BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Masalah difabel atau penyandang ketunaan merupakan satu masalah yang kompleks karena menyangkut berbagai aspek. Salah satu hal yang masih menjadi polemik adalah masalah layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama dibicarakan oleh para aktivis gerakan penyandang ketunaan di Indonesia, karena hal itu merupakan salah satu bentuk perlakuan diskriminasi yang utama terhadap para penyandang difabel. Anak difabel merupakan anakanak yang memiliki perbedaan baik secara mental maupun fisik kika dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Pemerintah telah mengeluarkan UU No.4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, pasal 12 mewajibkan lembaga-lembaga pendidikan umum menerima para difabel sebagai siswa, namun pada kenyataannya dalam pelaksanaannya berbagai tantangan timbul, sehingga masih banyak Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak berkesempatan untuk memperoleh pendidikan yang menjadi hak mereka Hukum di Indonesia juga telah jelas mengatur mengenai pendidikan ABK yang dituangkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, baik yang memiliki kelainan fisik, 1
2 emosional, mental, intelektual atau sosial, berhak memperoleh pendidikan khusus. Namun pada kenyataannya dalam pelaksanaannya berbagai tantangan timbul, sehingga masih banyak ABK tidak berkesempatan untuk memperoleh pendidikan yang menjadi hak mereka. Menurut Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar (PPK-LK Dikdas) berdasarkan data terakhir, jumlah ABK dengan disabilitas di Indonesia pada 2011 diperkirakan sebanyak 356.192, sedangkan yang telah memperoleh layanan pendidikan pada 1.600-an SLB di Indonesia hanya sekitar 85.645 anak. (dikutip dari www.solopos.com yang diakses pada Kamis14 Agustusi 2015). Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel), sebenarnya oleh pemerintah telah disediakan fasilitas layanan pendidikan yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), tapi secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
3 Setelah pemerintah mengeluarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan Keputusan Menteri No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa. Sekolah inklusi merupakan sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus dalam program yang sama, keuntungannya tidak hanya memenuhi hak anak maupun hak asasi manusia tetapi lebih penting lagi adalah untuk kesejahteraan anak. Hal ini dikarenakan pendidikan inklusi dimulai dengan merealisasikan perubahan pandangan pada masyarakat tentang penyandang cacat yang sering dikesampingkan atau diasingkan. Sehingga anak berkebutuhan khusus akan merasa lebih percaya diri, tenang dan bahagia. (dikutip dari sekolah-mandiri.sch.id yang diakses pada Kamis 7Januari 2016). Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang telah melaksanakan sistem pendidikan inklusi sesuai dengan keputusan menteri No. 70 tahun 2009 melalui Perda Kota Surakarta Nomer 4 Tahun 2010 tentang pendidikan dan pelayanan khusus bagi ABK. Saat ini kota Surakarta sendiri, telah memiliki 28 sekolah inklusi. Pada pendidikan dasar telah ditetapkan 15 SD sebagai penyelenggara
4 program pendidikan inklusif, 7 sekolah untuk jenjang SMP, dan 6 sekolah untuk jenjang SMA dan SMK. Berikut daftar sekolah inklusi di surakarta Tabel 1.1 Daftar Sekolah Inklusi yang Ada di Kota Surakarta Tahun 2014 No. Jenjang Nama Sekolah Kecamatan 1. Sekolah Dasar SDN Pajang 1 Laweyan SDN Karangasem 1 Laweyan SD Al Islam 2 Laweyan SDN Kartodipuran Serengan SD Al Islam 1 Serengan SDN Carangan Pasar Kliwon SDN Wiropaten Pasar Kliwon SDN Harjodipuran Pasar Kliwon SDN Petoran Jebres SDN Mojosongo 1 Jebres SDN Manahan SDN Bromantakan SD Al Firdaus SDN Gebang SD Lazuardi Kamila 2. Sekolah Menengah Pertama SMPN 12 Laweyan SMPN 20 Jebres SMPN 22 Serengan SMPN 23 SMP Al Islam 1 Serengan SMP Islam Diponegoro Pasar Kliwon SMP Kanisius 1 Pasar Kliwon 3. Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan SMAN 5 SMAN 8 Jebres SMA Muhammadiyah 6 SMKN 4 Laweyan SMKN 8 Jebres SMKN 9 Sumber: Data Disdikpora Surakarta
5 Kota Surakarta telah berhasil melaksanakan program pendidikan inklusi terbukti dengan, pada tahun 2013 telah ditunjuk sebagai kota pengembangan inkusi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar. Hal ini dimungkinkan karena Kota Surakarta memiliki akar sejarah yang sangat kuat tentang pendidikan untuk para difabel. Sebut saja pahlawan nasional dalam bidang rehabilitasi, yaitu Prof. Dr. Soeharso, adalah salah satu tokoh nasional dalam pendidikan ABK yang cukup fenomenal. Bahkan nama beliau akhirnya diabadikan mulai dari pendirian Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC), Rumah Sakit Ortopedi, Pusat Pengembangan dan Latihan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM) dan lain sebagainya. Solo juga dikenal sebagai salah satu kota terlengkap dalam penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa (SLB), mulai dari jenis A (tuna netra), B (tuna rungu), C (tuna grahita), D (tuna laras), dan E (tuna daksa), dengan jumlah tidak kurang 17 lembaga. (dikutip dari www.solokotainklusi.com yang diakses pada Kamis14 Agustusi 2015). Kota Surakarta kini juga telah memiliki gedung pusat autis, sebagai layanan pendidikan dan terapi bagi anak autis di Solo dan sekitarnya. Gedung yang berlokasi di Ngemplak Sutan, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres itu, telah diresmikan Walikota Surakarta FX Hadi Rudyatmo bersama Kepala Sub Direktorat Program dan Evaluasi
6 Pendidikan Khusus-Layanan Khusus Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu salah satu yayasan pendidikan di kota Solo yaitu, Al Firdaus berhasil ditunjuk sebagai penyelenggara pendidikan inklusi terbaik tingkat nasional dalam ajang "Anugerah Pendidikan Inklusif 2012" yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bekerjasama dengan Hellen Keller International (HKI). Sekolah tersebut dinilai berhasil memberikan pelayanan terbaik dalam memberikan pendidikan yang bermutu pada siswa berkebutuhan khusus (ABK) di Kota Solo dan sekitarnya. Penghargaan tersebut salah satunya karena sekolah Al Firdaus di segala jenjang menerima siswa berkebutuhan khusus tanpa menyeleksi secara akademis. Seluruh ABK yang mendaftar di sekolah tersebut diterima tanpa seleksi. Selain itu, Al Firdaus juga mendirikan Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus. Sekolah juga menyediakan guru pendamping khusus yang menangani kebutuhan siswa istimewa tersebut. (dikutip dari www.tpp.alfirdausina.net yang diakses pada Kamis14 Agustusi 2015). Dalam pelaksanaan program pendidikan inklusi ini tentu saja harus didukung manajemen yang baik dari tim pengelola program pendidikan inklusi sehingga Kota Surakarta dapat memperoleh keberhasilan seperti yang ditelah diuraikan diatas. Manajemen merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan yang berupa proses pengelolaan usaha kerjasama sekelompok manusia yang tergabung
7 dalam organisasi pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar efektif dan efisien (Nurhadi, 1983 : 2) Penelitian terdahulu, Harsi Nastiti, (2015) Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi (Studi Implementasi Permendiknas No.70 Tahun 2009 Di SMP N 2 Mertoyudan Kabupaten Magelang) Kebijakan pendidikan inklusi yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusi bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa (Permendiknas No.70 Tahun 2009) telah dilaksanakan oleh SMP N 2 Mertoyudan Kabupaten Magelang sejak tahun 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses implementasi berlangsung pada tiga tahap. Pertama, tahap pengorganisasian berupa penyiapan sumber daya berupa anggaran dan pembentukan pengelola inklusi. Kedua, tahap interpretasi, dilakukan upaya pemahaman kebijakan melalui sosialisasi berupa workshop atau rapat koordinasi. Lalu, tahap ketiga, yaitu tahap aplikasi dimulai dari assessment atau penerimaan peserta didik baru, penyesuaian kurikulum, penilaian dan model belajar, ketersediaan guru pembimbing khusus, pembiayaan dan penyediaan sarana prasarana, penentuan ujian dan kelulusan serta pembinaan atau pengawasan. Yazied Hussain Arrachim, (2012) Aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di kabupaten sragen tahun 2012 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kualitas aksesibilitas yang telah diperoleh anak
8 berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012. Data hasil penelitian menunjukkan rata rata skor pengukur tingkat aksesibilitas yang diperoleh dari responden guru 3,35 (sedang) dan rata rata skor pengukur tingkat aksesibilitas dari responden siswa ABK 3,44 (Sedang), sehingga diperoleh skor rata rata total 3,39 (Sedang) sebagai nilai rata rata total yang diperoleh dari responden guru dan responden siswa ABK, yang menunjukkan bahwa aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 cukup aksesibel. Ifdlali, "Pendidikan Inklusi; Pendidikan Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus, artikel ini menjelaskan, bahwa untuk mengatasi semua permasalahan yang terdapat pada pendidikan inklusif menggunakan kurikulum sekolah regular yang dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik dan tingkat kecerdasannya. Tahapan memodifikasi kurikulum diantaranya: alokasi waktu, isi atau materi kurikulum, proses belajarmengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas. Dengan memodifikasi kurikulum maka akan terwujudnya tatanan sosial yang inklusif, tanpa harus mensegmentasikan pendidikan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena pada penelitian sebelumnya mengkaji dari aspek implementasi kebijakan pendidikan inklusi dan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusi, sedangkan penelitian ini penulis akan meneliti dari
9 aspek manajemen program pendidikan inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul MANAJEMEN PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI DI DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA KOTA SURAKARTA B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu Bagaimana Manajemen Program Pendidikan Inklusi di Disdikpora kota Surakarta? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen program pendidikan inklusi di Disdikpora kota Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Untuk memberikan informasi bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang Sekolah Inklusif. Sekaligus memberi gambaran bagaimana manajemen program pendidikan inklusi di Disdikpora Kota Surakarta. 2. Memberikan sumbangan pemikiran yang nantinya bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.