BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara

II. TINJAUAN PUSTAKA

CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

STRATEGI MANAJEMEN LAHAN PASCA-TAMBANG UNTUK PRAKTIK AGROFORESTRI DI PT.ARUTMIN INDONESIA KALIMANTAN SELATAN MUHAMMAD IMANULLAH

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan Rakyat dan Agroforestry. maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERENCANAAN LANSKAP DALAM PEMBUKAAN TAMBANG

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

TINJAUAN PUSTAKA Penambangan Batubara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAGIAN EMPAT KLASIFIKASI AGROFORESTRI. Panduan Praktis Agroforestri

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan agroforestri. Sistem agroforestri yang banyak berkembang pada

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Desa Kepuharjo salah satu desa yang berada di Kecamatan Cangkringan

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta. tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka ragam warna yang

Pengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB I PENDAHULUAN. haves and the have nots. Salah satu sumberdaya alam yang tidak merata

Oleh : Sri Wilarso Budi R

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya tahun 1994, 1997, 1998, antara tahun , 2006 dan yang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

meliputi pemilihan: pola tanam, tahapan penanaman (prakondisi dan penanaman vegetasi tetap), sistem penanaman (monokultur, multiple cropping), jenis

BAB III TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PERTAMBANGAN TERHADAP LAHAN BEKAS TAMBANG

TINJAUAN PUSTAKA. secara geografis terletak antara Bujur Timur dan

RINGKASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PROFIL DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN WONOGIRI

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini dunia pertambangan di Indonesia mengalami

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan merupakan suatu asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipisahkan dari alam dan lingkungannya. Manusia selalu

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN

LANSKAP PERKOTAAN (URBAN LANDSCAPE)

TINJAUAN PUSTAKA. lahan secara optimal dan lestari,dengan cara mengkombinasikan. akan mendapatkan penghasilan tambahan diluar tanaman pokok.

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM II. K e l a s. C. Pertanian Organik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

Ekologi Padang Alang-alang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TENTANG LAHAN DENGAN. dan dan. hidup yang. memuat. dengan. pembukaan. indikator. huruf a dan. Menimbang : Tahun Swatantra. Tingkat.

I. PENDAHULUAN. yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat. menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumberdaya alam yang tidak

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Tailing yang dihasilkan dari industri pertambangan menjadi perdebatan karena volume

GUBERNUR LAMPUNG. KEPUTUSAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR : G/ j/! /1I.05/HK/2015

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Alang-alang dan Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sumberdaya hutan yang

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

PROSES PENAMBANGAN EKSPLORASI METODE TAMBANG KAPAL KERUK TAMBANG GP PEMBERSIHAN KAWASAN PEMBERSIHAN KAWASAN PEMBUANGAN TANAH PENUTUP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora)

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI,

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam,

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEBIJAKAN REKLAMASI PADA LAHAN BEKAS TAMBANG PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2012

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batu Bara Kegiatan penambangan merupakan proses ekstraksi bahan mineral yang bernilai ekonomis dari lapisan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia (Gregory, 1983 disitasi oleh Burley, 2001). Proses penambangan merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematis. Bapedal (2001) mengemukakan bahwa kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut: 1. eksplorasi 2. pembangunan infrastruktur, jalan akses dan sumber energi 3. pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman 4. ekstraksi dan pembuangan limbah batuan 5. pengolahan bijih dan operasional 6. penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya Menurut Arnold (2001) klasifikasi letak deposit mineral batubara dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, letak deposit batubara jauh dibawah permukaan tanah, sehingga cara penambangannya biasa dikenal dengan subsurface mining atau deep mining, atau biasa disebut pertambangan dalam. Kedua, letak deposit mineral batubara yang tidak jauh dari permukaan tanah antara 5 s/d 25 meter dibawah permukaan tanah. Untuk mendapatkan mineral ini biasa didikenal dengan pertambangan permukaan (surface mining). Sistem penambangan batubara di Indonesia kshususnya di Pulau Kalimantan tidak dilakukan dengan cara deep mining, melainkan surface mining. Kegiatan penambangan batubara dengan metode ini meliputi: 1. pembukaan lahan 2. pengupasan dan penimbunan tanah tertutup 3. pengambilan dan pengangkatan batubara serta pengecilan ukuran tanpa proses pencucian batubara (Setyawan, 2004 disitasi oleh Feriansyah, 2009)

5 2.2 Lanskap Pasca-Tambang Batubara Kondisi lanskap pasca-tambang batubara selalu terkait dengan bagaimana cara mineral tersebut ditambang, hal tersebut tergantung letak deposit batubara yang tersedia dari permukaan tanah. Pengeksploitasian deposit mineral batubara yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia ialah penambangan secara terbuka (open pit mining). Kegiatan ini dapat mengakibatkan gangguan seperti berikut: 1. menimbulkan lubang besar pada tanah 2. penurunan muka tanah atau bentuk cadangan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian. 3. penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan. Penambangan yang dibiarkan terlantar akan mengakibatkan permasalahan. 4. bahan galian tambang apabila ditumpuk atau disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor, dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir. 5. mengganggu proses penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutup kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organikk/humus atau unsur hara telah tercuci. 2.3 Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Pengelolaan lanskap merupakan upaya dalam penataan, pemanfaatan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, dan pengembangan lingkungan hidup suatu kawasan. Urgensi kegiatan pengelolaan lanskap adalah untuk menjaga keadaan suatu lanskap beserta infrastruktur yang ada di dalamnya, agar tetap sesuai dengan yang direncanakan. Pengelolaan berlangsung dengan membuat program pengelolaan yang terstruktur dan terorganisasi. Program yang terstruktur dan terorganisasi bertujuan agar lanskap tersusun secara sistematis dan mudah dikelola. Program perencanaan perlu mempertimbangkan aspek fisik, sosial, budaya, ekologi, dan ekonomi. Program pengelolaan biasa disebut dengan rencana pengelolaan (management plan).

6 Manajemen suatu tapak mempunyai beberapa prinsip yang harus dimiliki pengelola. Sternloff dan Warren (1984) mengemukakan bahwa ada dua belas prinsip sebagai petunjuk dasar untuk mewujudkan program pengelolaan. Yaitu: a. menetapkan tujuan dan standar pemeliharaan b. pemeliharaan harus berdasarkan penggunaan waktu, tenaga, alat, dan bahan secara ekonomis c. pelaksanaan pemeliharaan berdasarkan perencanaan pemeliharaan tertulis d. jadwal pekerja pemeliharaan harus berdasarkan pada pertimbangan prioritas dan kebijakan e. seluruh bagian pemeliharaan hendaknya menekankan pada pemeliharaan pencegahan (preventive maintenance) f. divisi pemeliharaan harus dikelola dengan baik g. adanya sumberdaya dana yang cukup untuk mendukung program pemeliharaan h. adanya sumberdaya tenaga kerja yang cukup untuk melaksanakan fungsi pemeliharaan i. adanya tanggung jawab terhadap keamanan pegawai serta masyarakat j. program pengelolaan harus dirancang untuk memelihara lingkungan alami k. pemeliharaan harus menjadi pertimbangan utama dalam perancangan dan pembangunan taman dan fasilitasnya l. pegawai bagian pemeliharaan bertanggung jawab bagi pencitraan masyarakat terhadap dinas pertamanan Dalam hubungannya dengan pertambangan, kegiatan pengelolaan lanskap ini memiliki fungsi penting dalam mengembalikan kondisi lahan pasca-tambang. Kegiatan pasca-tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan (UU RI No 4 Tahun 2009).

7 2.4 Lanskap Agroforestri Lanskap agroforestri (agroforestry landscape) merupakan objek bentang alam yang dalam penggunaannya dimanfaatkan untuk kegiatan yang berpola agroforestri (Arifin et al., 2009). Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis. Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian agroforestri yang paling umum, tetapi juga sekaligus yang paling mendasar adalah ditinjau dari komponen yang menyusunnya. Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan. Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan. Menurut Sardjono et al., (2003) Ditinjau dari komponen penyusunnya, agroforestri dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Agrosilvikultur Agrosilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/ woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops/ perenial) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops). Dalam agrosilvikultur, ditanam pohon serbaguna atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan. b. Silvopastura Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut sebagai sistem silvopastura. Beberapa contoh silvopastura, antara lain: Pohon atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau produksi terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated production of animals

8 and wood products). Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus). Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan yang sama. c. Agrosilvopastura Agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh permudaan alam dan satwa liar. Interaksi komponen agroforestri secara alami ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar, dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.