Maritim Adalah Akar Budaya Kita 1 Penulis: Mauled Moelyono 2 Pengantar Meninjau kembali sejarah kejayaan Maritim Indonesia, memahamkan kepada kita bahwa jauh sebelum merdeka, Indonesia sudah dikenal dunia sebagai Bangsa yang berperadaban maritim. Bangsa ini pernah mengalami masa kejayaannya pada awal abad ke-7 Masehi. Bangsa Indonesia telah mampu berlayar jauh dengan alat navigasi seadanya, berhasil menjelajah sampai jauh ke Afrika Timur (Madagaskar) dan ke Pasifik Selatan. Mereka juga berhasil berlayar ke Utara, lalu ke Barat memotong Lautan Hindia dan berlanjut ke Timur hingga Pulau Paskah. Pada lintasan sejarah yang cukup panjang, mulai dari Kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Kerajaan Demak, Nusantara merupakan negara besar yang disegani di kawasan Asia dan bahkan di dunia. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya. Ketangguhan maritim Bangsa Indonesia juga ditunjukkan oleh Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dengan kekuatan armada laut yang dimiliki, pada Tahun 1275 Kertanegara berhasil mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa (Kamboja) untuk menjalin persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara (Hasjim Djalal, 2014). Puncak kejayaan maritim Nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478) di bawah kepemimpinan Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan Nusantara. Bahkan, pengaruhnya sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa, Anam, India, Filipina, dan China. Kilasan sejarah itu tentunya memberi arti tersendiri betapa kerajaan-kerajaan di Nusantara dahulu mampu menyatukan Wilayah Nusantara dan disegani bangsa lain, karena paradigma masyarakatnya mampu menciptakan visi maritim sebagai bagian utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial. Tentu saja, kejayaan peradaban maritim pada saat itu pernah menjadi kiblat di bidang pertahanan, ekonomi, budaya, dan agama di seluruh wilayah Asia. 1 Tulisan ini pernah dimuat dalam Tabloid INSPIRASI, Vol. 6 No. 117 tanggal 25 Mei 2015 2 Dosen Tetap pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako. 1
Seiring dengan perkembangan peradaban itu maka pengakuan terhadap keberadaan Indonesia sebagai Negara maritim pun bermunculan, baik pengakuan secara internal oleh Bangsa Indonesia sendiri maupun pengakuan secara eksternal oleh masyarakat internasional. Secara internal, Bangsa Indonesia telah menyadari akan arti penting laut bagi kehidupannya, serta menghayati kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan nasionalnya, seperti perdagangan dan hubungan antar bangsa. Kesadaran itulah yang melandasi spirit perjuangan para tokoh dan pemimpin di negeri ini dalam mewujudkan sebuah negara maritim yang berdaulat. Bahkan dalam sebuah pidatonya pada Tahun 1953, Presiden Soekarno mengatakan Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga. Bangsa pelaut armada militer Bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri. Selanjutnya pada Tahun 1957, digagas Deklarasi Djoeanda yang menjadi pedoman dan arah kebijakan dan politik luar negeri Pemerintah R.I dalam menentukan eksistensi Indonesia sebagai Negara Maritim. Sejak saat itu Indonesia menjadi satu kesatuan. Deklarasi Djoeanda menyatakan bahwa secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak tersendiri. Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara yang ada di dalamnya, pulau-pulau serta laut yang ada harus dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat, yang selanjutnya ditetapkan dalam UU Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Kemudian, pada tanggal 18 Desember 1996 dicanangkan Deklarasi Negara Maritim Indonesia, sebagai tindak lanjut Konsep Pembangunan Negara Maritim Indonesia. Substansinya menyebut Negara Kesatuan RI beserta perairan nusantara, laut wilayah, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinennya sebagai Negara Maritim Indonesia. Sedangkan secara eksternal, pengakuan itu dinyatakan secara formal berdasarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonante Tahun 1939, yang meletakkan wilayah teritorial Laut Indonesia sejauh 3 mil diukur dari garis luar pantai. Kemudian dilanjutkan pada konvensi hukum laut internasional oleh perserikatan bangsa-bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) Tahun 1982, yang menambah luas wilayah Indonesia dan memberikan kewenangan dengan segala ketetapan yang mengikutinya. Pengakuan tersebut cukup efektif untuk menyatukan Bangsa Indonesia yang kelangsungan hidupnya dipengaruhi, tergantung, dan ditentukan oleh kesadaran serta kebijakan pemanfaatan sumberdaya maritim dalam mengintegrasikan tanah, air, dan angkasa. Namun pada tataran yang lain, 2
Indonesia belum memiliki tatakelola yang baik dalam pemanfaatan dan menjaga keberlanjutan sumberdaya maritim melalui mekanisme koordinatif dan keterpaduan antarsektor pembangunan sebagai sumber kesejahteraannnya, serta budaya maritim bangsa Indonesia yang masih memprihatinkan karena belum tumbuh subur dalam kehidupan keseharian, baik pada tataran masyarakat maupun pada tataran pembuat kebijakan. Kesemua itu menjadi sebab mengapa Indonesia belum mampu mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya maritimnya, sehingga pembangunan kemaritiman di negeri ini seakan maju mundur, terjadi tarik ulur dan tidak jelas kemana hendak dikembangkan. Hal ini sesungguhnya dapat ditelusuri dari seberapa besar komitmen pemimpin bangsa ini melalui visi, misi, dan obsesi presiden sebagaimana tertuang dan dirumuskan secara jelas dalam dokumen perencanaan pembangunan, baik pada dokumen RPJPN maupun dokumen RPJMN. Kembali Menuju Kejayaan Negara Maritim Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki lebih dari 17.504 pulau besar dan kecil yang membentang di jalur khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke, dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan luas wilayahnya kurang lebih 9 (Sembilan) juta km 2 yang meliputi: 3 (tiga) juta km 2 daratan pulau-pulau, 3 (tiga) juta km 2 laut kedaulatan (sorvereignty) diantara dan di sekeliling pulau-pulau itu, dan 3 (tiga) juta km 2 perairan laut yang mengelilingi laut kedaulatan itu sebagai sabuk selebar 200 mil laut dengan hak berdaulat (sorvereign rights) atas sumberdaya alamnya baik di atas maupun di bawah permukaan laut (Wahyono, 2009:1). Potensi sumberdaya maritim di Indonesia tercatat cukup besar, diantaranya dari: (i) perikanan (termasuk perikanan tangkap, budidaya, dan pengolahan) sebesar US$ 47 miliar per tahun; (ii) energi terbarukan yang terdiri dari energi arus laut, pasang surut, gelombang, biofuel alga, dan panas laut sebesar US$ 80 miliar per tahun; (iii) biofarmasetika laut sebesar US$ 330 miliar per tahun; dan (iv) pariwisata bahari mencapai US$ 29 miliar per tahun. Sedangkan dari sektor transportasi laut ada potensi US$ 90 miliar per tahun. Sementara minyak bumi dan gas offshore senilai US$ 68 miliar, dimana 70% dari produksi minyak dan gas bumi tersebut berasal dari pesisir, dengan 40 dari 60 cekungan potensial mengandung migas terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir dan hanya 6 di daratan. Hasil seabed mineral mencapai US$ 256 miliar per tahun, sektor industri dan jasa maritim mencapai US$ 72 miliar per tahun dan garam mencapai US$ 28 miliar per tahun (Sudirman Saad, 2014). 3
Sungguhpun memiliki cakupan wilayah laut yang begitu luas dan memiliki kekayaan potensi sumberdaya laut yang melimpah, namun Indonesia belum dapat diakui sebagai negara maritim karena belum mampu mengoptimalkan pemanfaatan potensi laut tersebut bagi kemajuan ekonomi bangsanya, belum mampu mengelola kekayaan laut dan menjamin keamanan laut, sebagian besar kehidupan rakyatnya masih berorientasi continental. Berdasarkan catatan sejarah, orientasi continental tersebut terjadi karena Bangsa Indonesia didesak ke darat oleh penjajah kolonial. Hal ini yang mengakibatkan menurunnya jiwa maritim. Penurunan ini terjadi semakin pesat, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada Tahun 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda (Sondakh, 2010). Sejak saat itu, terjadi penurunan dan pergeseran nilainilai budaya, semangat, dan jiwa kemaritiman Bangsa Indonesia, yaitu dari budaya maritim ke budaya daratan, sehingga orientasi masyarakat lebih condong ke budaya agraris (memproduksi hasilhasil daratan, ekpansi penanaman beras dan palawija) daripada ke budaya agraris maritim. Sampai saat ini bangsa Indonesia masih terjebak pada land based oriented-nya, padahal Alferd Thayer Mahan (1860-1940) seorang laksamana laut AS dan guru besar sejarah maritim dan strategi di Naval War College, New Port, AS pernah mengatakan bahwa barang siapa yang menguasai laut akan menguasai dunia. Menurutnya, terdapat enam pokok dalam pembentukan kekuatan di laut yaitu (i) letak geografis negara yang bersangkutan, potensial berorientasi pada lautan; (ii) bentuk muka bumi. Sifat tanah yang menjadi tempat tinggal mendorong manusia ke laut, misalnya Jepang yang memiliki pantai, laut merupakan perbatasan dan kekuasaan nasionalnya ditentukan oleh kemampuannya dalam memperluas batasan tersebut; (iii) luas wilayah; (iv) penduduknya, penduduk suatu negara yang suka berdagang menjadikan bangsa yang memerlukan daerah jajahan; (v) lembaga-lembaga pemerintahan yang mendorong bangsanya menuju kearah kekuasaan di laut; dan (vi) wawasan maritim (Anshoriy & Arbaningsih, 2008) Bagi Bangsa Indonesia, tidak cukup hanya bisa membuat slogan-slogan yang menyebutkan Indonesia adalah negara kepulauan, Indonesia adalah negara bahari, Indonesia adalah negara maritim dan Indonesia berjiwa bahari serta menyanyikan lagu Nenek Moyangku orang pelaut akan tetapi harus lebih greget, harus mampu mewujudkan integritas sebagai bangsa maritim, dan menunjukkan dalam pola pikir, pola tindak dan karya-karya nyatanya dalam kehidupan kesehariannya. Bangsa Indonesia juga belum memiliki komitmen pembangunan kemaritiman yang 4
kuat, belum pandai memanfaatkan letak geografis Indonesia untuk kepentingan nasionalnya, ekonomi kelautan belum menjadi mainstream dalam kebijakan pembangunan nasional, dan masih memiliki sejumlah masalah besar yang perlu segera dicarikan solusinya. Kekuasaan dan penguasaan maritim bagi Bangsa Indonesia menjadi syarat perlu untuk menjadi bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Laut menjadi benang emas yang menyatukan bangsa Indonesia, karena kelangsungan hidup bangsa ini sangat dipengaruhi, tergantung, dan ditentukan oleh kekuatan maritimnya. Maka dari itu, kebijakan pemanfaatan sumberdaya maritim dan keberlanjutannya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup bangsa ini mutlak diperlukan. Rekonstruksi paradigma pembangunan kemaritiman di negeri ini perlu disegerakan, termasuk regulai mengenai pengelolaan sumberdaya maritim, keamanan laut dan tatakelonya. Hal ini penting karena pemanfaatan dan pengrusakan sumber daya maritime semakin tidak terkendali, kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing semakin marak terjadi yang menyebabkan ratusan triliun rupiah devisa negara hilang setiap tahunnya. Bangsa Indonesia sadar akan menjadi bangsa yang maju, modern dan sejahtera manakala kehidupan rakyatnya mampu menyatu dengan alam lingkungannya, yaitu lingkungan maritim. Oleh karena itu upaya peletakan dasar-dasar pembangunan kemaritiman yang telah dilakukan selama ini perlu terus diperkuat dan disempurnakan, perlu ditata ulang dan dirumuskan kembali kebijakan implementasinya secara menyuluruh dan terpadu. Akhir Kata Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa Indonesia saat ini memerlukan doktrin maritim tentang bagaimana mengembalikan jiwa dan semangat kemaritiman yang kuat bagi setiap Warga Negara Indonesia, merumuskan kembali kebijakan pembangunan kemaritiman nasional yang komprehansif, mulai dari merumuskan persepsi bangsa Indonesia dalam melihat pengaruh laut terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya hingga ke sistem pertahanan dan keamanan nasional (wawasan maritim). Pada tataran teknis operasional, doktrin maritim ini dapat dilakukan melalui pengembangan pendidikan maritim di setiap jenjang pendidikan formal dan informal, peningkatan kesadaran maritim melalui gerakan moral mengobarkan semangat maritim kepada semua lapisan masyarakat Indonesia, termasuk kelompok lembaga swadaya masyarakat (NGO), dan akademisi. Tarik ulur di dunia maritim sudah seharusnya diakhiri, karena Undang-Undang Kelautan sebagai syarat perlu untuk mewujudkan negara maritim yang sejati belum lama ini telah disahkan, 5
namun masih diperlukan serangkaian langkah konkrit yang perlu diambil dan dilaksanakan dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat, mandiri dan berpihak pada kesejahteraan rakyat, yaitu perumusan dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan sumberdaya maritim dan dukungan politik anggaran berbasis kemaritiman dari pihak pemerintah dan DPR RI, sebab kedua lembaga negara tersebut memiliki hak bujet dalam menentukan anggaran pembangunan nasional. Untuk mengembalikan khitah Indonesia sebagai Negara Maritim yang kuat dibutuhkan pemimpin Indonesia yang memiliki kepemimpinan maritim yang tangguh, memiliki visi Negara Maritim, berperilaku tegas, jujur, berani, egaliter, terbuka dan menerima pluralisme yang dominan berkembang dalam masyarakat pesisir. Selain itu, bangsa Indonesia juga perlu membulatkan tekad keberanian dan kecerdasannya untuk menetapkan suatu visi kemaritiman sebagai kerangka acuan yang diyakini mampu memberi arah menuju tujuan berbangsa dan bernegara. Untuk kembali menjadi Negara Maritim yang kuat, diperlukan perubahan paradigma dalam pengelolaan sumberdaya kemaritiman, baik pada tataran masyarakat maupun pada tataran pembuat kebijakan dan usaha keras dan cerdas secara kolektif dalam mengembangkan dan meningkatkan kesadaran maritim Bangsa Indonesia. Kesadaran maritim itu tercipta melalui proses pemahaman dan penghayatan yang inten dan terus menerus terhadap wawasan Maritim Indonesia. Dalam hal ini, wawasan Maritim Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945 dimaknai sebagai cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai wilayah laut nasional dan lingkungannya dalam memanfaatkan, mengelola, melestarikan, dan melindungi, serta mengamankannya melalui upayaupaya perwujudan: (i) wilayah laut nasional sebagai wilayah NKRI yang berdaulat, (ii) wilayah laut nasional yang aman, (iii) wilayah laut nasional yang dapat dimanfaatkan dan dikelola secara efektif, efisien, dan berkelanjutan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia dari generasi ke generasi, dan (iv) wilayah laut nasional yang didukung dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan. 6