BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan tersebut, pembangunan industri yang dipilih harus berwawasan lingkungan, dengan tujuan sedikit mungkin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001). Salah satu dampak penting akibat pembangunan industri adalah perubahan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran udara. Pencemaran udara yang terjadi selain pencemaran udara di ambien (outdoor air pollution) juga pencemaran udara dalam ruangan (indoor air pollution). Pencemaran udara di ambien terjadi karena masuknya polutan dari hasil kegiatan industri, kendaraan bermotor, pembakaran hutan, letusan gunung berapi dan pembangkit tenaga listrik (Fardiaz,1992). Polutan-polutan hasil kegiatan industri dapat berupa gas dan partikulat yang berisiko terhadap kesehatan manusia yang dipengaruhi oleh intensitas dan lamanya keterpajanan, selain itu juga dipengaruhi oleh status kesehatan penduduk yang terpajan (Kusnoputranto, 2000).
Salah satu industri yang berkembang di masyarakat dan menghasilkan bahan buangan partikulat berupa debu adalah industri meubel yang umumnya informal karena tumbuh dan berkembang sebagai bentuk usaha home industry. Konsekuensinya adalah terjadinya pencemaran udara akibat aktivitas industri meubel khususnya terhadap kualitas udara akibat kadar debu yang tinggi dan melebihi standar kadar debu dilingkungan industri (Yenny, 2003). Selain itu proses produksi maupun efluen dari proses produksi meubel. Dampak terhadap keadaan kadar debu ambien disekitar pabrik yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan dan estetika. Dalam industri meubel, bahan buangan partikulat merupakan hasil dari proses pemotongan, penggergajian, pengerutan dan pengamplasan. Dalam konsentrasi yang besar, partikulat dari kayu dapat menimbulkan pemaparan pada pekerja secara intensif (Munziah, 2003). Efek kesehatan pada saluran pernapasan dapat dinilai melalui gejala penyakit pernapasan. Gejala penyakit pernapasan banyak dipakai dalam penelitian efek kesehatan oleh partikulat (Purwana,1999). Keseluruhan gangguan saluran pernafasan sangat erat kaitannya dengan kualitas udara yang dihirup oleh pekerja maupun masyarakat di sekitar lingkungan industri meubel yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi debu ambien. Menurut Depkes (1998) kualitas udara merupakan salah satu indikator kesehatan lingkungan industri diukur dari kadar debu, suhu, kelembaban, pertukaran udara, dan gas pencemar. Debu industri yang terdapat dalam udara terbagi dua, yaitu pertama
deposit particulate matter atau partikel debu yang hanya berada sementara di udara, dan akan segera mengendap karena daya tarik bumi. Kedua adalah Suspended particulate matter atau debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Sintorini, 2002). Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran pernafasan bagian atas; sementara yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran napas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron, disebut debu respirabel, merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis sampai alveoli (Widjaja, 1992). Debu debu juga dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis bila terinhalasi selama bekerja dan terus menerus. Bila alveoli mengeras akibatnya mengurangi elastisitas dalam menampung volume udara sehingga kemampuan mengikat oksigen menurun (Depkes RI, 2003). Pengrajin meubel kayu adalah pekerja sektor informal yang menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional (Depkes RI,2002). Adapun proses pembuatan meubel pada pabrik meubel antara lain (1) pemotongan, (2) penggergajian, (3) pengerutan, dan (4) pengamplasan. Keseluruhan aspek pekerjaan tersebut berpotensi terhadap konsentrasi debu dan kualitas udara dalam ruangan pabrik, sehingga berdampak terhadap gangguan saluran nafas pekerja.
Adapun mekanisme masuknya debu dalam saluran nafas pekerja bervariasi berdasarkan konsentrasi debu udara. Partikel debu yang berukuran 5 µm sampai dengan 10 µm tertahan terutama pada saluran pernafasan bagian atas. Di Kota Banda Aceh, industri meubel telah berkembang dengan pesat dalam 5 tahun terakhir. Sebagai industri sektor informal, kekuatan modal dan ketrampilan pekerja mempengaruhi kemampuan produksi. Namun demikian, dengan sistem kerja yang tidak mekanis dan tidak memiliki ikatan waktu yang ketat, para pekerja menjadi terlibat secara fisik sepenuhnya terhadap pekerjaannya, mengambil jam lembur dan bekerja jauh lebih lama dibandingkan tenaga kerja pada sektor formal. Selain itu, akibat dari keterbatasan modal pemilik usaha, keadaan lingkungan kerja tidak disiapkan untuk memberikan perlindungan dalam bekerja terhadap pemaparan partikulat PM 10 dan umumnya mereka bekerja tidak disediakan alat pelindung diri. Dengan demikian, walaupun bahan buangan jumlahnya relatif rendah, namun kontak dengan bahan tersebut relatif lebih lama, maka pekerja meubel pada sektor informal lebih berisiko dibandingkan pada industri sektor formal. Seperti halnya debu yang lain, pada umumnya debu kayu merupakan hasil mekanis dari suatu tindakan penggergajian, perautan, pengamplasan dan lain-lain. Karena itu, debu kayu mempunyai ukuran yang memungkinkan untuk masuk ke dalam saluran pernapasan dan mengendap di dalam paru. Kayu yang merupakan bagian dari struktur tumbuh-tumbuhan, juga tersusun dari zat organik sehingga debu kayu dapat digolongkan ke dalam debu organik. Disamping itu, beberapa golongan kayu yang digunakan dalam industri meubel
mengandung substansi kimia yang dapat memberikan efek alergi dan toksik pada manusia seperti kayu Johar, kayu Ebony, kayu Rengas, kayu Kasasi, sehingga debu kayu tersebut dapat menimbulkan dermatitis kronik, konyungtivitis, asma rinitis dan lain-lain (Purnomo, 2007). Pada industri meubel, terkadang kayu yang digunakan sebagai bahan baku sudah mengalami pengawetan kimiawi sebelumnya, seperti pada kayu lapis. Jika debu kayu terinhalasi oleh pekerja, maka pada zat-zat tersebut akan masuk ke dalam paru dan dapat memberikan efek yang merugikan kesehatan, terutama jika konsentrasinya cukup besar untuk menimbulkan penyakit (Purnomo, 2007). Pemajanan debu pada pekerja dipengaruhi oleh kondisi lingkungan industri seperti ventilasi, suhu dan kelembaban udara. Dalam lingkungan industri, sistem ventilasi atau penghawaan dibangun berdasarkan kepentingan ruang yaitu sebagai ruang produksi atau administrasi. Sebagai ruang produksi, sistem ventilasi umumnya terbuka atau setengah terbuka, dan banyak dilengkapi dengan exhauster yang berfungsi sebagai penyedot udara sehingga pertukaran udara menjadi lebih lancar (Suma mur, 1995). Kelembaban udara bergantung pada berapa banyak uap air (dalam %) yang terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah. Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 40% - 60%. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan suhu dan keduanya merupakan pemicu pertumbuhan jamur dan bakteri (Suma mur, 1995).
Berdasarkan data Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kota Banda Aceh (2008), di Kota Banda Aceh terdapat 77 industri meubel formal yang terdiri dari 5 industri ukiran kayu, 13 industri ketam kayu, 4 industri meubel rotan dan 55 industri perabot rumah tangga, sedangkan industri meubel yang non formal sebanyak 47 home industri terdiri dari 16 industri ukiran kayu, 10 industri meubel rotan dan 21 industri perabot rumah tangga. Keseluruhan industri tersebut memberikan kontribusi terhadap keadaan udara di kota Banda Aceh. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Banda, prevalensi infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) pada tahun 2008 sebesar 34% dan sampai November tahun 2009 sebesar 35,4% (Profil Kesehatan Kota Banda Aceh, 2008). Berdasarkan laporan Bapedal Kota Banda Aceh (2008), pemeriksaan kualitas udara di Kota Banda Aceh hanya dikonsentrasikan pada daerah-daerah pemukiman penduduk pada areal pabrik dan daerah dengan sumber pencemar dari kenderaan, namun pemeriksaan kualitas udara pada industri meubel skala kecil masih belum dilakukan. Keadaan ini memberikan gambaran ada dugaan kualitas udara dalam ruangan pabrik meubel belum memenuhi syarat kesehatan lingkungan industri, sehingga secara permanen berdampak terhadap gangguan saluran pernafasan bagi pekerja dan masyarakat di lingkungan industri meubel. Penelitian yang dilakukan oleh Siti, (2006), menunjukkan ada hubungan antara masa kerja dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan Kapasitas Vital Paru (KVP). Kapasitas paru dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu umur, jenis kelamin,
kondisi kesehatan, riwayat penyakit dan pekerjaan, kebiasaan merokok dan olah raga, serta status gizi pekerja. Penelitian Purnomo (2007), juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur dengan terjadinya gangguan saluran pernafasan pekerja. Beberapa studi menjelaskan bahwa kelompok umur dewasa mempunyai penyakit pada sistem pernapasan berhubungan dengan agen penyakit seperti influenza, sehingga meningkatkan kerentanannya terhadap efek buruk partikel debu. Selain itu ada hubungan antara masa kerja dengan gejala penyakit saluran pernapasan. Namun demikian, masa kerja tidak mempunyai hubungan langsung terhadap terjadinya gangguan pernapasan, Keadaan ini disebabkan oleh karena variabel masa kerja tidak secara langsung atau tidak dapat berdiri sendiri untuk mempengaruhi gangguan pernapasan, sehingga memerlukan variabel lain untuk bersama-sama mempengaruhi gangguan fungsi pernapasan. Penelitian Huda (2004), menunjukkan kerentanan terhadap efek yang berhubungan dengan pemajanan PM 10 akan meningkat pada kelompok pekerja yang mempunyai masa kerja lebih tinggi dan berhubungan dengan debu kayu, dibandingkan kelompok pekerja yang mempunyai masa kerja lebih tinggi tetapi tidak berhubungan dengan debu kayu. Lingkungan kerja industri meubel juga berdampak terhadap konsentrasi debu dan akhirnya akan mempengaruhi kapasitas paru pekerja. Menurut Yenny (2003) menunjukkan kelembaban mempengaruhi proses pajanan debu, dimana debu yang terdispersi pada ruang yang lebih lembab akan bergerak secara terbatas karena
terabsorbsi oleh uap air yang ada di udara sehingga berat molekulnya bertambah. Dengan pertambahan berat molekul debu, menyebabkan debu jatuh mengikuti gaya gravitasi bumi. Pada variabel suhu ruang kerja, didapatkan suhu ruang kerja tidak berhubungan dengan gejala penyakit saluran pernapasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Yenny (2003) bahwa suhu ruang yang panas akan mendorong pekerja untuk berada diluar ruang seperti di bawah pohon untuk mendapatkan suasana yang lebih segar sehingga akan mempengaruhi tingkat pajanan debu kepada pekerja. Namun demikian secara teoritis, suhu ruang yang tinggi akan meningkatkan gerak partikel atau debu yang terdispersi di udara karena partikel tidak terikat oleh uap air yang ada di udara. Pada variabel luas ruang kerja, didapatkan luas ruang kerja tidak berhubungan dengan gejala penyakit saluran pernapasan. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Robert et.al (1998) terhadap pekerja batu bara, dimana ruangan yang luas dan terbuka dapat tidak menyebabkan terjadinya gangguan fungsi paru sebanyak 34%. Hubungan yang tidak bermakna kemungkinan disebabkan oleh semakin luas ruangan, suhu ruang kerja menjadi meningkat dan menyebabkan penurunan tingkat kelembaban, sehingga debu yang berada di udara ruang kerja mudah bergerak dan lebih banyak terhirup oleh pekerja. Secara teori dapat dijelaskan bahwa kenaikan suhu udara akan menurunkan tingkat kelembaban ruang, disebabkan uap air yang terdispersi di udara mengalami penguapan sehingga partikel atau debu tidak berikatan dengan uap air.
Berdasarkan hasil observasi peneliti pada bulan Mei 2010, umumnya proses produksi meubel dilakukan di luar ruangan, sehingga konsentrasi debu tidak hanya bersumber dari proses produksi tetapi juga berasal dari luar yaitu debu jalanan dan aktivitas masyarakat lainnya, selain itu umumnya pekerja juga tidak menggunakan APD, dan hanya sebagian kecil saja yang menggunakan APD jenis masker. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh keadaan lingkungan kerja, karakteristik pekerja, dan kadar debu kayu (PM 10 ) terhadap kapasitas vital paru pekerja pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh. 1.2 Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh keadaan lingkungan kerja, karakteristik pekerja dan kadar debu kayu (PM 10 ) terhadap kapasitas vital paru pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh keadaan lingkungan kerja (ventilasi, suhu dan kelembaban), karakteristik pekerja (umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap dan penggunaan APD) dan kadar debu kayu (PM 10 ) terhadap kapasitas vital paru pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh.
1.4 Hipotesis 1. Ada pengaruh antara keadaan lingkungan kerja industri kecil (keadaan ventilasi, suhu, dan kelembaban udara) terhadap kapasitas vital paru pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh. 2. Ada pengaruh antara karakteristik pekerja (umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap dan penggunaan APD) terhadap kapasitas vital paru pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh. 3. Ada pengaruh antara kadar debu kayu (PM 10 ) terhadap kapasitas vital paru pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dan Badan Pengawasan Dampak Lingkungan (BAPEDAL) Kota Banda Aceh dalam perumusan kebijakan upaya penyehatan lingkungan industri dan pencegahan penyakit berbasis pencemaran udara. 2. Sebagai masukan dan informasi bagi para pekerja industri meubel kayu tentang gambaran kesehatan lingkungan dan keadaan kadar debu kayu (PM 10 ) pada industri meubel kayu di Kota Banda Aceh. 3. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang kesehatan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan industri. Serta dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.