PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DALAM KAJIAN ASPEK PASAR BETAKAROTEN DAN TOKOFEROL UNTUK PRODUK FORTIFIKASI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: ICHSAN RAMDHANI F34103101 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DALAM KAJIAN ASPEK PASAR
BETAKAROTEN DAN TOKOFEROL UNTUK PRODUK FORTIFIKASI Oleh: ICHSAN RAMDHANI F34103101 2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI.. ii DAFTAR GAMBAR.. iv DAFTAR TABEL.. v DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN.. 1 A. LATAR BELAKANG.... 1 B. TUJUAN..... 4 C. RUANG LINGKUP 4 II. TINJAUAN PUSTAKA. 5 A. PERMINTAAN.. 5 B. KEBUTUHAN MASYARAKAT... 7 1. Vitamin A 7 2. Vitamin E 10 3. Demografi... 12 C. NILAI IMPOR 14 D. INDUSTRI FORTIFIKASI. 16 1. Fortifikasi 16 2. Peramalan Almost Ideal Demand System (AIDS)... 19 III. METODOLOGI 21 A. KERANGKA PEMIKIRAN... 21 B. PENELITIAN TERDAHULU 24 C. TATA LAKSANA.. 26 1. Jenis dan Sumber Data.... 26 2. Pengumpulan Data...... 26 D. TAHAPAN PENELITIAN. 27 1. Metode Analisis.. 27 a. Prakiraan Permintaan Berdasarkan Demografi.. 27
b. Prakiraan Nilai Impor... 27 (1). Teknik Rata-rata Bergerak... 28 (2). Analisis Model Regresi... 28 c. Prakiraan Permintaan Industri Pangan Fortifikasi... 28 2. Penyusunan Data 29 a. Proyeksi Populasi 29 b. Model Almost Ideal Demand System (AIDS) 30 (1). Pendugaan Model Almost Ideal Demand System (AIDS) 30 (2). Nilai Elastisitas 31 IV. PEMBAHASAN 32 A. KEBUTUHAN MASYARAKAT 32 B. NILAI IMPOR 36 1. Data Tahun 1998.. 37 2. Teknik Peramalan Deret Waktu... 38 a. Peramalan Rata-rata Bergerak... 38 b. Model Regresi. 41 (1). Pendugaan Model Regresi 41 (2). Pengujian Model Regresi.. 43 c. Prakiraan Nilai Impor 44 C. PERAMALAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)... 46 1. Pendugaan Parameter dan Pengujian Model... 48 2. Elastisitas Permintaan Produk Pangan Fortifikasi... 49 V. KESIMPULAN DAN SARAN..... 53 A. KESIMPULAN... 53 B. SARAN... 54 DAFTAR PUSTAKA..... 55
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Sifat racun vitamin A pada manusia. 9 Tabel 2. Nilai konversi vitamin A.. 10 Tabel 3. Jenis α-tokoferol yang tersedia secara komersial... 11 Tabel 4. Konversi IU dan "α-tokoferol ekuivalen"... 11 Tabel 5. Kebutuhan vitamin A dan vitamin E per hari dalam AKG Masyarakat Indonesia... 13 Tabel 6. Nilai koefisien elastisitas.. 20 Tabel 7. Jenis dan Sumber Data... 26 Tabel 8. Data Nilai Impor Provitamin, Vitamin A dan Vitamin E... 37 Tabel 9. Parameter Model Regresi Nilai Impor Provitamin A dan 41 Vitamin A... Tabel 10. Parameter Model Regresi Nilai Impor Vitamin E... 42 Tabel 11. Ukuran baku stastistik model regresi nilai impor 43 provitamin A dan vitamin A... Tabel 12. Ukuran baku stastistik model regresi nilai impor vitamin E... 44 Tabel 13. Hasil Perhitungan Harga Agregat... 46 Tabel 14. Hasil Perhitungan Total Pendapatan Real... 47 Tabel 15. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Pangsa 49 Pengeluaran... Tabel 16. Nilai Elastisitas Permintaan... 50
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur molekul β-karoten... 8 Gambar 2. Alpha tokoferol dan tokotrienol 10 Gambar 3. Diagram Aliran Sistem Permintaan 21 Vitamin A dan Vitamin E... Gambar 4. Diagram Lingkar Sebab Akibat Sistem Permintaan... 23 Gambar 5. Proyeksi populasi penduduk Indonesia tahun 2000-2025... 33 Gambar 6. Proyeksi kebutuhan betakaroten dan tokoferol di Indonesia berdasarkan demografi penduduk Indonesia... 35 Gambar 7. Grafik Hasil Forecasting Nilai Impor Provitamin dan Vitamin A... 39 Gambar 8. Grafik Hasil Forecasting Nilai Impor Vitamin E... 40 Gambar 9. Grafik Hasil Nilai Impor Provitamin dan Vitamin A dan 44 Peramalannya... Gambar 10.Grafik Hasil Nilai Impor Vitamin E dan Peramalannya... 45
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 1. Proyeksi Penduduk tahun 2000-2025 oleh BPS 59 dan USAID (www.datastatistik.com)... Lampiran 2. Kebutuhan Masyarakat Indonesia terhadap Vitamin A dan 62 Vitamin E dalam satu tahun Lampiran 3. Angka Kecukupan Gizi bagi Orang Indonesia... 63 Lampiran 4. Kuisioner Pakar Industri... 64
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi yang sangat besar. Menurut data yang diperoleh dari BPS, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2007 mencapai 224.904.900 jiwa dengan laju rata-rata pertumbuhan penduduk mencapai 1,3 % per tahunnya. Besarnya jumlah populasi tersebut menyebabkan tingginya jumlah kebutuhan masyarakat terhadap berbagai produk pangan dan juga akan meningkatkan jumlah kebutuhan akan nutrisi yang harus dipenuhi oleh masyarakat setiap harinya. Jumlah kebutuhan nutrisi bagi masyarakat adalah jumlah minimal yang harus dipenuhi agar masyarakat memiliki kecukupan gizi. Berbagai penyakit akan lebih mudah timbul apabila zat gizi mikro (vitamin dan mineral) pada tubuh tidak mencukupi. Permasalahan kekurangan zat gizi mikro terjadi tidak hanya di Indonesia saja, namun terjadi juga di berbagai negara lain, sehingga pada bulan September 1990 di New York, diadakanlah World Summit for Children. Pertemuan tersebut dihadiri oleh pemimpin-pemimpin politik diseluruh dunia, untuk mengesahkan "Deklarasi untuk Anak" dan mentargetkan tahun 2000 sebagai tahun untuk menghapuskan defisiensi zat gizi mikro utama. Lalu pada Konferensi Gizi Internasional yang diadakan bulan Desember 1992 di Roma, tujuan dari deklarasi tersebut secara bulat disetujui oleh 159 negara (termasuk Indonesia). Salah satu permasalahan defisiensi zat gizi mikro yang terjadi di Indonesia adalah kekurangan vitamin A (KVA). Pada tahun 1999 Helen Keller Internasional (HKI) melaporkan kejadian buta senja terjadi pada wanita usia subur di Propinsi Jawa Tengah mencapai 1 sampai 3,5%. Menurut laporan penelitian HKI tentang Kecukupan Gizi Balita 1999, dilaporkan bahwa 50 persen atau hampir 10 juta balita Indonesia tidak mendapatkan makanan yang cukup kandungan vitamin A. Data terbaru dari survei sistem pemantauan status gizi dan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah RI dan Helen Keller Internasional (HKI) pada tahun 2004 menunjukkan bahwa banyak propinsi di Indonesia memiliki tingkat rabun senja diatas prevalensi
2% pada ibu tidak hamil. Bahkan didaerah kumuh perkotaan di Makasar, hampir 10% dari ibu tidak hamil mengalami rabun senja. Tingginya prevalensi tersebut menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A merupakan masalah potensial bagi masyarakat di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai target tersebut, diantaranya adalah mengadakan program suplementasi bagi ibu hamil, ibu nifas dan balita, selain itu pemerintah Indonesia juga mengeluarkan anjuran untuk Industri memfortifkasi produknya dengan berbagai zat gizi mikro. Salah satu aturan yang dikeluarkan pemerintah adalah melalui Menteri Kesehatan yang mengeluarkan sebuah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 632/Menkes/SK/VI/1998 tentang fortifikasi tepung terigu. Kemudian untuk mengatur tentang tata cara fortifikasi bahan pangan, pemerintah mengeluarkan sebuah regulasi berupa Peraturan Pemerintah No 28 Pasal 35 tahun 2004. Upaya pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan vitamin A dan vitamin E, sangat bergantung pada impor dari berbagai negara. Tercatat pada saat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, volume impor vitamin A mencapai 434.764 kg (BPS, 2007), atau dua kali lipat dari volume impor biasanya. Menurut laporan Helen Keller Indonesia pada tahun 1999, hal tersebut disebabkan berubahnya pola konsumsi terhadap pangan di masyarakat. Sehingga pemerintah melakukan program suplementasi vitamin A bagi ibu hamil, ibu nifas, dan balita dengan vitamin A diperoleh dengan cara impor dari negara lain. Volume impor vitamin A dan vitamin E yang begitu tinggi, mencerminkan bahwa belum adanya produsen nasional yang dapat memenuhi permintaan vitamin A dan vitamin E Indonesia. Adanya komitmen dari pemerintah untuk mengatasi kekurangan zat gizi mikro, dan dikeluarkannya anjuran untuk memfortifikasi produk sehari-hari dengan zat gizi mikro serta belum adanya produsen lokal yang dapat memenuhi kebutuhan vitamin A dan vitamin E merupakan pendorong untuk didirikannya sebuah industri yang mampu memproduksi vitamin A dan vitamin E dalam memenuhi permintaan industri fortifikasi.
Minyak sawit mengandung karoten dan tokoferol yang cukup tinggi. Biasanya kandungan betakaroten dalam minyak sawit dapat digunakan untuk menanggulangi defisiensi vitamin A (Muhilal, 1991). Selain itu, betakaroten dapat digunakan untuk mencegah penyakit jantung koroner dan kanker, serta mengganti sel-sel yang telah rusak (Iwasaki dan Murakoshi, 1992). Tokoferol dikenal sebagai antioksidan alam dan juga sebagai sumber vitamin E. Minyak sawit yang bermutu baik mengandung tokoferol berkisar antara 500-800 ppm (Fauzi et al., 2005). Pada industri pengolahan minyak goreng dari minyak sawit, kandungan betakaroten dan tokoferol dalam minyak sawit biasanya dibuang pada saat proses bleaching. Hal ini dilakukan karena adanya betakaroten dalam minyak sawit akan menyebabkan minyak goreng menjadi berwarna merah, dan hal tersebut tidak disukai oleh konsumen minyak goreng di Indonesia. Ditemukannya teknologi yang dapat memisahkan betakaroten dan tokoferol dalam minyak sawit dengan cara adsorpsi dan desorpsi, merupakan hal yang menjadi pemicu utama didirikannnya unit pemisahan betakaroten dan tokoferol pada industri pengolahan minyak goreng dari minyak sawit. Unit tersebut akan menghasilkan betakaroten dan tokoferol yang merupakan sumber vitamin A dan vitamin E yang dapat digunakan sebagai bahan fortifikasi yang ditambahkan kedalam produk-produk industri pangan. Pembangunan unit pemurnian betakaroten dan tokoferol pada industri pengolahan minyak goreng dari minyak kelapa sawit memerlukan berbagai pertimbangan, sehingga dibutuhkan sebuah analisa untuk mengetahui kelayakan didirikannya unit pemurnian tersebut. Besarnya jumlah penduduk Indonesia yang mengalami kekurangan zat gizi mikro, tingginya volume impor vitamin A dan vitamin E Indonesia, dan berkembangnya industriindustri pangan yang memfortifikasi produknya adalah peluang usaha pendirian unit pemurnian betakaroten dan tokoferol. Hal yang paling mendasar yang perlu dikaji dalam sebuah kelayakan industri adalah permintaan. Menurut Umar (2003), tidak ada satupun proyek bisnis yang berhasil tanpa adanya permintaan atas barang atau jasa yang dihasilkan dari proyek tersebut. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji pola