BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda, tetapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Pengertian pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Jalan Diponegoro Nomor 22 Telepon (022) Faks (022) BANDUNG 40115

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 68 TAHUN 2011 TENTANG

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II LANDASAN TEORI. sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing ahli pada saat merumuskan. Definisi pajak menurut para ahli sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI. peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 13 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH TENTANG

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Andriani dalam bukunya Waluyo (2009: 2) menyatakan bahwa

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 75 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB)

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PAJAK DAERAH PROVINSI

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR KALIMANTAN UTARA

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN ALOKASI BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH MENTERI DALAM NEGERI,

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak pada dasarnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Dalam menghadapi era-globalisasi dan peningkatan usaha pembangunan, maka

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN ALOKASI BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH MENTERI DALAM NEGERI

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

: a. bahwa untuk melaksanakan pemungutan Pajak Daerah

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 71 TAHUN 2016 TENTANG

Dasar-dasar Perpajakan. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Praktik Kerja Lapangan Mandiri

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan

GUBERNUR SUMATERA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2016 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan harkat, martabat,

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 080 TAHUN 2013 TENTANG

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 030 TAHUN 2014

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 22 TAHUN 2006

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTEK KERJA LAPANGAN MANDIRI. oleh pemerintah pusat merupakan sumber penerimaan Negara Anggaran

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

BAB II BAHAN RUJUKAN

LEMBARAN DAERAH PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 56 TAHUN 2001

210 TAHUN 2015 PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BE

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 40 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 059 TAHUN 2016 TENTANG

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 056 TAHUN 2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pajak menurut beberapa ahli antara lain :

BAB II BAHAN RUJUKAN

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG

Gubernur Jawa Barat. Gubernur Jawa Barat

BAB III GAMBARAN DATA OBJEK PAJAK. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Teori Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak Terdapat banyak pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli. Pengertian pajak menurut para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi tersebut mempunyai tujuan dan inti yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Pengertian pajak menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R. Dalam Zain (2008:11) menyatakan bahwa: Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang diterapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo (2011:3) menyatakan bahwa: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukan dan jasa yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut P.J.A Andriani dalam Waluyo (2011:2) pengertian pajak adalah sebagai berikut: Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan. 11

12 Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut: 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontrapretasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur. 2.1.1.1 Fungsi Pajak Dari pengertian pajak yang telah dijelaskan oleh beberapa para ahli di atas, secara teoritis dan praktis dapat dilihat bahwa pajak memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan Negara dan masyarakat. Menurut Waluyo (2008:6) terdapat dua fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi Anggaran (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah.

13 2.1.1.2 Jenis Pajak Menurut Mardiasmo (2011:50) pajak dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu menurut golongannya, sifatnya dan lembaga pemungutannya. 1. Menurut Golongannya a. Pajak Langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak Tidak Langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan. b. Pajak Objektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

14 b. Pajak Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri dari: a. Pajak Provinsi Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. b. Pajak Kabupaten/Kota Contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan. 2.1.1.3 Konsep Tarif Pajak Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan. Keadilan dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam penetapan tarif pun harus berdasarkan keadilan. Dimana perhitungan pajak yang terutang menggunakan tarif pajak (Waluyo,2010). Pada praktiknya, dikenal beberapa jenis pengenaan tarif yaitu: 1. Tarif Proposional atau Sebanding Tarif proposional adalah tarif yang berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak (Mardiasmo,2011). Contoh: Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% 2. Tarif Progresif Tarif progresif adalah suatu tarif yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang harus dikenakan pajak semakin besar (Mardiasmo,2011). Penggunaan tarif ini menyebabkan penerima penghasilan yang lebih tinggi dapat mendistribusikan penghasilan kepada penerima penghasilannya kepada penerima penghasilan yang lebih rendahmelalui pembayaran pajak. Contoh: Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri berdasarkan pasal 17 ayat (1) huruf a, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

15 3. Tarif Degresif Tarif degresif adalah tarif yang besar persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dikenakan pajak semakin besar (Mardiasmo,2011). 4. Tarif Tetap Tarif tetap adalah tarif pajak yang besarnya tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap (Mardiasmo,2011). 2.1.2 Pajak Daerah 2.1.2.1 Pengertian Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah adalah: Iuran Wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah Sedangkan pengertian Pajak Derah menurut Raharjo Adisasmita (2009:72) menyatakan bahwa: Pajak Daerah adalah kewajiban penduduk masyarakat menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada daerah disebabkan suatu keadaan, kejadian atau perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai suatu sanksi atau hukum 2.1.2.2 Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengatur dengan jelas bahwa untuk dapat dipungut pada suatu daerah, setiap jenis pajak daerah harus ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah tentang suatu pajak tidak dapat berlaku surut dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum atau ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.

16 2.1.2.3 Isi Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah Peraturan Daerah tersebut sekurang-kurangnya mengatur mengenai: a. Nama, Objek, dan Subjek pajak; b. Dasar pengenaan, tarif, dan cara perhitungan pajak; c. Wilayah pemungutan; d. Masa pajak; e. Penetapan pajak; 2.1.2.4 Sistem Pemungutan dan Pemungut Pajak Daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menetapkan sistem pemungutan pajak untuk setiap Pajak Daerah adalah: 1. Sistem Pemungutan Pajak Daerah Pemungutan Pajak Daerah saat ini menggunakan tiga sistem pemungutan pajak. Sebagaimana tertera dibawah ini: a. Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak; b. Ditetapkan oleh Kepala Daerah; c. Dipungut oleh Pemungut Pajak; 2. Pemungut Pajak Daerah Dimungkinkan kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, antara lain: a. Percetakan formulir perpajakan; b. Pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak; c. Penghimpunan data objek dan subjek pajak; Untuk Wajib Pajak, sesuai dengan ketetapan kepala daerah maupun yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak: a. Diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) b. Surat Keputusan Pembetulan c. Surat Keputusan Keberatan d. Putusan Banding sebagai dasar pemungutan dan penyetoran pajak

17 2.1.3 Pajak Kendaraan Bermotor 2.1.3.1 Dasar Hukum Pajak Kendaraan Bermotor Pajak kendaraan bermotor menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah adalah Pajak Kendaraan Bermotor adalah Pajak atas Kepemilikan dan/atau bermotor, sedangkan kendaraan bermotor adalah: penguasaan kendaraan Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor yang tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air. 2.1.3.2 Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor adalah nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor tersebut, Nilai jual kendaraan bermotor sesuai dengan harga pasar kendaraan bermotor, jenis kendaraan bermotor, merk kendaraan bermotor, tahun pembuatan kendaraan bermotor, berat total kendaraan bermotor, serta dokumen impor jenis kendaraan tertentu. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 5 Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil dari dua unsur pokok: a. Nilai Jual Objek Pajak, dan b. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Bobot kendaraan bermotor mencerminkan kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan di dasarkan pada tekanan gandar kendaraan,

18 jenis bahan bakar kendaraan bermotor, dan jenis-jenis penggunaan, tahun pembuatan, serta ciri-ciri kendaraan bermotor. Khusus kendaraan bermotor yang digunakan diluar jalan umum, termasuk alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor. Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum Atas Suatu Kendaraan Bermotor. Harga Pasaran Umum sebagaimana dimaksud adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data akurat. Berdasarkan Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1) tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ditetapkan sebagai berikut: 1. Tarif PKB pribadi ditetapkan sebagai berikut: a. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama sebesar 1,75% (satu koma tujuh puluh lima persen) b. Untuk kepemilikan kedua roda 4 (empat) kedua dan seterusnya didasarkan atas nama dan alamat yang sama sesuai dengan tanda pengenal diri, ditetapkan secara progresif sebagai berikut: 1. PKB kepemilikan kedua, sebesar 2,25% 2. PKB kepemilikan ketiga, sebesar 2,75% 3. PKB kepemilikan keempat, sebesar 3,25% 4. PKB kepemilikan kelima dan seterusnya, sebesar 3,75% 2. Penerapan tarif Pajak Kendaraan Bermotor Progresif tidak berlaku bagi Kendaraan Bukan Umum yang diniliki oleh Badan, Pemerintah/Pemerintah Daerah/TNI/Polri dan kendaraan umum. 3. Tarif Pajak Kendaraan angkutan umum ditetapkan sebesar 1% (satu persen). 4. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ambulance, pemadam kebakaran, social keagamaan, lembaga social dan keagamaan ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).

19 5. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor Pemerintah/Pemerintah Daerah/TNI/Polri ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen). 6. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen). Tata cara pelaksanaan pengenaan pajak profresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. 2.1.3.3 Objek Pajak Kendaraan Bermotor Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alatalat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen. 2.1.3.4 Subjek Pajak Kendaraan Bermotor Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi, Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor. Sementara itu wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi, Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI, dan Polri yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor dan/atau Kendaraan khusus atau alat-alat berat dan besar. Yang bertanggungjawab terhadap pembayaran apajak kendaraan bermotor adalah: 1. Orang yang bersangkutan, yaitu sebagai pemilik sesuai dengan hak kepemilikkannya. 2. Orang atau badan yang memperoleh kuasa dari pemilik kendaraan bermotor.

20 3. Ahli waris yaitu orang atau badan yang ditunjuk dengan surat wasiat atau yang ditetapkan sebagai ahli waris berdasarkan kesepakatan dan atas putusan pengadilan. 2.1.3.5 Wajib Pajak Kendaraan Bermotor Wajib pajak baik yang perorangan atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor yang jumlah pajaknya sebagian atau seluruhnya belum dilunasi oleh pemilik lama, maka pihak yang menerima penyerahan tersebut juga bertanggung jawab terhadap pelunasan pajaknya. 2.1.3.6 Masa Pajak Kendaraan Bermotor Masa pajak adalah 12 (dua belas) bulan berturut-turut yang merupakan tahun pajak terhitung sejak tanggal pendaftaran. Pajak kendaraan bermotor yang karena satu hal dan hal lain masa pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, maka dapat dilakukan restitusi: a. Terhadap kendaraan bermotor mutasi keluar daerah dalam Provinsi Jawa Barat dilakukan kompensasi. b. Terhadap kendaraan bermotor mutasi keluar daerah diluar Provinsi Jawa Barat dilakukan restitusi. c. Bagian bulan yang melebihi 14 (empat belas) hari dihitung satu bulan penuh. 2.1.3.7 Cara Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak (www.djpk.depkeu.go.id). Secara umum perhitungan PKB adalah sesuai dengan rumus berikut: =Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak Pajak Terutang =Tarif Pajak x (NJKB x Bobot)

21 Berdasarkan contoh perhitungan dasar pengenaan pajak yang dikemukakan diatas dapat dihitung besarnya pajak terutang yaitu: Untuk mobil Mercedes Bens C180 automatic tahun pembuatan 2000 besarnya PKB yang terutang adalah 1,75% x Rp. 290.000.000 = Rp. 5.075.000 2.1.4 Pajak Progresif 2.1.4.1 Pengertian Pajak Progresif Pajak progresif adalah pajak kendaraan bermotor yang persentasenya semakin besar apabila kendaraan tersebut tercatat dengan nama pemilik dan alamat tempat tinggal yang sama. Pajak progresif ini tidak berlaku untuk kendaraan dinas pemerintahan dan kendaraan angkutan umum (Mardiasmo, 2011). 2.1.4.2 Persentase Tarif Pajak Progresif Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama dan alamat yang sama sesuai dengan tanda pengenal diri, ditetapkan secara progresif sebagai berikut: 1. PKB kepemilikan pertama, sebesar 1,75% 2. PKB kepemilikan kedua, sebesar 2,25% 3. PKB kepemilikan ketiga, sebesar 2,75% 4. PKB kepemilikan keempat, sebesar 3,25% 5. PKB kepemilikan kelima dan seterusnya, sebesar 3,75% 2.1.5 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) 2.1.5.1 Pengertian BBNKB Siahaan (2009:209) mengemukakan bahwa Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua belah pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi, karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan atau pemasukan ke dalam

22 badan usaha. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan disemua jenis jalan darat, dan digerakan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen. 2.1.5.2 Dasar Hukum Pemungutan BBNKB Dalam masa transisi pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dewasa ini, pemungutan BBNKB di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas, dan kuat, sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan BBNKB pada suatu Provinsi adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. 4. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. 2.1.5.3 Objek Pajak BBNKB Objek pajak BBNKB adalah penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor. Penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor merupakan penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan kedalam badan usaha. Penguasaan kendaraan bermotor melebihi dua belas bulan dapat dianggap sebagai penyerahan kepemilikan kendaraaan bermotor. Termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar

23 negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali dalam keadaan dibawah ini: a. Penyerahan kendaraan bermotor untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan. b. Penyerahan kendaraan bermotor untuk diperdagangkan. c. Penyerahan kendaraan bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia. Pengecualian ini tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia. d. Penyerahan kendaraan bermotor digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional. 2.1.5.4 Subjek Pajak dan Wajib Pajak BBNKB Pada BBNKB subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. Sedangkan wajib pajak BBNKB adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. Jika wajib pajak berupa badan, maka kewajiban pajaknya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan tersebut. Dengan demikian, pada BBNKB subjek pajak sama dengan wajib pajak yaitu orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraaan bermotor. 2.1.5.5 Dasar Pengenaan BBNKB Dasar penerimaan pajak BBNKB adalah nilai jual kendaraan bermotor (NJKB), yang juga digunakan dalam ketentuan Pajak Kendaraan Bermotor. NJKB sebagimana dimaksudkan di sini adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Tabel Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. NJKB ditetapkan dengan keputusan Gubernur berdasarkan table yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

24 2.1.5.6 Tarif BBNKB Tarif BBNKB ditentukan berdasarkan tingkat penyerahan objek pajak yang terjadi dan jenis kendaraan bermotor yang diserahkan. Tingkat penyerahan kendaraan bermotor meliputi penyerahan pertama (yang kendaraan baru) serta penyerahan kedua dan selanjutnya (yang berarti penyerahan atas kendaraan bekas). Besaran tarif BBNKB ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Pasal 24, besaran tarif BBNKB masing-masing sebagai berikut: 1. Penyerahan pertama untuk Kendaraan Bermotor: a. Orang Pribadi 10% b. Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri 10% c. Kendaraan Bermotor angkutan umum d. Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar 0,75% 2. Tarif BBNKB atas penyerahan kedua dan selanjutnya ditetapkan sebesar: a. Kendaraan Bermotor orang pribadi 1% b. Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri 1% c. Kendaraan Bermotor angkutan umum 1% d. Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar 0,075% 2.1.5.7 Cara Perhitungan BBNKB Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak (www.djpk.depkeu.go.id). Secara umum perhitungan BBNKB adalah sesuai dengan rumus berikut: = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak Terutang = Tarif Pajak x Nilai Jual Kendaraan Bermotor

25 2.2 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Judul Hasil Penelitian Harist Agung (2010) Santika Widhayani (2011) Penerapan Pajak Progreif Terhadap Wajib Pajak Kendaraan Bermotor Berdasarkan Peraturan Daerah No.9 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah Analisis Formulasi Kebijakan Pajak Kendaraan Bermotor Progresif di Provinsi DKI Jakarta Penerapan Pajak Progresif untuk Kendaraan Bermotor menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya yaitu berkurangnya jumlah kendaraan dan dampak negatifnya adalah masyarakat melakukan penyelundupan hukum. Proses formulasi kebijakan Pajak Kendaraan Bermotor Progresif di Provinsi DKI Jakarta melewati beberapa tahap yaitu tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, evaluasi dan persetujuan oleh Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan penetapan pengesahan serta pengundangan dan penyebarluasan.

26 Fina Ekawati (2013) Evaluasi Sistem Pengendalian Manajemen Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Dinas Pendapatan Daerah Sulawesi Utara Eka Ermawati Dampak Pengenaan Tarif (2014) Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Provinsi DKI Jakarta Susana Sintia Analisis prosedur dan Wowiling (2015) perhitungan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor di Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Thomas Piketty How Progressive is the (2007) U.S Federal Tax System? A Historical and International Perspective Sistem pengendalian manajemen pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor yang diterapkan sudah efektif dan efisien hal ini dapat dilihat dengan adanya visi dan misi, program-program, struktur organisasi, penyusunan anggaran, dan laporan pertanggungjawaban yang baik dan jelas serta hasil pemungutan PKB yang melampaui target. Pengenaan tarif Pajak Progresif Kendaraan Bermotor memiliki hubungan yang kuat dan positif terhadap Perilaku Penghindaran Pajak di DKI Jakarta Perhitungan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sudah sesuai dengan garis kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara The Progressivity of the U.S federal tax system at the top of the income distribution has decline dramatically since the 1960s. For example, the top

27 0,01 percent of earners paid over 70 percent of their income in federal taxes in 1960, while they paid only about 35 percent of their income in 2005.

28 2.3 Kerangka Pemikiran Pemerintah kota Bandung saat ini tengah mencoba untuk meningkatkan pendapatan daerah dan berusaha untuk mengurangi kemacetan di kota Bandung yang semakin parah. Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah adalah dengan menerapkan pajak progresif. Pajak progresif adalah Pajak kendaraan bermotor yang persentasenya semakin besar apabila kendaraan tersebut tercatat dengan nama pemilik dan alamat tempat tinggal yang sama. Pajak progresif ini tidak berlaku untuk kendaraan dinas pemerintahan dan kendaraan angkutan umum (Mardiasmo, 2011). Penerapan tarif progresif pajak kendaraan bermotor (PKB) dapat berakibat peningkatan tarif pajak kendaraan bermotor yang harus dibayar oleh wajib pajak semakin besar. Pada kenyataannya banyak wajib pajak yang telah menjual kendaraannya dan hanya memiliki satu kendaraan saja tetapi tetap terkena tarif pajak progresif. Hal ini dapat terjadi terhadap wajib pajak pasif, lain halnya dengan wajib pajak aktif tidak akan terkena tarif pajak progresif dengan cara wajib pajak yang aktif tersebut membuat laporan dan memberi pernyataan kepada pihak Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan/Samsat yang menyatakan bahwa kendaraan yang dimilikinya tersebut telah dijual. Sehingga petugas CPDP/Samsat akan melakukan pemblokiran terhadap nomor polisi kendaraan yang bersangkutan untuk kendaraan yang telah dijual agar tidak terkena tarif pajak progresif. Hal ini membuat pembeli kendaraan harus melakukan balik nama terhadap kendaraan bekas yang telah dibeli oleh penjual. Dengan hal tersebut maka pemerintah kota Bandung dapat meningkatkan pendapatan dari bea balik nama kendaraan bermotor. Menurut Siahaan (2009:209) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua belah pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi, karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan atau pemasukan ke dalam badan usaha. Yang dimaksud kendaraan bermotor dalam definisi ini adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan disemua jenis jalan darat, dan digerakan

29 oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas penulis dapat berasumsi, jika penerapan pajak progresif dapat dilaksanakan dengan baik maka penerimaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) akan meningkat, peningkatan BBNKB dapat terjadi di daerah asal kendaraan itu atau di luar daerah asal kendaraan itu dijual serta dapat meningkatkan pendapatan daerah di kota Bandung. Maka peneliti ingin meneliti Perbedaan Sebelum dan Setelah Diterapkan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor Terhadap Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Bekas Di Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Provinsi Wilayah Kota Bandung I. (Eka Ermawati, 2014) Penerapan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor (X) Penerapan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor (X) Harist Agung, 2010) Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

30 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen. Dimana hipotesis nol ( ) yaitu suatu hipotesis tentang tidak adanya hubungan umumnya diformulasikan untuk ditolak. Sedangkan, hipotesis alternatif ( ) merupakan hipotesis yang diajukan penelitian ini, masing-masing hipotesis tersebut dijabarkan sebagai berikut. : Pajak Progresif Kendaraan Bermotor tidak berpengaruh signifikan terhadap Peneriman Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor : Pajak Progresif Kendaraan Bermotor berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor