PEMBELAJARAN DARI STUDI P2DTK: PERENCANAAN PARTISIPATIF DAN PENYEDIAAN LAYANAN MASYARAKAT
LATAR BELAKANG Tantangan perencanaan kabupaten dan desa: Tingginya tingkat partisipasi, rendahnya kualitas partisipasi Terbatasnya referensi bagi masyarakat, rendahnya kualitas fasilitasi rendahnya respon usulan terhadap kebutuhan masyarakat dan pengentasan kemiskinan P2DTK, memperbaiki model melalui: Menggabungkan partisipasi dengan pendekatan teknokratis Penguatan kelembagaan lokal: pendekatan Kelompok Lintas Pelaku Perbaikan kualitas proposal: Tim Kajian Teknis Integrasi: menjembatani program dengan perencanaan regular (Musrenbang)
TUJUAN PENELITIAN Untuk memahami: 1. Perbaikan layanan publik Apa yang berhasil, apa yang dihasilkan yang tidak 2. Pendekatan perencanaan Apa faktor dibelakang dalam program P2DTK bisa keberhasil/kegagalan tsb, menjawab tantangant apa insentif yang program-program PNPM mempengaruhi Mematangkan usulan perubahan Lebih responsif 3. Model integrasi dengan proses reguler Apa tantangan yang ada, praktek baik yang terjadi, pelajaran apa yang bisa diambil
PENYEDIAAN LAYANAN MASYARAKAT
GAMBARAN KEMANFAATAN SUB-PROYEK P2DTK TERHADAP PENYEDIAAN LAYANAN DAERAH *) Menggali usulan baru (15%) khususnya sektor pendidikan & kesehatan Mendukung agenda sektoral (40%) khususnya sektor kesehatan & infrastruktur Contoh: Contoh: - Pelatihan PHBS - Penambahan jam - Pembangunan Puskesdes belajar - Pelatihan penanganan pertama korban kecelakaan *) Sampel 40 Sub-project Mengakomodasi usulan terpinggirkan (45%) khususnya sektor pendidikan Contoh: - Pelatihan guru/ Manajemen BOS -Pembangunan infrastruktur wilayah terpencil
MANFAAT SUB-PROYEK P2DTK Usulan sub-proyek dianggap responsif dan sesuai kebutuhan masyarakat. Sebagian besar sub-proyek: menyediakan pelayanan publik yang tidak bisa didanai oleh anggaran daerah Namun, manfaat langsung bagi kelompok miskin masih dipertanyakan Masih ditemukan sub-proyek dengan kualitas rendah atau tidak berfungsi maksimal (15% sampel SP yang ditrekking) disebabkan bk masalah-masalah l h fasilitasi: i intervensi elit, tidak berjalannya peran TKT/KLP, dll
PENINGKATAN KAPASITAS Sub-proyek untuk peningkatan kapasitas/pelatihan dianggap sebagai terobosan - kegiatan ini biasanya sulit didanai anggaran kabupaten 4 titik kritis dalam kegiatan peningkatan kapasitas: Pemilihan jenis Pelatihan yang diusulkan masyarakat (pelatihan guru, MBS) dianggap lebih bermanfaat dibandingkan pelatihan yang dipesan oleh dinas (pelatihan PHBS) Materi & narasumber masih sangat terbatas Akuntabilitas pendanaan rawan celah korupsi Evaluasi & follow up kurang evaluasi kemanfaatan dan keberlanjutan
TANTANGAN DALAM PENYEDIAAN LAYANAN Akuntabilitas Akuntabilitas pendanaan sub-proyek (terutama yang dk dikelola l dinas) masih rendah. Pelaksanaan monitoring internal masih lemah Tindak lanjut sub-proyek sangat terbatas pembahasan rinci dengan pemerintah kabupaten belum dilakukan. Prioritasi kegiatan yang bermanfaat langsung bagi kelompok miskin.
PERENCANAAN PARTISIPATIF & INTEGRASI
PEMATANGAN USULAN DESA Proses perencanaan P2DTK: Berhasil meningkatkan referensi masyarakat dalam menganalisa kondisi i dan menyiapkan usulan Berhasil meningkatkan variasi jenis usulan (2-3 kali lebih banyak dari Musrenbang) Tim Kajian Teknis (TKT) dan Kelompok Lintas Pelaku (misalnya, Komite Sekolah, Badan Penyantun Puskemsas, Tenaga Penggerak Kesehatan Masyarakat) sangat berperan dalam proses di atas
TIM KAJIAN TEKNIS (TKT) dan KELOMPOK LINTAS PELAKU (KLP) TKT TKT: Tim yang dibentuk oleh P2DTK untuk membantu proses perencanaan Keistimewaan TKT dalam mendukung P2DTK: Didukung birokrat yang ahli di bidangnya Kesejajaran peran birokrat dan masyarakat KELOMPOK LINTAS PELAKU Kelompok Lintas Pelaku: Kelompok yang telah terbentuk (oleh dinas) di lokasi program Keistimewaan Kelompok Lintas Pelaku dalam mendukung P2DTK: Fleksible dalam interaksi dengan kelompok masyarakat dan pemerintah kabupaten Menguasai bidangnya
TANTANGAN DALAM PERENCANAAN PARTISIPATIF Akses pelaku/masyarakat terhadap informasi yang komprehensif masih terbatas. Data yang ada di daerah (statistik, renstra, RPJMD, dsb) sulit diakses, dan seringkali berkualitas rendah melemahkan proses teknokratis Pengawasan perencanaan di tk kabupaten lebih rendah dari tk desa/kecamatan (belum ada kebijakan & mekanisme yang mengatur lebih jauh) Peran institusi lokal kurang maksimal (khususnya sektor pendidikan & infrastruktur), karena belum memiliki kejelasan mekanisme kerja Proses perencanaan rentan didominasi kepentingan dinas
INTEGRASI P2DTK-MUSRENBANG Koordinasi berupa akomodasi usulan sudah terjadi secara merata di semua daerah Dominan adopsi usulan Musrenbang ke P2DTK; sangat sedikit adopsi P2DTK ke Musrenbang Mulai muncul perbaikan regulasi daerah (Perda Perencanaan Pembangunan Daerah - Sanggau, Bengkayang, g, Poso) Adopsi proses partisipatif, khususnya di desa/kecamatan (Sanggau, Halmahera Selatan, Halmahera Tengah) Adopsi institusi (TKT di Musrenbang Poso) Integrasi horisontal awal di tingkat desa (Halmahera Selatan) Perbaikan praktek kerja dinas sektoral (Sanggau) P2DTK diterima sebagai proses yang dapat melengkapi perencanaan reguler
TANTANGAN DALAM INTEGRASI Efek substitusi Pendanaan P2DTK lebih pasti Memperlemah insentif masyarakat & pemda untuk memperbaiki mekanisme musrenbang Paradigma Target reform musrenbang/integrasi belum menjadi paradigma pelaku program & pemerintah daerah, masih sebatas koordinasi Peran masih pasif Pean pelaku P2DTK untuk memperbaiki mekanisme reguler masih bersifat pasif, karena: Tidak ada mandat khusus dalam program Tidak ada mekanisme yang jelas Pemahaman dan ketrampilan asistensi masih lemah
KESIMPULAN 1. Sub-proyek P2DTK cukup berhasil membantu pelayanan publik di daerah dengan cara menyediakan layanan yang selama ini sulit diakomodasi anggaran daerah. Penajaman fungsi sub-proyek sebagai komplementer ini akan lebih meningkatkan efektivitas program. 2. Perbaikan model perencanaan dalam P2DTK dengan memasukkan unsur teknokratis - berhasil memperkuat pematangan usulan dan referensi masyarakat. Di sisi lain hal ini memunculkan tantangan baru, yang mensyaratkan adanya pengawasan masyarakat yang lebih kuat. 3. Integrasi dengan perencanaan reguler tidak otomatis terjadi, walaupun peluang untuk itu sangat besar. Di berbagai wilayah integrasi terjadi lebih karena adanya faktor ketokohan (championship) h i hi sebagai jembatan, belum didukung mekanisme & struktur insentif yang disiapkan oleh program secara khusus. Integrasi vertikal khususnya masih menjadi tantangan yang besar.
REKOMENDASI
PERBAIKAN DESAIN PROGRAM 1. Mandat Memberikan mandat khusus dalam program untuk mengawal perbaikan mekanisme reguler 2. Kualitas informasi Memperbaiki ketersediaan & kualitas informasi untuk memperkuat proses: Mekanisme identifikasi dan analisa kondisi awal secara komprehensif, yang akan menjadi dasar perencanaan selanjutnya Meningkatkan kapasitas TKT/KLP dalam penggunaan data 3. Peningkatan pengawasan oleh masyarakat Melalui: Penguatan forum-forum konsultasi Peningkatan kapasitas perwakilan masyarakat dalam kelompok lintas pelaku dan TKT
PERBAIKAN DESAIN PROGRAM 4. Sub-proyek lebih spesifik Penentuan menu sub-project sebaiknya lebih spesifik, berbedatetapi-komplementer terhadap program APBD. Hal ini akan membuat efektivitas program lebih terkontrol. 5. Perbaikan kualitas tenaga pendamping Sesuai kompetensi Kemampuan mengasistensi pemda, khususnya di tingkat kabupaten 6. Penguatan kelompok lintas pelaku Prioritaskan penguatkan institusi lokal yang sudah ada, tanpa membentuk institusi baru. Perlu pemetaan kekuatan-kelemahan setiap institusi, mencari strategi penguatan sesuai pemetaan tsb Menempatkan peran/tanggungjawab pelaku program sesuai dengan tupoksi dinas
KEBIJAKAN YANG LEBIH LUAS Menjamin peran menjembatani Penting untuk memposisikan Bappeda sebagai leading sector mengkoordinasikan semua program PNPM Penting untuk meningkatkan kapasitas institusi lokal - peran sebagai grup penekan - untuk perbaikan mekanisme reguler sehingga spillover praktek baik program lebih meluas Pelibatan DPRD Penting lebih melibatkan peran DPRD dalam 2 fungsi: Sinkronisasi program daerah Monitoring program
KEBIJAKAN YANG LEBIH LUAS Memperkuat insentif Penting mendesain insentif agar terjadi perbaikan mekanisme reguler, misalnya dengan: Menetapkan indikator perbaikan perencanaan reguler yang harus dicapai daerah Contoh: Tingkat adopsi usulan masyarakat dalam APBD Tingkat adopsi usulan P2DTK dalam musrenbang Mengubah prasyarat daerah (cost-sharing) menjadi insentif yang lebih efektif untuk mendorong capaian diatas. Menjamin kepastian dana program Perlu memikirkan untuk menjadikan program P2DTK (dan PNPM lainnya) sebagai mekanisme komplementer pendanaan yang bersifat pasti (integrasi dalam APBD), dengan persyaratan tertentu (earmark fund). Ini akan bisa menjadi insentif bagi daerah untuk memperbaiki mekanisme reguler