BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batu Bara Kegiatan penambangan merupakan proses ekstraksi bahan mineral yang bernilai ekonomis dari lapisan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia (Gregory, 1983 disitasi oleh Burley, 2001). Proses penambangan merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematis. Bapedal (2001) mengemukakan bahwa kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut: 1. eksplorasi 2. pembangunan infrastruktur, jalan akses dan sumber energi 3. pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman 4. ekstraksi dan pembuangan limbah batuan 5. pengolahan bijih dan operasional 6. penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya Menurut Arnold (2001) klasifikasi letak deposit mineral batubara dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, letak deposit batubara jauh dibawah permukaan tanah, sehingga cara penambangannya biasa dikenal dengan subsurface mining atau deep mining, atau biasa disebut pertambangan dalam. Kedua, letak deposit mineral batubara yang tidak jauh dari permukaan tanah antara 5 s/d 25 meter dibawah permukaan tanah. Untuk mendapatkan mineral ini biasa didikenal dengan pertambangan permukaan (surface mining). Sistem penambangan batubara di Indonesia kshususnya di Pulau Kalimantan tidak dilakukan dengan cara deep mining, melainkan surface mining. Kegiatan penambangan batubara dengan metode ini meliputi: 1. pembukaan lahan 2. pengupasan dan penimbunan tanah tertutup 3. pengambilan dan pengangkatan batubara serta pengecilan ukuran tanpa proses pencucian batubara (Setyawan, 2004 disitasi oleh Feriansyah, 2009)
5 2.2 Lanskap Pasca-Tambang Batubara Kondisi lanskap pasca-tambang batubara selalu terkait dengan bagaimana cara mineral tersebut ditambang, hal tersebut tergantung letak deposit batubara yang tersedia dari permukaan tanah. Pengeksploitasian deposit mineral batubara yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia ialah penambangan secara terbuka (open pit mining). Kegiatan ini dapat mengakibatkan gangguan seperti berikut: 1. menimbulkan lubang besar pada tanah 2. penurunan muka tanah atau bentuk cadangan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian. 3. penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan. Penambangan yang dibiarkan terlantar akan mengakibatkan permasalahan. 4. bahan galian tambang apabila ditumpuk atau disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor, dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir. 5. mengganggu proses penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutup kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organikk/humus atau unsur hara telah tercuci. 2.3 Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Pengelolaan lanskap merupakan upaya dalam penataan, pemanfaatan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, dan pengembangan lingkungan hidup suatu kawasan. Urgensi kegiatan pengelolaan lanskap adalah untuk menjaga keadaan suatu lanskap beserta infrastruktur yang ada di dalamnya, agar tetap sesuai dengan yang direncanakan. Pengelolaan berlangsung dengan membuat program pengelolaan yang terstruktur dan terorganisasi. Program yang terstruktur dan terorganisasi bertujuan agar lanskap tersusun secara sistematis dan mudah dikelola. Program perencanaan perlu mempertimbangkan aspek fisik, sosial, budaya, ekologi, dan ekonomi. Program pengelolaan biasa disebut dengan rencana pengelolaan (management plan).
6 Manajemen suatu tapak mempunyai beberapa prinsip yang harus dimiliki pengelola. Sternloff dan Warren (1984) mengemukakan bahwa ada dua belas prinsip sebagai petunjuk dasar untuk mewujudkan program pengelolaan. Yaitu: a. menetapkan tujuan dan standar pemeliharaan b. pemeliharaan harus berdasarkan penggunaan waktu, tenaga, alat, dan bahan secara ekonomis c. pelaksanaan pemeliharaan berdasarkan perencanaan pemeliharaan tertulis d. jadwal pekerja pemeliharaan harus berdasarkan pada pertimbangan prioritas dan kebijakan e. seluruh bagian pemeliharaan hendaknya menekankan pada pemeliharaan pencegahan (preventive maintenance) f. divisi pemeliharaan harus dikelola dengan baik g. adanya sumberdaya dana yang cukup untuk mendukung program pemeliharaan h. adanya sumberdaya tenaga kerja yang cukup untuk melaksanakan fungsi pemeliharaan i. adanya tanggung jawab terhadap keamanan pegawai serta masyarakat j. program pengelolaan harus dirancang untuk memelihara lingkungan alami k. pemeliharaan harus menjadi pertimbangan utama dalam perancangan dan pembangunan taman dan fasilitasnya l. pegawai bagian pemeliharaan bertanggung jawab bagi pencitraan masyarakat terhadap dinas pertamanan Dalam hubungannya dengan pertambangan, kegiatan pengelolaan lanskap ini memiliki fungsi penting dalam mengembalikan kondisi lahan pasca-tambang. Kegiatan pasca-tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan (UU RI No 4 Tahun 2009).
7 2.4 Lanskap Agroforestri Lanskap agroforestri (agroforestry landscape) merupakan objek bentang alam yang dalam penggunaannya dimanfaatkan untuk kegiatan yang berpola agroforestri (Arifin et al., 2009). Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis. Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian agroforestri yang paling umum, tetapi juga sekaligus yang paling mendasar adalah ditinjau dari komponen yang menyusunnya. Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan. Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan. Menurut Sardjono et al., (2003) Ditinjau dari komponen penyusunnya, agroforestri dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Agrosilvikultur Agrosilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/ woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops/ perenial) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops). Dalam agrosilvikultur, ditanam pohon serbaguna atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan. b. Silvopastura Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut sebagai sistem silvopastura. Beberapa contoh silvopastura, antara lain: Pohon atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau produksi terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated production of animals
8 and wood products). Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus). Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan yang sama. c. Agrosilvopastura Agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh permudaan alam dan satwa liar. Interaksi komponen agroforestri secara alami ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar, dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.