelitian ini termasuk tipologi penelitian hukum empiris dengan metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normative. Data penelitian dianalasis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif yaitu dengan menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian. Hasil studi menunjukkan apabila terjadi kecelakaan pada saat pelatihan pelatihan mengemudi mobil berlangsung, bentuk pertanggungjawabannya adalah dengan memberikan ganti rugi kepada pengguna jasa yaitu berupa biaya pengobatan atas kerugian fisik yang ditimbulkan serta biaya perbaikan mobil pelatihan. Berdasarkan Undang- Undang Yayasan, pihak yayasan penyedia jasa pelatihan mengemudi mobil yang harus bertanggung jawab atas kerugian-kerugian tersebut yang dalam hal ini diwakili oleh organ pengurus yayasan. Namun, pada kenyataannya pertanggungjawaban tersebut dibebankan kepada pihak instruktur. Kedudukan instruktur dalam hal ini adalah sebagai tenaga kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja yang dibuat oleh pihak yayasan penyedia jasa pelatihan. Berdasarkan kedudukan tersebut, tentunya hubungan antara yayasan penyedia jasa pelatihan mengemudi dengan intstruktur adalah hubungan antara pemberi kerja/majikan dengan pekerja. Jadi, dalam hal pertanggungjawaban terhadap kerugian-kerugian yang timbul akibat kecelakaan pada saat pelatihan berlangsung berdasarkan pada Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUH perdata yang mengatur bahwa majikan/pemberi kerja bertanggung jawab akan kerugian yang diakibatkan oleh bawahan yang dipekerjakan. Jadi, seharusnya pihak
13 yayasan penyedia jasa pelatihanlah selaku majikan/pemberi kerja yang bertanggungjawab. Namun, pada kenyataanya pihak instrukturlah yang dibebankan tanggung jawab penuh atas kerugian-kerugian tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam perjanjian kerja. Perbedaan dengan penelitian ini pertama ada pada judul skripsi, yaitu judul yang ditulis oleh penulis adalah Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Pelatihan Setir Mobil di Lembaga Pelatihan Setir Mobil di Yogyakarta dengan Tanggung Jawab Yayasan Penyedia Jasa Pelatihan Mengemudi Mobil yang merupakan skripsi yang ditulis oleh Andi Djuardi Iskandar. Perbedaan judul skripsi sangatlah menunjukan perbedaan kajian penelitian, yaitu penulis meneliti dalam hal perlindungan hukumnya bagi para pihak dalam hal terjadi wanprestasi sedangkan pada penulisan skripsi yang telah dilakukan oleh Andi Djuardi Iskandar adalah mengkaji perihal tanggung jawab yayasan pelatihan mengemudi mobil dalam hal terjadi kecelakaan. Tempat pelaksanaan penelitianpun juga berbeda. Lokasi penelitian yang dilakukan penulis yaitu di Yogyakarta sedangkan dalam penulisan skripsi Tanggung Jawab Yayasan Penyedia Jasa Pelatihan Mengemudi Mobil yang ditulis oleh Andi Djuardi Iskandar lokasi penelitiannya terletak di Makassar. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi penulis a. Dapat menambah pengetahuan dan referensi dalam bidang perlindungan hukum, khususnya terkait dengan masalah perlindungan
14 hukum bagi para pihak dalam hal terjadi sesuatu hal yang tidak diperjanjikan dalam perjanjian sebelumnya; b. Memperoleh data yang dibutuhkan dalam rangka penulisan hukum sebagai prasyarat memperoleh gelar Sarjana Hukum. 2. Manfaat bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai perlindungan hukum bagi para pihak yaitu pihak masyarakat selaku konsumen dengan pihak penyedia jasa pelatihan setir mobil selaku pelaku usaha dalam pelaksanaan pelatihan setir mobil, dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga perlindungan terhadap kepentingan para pihak dapat terjamin. 3. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum serta dapat menambah literature di bidang hukum perjanjian, khususnya perlindungan hukum bagi para pihak. 4. Manfaat bagi pengembangan hukum di Indonesia Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah maupun instansi yang berwenang untuk mengambil kebijakan hukum, khususnya dalam bidang perlindungan hukum, agar lebih meningkatkan kualitas pelaksanaan perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu.