BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia memiliki suhu inti tubuh normal sekitar 36-37 C. Suhu tubuh tersebut dapat berubah naik atau turun tergantung dari aktivitas pekerjaan yang dilakukan serta kondisi lingkungan di tempat kerja. Untuk menjaga agar tubuh tetap berada dalam kondisi normal (37 C), salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kesetimbangan kalor yang masuk (baik dari lingkungan luar atau metabolic rate) dan kalor yang keluar (melalui proses heat exchange seperti konduksi, konveksi, radiasi, evaporasi dan respirasi). Pelepasan kalor dari dalam tubuh dengan evaporasi merupakan salah satu cara yang paling efektif, karena panas dikeluarkan oleh tubuh sebagian besar melalui kulit dan keringat. Pada kondisi lingkungan kerja yang memiliki suhu tinggi dan terpapar panas secara terus menerus seperti yang dialami pekerja pemadam kebakaran dan pekerja tambang, pada umumnya suhu inti tubuh akan meningkat. Beban kerja fisik yang disertai dengan paparan suhu panas dapat meningkatkan risiko bahaya bagi keselamatan dan kesehatan pekerja, salah satunya adalah risiko terjadinya heat strain. Untuk melindungi tubuh dari lingkungan kerja, pada umumnya pekerja akan mengenakan protective clothing dan personal protective equipment lainnya (Empa, 2014). Akan tetapi, penggunaan protective clothing ketika berada di lingkungan panas yang ekstrim dapat berpengaruh terhadap pertukaran panas dari tubuh ke lingkungan seperti menghambat pelepasan kalor melalui evaporasi. Sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan (heat strain). Heat strain merupakan respon fisiologis tubuh akibat dari tekanan panas (heat stress). Tekanan panas adalah beban panas yang diterima oleh pekerja yang berasal dari kombinasi panas metabolisme, pakaian yang digunakan dan faktor lingkungan (OSHA, 2012). Untuk meminimalisir terjadinya heat strain maka dilakukan pencegahan dengan mengurangi pekerjaan fisik di lingkungan yang 1
2 panas. Namun hal tersebut tidak dapat diterapkan apabila pekerjaan memang harus dilakukan pada kondisi panas. Untuk itu, salah satu pencegahan yang dapat dilakukan adalah perbaikan pakaian yang digunakan oleh pekerja dengan personal cooling equipment (Choi, 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Choi (2008), penggunaan personal cooling equipment (PCE) pada saat aktivitas di lingkungan panas dapat menurunkan suhu inti tubuh berada di bawah 38 C dan menstabilkan suhu kulit serta heart rate (HR). Salah satu jenis PCE adalah cooling device. Penggunaan cooling device dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu pre cooling dan postactivity cooling, Pre cooling adalah usaha untuk menurunkan temperatur tubuh sebelum aktivitas dimulai, dimana telah banyak penelitian membahas efektivitas penggunaan teknik ini dalam menurunkan terjadinya heat strain (Webster et al, 2005). Sedangkan post-activity cooling merupakan usaha menurunkan suhu tubuh setelah melakukan aktivitas. Berdasarkan hasil studi dari Brade tahun 2010, teknik post-activity cooling dengan menggunakan cooling vest mampu menurunkan temperatur inti tubuh lebih besar dibandingkan kondisi kontrol tanpa cooling vest. Namun belum banyak penelitian terkait teknik ini (Bennett et al, 1995; Brade, 2010). Bahan yang digunakan untuk PCE dapat dibagi menjadi 3 jenis pendingin yaitu udara, cair dan phase change material (Choi et al, 2008). Saat ini phase change material (PCM) berkembang cukup pesat sebagai bahan pendingin, baik untuk menurunkan suhu lingkungan ataupun untuk menurunkan heat strain yang dialami pekerja ketika melakukan aktivitas di lingkungan yang panas. PCM merupakan material yang dapat menyerap atau melepas panas ketika perubahan fase. Sifat inilah yang dimanfaatkan untuk menyerap panas tubuh dari kulit melalui proses konduksi (Kiekens dan Jayarakaman, 2012). Sampai saat ini, telah banyak dilakukan penelitian terkait PCM sebagai PCE dan hasilnya mampu mengurangi heat strain dan meningkatkan kenyamanan termal (Reinerstsen et al, 2008). Namun demikian belum diketahui apakah penggunaan PCM dapat menurunkan body heat storage untuk mencapai kesetimbangan termal, sehingga suhu inti tubuh dapat terjaga pada suhu 37 o C. Selain itu posisi penempatan PCM
3 pada tubuh juga perlu diperhatikan. Penempatan PCM di area punggung dan dada mampu menurunkan temperatur kulit dan denyut jantung lebih signifikan dibandingkan area tubuh lain (Choi et al, 2008). Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Zain (2015), terdapat perbedaan perubahan titik perpindaan panas ketika menggunakan PCM dibagian depan atau belakang. Oleh karena itu, pada penelitian ini ingin dibahas bagaimana pengaruhnya jika PCM ditempatkan pada posisi punggung dan dada secara bersamaan. Material yang dapat digunakan sebagai PCM salah satunya adalah material organik seperti asam lemak dari hewan dan minyak dari tumbuhan. Selain itu aman digunakan, tidak beracun, harga terjangkau dan mudah untuk diperoleh (Mondal, 2007). Asam lemak yang banyak tersedia di Indonesia berasal dari minyak kelapa dan minyak sawit. Menurut Index Mundi (2014), Indonesia menghasilkan minyak kelapa sebesar 972 ribu mega ton dan minyak kelapa sawit sebesar 33 juta mega ton. Angka produksi yang cukup banyak ini menempatkan Indonesia sebagai urutan pertama di dunia untuk produksi minyak sawit dan nomer dua untuk minyak kelapa. Kedua minyak ini banyak digunakan sebagai minyak goreng. Selain itu dengan melimpahnya produksi kedua minyak tersebut, diharapkan mampu dimanfaatkan dan dikembangkan untuk fungsi lain. Hingga saat ini kajian terkait penggunaan PCM berbahan baku material organik sebagai PCE untuk teknik post-activity cooling masih relatif jarang dilakukan. Selain itu, dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, pengaruh penggunaan PCM masih terbatas pada tinjauan respon fisiologis dan psikologis. Penelitian yang membahas terkait efektivitas penggunaan PCM sebagai PCE untuk teknik post-activity cooling dilihat dari sudut pandang kesetimbangan termal tubuh masih relatif sedikit.
4 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah yang menjadi acuan dalam tugas akhir ini adalah bagaimana pengaruh penggunaan phase change material berbahan minyak kelapa dan minyak sawit dengan teknik post-activity cooling terhadap kesetimbangan termal tubuh ketika melakukan aktivitas fisik di lingkungan panas. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan khusus sebagai berikut: 1. Mengetahui pengaruh penggunaan PCM berbahan dasar minyak kelapa dan minyak sawit sebagai teknik post-activity cooling terhadap kesetimbangan termal tubuh setelah melakukan aktivitas di lingkungan panas. 2. Membandingkan material minyak kelapa dan minyak sawit untuk bahan dasar PCM terhadap kesetimbangan termal setelah melakukan aktivitas di lingkungan panas. 1.4 Asumsi dan Batasan Masalah Agar pemecahan masalah lebih jelas dan terarah maka asumsi dan ruang lingkup permasalahan akan dibatasi sebagai berikut: 1. Penelitian dilakukan di Laboratorium Ergonomika dengan suhu 33-35 C dan kelembaban 80% RH. 2. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh subyek adalah berjalan cepat di atas treadmill dengan beban 65% HR max. 3. Protective clothing yang dikenakan oleh subjek adalah protective clothing jenis coverall yang biasa dikenakan oleh pekerja offshore merek Nomex. 4. Material yang digunakan untuk teknik post-activity cooling adalah PCM berbahan minyak kelapa dan minyak sawit.
5 5. Fokus penelitian mengkaji pengaruh penggunaan PCM untuk post-activity cooling terhadap kesetimbangan termal tubuh, bukan analisis komponen kimia dari PCM yang digunakan. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu: 1. Memberikan pengetahuan terhadap perkembangan PCM jenis bio-based berbahan minyak kelapa dan minyak sawit yang bernilai jual tinggi. 2. Memberikan alternatif material PCM bagi produsen protective clothing dengan cooling device yang murah dan mudah didapatkan di Indonesia. 3. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan manfaat lain dari minyak kelapa dan minyak sawit sebagai bahan untuk PCM.