BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pendidikan sendiri tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam

BAB II LANDASAN TEORI. berperilaku (Bandura, 1997). Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa selfefficacy

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB I PENDAHULUAN. mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain dan

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam etnis,

.KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia, sesuatu yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. ciri khas dari Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia termasuk dalam hal. konflik apabila tidak dikelola secara bijaksana.

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah kota besar terdiri dari beberapa multi etnis baik yang pribumi maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pulau sebanyak pulau, masing-masing pulau memiliki pendidikan formal

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. seseorang (Sugiyanto dalam Cahyani,2013). Sugiyanto juga menjelaskan bahwa prestasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, pada setiap jenjang pendidikan, baik itu Sekolah

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan biaya pendidikan gratis bagi siswa berprestasi dan beasiswa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah upaya untuk mengembangkan potensi

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dalam pendidikan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. mengubah atau mengembangkan karakter individu. Karakter yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I PENDAHULUAN. yakni Bhineka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap

AKULTURASI MAHASISWA PRIBUMI DI KAMPUS MAYORITAS TIONGHOA. Oleh : Tantri Kusuma Wardhani ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku bangsa,

PELATIHAN PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bahan ajar merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran. Bahan

BAB I PENDAHULUAN. konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan. Indonesia, khususnya generasi muda sebagai generasi penerus.

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan, di dalam suatu pembelajaran harus ada motivasi belajar, agar

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung sepanjang hayat, berlangsung di rumah, di sekolah, di unit-unit

BAB I (Times New Roman 16, Bold) PENDAHULUAN

UKDW BAB I. (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h

BAB I PENDAHULUAN. didik ke dalam proses belajar sehingga mereka dapat memperoleh tujuan belajar

BAB I PENDAHULUAN. seseorang harus mempunyai perencanaan keuangan yang baik dalam pendapatan

2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia dimana perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan kondisi yang kaya akan suku bangsa atau sering

I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan analisis dan pengujian terhadap hipotesis yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Psychological well-being atau kesejahteraan psikologis individu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau sekolah dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien (Zamroni,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Sebagian besar siswa yang telah menyelesaikan pendidikan dari Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bertambah dalam menghadapi era globalisasi, untuk menghadapi globalisasi dan

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejalan dengan meningkatnya ketergantungan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang perilakunya diperoleh melalui

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan intelektual dan kognitif. Kemampuan intelektual ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber. daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h.

industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI SELF-REGULATED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN SELF-EFFICACY PESERTA D IDIK D ALAM MENGHAFAL AL-QUR AN

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Objek Penelitian Landasan Dasar, Asas, dan Prinsip K3BS Keanggotaan Masa Waktu Keanggotaan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah perannya sebagai seorang mahasiswa. Ada banyak sekagli pekerjaan,

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan dirinya salah satunya untuk suatu keahlian tingkat sarjana.

BAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam esensi pendidikan sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tira Nur Indah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Widjaja, 2006). Pegawai memiliki peran yang besar dalam menentukan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana dan pada zaman apapun juga selalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

DINAMIKA KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI KALANGAN MAHASISWA FISIP USU DALAM MENJAGA HARMONISASI. Fipit Novita Sari

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri. Berpikir kritis berarti melihat secara skeptikal terhadap apa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Warga negara diartikan sebagai bagian dari suatu penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan seseorang baik dalam keluarga, masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. sama halnya yang dikemukakan oleh Purdi E. Chandra yang merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dapat ditunjukkan oleh manusia lain sebagai pelaku komunikasi. berupa ekspresi, gerak tubuh, maupun simbol simbol tertentu yang

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perdagangan, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya. Sedemikian

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di dalam organisasi merupakan konsekuensi logis untuk. bersaing untuk mencapai yang terbaik (Gudono, 2014).

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga sebagai alat mobilitas vertikal ke atas dalam golongan sosial. Konsep mengenai pendidikan sendiri tercantum dalam pembukaaan UUD 1945 bahwa salah satu tujuan negara yakni mencerdaskan bangsa dan mengarahkan kepada mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen IV ayat pertama juga menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang berhak mengenyam pendidikan sebagai warga negara Indonesia yang tinggal di negara Indonesia ini (Undang-Undang Dasar, 1945). Berdasarkan pernyataan dari konstitusi di atas, setiap orang siapapun dia, bersuku apapun, beragama apapun, selagi merupakan rakyat Indonesia berhak untuk mengenyam pendidikan di institusi mana pun. Indonesia sebagai negara multikultural tidak akan pernah lepas dengan diversitas sosiokultural di dalam suatu institusi pendidikan. Sebagaimana kultur didefinisikan sebagai pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya (Chun, Organizta, & Marin, 2002; Thomas, 2000 dalam Santrock, 2008). Indonesia sebagai negara multikultural, salah satu tema penting dalam kerangka persatuan nasional berkaitan dengan persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik (Mendatu, 2010). Multikultural telah menghasilkan keberagaman sebagai

hasil dari perbedaan ras dan etnik yang merujuk kepada identitas diri seseorang (Mitchell & Salsbury, 1999). Pendidikan di Indonesia sendiri memiliki berbagai keragaman etnis maupun agama. Untuk itu, sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan karena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya (Akhmad, 2008). Kesadaran multikulturalisme tersebut dapat berkembang dengan baik apabila dilatihkan dan dididikkan pada generasi penerus melalui pendidikan. Dengan pendidikan multikultural, sikap saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi penerus dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain sehingga peran budaya merupakan salah satu kekuatan di dalam mempersatukan kehidupan kelompok masyarakat (Yani, 2010). Pembauran dapat dilihat dalam lapisan masyarakat, termasuk dalam lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat atas sebagai wadah pembauran atau melting pot (Glazer & Moynihan, 1963). Menurut Pelly (2003) melting pot dapat dianggap sebagai wadah asimilasi dengan harapan agar kelompok tertentu dapat meleburkan (diri dan budayanya) kepada kelompok yang lebih dominan. Pada akhirnya muncul kebijakan asimilasi yang merupakan cara agar kelompok minoritas dapat melebur ke dalam kelompok mayoritas (Mendatu, 2010). Peleburan tersebut tidak hanya

dalam konteks sosial, namun di dalam dunia pendidikan. Pada tahun 1967 pemerintah mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) sebagai sekolah pembauran (berdasarkan Intruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967). Sekolah dilihat sebagai wadah pembauran (melting pot) antara kelompok pribumi dengan kelompok non pribumi, agar generasi muda non pribumi dapat meleburkan diri dan budayanya ke dalam budaya nasional melalui wadah pendidikan. Pada tahun 1975, SNPK dirubah menjadi Sekolah Nasional Swasta yang kemudian menjadi basis sekolah asimilasi (pembauran). Pada saat itu, di Sumatera Utara berdiri 32 buah sekolah SNPK untuk tingkat SD, SMP, dan SMA dengan mewajibkan komposisi siswa-siswa 50% non pribumi dan 50% siswa pribumi (Pelly, 2003). Akan tetapi, saat ini salah satu sekolah pembauran di Sumatera Utara yang ikut serta melaksanakan Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967 adalah Yayasan Perguruan SMA Sutomo 1 Medan. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah pembauran swasta yang mayoritas siswanya terdiri dari non pribumi yakni etnis Tionghoa sekitar 80 % dan sisanya sekitar 20 % etnis non Tionghoa yang terdiri dari Batak, Karo, Jawa, dll. Berdasarkan penelitian Pelly (2003) mengenai sekolah pembauran di kota Medan, menyatakan bahwa jumlah siswa pribumi dan non pribumi sulit untuk mencapai jumlah yang setara sesuai dengan program pemerintah. Hal ini terjadi dengan SMA Sutomo sebagai sekolah pembauran yang didominasi oleh etnis Tionghoa dengan alasan terdapat hambatan fisik dan psikologis, seperti keengganan belajar di satu kelas yang sama dengan WNI keturunan Tionghoa, letak sekolah pembauran yang sebagian besar

berada di komunitas WNI keturunan Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang sekolah yang tinggi. Perguruan SMA Sutomo 1 Medan memperlihatkan bahwa etnis Tionghoa menjadi etnis mayoritas, sedangkan etnis non Tionghoa menjadi minoritas di dalam sekolah ini. Suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam kominitas (Mendatu, 2010), sedangkan kelompok mayoritas merupakan kelompok dominan dalam suatu komunitas yang memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol (Liliweri, 2005). Oleh karena itu, suatu sekolah dapat dikatakan sebagai sekolah mayoritas etnis Tionghoa ketika terdiri dari pelajar yang memiliki etnis Tionghoa dengan jumlah yang paling banyak (lebih dari 50%) dibandingkan etnis lainnya di sekolah tersebut. Sekolah-sekolah yang mayoritas pelajarnya etnis Tionghoa maka kebudayaan yang dominan berlaku di sekolah tersebut adalah nilai-nilai budaya Tionghoa yang mereka anut. Sekolah yang mayoritas satu etnis tidak luput memiliki berbagai macam permasalahan. Salah satu jenis masalah yang muncul menurut Naim dan Sauqi (2008) adanya kesenjangan multidimensional yaitu kesenjangan dalam aspek-aspek kemasyarakatan serta kesenjangan antara mayoritas dan minoritas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumiati (2000) di salah satu SMA di Cirebon, Jawa Barat, ditemukan bahwa siswa Tionghoa hanya melakukan interaksi dengan siswa Non Tionghoa dalam hal belajar (56,7%), siswa Tionghoa cenderung mengurangi komunikasi mereka dengan siswa non Tionghoa dalam hal lainnya seperti pertemanan atau kehidupan sosial.

Selain itu, permasalahan lainnya yang muncul dimana siswa non Tionghoa sebagai minoritas, sering dilabel dengan julukan anak nakal dan anak-anak sulit masuk peringkat tinggi di kelas. Hal ini terjadi karena prestasi siswa non Tionghoa kerap kali tidak sebaik kelompok siswa Tionghoa (Fachrosi, 2013). Menurut Liliweri (2005) permasalahan yang juga muncul di sekolah yang mayoritas satu etnis yaitu kelompok mayoritas merupakan kelompok yang memiliki kontrol (Liliweri, 2005). Dalam hal ini berdasarkan wawancara pada siswa etnis non Tionghoa sebagai kelompok siswa minoritas SMA Sutomo 1, mereka merasa terasingkan dalam komunitas sekolah dan memiliki kontrol yang kecil dalam hal berdiskusi, karena sebagian siswa mayoritas yang beretnis Tionghoa sering menggunakan bahasa daerah mereka (Hokkien) baik dalam berdiskusi dengan kelompok, maupun berdiskusi dengan guru. Di sekolah yang di dominasi oleh satu budaya menyebabkan terjadinya culture shock bagi yang minoritas. Fenomena ini akan dialami oleh setiap orang yang melintasi dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang memiliki perbedaan baik secara pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh orang tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009). Di SMA Sutomo sendiri diperkirakan mengalami fenomena culture shock. Ini bisa dilihat dari kelompok siswa sebagai minoritas di sekolah ini harus hidup dengan nilai-nilai dan budaya yang berbeda dengan mereka. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan dan kemungkinan mempengaruhi self-efficacy mereka. Hal ini sesuai dengan Bandura (1997) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi self-efficacy adalah budaya. Bandura (1997) mengatakan Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan (beliefs), dan proses

pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy. Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai suatu keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan tugas tertentu. Keyakinan akan self-efficacy mempengaruhi pemilihan perilaku, usaha, dan ketekunan seseorang. Self-efficacy dapat menentukan bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, dan berperilaku (Bandura, 1997). Menurut Bandura (dalam Barakatu, 2007) individu perlu memiliki self-efficacy dalam menjalankan satu kegiatan, untuk menumbuhkan kepercayaan dalam diri individu bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk berhasil dengan sukses melakukan sesuatu dan mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang ada di dalam lingkungan sekitarnya, terutama di dunia pendidikan, serta memotivasi individu untuk berusaha mengubah dirinya secara positif menjadi individuindividu yang mampu berprestasi. Individu yang memiliki self-efficacy yang positif akan cenderung meraih kesuksesan dibandingkan kegagalan, dikarenakan semakin tinggi self-efficacy seseorang maka semakin kuat motivasinya untuk berprestasi (Bandura, 1997). Fenomena yang terjadi di Sutomo sendiri, berdasarkan dari hasil wawancara dengan beberapa siswa di non Tionghoa diketahui bahwa mereka ketika suatu tugas diberikan kepada mereka, mereka yakin dan mampu dapat menyelesaikan setiap tugas tersebut, namun pada saat ujian mereka gagal dalam menyelesaikannya memperoleh hasil yang tidak memuaskan dari ujian tersebut, sehingga fenomena sering terjadi di Sutomo setiap tahunnya, yakni banyaknya siswa yang tinggal kelas yang berasal dari etnis non Tionghoa.

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merasa perlu untuk meneliti mengenai perbedaan self-efficacy pada siswa etnis Tionghoa dan non Tionghoa di kota Medan. Dalam penelitian ini, peneliti mengkhususkan suatu sekolah dimana sekolah tersebut memiliki siswa yang mayoritasnya adalah etnis Tionghoa yaitu SMA Sutomo 1 Medan. Oleh karena itu, peneliti mengajukan penelitian dengan judul Perbedaan Selfefficacy pada siswa etnis Tionghoa dan non Tionghoa di SMA Mayoritas Etnis Tionghoa di Kota Medan (studi kasus di SMA Sutomo 1 Medan). B. RUMUSAN MASALAH Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan self-efficacy siswa etnis Tionghoa dan non Tionghoa di SMA mayoritas etnis Tionghoa? C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan selfefficacy antara siswa etnis Tionghoa dan non Tionghoa. D. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini dibagi atas manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu: 1. Manfaat teoritis a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan kajian Psikologi secara umum, dan Psikologi Pendidikan secara khusus.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan self-efficacy serta kaitannya pada siswa Tionghoa dan non Tionghoa di SMA mayoritas etnis Tionghoa. 2. Manfaat praktis a. Sekolah Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai self efficacy yang dirasakan siswa-siswa SMA Sutomo 1 baik pada siswa Tionghoa maupun non Tionghoa. b. Bagi Siswa Siswa mengetahui self-efficacy yang dimiliki sehingga siswa lebih mampu untuk meningkatkan self-efficacy mereka saat berada di sekolah. E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah : BAB I : Pendahuluan Bab ini terdiri dari atas latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yang meliputi teori mengenai self-efficacy. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai dugaan sementara terhadap masalah penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian Bab ini menguraikan identifikasi, definisi operasional, populasi, sampel, dan metode pengambilan sampel, alat ukur, uji validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksaan penelitian, serta metode analisa data. BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisikan mengenai gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian dan hasil tambahan penelitian. BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisikan mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan memuat kesimpulan dan saran penelitian.