PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA DAN DNA MIKROSATELIT

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

SAPI RAMBON (Trinil Susilawati, Fakultas peternakan Universitas Brawijaya)

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

KERAGAMAN FENOTIPE SAPI ACEH BETINA PADA BPTU-HPT INDRAPURI. Phenotype Diversity of Female Aceh Cattle in BPTU- HPT Indrapuri

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

PENDAHULUAN. sapi Jebres, sapi pesisir, sapi peranakan ongole, dan sapi Pasundan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas

PENDAHULUAN. Latar Belakang. beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari

Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh dengan Menggunakan Daerah Displacement-loop

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PEMURNIAN DAN PENGEMBANGAN MUTU GENETIK SAPI BALI DI BALI

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam Keragaman Genetik Ternak

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

BAB I PENDAHULUAN. kerbau. Terdapat dua jenis kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi. oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba.

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

TINJAUAN PUSTAKA. dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi potong merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

Fahrul Ilham ABSTRAK PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. Provinsi Aceh yang beribukota di Banda Aceh, membentang 2

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Potong Tropis Bangsa sapi potong tropis adalah merupakan bangsa sapi potong yang berasal

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAPI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

Mengenal Beberapa Rumpun Sapi Asli/Lokal dan Sapi Introduksi cukup tinggi. Sapi Bali yang mempunyai warna tidak seragam, belangbelang atau bercak-berc

I. PENDAHULUAN. nasional yang tidak ternilai harganya (Badarudin dkk. 2013). Ayam kampung

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Siak, Natuna,

Oleh: drh. Adil Harahap (dokadil.wordpress.com)

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

Bibit sapi potong - Bagian 3 : Aceh

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Di Ex Upt Pir Nak Barumun Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas. Aisyah Nurmi

STUDI KARAKTERISTIK MORFOLOGIS DAN GENETIK KERBAU BENUANG DI BENGKULU

The Origin of Madura Cattle

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbesar di seluruh dunia. Nenek moyang ikan mas diduga berasal dari Laut Kaspia

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

KARAKTERISTIK BANGSA DOMBA EKOR TIPIS (DET) DAN KODISINYA SAAT INI DI INDONESIA

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil silangan sapi asli Indonesia dengan sapi eksotik yang kemudian mengalami domestikasi serta adaptasi lokal. Kelompok sapi yang termasuk dalam kategori pertama adalah sapi Bali karena sapi Bali diketahui merupakan hasil domestikasi langsung dari Banteng (MacHugh 1996; Martojo 2003; Hardjosubroto 2004) dan mempunyai ciri-ciri fisik yang hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan moyangnya (Handiwirawan dan Subandriyo 2004). Kelompok sapi yang kedua adalah sapi Madura karena menurut Payne dan Rollinson (1976); Nijman et al. (2003); Verkaar et al. (2003) merupakan hasil silangan Banteng atau sapi Bali dengan sapi zebu yang telah berlangsung kurang lebih 1.500 tahun yang lalu, walaupun hal tersebut tidak terdokumentasi dengan baik secara prinsip pemuliaan (tanpa recording yang jelas). Kedua pengelompokan itu secara genetik telah terbukti dengan menggunakan marker genetik DNA mitokondria (D-loop dan cytochrome-b) dan DNA inti (Mikrosatelit dan AFLP) (Nijman et al. 2003). Kemungkinan yang ketiga adalah sapi eksotik yang telah menetap di Indonesia dalam kurun waktu lama (impor dan perdagangan) dan dapat berkembang biak dengan baik (mampu beradaptasi pada lingkungan setempat), selanjutnya sapi-sapi tersebut mengalami persilangan. Salah satu yang termasuk dalam kelompok ini adalah sapi Ongole India yang masuk ke Pulau Sumba pada tahun 1905 yang kemudian menjadi sapi Sumba Ongole (SO). Pada tahun 1915 sampai 1929 sapi Sumba Ongole (SO) mulai disebarkan ke Pulau Jawa melalui program Ongolisasi dengan sebutan kontrak Sumba (Hardjosubroto 2004). Dampak dari program ini adalah terbentuknya sapi Peranakan Ongole (PO) dan hasil silangan lainnya, bahkan program ini telah mempunyai kontribusi yang jelas terhadap hilangnya sapi Jawa. Menurut Merkens (1926) di Jawa terdapat sapi Jawa dengan karakteristik tertentu yang merupakan campuran berbagai bangsa sapi. Sapi Aceh pada mulanya diduga dimasukkan oleh pedagang India pada masa kerajaan Islam pertama di Peureulak yang terbentuk tahun 847 M (225 H), karena pada masa itu sudah terjalin hubungan kerja sama antarnegara dan perdagangan bebas di Aceh terutama lada yang ingin dikuasai seluruhnya oleh

2 pedagang-pedagang dari Mesir, Parsi, dan Gujarat (catatan sejarah Aceh, catatan Marcopolo 1256 dan Ibnu Bathutah 1345; Mulyana 1968; Putra 2001). Hal ini telah dijelaskan pula oleh Merkens (1926) bahwa, perdagangan yang ramai sudah lama terjalin antara Aceh dengan Malaka. Pedagang Arab, Cina serta India yang datang ke Aceh, mereka membawa barang-barang dagangan dan khususnya imigran India ini sudah dikenal membawa sapi-sapi dari India ke Aceh. Pada abad ke-19 telah menjadi kebiasaan mengimpor ternak melalui Selat Malaka, khususnya ke Pidie dan Aceh Timur Laut (Peureulak). Kemungkinan sapi-sapi di Aceh mengalami persilangan dengan Banteng yang ada di Sumatera seperti dikemukakan Merkens (1926) dari hasil kumpulan catatan, foto dan laporan singkatnya, namun belum pernah diverifikasi dan diungkapkan melalui analisis genom. Beberapa sapi tersebut berkembang dan menyebar ke pesisir barat Aceh hingga ke wilayah pantai Sumatera Barat. Keadaan wilayah pesisir barat tersebut memiliki keadaan pakan terbatas dan kualitas nutrisi rendah sehingga telah turut menyeleksi ragam sapi yang hidup di daerah ini yaitu kebanyakan sapi berukuran kecil (±150 kg) yang dapat bertahan hidup dengan baik (ILRI 1995). Disamping itu di daerah pesisir barat ini jauh dari hewan buas pemangsa. Di daerah Aceh yang lain seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur terdapat sapi-sapi yang beragam ukurannya. Menurut Gunawan (1998), ada sapi Aceh di Aceh Besar dan Aceh Utara yang hanya mempunyai bobot hidup dewasa 150 kg, namun ada pula sapi Aceh yang ada di daerah ini mencapai bobot hidup dewasa 400 kg atau lebih. Sapi ini mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional. Laporan Merkens (1926), menyebutkan bahwa kepala sapi Aceh berwarna antara cokelat merah sampai cokelat abuabu, bahkan di Aceh Utara dan Aceh Timur ditemukan sapi yang warna kepalanya lebih gelap sampai hitam. Ciri tersebut merupakan salah satu karakter dari sapi India. Namikawa et al. (1982 a ) menambahkan bahwa, sapi Sumatera (Aceh dan Pesisir) memiliki macam-macam warna yaitu hitam, cokelat kehitaman, cokelat kuning, dan abu-abu putih yang didominasi oleh warna cokelat kuning. Dibandingkan dengan warna sapi Bali (Banteng), menurut Payne dan Rollinson (1973); NRC (1983), sapi Bali terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas. Pada saat umur anak atau muda, warna sapi Bali betina yaitu cokelat muda

3 dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung dan jantan berwarna cokelat. Pada saat umur 12-18 bulan, warna sapi Bali jantan berubah menjadi agak gelap sampai mendekati hitam pada saat dewasa. Tipe warna sapi Bali (Banteng) yang demikian diduga juga ada kemiripan dengan pola warna yang dimiliki sapi Aceh, namun hal ini belum pernah dilaporkan. Sapi asli Indonesia telah mengalami seleksi alam dengan berbagai tekanan iklim tropis basah dan ketersediaan pakan yang sesuai daerah di mana sapi-sapi tersebut hidup. Dengan demikian dalam jangka waktu yang cukup lama telah terjadi interaksi genetik dan lingkungan sehingga menghasilkan sapi-sapi Aceh yang telah teradaptasi terhadap wilayah tersebut, dengan penampilan fenotipiknya beragam. Ketahanan ternak lokal terhadap lingkungan yang ekstrim telah diuji melalui hewan percobaan mencit (Mus musculus) oleh Abdullah et al. (2005) bahwa, mencit liar yang telah teradaptasi lingkungan dengan segala perubahan yang ada mempunyai gen pengatur daya produksi dan reproduksi yang lebih unggul terhadap stres lingkungan dibanding mencit laboratorium. Pengujian tersebut mendukung pendapat Noor (2008) bahwa, ternak-ternak asli telah terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan penyakit. Dengan demikian, ternak-ternak inilah yang paling cocok untuk dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun produksinya lebih rendah dari ternak impor, tetapi pengelolaannya lebih efisien. Eksploitasi sapi Aceh melalui persilangan yang semakin luas dan tidak terkontrol dengan bangsa sapi eksotik akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap sapi-sapi Aceh yang telah teradaptasi pada lingkungan setempat. Kekhawatiran ini telah terjadi pada sapi asli di Lithuania (Eropa Timur) yang terancam punah (Malevičiūtė et al. 2002) akibat persilangan yang disengaja tetapi tidak terstruktur. Bahkan beberapa sapi asli di negara India telah punah sebelum sapi ini diidentifikasi dan dimanfaatkan akibat persilangan yang meluas dan tidak terkontrol (Sodhi et al. 2006). Hal demikian ini juga ditegaskan oleh FAO (2000) bahwa, sumber daya genetik ternak asli akan cenderung punah akibat permintaan pasar yang baru (eksploitasi besar-besaran), persilangan yang tidak terkendali, pergantian breed (penggantian bangsa sapi yang sudah ada dengan bangsa sapi baru) dan kegiatan mekanisasi pertanian (penggantian penggunaan tenaga sapi dengan tenaga mesin untuk mengolah lahan pertanian).

4 Sehubungan dengan hal tersebut di negara berkembang, banyak peneliti sedang melakukan karakterisasi ternak asli/lokal secara fenotipik dan juga pada tingkat molekuler untuk digunakan dalam dokumentasi plasma nutfah yang ada serta prospek pemanfaatannya di masa yang akan datang (Sodhi et al. 2006). Karakter fenotipe ternak dapat menunjukkan ciri khas bangsa ternak tertentu. Ternak sapi merupakan hewan peliharaan sangat penting di Aceh secara turun-temurun sampai sekarang. Ancaman kepunahan sapi Aceh akibat persilangan yang tidak terkendali akan berdampak sangat luas bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh. Kehilangan sapi Aceh yang telah eksis selama ratusan tahun akan mengurangi pemenuhan kebutuhan protein hewani dan penyediaan daging meugang (hari adat pemotongan dan makan daging bersama) serta hewan kurban dalam perayaan keagamaan di Aceh, sehingga Aceh akan bergantung pada distribusi daging dari daerah lain atau impor. Disamping itu, hal ini akan mematikan perekonomian peternak yang merangkap petani dan merupakan bagian terbesar dari mata pencaharian penduduk Aceh. Lemahnya perekonomian peternak di Aceh akan menimbulkan gejolak sosial dan akan berakibat pada naiknya tingkat kemiskinan. Selain itu, FAO sebagai badan dunia sudah menganjurkan bahwa sedapat mungkin sumber daya genetik ternak lokal harus dipertahankan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian pada sapi Aceh mencakup inventarisasi sumber daya genetiknya melalui analisis fenotipik, DNA mitokondria pada daerah D-loop dan DNA mikrosatelit. Metode ini dapat digunakan karena tingkat akurasi sangat tinggi dalam menggambarkan keragaman genetik sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan guna menerapkan keputusan yang lebih tepat dan terarah dalam program pelestarian plasma nutfah sapi Aceh, pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Berdasarkan laporan terdahulu, penentuan daerah D-loop mtdna pada sapi dapat menunjukkan sejarah sapi (Nijman et al. 2003; Edwards et al. 2007) dan hibridisasi yang terjadi pada Banteng dan sapi Madura (Nijman et al. 2003). DNA mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis keragaman hewan, baik intraspesies maupun antarspesies (Muladno 2006). DNA mitokondria sudah terbukti suatu alat yang tangguh dalam analisis variasi dalam dan antarspesies, struktur populasi dan filogeni (Patricia et al. 2002). Sedangkan pada genom inti, sekarang ini, di antara beberapa penanda

5 molekuler yang digunakan untuk mengkarakterisasi genetik, mikrosatelit merupakan penanda yang paling disukai. Hal ini karena penanda tersebut bersifat polimorfik dan sangat informatif, kelimpahannya di dalam genom inti relatif besar, dan dapat diamplifikasi melalui PCR. Penanda ini telah digunakan untuk menjelaskan pola migrasi dan domestikasi pada sapi eropa (Loftus et al. 1994; Bruford et al. 2003) dan untuk karakterisasi populasi-populasi ternak sapi dari turunan Bos indicus dan Bos taurus (Moore et al. 1992; Beja-Pereira et al. 2003). Machado et al. (2003) menggunakan lokus-lokus mikrosatelit untuk mengevaluasi keanekaragaman genetik dalam masing-masing bangsa sapi dan perbedaan genetik di antara setiap bangsa. Penanda genetik mikrosatelit dapat memberikan informasi-informasi penting sehingga dapat dibuat keputusan mengenai konservasi pada ternak sapi (Sunnucks 2000; Sodhi et al. 2006). Tujuan Penelitian 1. Menginventarisasi sifat-sifat fenotipe kualitatif (warna dan pola warna, bentuk tanduk, garis muka dan punggung) dan kuantitatif (ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan) sapi Aceh sebagai ciri-ciri sapi lokal. 2. Mengkaji keragaman genetik daerah D-loop DNA mitokondria pada sapi Aceh untuk mengetahui asal-usulnya. 3. Mengkaji keragaman DNA mikrosatelit populasi sapi Aceh dan asal-usulnya. Manfaat Penelitian 1. Dapat memberi informasi keragaman fenotipik dan genetik sapi Aceh dalam pengelompokan sapi lokal di Indonesia. 2. Karakteristik sumber daya genetik sapi Aceh sebagai pedoman dalam menerapkan kebijakan dalam program pelestarian plasma nutfah, pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Hipotesis 1. Penanda genetik daerah D-loop DNA mitokondria dapat mengelompokkan sapi Aceh terhadap sapi lokal Indonesia dan sapi luar Indonesia. 2. Alel-alel mikrosatelit sapi Aceh bersifat polimorfik. 3. Asal-usul sapi Aceh adalah dari sapi-sapi india (Bos indicus) yang mengalami hibridisasi dengan Banteng (Bos javanicus).