BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang paling umum diderita pada setiap individu. Frekuensi ISPA secara umum terjadi dua kali lebih sering dibandingkan penyakit akut lain (Matu et al., 2014). Orang dewasa dapat mengalami ISPA dua hingga empat kali per tahun (Hart, 2007). Infeksi saluran pernapasan akut masih menjadi masalah kesehatan dunia baik di negara berkembang maupun negara maju (WHO, 2008). Infeksi saluran pernapasan akut juga masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia (Depkes RI, 2013c). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2013c), prevalensi ISPA di Indonesia pada saat itu adalah 25,0%. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan prevalensi pada tahun 2007, yaitu sebesar 25,5% (Depkes RI, 2007b). Kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA (WHO, 2008). Kondisi lingkungan yang berkaitan dengan penyebaran ISPA diantaranya pencemaran udara (Mukono, 2008). Bruce (2002) menyatakan bahwa pencemaran udara sering terjadi pada lingkungan kerja akibat kontaminasi udara oleh partikel-partikel yang ditimbulkan selama bekerja. Salah satu bidang pekerjaan yang dapat menjadi faktor risiko ISPA diantaranya pekerja industri kuku palsu (Estill et al., 2000; Spencer et al., 1
2 1997; Lee et al., 2000). Kandungan utama kuku palsu yaitu methyl methacrylate monomer (MMA) diketahui dapat mengiritasi saluran pernapasan. Penggunaan MMA sudah dilarang di beberapa wilayah Amerika Serikat sejak lebih dari 10 tahun terakhir, namun negara lain masih melegalkan penggunaan bahan tersebut. Beberapa negara mengganti penggunaan MMA dengan ethyl methacrylate (EMA), namun bahan tersebut juga dapat mengiritasi saluran pernapasan (Roberts et al., 2011b). Iritasi saluran pernapasan dapat mempermudah terjadinya ISPA (Alsagaff dan Mukty, 2008). Salah satu perusahaan yang memproduksi kuku palsu terletak di Purbalingga (Biro Humas Provinsi Jawa Tengah, 2015). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 5 Oktober 2015 di perusahaan tersebut, didapatkan informasi dari petugas klinik perusahaan bahwa petugas klinik perusahaan tersebut sering mendapat keluhan pernapasan salah satunya ISPA dari pekerja perusahaan. Peneliti juga mendapatkan informasi dari bagian personalia perusahaan bahwa pekerja perusahaan masih belum patuh dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker sehingga memperbesar risiko terjadinya ISPA. Sormin (2012) dan beberapa peneliti lain (Basti, 2014; Noer dan Martiana, 2013) menyatakan bahwa terjadinya ISPA pada pekerja yang terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerjanya dipengaruhi oleh karakteristik pekerja dan perilaku pekerja. Karakteristik pekerja adalah ciri-ciri khusus yang membedakan pekerja satu dengan yang lain, yang meliputi jenis kelamin,
3 umur, bagian kerja, masa kerja, serta lama bekerja. Perilaku pekerja meliputi penggunaan APD berupa masker dan perilaku merokok. Infeksi saluran pernapasan akut dapat ditandai dengan adanya gejala dengan onset yang tiba-tiba. Gejala ISPA diantaranya demam (suhu tubuh lebih dari 38 o C), batuk, nyeri tenggorokan, pilek, hidung tersumbat, sesak, nyeri otot, sakit kepala, muntah, diare, serta menggigil (Maryland Department of Health and Mental Hygiene, 2014). Penelitian mengenai hubungan karakteristik pekerja dan perilaku pekerja yang terpapar bahan kimia selama bekerja dengan gejala ISPA sebelumnya pernah dilakukan oleh Noer dan Martiana (2013), namun penelitian tersebut dilakukan di pabrik asam fosfat. Sepengetahuan peneliti di Indonesia penilitian serupa belum pernah dilakukan pada pekerja industri kuku palsu. Telah ada beberapa penelitian yang meneliti hubungan antara pekerjaan teknisi perawatan kuku yang terpapar bahan kimia dalam proses perawatan kuku salah satunya kuku palsu dengan berbagai aspek kesehatan khususnya sistem pernapasan (CDC, 2015). Penelitian serupa pada pekerja industri kuku palsu yang menurut Nail Manufactures Council (2007) dinilai lebih banyak terpapar bahan kimia belum banyak dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud meneliti mengenai hubungan karakteristik pekerja dan perilaku pekerja terpapar bahan kimia dengan gejala ISPA di industri kuku palsu Purbalingga. Sepengetahuan peneliti, penelitian mengenai hubungan karakteristik pekerja dan perilaku
4 pekerja terpapar bahan kimia dengan gejala ISPA di industri kuku palsu Purbalingga belum pernah dilakukan. B. Rumusan Masalah Apakah ada hubungan karakteristik pekerja dan perilaku pekerja terpapar bahan kimia dengan gejala ISPA di industri kuku palsu Purbalingga? C. Tujuan Penelitian Mengetahui hubungan karakteristik pekerja dan perilaku pekerja terpapar bahan kimia dengan gejala ISPA di industri kuku palsu Purbalingga. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Meningkatkan pengetahuan mengenai faktor risiko terjadinya ISPA pada pekerja industri kuku palsu. b. Dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis a. Bagi perusahaan 1) Penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber informasi dan evaluasi program kesehatan pekerja di industri kuku palsu Purbalingga. 2) Mengetahui sebaran pekerja yang memiliki gejala ISPA pada bulan November-Desember 2015.
5 b. Bagi karyawan perusahaan Penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber informasi dan evaluasi program kesehatan pekerja di industri kuku palsu Purbalingga.