BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Kota Yogyakarta adalah kota yang relatif aman, stabil dan mempunyai khasanah budaya yang luas. Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pendidikan dan pariwisata yang berkembang sangat cepat, dibandingkan dengan kota - kota lain di Indonesia. Oleh sebab itu, kota Yogyakarta menjadi tempat tujuan bagi para pelajar dan wisatawan dari daerah lain di Indonesia maupun mancanegara. Hal ini menyebabkan naiknya jumlah penduduk pada setiap tahun akibat dari sebagian para pendatang yang pada akhirnya menetap dan menjadi penduduk di Yogyakarta. Sebagai bukti bahwa kota Yogyakarta semakin dipenuhi pendatang yang menetap, tercantum dalam Rencana Induk Kota Yogyakarta tahun 1985 2005 : Meningkatnya kota madya Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan maka pada awal tahun ajaran selalu mendapatkan tambahan penduduk yang datang untuk menuntut ilmu. Sehingga ternyata jumlah in migrasi lebih besar dari out migrasi, yang membawa akibat tingkat kepadatan penduduk bertambah fungsi. 1 Dengan meningkatnya penduduk di Yogyakarta pada setiap tahunnya, Yogyakarta membutuhkan sebuah fasilitas rekreasi yang dapat menjadi wadah bagi masyarakatnya untuk rekreasi, salah satu fasilitas rekreasi tersebut adalah gedung bioskop. 1 Rencana Induk Kota Yogyakarta tahun 1985 2005, Tim Penyusun Rencana Induk Kota Yogyakarta, bab2, 3 alenea 3 1
Bioskop merupakan fasilitas rekreasi publik yang tidak memandang pada perbedaan kelas ( kelas atas, menengah dan bawah ), suku, dan gender (pria / wanita). Sehingga sangat cocok sekali untuk menjadi tempat hiburan bagi masyarakat Yogyakarta yang masyarakatnya berasal dari bermacam macam daerah. Keberadaan bioskop di masa sekarang, menghapuskan beberapa pandangan negatif dari masyarakat luas yang memandang bioskop sebagai tempat hiburan bagi rakyat jelata dari kalangan rendahan. Bioskop adalah satu dari sedikit institusi yang menawarkan kenyamanan, keamanan, dan kehormatan kepada para pekerja rendahan 2. Dengan perubahan jaman, bioskop dengan mempertunjukan film sebagai hiburan, mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, termasuk intelektual dan budayawan. Bioskop merupakan fasilitas rekreasi atau hiburan yang mempertunjukan film sebagai media hiburan kepada masyarakat luas, agar dapat terjadi komunikasi antara pencipta film dengan masyarakat yang mengandung pesan atau nilai nilai tertentu yang ingin disampaikan kepada penonton. Pengunjung bioskop mendapat hiburan dengan menikmati penayangan film yang di pertunjukan. Selain menikmati penayangan film sebagai hiburan, ada sebagian pengunjung yang mencari lebih dari itu, yakni untuk menikmati film sebagai suatu ekspresi perasaan dan kreativitas artistik. Film secara tidak langsung dapat membawa penonton untuk merasa berada didalam suasana kejadian pada saat film berlangsung. Perhatian kita pada praktik konsumsi film beserta seluruh kesenangan yang ditawarkan oleh bioskop secara tidak langsung adalah koreksi 2 Kompas, 2 juni 2004. 2
terhadap pendekatan tekstual. Bagaimanapun penonton tidak semata mata digerakan oleh teks, tetapi juga oleh kecenderungan untuk menikmati film sebagai bagian dari keseluruhan latar tempat film diputar, yang terkait dengan kesenangan juga gangguan 3. Dewasa ini, perkembangan bioskop sebagai tempat pertunjukan film sudah semakin maju. Pada umumnya, bioskop merupakan sebuah tempat pertunjukan film dengan teater tunggal yang berkapasitas lebih dari 200 kursi dan tanpa dilengkapi fasilitas penunjang seperti ; swalayan, cafeteria, restauran, dan lain - lain, sehingga pengunjung hanya diharapkan datang semata mata untuk menikmati pertunjukan film saja. Kemajuan jaman dan pemikiran bioskop sebagai bisnis altenatif yang menguntungkan, bioskop telah berkembang menjadi lebih komunikatif, edukatif dan komersial. Bioskop masa sekarang, memiliki lebih dari satu teater atau layar dengan kapasitas masing masing teater kurang dari 200 kursi, mempertunjukan film yang berbeda pada setiap teaternya dalam waktu yang sama dan bioskop tersebut dilengkapi fasilitas menunjang, sehingga pengunjung tidak merasa bosan dan dapat memilih aktifitas rekreasi lain selain datang untuk menikmati pertunjukan film. Sejak tahun 1987 bioskop dengan konsep sineplek ( gedung bioskop dengan lebih dari satu layar ) semakin marak 4. Sebagai perbandingan konsep - konsep baru pada bioskop masa sekarang ini berdasarkan banyaknya teater atau layar yang ada pada bioskop : 5 Multiplek atau cineplek ( bioskop yang memiliki teater atau layar lebih 3 Kompas, 2 juni 2004. 4 Kompas, 21 Juni 1998. 5 www. Paranoids. Com. 3
dari satu dalam arti memiliki beberapa auditorium ). Megaplek ( Bioskop yang memiliki teater atau layar lebih dari 20 buah ), jenis ini tidak ditemui pada bioskop bioskop kecil. Bioskop dengan konsep cineplek, banyak sekali ditemukan pada kota kota besar yang sedang berkembang, sebagai fasilitas rekreasi publik yang mempertunjukan film film unggulan. Hal ini sebabkan bioskop dengan konsep cineplek, dinilai lebih menguntungkan dan menarik dibandingkan dengan bioskop yang hanya menggunakan satu auditorium atau layar, walaupun masing - masing dengan kapasitas tempat duduk yang lebih dari 200 kursi. Menurut survey penonton film di Indonesia, menunjukan bahwa penonton film di Indonesia sebagian besar berusia 15 35 tahun ( 90 % ) dengan tekanan usia 20 25 tahun ( 40 % ), laki laki ( 57 % ), perempuan ( 43 % ) yang berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi ( 42 % ). Bila data tersebut dikaitkan dengan kondisi sosial masyarakat Yogyakarta yang didominasi oleh kelompok pelajar dan mahasiswa maka Yogyakarta mempunyai potensi pasar yang sangat besar dalam bidang pertunjukan film. Bioskop sebagai fasilitas rekreasi, secara tidak langsung dapat mengangkat citra perfilman Indonesia yang pada masa sekarang telah bangkit kembali. Beberapa film lokal, seperti Ada Apa Dengan Cinta, Ca Bau Kan, Jelangkung, 5 sehat 4 sempurna dan beberapa film lainnya, mampu menggebrak pasar film serta mampu menggeser film film box office Hollywood. Pada saat film film lokal tersebut dipertunjukan di bioskop kota kota besar termasuk Yogyakarta, secara langsung mendapat respon dari masyarakat terutama dari kalangan remaja. Hal ini 4
menunjukan kalau masyarakat Yogyakarta berminat sekali untuk menikmati pertunjukan film layar lebar yang di pertunjukan pada bioskop bioskop. Salah satu sifat peduli kota Yogyakarta terhadap kemajuan film film lokal yang di pertunjukan pada bioskop di Yogyakarta adalah sebuah komentar yang di ucapkan oleh gubernur D.I.Yogyakrta, Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mendukung realisasi ide pengembangan dunia perfilman di D.I. Yogyakarta sebagai embrio pembuka kesempatan tumbuhnya sarana perfilman di daerah 6. Maraknya perkembangan film film layar lebar yang semakin banyak diminati oleh masyarakat Yogyakarta, sehingga menuntut sebuah gedung bioskop sebagai sebuah fasilitas rekreasi publik yang dapat menumbuhkan komunikasi atau interaksi yang berlangsung di dalamnya, baik interaksi manusia sebagai pelaku, interaksi antar fungsi yang ditawarkan sebagai wadah, interaksi budaya yang ditampilkan, serta interaksi antara film dengan penontonnya sebagai obyek. Bangunan bioskop sendiri berpegang pada pada standar bangunan bioskop ( Time Saver Standards for Building Types ) dengan Arsitektur Post Modern sebagai acuan desain bangunan. I. 2. Rumusan Masalah Bagaimana merancang gedung bioskop di Yogyakarta yang memperhatikan standarisasi bangunan gedung bioskop, guna mewadahi pemutaran film dalam waktu yang sama tanpa mengganggu satu dengan yang lain, dengan arsitektur Post Modern sebagai acuan desain bangunan 6 Koran Harian Bernas, 2001 5
I. 3. Tujuan Merancang gedung bioskop di Yogyakarta yang memperhatikan standarisasi bangunan gedung bioskop, guna mewadahi pemutaran film dalam waktu yang sama tanpa mengganggu satu dengan yang lain, dengan arsitektur Post Modern sebagai acuan desain bangunan. I. 4. Sasaran Melakukan studi tentang standarisasi bangunan gedung bioskop. Melakukan studi tentang bangunan gedung bioskop. Melakukan studi tentang gedung bioskop dengan mengacu pada bangunan auditorium. Melakukan studi tentang prinsip prinsip akustik Melakukan studi tentang Yogyakarta. Melakukan studi tentang arsitektur Post Modern. I. 5. Lingkup Standarisasi bangunan gedung bioskop meliputi / dibatasi pada peruangan, sirkulasi, dan system mekanikal. Bangunan gedung bioskop dibatasi pada jumlah auditorium untuk pertunjukan kecil / theater pertunjukan film dan fasilitas pendukungnya. Auditorium pertunjukan, dibatasi pada auditorium untuk pertunjukan kecil / theater pertunjukan film. Prinsip prinsip akustik dibatasi pada bentuk ruang dan material akustik 6
untuk lantai, dinding, dan langit langit pada auditorium. Yogyakarta dibatasi pada hal yang berhubungan dengan pemilihan site untuk gedung bioskop tersebut. Arsitektur Post Modern dibatasi pada tampilan bangunan dan interiornya. I. 6. Metode I. 6. 1. Metode mencari data - Wawancara a) Kantor dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta b) Pengelola gedung gedung bioskop di Yogyakarta. Bapak Mustafa selaku pengelola bioskop Mataram Bapak Sugianti selaku pemilik bioskop Permata Bapak Suryadi selaku pengelola bioskop Indra - Observasi Akan melakukan pengamatan langsung pada gedung bioskop, pada pemutara film The Hulk di gedung bioskop Mataram pada tanggal 20 Mei 2004. - Studi pustaka Mempelajari buku buku tentang perfilman, auditorium, akustik, standarisasi bangunan bioskop, arsitektur Post Modern. - Studi banding Akan melakukan pengamatan atau melihat langsung pada bangunan sejenis yang ada di Semarang ( Bioskop 21 ) dan melihat dari pustaka. 7
I. 6. 2. Menganalisis Data - Kuantitatif Untuk mengetahui jumlah pengunjung pada tiap pertunjukan film, serta jenis film yang disukai pengunjung. - Kualitatif Mengetahui peningkatan jumlah pengunjung pada jenis film tertentu yang menjadi sorotan masyarakat luas. I. 6. 3. Metode Perancangan - Menggunakan prinsip prinsip Arsitektur Post Modern diaplikasikan pada tampilan bangunan. I. 7. Sistematika penulisan Bab I Pendahuluan Mengungkapkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, sasaran, lingkup, metode dan system penulisan. Bab II Tinjauan pada Gedung Gedung Bioskop di Yogyakarta Mengungkapkan animo pengunjung, tampilan bangunan, fasilitas fasilitas pendukung, dan penerapan standarisasi bangunan pada bioskop bioskop di Yogyakarta. Bab III Tinjauan Teoritis Gedung Bioskop Mengungkapkan desain requirement gedung bioskop dan penerapan standarisasi pada gedung bioskop, terutama pada auditoriumnya. 8
Bab IV Analisa Menuju Konsep Perencanaan dan Perancangan Gedung Bioskop Mengungkapkan konsep perancangan dan perencanaan gedung bioskop, melalui metode metode tertentu yang dapat diaplikasikan pada lokasi atau site. Bab V Konsep Perencanaan dan Perancangan Gedung Bioskop Mengungkapkan konsep konsep yang akan diaplikasikan pada desain bangunan gedung bioskop. 9