BAB I PENDAHULUAN. global, sehingga terjadi penyimpangan pemanfaatan fungsi hutan dapat merusak

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

KARAKTERISKTIK BACKSCATTER CITRA ALOS PALSAR POLARISASI HH DAN HV TERHADAP PARAMETER BIOFISIK HUTAN DI SEBAGIAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB II METODE PENELITIAN

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

III. BAHAN DAN METODE

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

III. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB III BAHAN DAN METODE

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya (UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan). Hutan Indonesia mempunyai peranan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global, sehingga terjadi penyimpangan pemanfaatan fungsi hutan dapat merusak ekosistem hutan. Permasalahan kerusakan hutan Indonesia berada pada peringkat kelima setelah Rusia, Brasil, Amerika Serikat dan Kanada. Indonesia kehilangan 15,8 juta hektar antara tahun 2000 dan 2012 dengan persentase kerusakan hutan sekitar 8,4 persen (Hansen, 2013). Salah satu hutan di Indonesia yang berpotensi adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Luas TNKS yang berada pada empat provinsi di Sumatera mencapai 1,389 juta hektar (Menteri Kehutanan SK. N0. 192/Kpts- II/1996). Kawasan taman nasional yang sangat luas menyebabkan permasalahan cukup kompleks seperti perambahan hutan secara liar. Tahun 2012 Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BBTNKS) mencatat 41.303 hektar areal hutan perambahan dan kritis di taman nasional tersebut mengalami kerusakan. Kerusakan areal kawasan hutan TNKS ini terjadi di empat provinsi, yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan akan tetapi kerusakan hutan tertinggi di areal kawasan hutan itu terjadi di Provinsi Jambi. Di Sumatera 1

Barat, kerusakan TNKS di areal tersebut mencapai ribuan hektar. Kerusakan lahan hutan di Sumatera Barat akibat perambahan dan lahan kritis yang perlu direhabilitasi di Kabupaten Solok seluas 185 hektar, Kabupaten Solok Selatan seluas 380 hektar dan Kabupaten Pesisir Selatan seluas 500 hektar. Laju deforestasi dan rehabilitasi yang dilakukan pemerintah tidak seimbang dimana kemampuan pemerintah untuk rehabilitasi hutan dan lahan hanya 500 ribu sampai 700 ribu hektar pertahun (Ahniar, 2011). Deforestasi hutan Indonesia terjadi di hutan kerapatan tinggi yaitu hutan Sumatera dan Kalimantan karena perubahan/konversi tutupan lahan hutan menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan mengalami perkembangan pesat selama 20 tahun terakhir. Beberapa faktor-faktor lain yang mempercepat terjadinya degradasi dan deforestasi di Indonesia yaitu kegiatan eksploitasi hutan secara legal maupun ilegal, konversi hutan alam dan gambut untuk dijadikan perkebunan sawit dan pertambangan, pemberian izin pemanfaatan kayu, serta kebakaran hutan (FWI, 2001). Deforestasi dan degradasi hutan dapat meningkatkan terjadinya emisi karbon yang berdampak terhadap perubahan iklim karena kurang seimbangnya konsentrasi karbon di atmosfer. Hutan mempunyai potensi biomassa yang tinggi sehingga dapat mengurangi karbon di atmosfer melalui fotosintesis tumbuhan. Simpanan karbon di pohon-pohon besar sangat bervariasi di berbagai kawasan tropis (Slik, 2013). Pepohohan dapat menyimpan karbon di dalam daun, jaringan kayu, akar dan zat organik tanah. Perhitungan biomassa di atas permukaan dapat 2

mengukur peran hutan sebagai serapan karbon dalam mitigasi perubahan iklim (Sutaryo, 2009). Pendekatan untuk pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan telah dikembangkan melalui mekanisme REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation). Skema REDD+ merupakan sebuah rencana negosiasi strategi iklim global dimana Indonesia menjadi daerah sasaran proyek mekanisme REDD+ karena dinilai memenuhi kriteria untuk proyek pengurangan emisi karbon (Wibowo, 2010). Inventarisasi informasi mengenai biomassa secara akurat dalam penentuan faktor emisi karbon hutan dapat digunakan untuk kajian perencanaan pelestarian hutan yang membutuhkan estimasi secara temporal dari tahun ke tahun. Informasi tersebut dapat menggambarkan kondisi ekosistem hutan untuk pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan, memahami dinamika karbon dalam ekosistem hutan dan menduga dampak akibat deforestasi serta perubahan penggunaan lahan. Biomassa hutan sangat terkait dengan isu perubahan iklim sehingga biomassa hutan sangat berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama siklus karbon. Kandungan karbon hutan tersimpan pada vegetasi hutan sebesar 50%. Hal ini menyebabkan estimasi biomassa hutan tropis banyak mendapat perhatian karena terjadinya perubahan biomassa regional. Kajian biomassa sangat penting untuk mengetahui aliran energi dan siklus hara dari suatu ekosistem hutan khususnya hutan hujan tropis mengandung karbon yang cukup berpotensi. Estimasi kandungan biomassa dan karbon dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh melalui analisis polarimetrik sehingga 3

dapat dikorelasikan dengan biomassa hutan aktual. Perkembangan teknologi penginderaan jauh telah menunjukkan bahwa pengurangan deforestasi dapat digambarkan dengan nyata, permanen dan pengurangan emisi dapat diverifikasi dengan pengukuran yang dapat dipercaya. Hubungan antara penginderaan jauh dengan biomassa yaitu penginderaan jauh merupakan salah satu pendekatan terbaik untuk estimasi biomassa di tingkat regional ketika data tegakan hutan di lapangan sulit diperoleh. Pada dasarnya perhitungan biomassa untuk menginventarisasi, memantau dan mengelola hutan dapat dilakukan dengan pengukuran lapangan plot sampel yaitu diameter pohon setinggi dada (DBH). Kelemahan pengukuran secara teresteris dianggap kurang efektif karena memerlukan waktu dan biaya relatif besar sehingga perkembangan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh semakin berkembang (Fatoyinbo, 2012). Teknologi penginderaan jauh yang dapat digunakan yaitu sistem penginderaan jauh pasif dan aktif. Permasalahan pemanfaatan citra penginderaan jauh pasif (optic) adalah sulitnya memperoleh data permukaan bumi mempunyai permasalahan dengan adanya awan di atmosfer terutama di daerah tropis. Keberadaan awan di atmosfer akan menghambat perjananan gelombang elektromagnetik dari radiasi matahari untuk mencapai permukaan. Gelombang tampak (visible) dan inframerah sebagian dipantulkan oleh permukaan awan bagian atas sedangkan sebagian energi diserap awan dan sebagian lagi dihambur balik sehingga data yang direkam adalah data awan (Soenarmo, 2009). Hal ini akan menyebabkan sulitnya interpretasi baik secara visual maupun digital karena 4

objek di bawah bayangan awan tidak dapat dideteksi. Mengingat pemasalahan tersebut teknologi penginderaan jauh aktif lebih memungkinkan untuk digunakan karena sistem penginderaan jauh aktif memiliki kelebihan dibandingkan sensor pasif, dimana sensor aktif mampu merekam pada malam hari dan menembus awan khususnya untuk hutan tropis (Suzuki et al., 2013; Mitchard et al., 2009). Pemanfaatan sistem penginderaan jauh aktif yaitu sistem Syntetic Aperture Radar (SAR) panjang gelombang mikro. Salah satu satelitnya adalah ALOS PALSAR (Advanced Land Observing Satellite Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar) yang mampu menembus awan dan asap sehingga objek di bawahnya dapat diidentifikasi. Sensor ALOS PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR (Synthetic Aperture Radar) yang dikembangkan oleh JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) frekuensi L-band (frekuensi pusat 1270 MHz atau 23.6 cm) dengan resolusi 50 meter. ALOS PALSAR mempunyai polarisasi beroperasi dengan moda berkas halus (fine beam) single polarization (HH atau HV), dual polarization (HH+HV atau VV+VH) dan full polarimetry (HH+HV+VH+VV) (JAXA, 2008). Citra ALOS PALSAR menjadi salah satu data penginderaan jauh untuk memantau dan pemetaan kawasan hutan. ALOS PALSAR merupakan sistem berbasis satelit yang mampu memperoleh data untuk studi biomassa hutan dengan memanfaatkan Band L. Sensitivitas Band L pada ALOS PALSAR lebih unggul untuk mengidentifikasi parameter biofisik hutan seperti volume dan biomassa dibandingkan citra dengan panjang gelombang lebih pendek karena kemampuan L-Band dapat menembus kanopi hutan. Keunggulan ALOS PALSAR yaitu sistem 5

mode dual dan quad polarisasi mampu merekam data untuk memperkirakan biomassa hutan (Cartus et al., 2012, Hamdan et al., 2014). Pemanfaatan citra ALOS PALSAR untuk mengukur parameter biofisik hutan dan tingkat saturasi yang diidentifikasi berdasarkan sensitivitas backscatter. Sensitivitas backscatter tergantung pada struktur hutan karena dapat mempengaruhi mekanisme hamburan. Nilai backscatter juga dipengaruhi oleh kelembaban dan dinamika cuaca yang dapat berpengaruh pula pada konstanta dielektrik (Lillesand dan Kiefer., 1997; Mitchard et al., 2009). Hal ini menyebabkan pemanfaatan citra radar cukup baik digunakan untuk pendugaan biomassa di atas permukaan pada hutan di sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat. 1.2. Perumusan Masalah Degradasi dan deforestasi hutan disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak efektif. Dampak nyata akibat degradasi dan deforestasi hutan yaitu terjadinya perubahan iklim sehingga pencegahan terjadinya kerusakan tersebut menjadi alternatif utama untuk menurunkan emisi. Berdasarkan mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), degradasi dan deforestasi hutan dapat diukur melalui cadangan karbon di hutan yang dipertahankan sebagai hutan (Wibowo, 2010). Pengukuran kandungan biomassa dan karbon pada umumnya dilakukan secara dekstruktif melalui pemanenan secara langsung akan tetapi membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Mengingat jenis hutan di Indonesia merupakan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga variasi vegetasi relatif heterogen. Setiap vegetasi mempunyai kandungan biomassa berbeda-beda 6

sehingga sulit untuk melakukan estimasi dengan cepat. Metode pengukuran biomassa dan karbon non-destruktif mulai dikembangkan salah satunya melalui penerapan teknik penginderaan jauh di Indonesia. Sistem penginderaan jauh yang dapat digunakan ada dua yaitu sistem penginderaan jauh pasif (optik) dan aktif. Pemanfaatan citra satelit sistem optik di kawasan hutan tropis memiliki kelemahan karena proses perekamannya sangat dipengaruhi oleh gangguan atmosfer sehingga perekaman pada musim hujan sering tertutup awan. Berbeda halnya dengan sistem penginderaan jauh sistem aktif yang dapat merekam dalam segala kondisi baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Spektrum gelombang yang digunakan oleh sensor aktif secara umum dapat menembus awan, sehingga observasi suatu daerah tidak terganggu oleh adanya awan di atmosfer daerah tersebut (Suzuki et al., 2013). Salah satu data penginderaan jauh non-optik yang dapat digunakan untuk menggambarkan parameter tegakan hutan adalah citra ALOS PALSAR dengan saluran L. Saluran L pada citra ALOS PALSAR dapat menembus kanopi hutan sehingga data tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan biomassa di atas permukaan, berbeda halnya dengan saluran C dengan panjang gelombang yang lebih pendek sehingga hanya dapat memantulkan pada batas kanopi vegetasi saja. Namun demikian, kedua saluran ini dapat digunakan untuk mempelajari struktur vegetasi. Berdasarkan penjelasan di atas, adapun rumusan masalah penelitian ini yaitu: 1. Pengukuran secara teresterial untuk memperkirakan kandungan biomassa dan karbon kurang efektif dan efisien dengan biaya yang relatif mahal sehingga diperlukan pengukuran penginderaan jauh akan tetapi citra 7

penginderaan jauh optik sering terganggu oleh awan, oleh karena itu pengukuran biomassa dilakukan data radar yang bebas gangguan awan dan belum banyak diteliti. 2. Biomassa di atas permukaan perlu diukur untuk menghitung peranan hutan sebagai serapan dan cadangan karbon hutan. Saat ini belum dilakukan perhitungan biomassa di atas permukaan pada tegakan hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat. 3. ALOS PALSAR mempunyai sistem polarisasi yang berbeda yaitu polarisasi HH dan HV sehingga perlu dikaji dalam menentukan jenis polarisasi yang paling baik untuk mewakili parameter tegakan hutan sehingga dapat digunakan sebagai variabel dalam penyusunan model penduga biomassa di atas permukaan. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas dapat diidentifikasi pertanyaan penelitian yaitu: 1. Bagaimana hubungan antara nilai backscatter citra ALOS PALSAR dengan parameter tegakan hutan untuk menghitung biomassa di atas permukaan dan karbon berdasarkan habitat di sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Sumatera Barat? 2. Berapa kandungan biomassa di atas permukaan dan karbon hutan berdasarkan habitat di sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Sumatera Barat sistem informasi geografis? 8

3. Sejauh mana kemampuan polarisasi citra ALOS PALSAR dapat dimanfaatkan untuk mengestimasi biomassa di atas permukaan dan karbon berdasarkan habitat di sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Sumatera Barat? 1.4. Tujuan Penelitian Bertitik tolak pada permasalahan yang dihadapi maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis hubungan antara nilai backscatter citra ALOS PALSAR dengan parameter tegakan hutan untuk mengestimasi biomassa di atas permukaan berdasarkan habitat di sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Sumatera Barat 2. Mengestimasi kandungan biomassa di atas permukaan dan karbon hutan berdasarkan habitat di sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Sumatera Barat sistem informasi geografis. 3. Menganalisis manfaat citra ALOS PALSAR untuk menyusun model penduga kandungan biomassa di atas permukaan berdasarkan habitat di sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan dan acuan untuk penelitian selanjutnya mengenai perhitungan biomassa di atas permukaan analisis polarimetrik dan metode alometrik. 9

2. Meningkatkan kemampuan dan akurasi citra ALOS PALSAR untuk menghitung kandungan biomassa di atas permukaan dan karbon di sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat. 3. Menyajikan informasi mengenai kandungan biomassa dan karbon di hutan Taman Nasional Kerinci Seblat sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk perhitungan emisi karbon dan kapasitas penyerapan pohon terhadap gas karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. 4. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk penghitungan biomassa dan karbon hutan sistem penginderaan jauh aktif sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan ekosistem hutan di Balai Besar TNKS. 1.6. Keaslian Penelitian Perhitungan kandungan biomassa hutan memanfaatkan citra penginderaan jauh hasil perekaman sensor aktif seperti citra ALOS PALSAR sudah dilakukan pada penelitian sebelumnya dengan wilayah dan objek kajian yang berbeda. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cartus et al. (2012) di bagian Timur Laut Amerika Serikat dengan ALOS PALSAR dual-polarisasi L-band yang mencakup area seluas 70 70 km 2 dimana FBD (Fine Beam Dual) diperoleh dengan sudut off-nadir dari 34,3. Data yang digunakan dengan waktu perekaman tahun 2007 dan 2008 kalibrasi dan koreksi medan melalui geocoding dengan bantuan data SRTM 1-arcsec dan Digital Elevation Model (DEM). Citra yang dikoreksi dilakukan re-sampel ke kotak biasa dengan ukuran 30 30 m 2. Pengambilan sampel adalah sekitar 1 petak per 6000 hektar. Penelitian 10

Cartus et al. (2012) model semiempiris yang dikalibrasi setiap polarisasi HH dan HV untuk memperkirakan biomassa pada tingkat piksel dengan nilai RMSE 12,9 t/ha dan R 2 = 0,86. Basuki (2012) melakukan penelitian di Kabupaten Berau Kalimantan Timur data PALSAR dan Landsat 7 ETM+ untuk menghitung biomassa di atas permukaan di hutan tropis Dipterocarp. Metode yang digunakan secara destruktif dengan persamaan alometrik. Beberapa parameter yang diukur dilapangan adalah diameter pohon dan berat jenis hutan. Penelitian ini menerapkan spectral mixture analysis, Brovey Transform dan Discrete Wavelet Transform untuk meningkatkan akurasi perhitungan biomassa hutan Dipterocarp. Hasil penelitian menunjukkan tingkat akurasi perhitungan biomassa mencapai 63%. Peningkatan akurasi estimasi biomassa dilakukan juga melalui penggabungan dua jenis citra yang berbeda yaitu citra radar dan optik. Metode yang digunakan untuk menganalisis citra Landsat 7ETM+ adalah indeks vegetasi, indeks vegetasi kebasahan dan komposit citra. Penelitian dilakukan Pradhana (2012) pada tegakan pinus untuk perhitungan biomassa citra ALOS PALSAR berdasarkan nilai backscatter, umur dan tinggi tegakan di KPH Banyumas Barat, Jawa Tengah. Penentuan plot contoh di lapangan berdasarkan kelas umur di lapangan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok umur muda, sedang dan dewasa. Penelitian ini citra multiresolusi yaitu citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter dan 12,5 meter. Pendugaan biomassa di atas permukaan dilakukan dengan model alometrik dengan koefisien BEF (Biomass Expansion Factor). Hasil uji akurasi 11

pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter sebesar 60,64% sedangkan pada resolusi 12 meter tingkat akurasi yang diperoleh sebesar 63,96%. Hamdan et al. (2014) melakukan penelitian di hutan manggrove Malaysia dengan data ALOS PALSAR hasil mosaik tahun 2010. Sampel plot sebanyak 320 plot sampling ukuran 20 50 m dibagi secara acak dengan mencatat semua pohon yang berdiameter 5 cm. Plot sampel mewakili semua jenis bakau termasuk hutan alami yang belum terganggu, Rhizophora dewasa, Rhizophora yang diregenerasi (areal bekas tebangan), Avicennia-Sonneratia dan jenis Bruguiera dengan ukuran sampel acak. Koefisien backscatter citra ALOS PALSAR dikalibrasi Normalized Radar Cross Section (NRCS) untuk komponen polarisasi HH dan HV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa signifikansi nilai backscatter yang rendah dengan overall accuracy yang diperoleh sebesar 33,9 Mg ha -1. Penelitian Hudaya (2014) dilakukan pada ekosistem mangrove di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Penelitian ini model alometrik pada plot lapangan dan koreksi nilai sigma naught (σ 0 ) menjadi gamma naught (γ 0 ). Penggunaan nilai gamma naught (γ0) berfungsi untuk menghilangkan ketergantungan perolehan nilai backscatter pada titik permukaan objek yang efektif terlihat oleh antena melalui sudut insiden θ. Model penduga potensi karbon di atas permukaan citra ALOS PALSAR pada polarisasi HH yaitu: Y=1647e 0,358BS_HH sedangkan polarisasi HV yaitu: Y=6,828BS_HV 2 + 279,4BS_HV + 2870. Tingkat akurasi yang diperoleh pada polarisasi HH dengan overall accuracy sebesar 33,33% sedangkan pada polarisasi HV sebesar 80%. 12

Hasil pemodelan ini tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara nilai karbon hasil pendugaan model dengan hasil pengukuran lapangan. Lebih jelasnya, berikut perbandingan penelitian disajikan dalam bentuk tabel berikut: Tabel 1.1. Keaslian Penelitian Penulis Judul Penelitian Tujuan Penelitian Cartus et al (2012) Basuki (2012) Pradhana (2012) Mapping forest aboveground biomass in the Northeastern United States with ALOS PALSAR dual-polarization L-band Quantifyng Tropical Forest Biomas Pendugaan Biomassa Tegakan Pinus backscatter ALOS PALSAR, umur dan tinggi tegakan: Kasus di KPH Banyumas Pemodelan L-band backscatter dalam polarisasi silang sebagai fungsi biomassa di atas tanah pendekatan semi-empiris 1. Mengembangkan persamaan alometrik untuk meningkatkan akurasi AGB 2. Menguji potensi spectral mixture analysis untuk meningkatkan akurasi estimasi AGB di hutan Dipterocarp 3. Mengestimasi AGB melalui integrasi PALSAR dan Landsat 7ETM+ 1. Menganalisis penambahan peubah umur dan tinggi untuk pendugaan biomassa di atas permukaan 2. Memetakan pendugaan biomassa pinus anak petak dan basis piksel Metode Penelitian 1. Perhitungan biomassa persamaan alometrik dan model Water Cloud Model 2. Model pelatihan adaptif untuk data ALOS PALSAR kerapatan kanopi 1. Persamaan alometrik 2. Penerapan spectral mixture analysis, Brovey Transform dan Discrete Wavelet Transform 1. Pendugaan biomassa persamaan alometrik dengan koefisien BEF(Biomass Expansion Hasil Penelitian Estimasi biomassa yang akurat diperoleh ketika penggabungan peta biomassa citra ALOS pada skala kabupaten dengan RMSE = 12,9 ton/ha, R 2 = 0.86 Model ln(agb) = c+αin(dbh) sesuai untuk hutan Dipterocarp. Spectral mixture analysis meningkatkan akurasi AGB yaitu 63%. Model terbaik pendugaan biomassa dengan peubah bebas untuk resolusi 50 backscatter yaitu Y = 41,7 + 5,18X 1 + 2,77X 2 13

Lanjutan Tabel 1.1 Hamdan et al (2014) Hudaya (2014) Simarmata (2015) Barat, Tengah Jawa L-band ALOS PALSAR for biomass estimation of Matang Mangroves, Malaysia Pemanfaatan phased array type L-band Synthetic aperture Radar untuk Pendugaan Potensi Cadangan Karbon Hutan di Atas Permukaan Pada Ekosistem Mangrove (Kasus di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat dalam Konteks Perubahan Iklim) Pemodelan ALOS PALSAR untuk Estimasi Kandungan Biomassa atas permukaan dan Karbon Tegakan hutan Berdasarkan Habitat di Sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Sumatera Barat Memperkirakan dan menentukan biomassa di atas tanah dari Matang Mangrove Untuk mengetahui sensitivitas sinyal volumetrik dari citra ALOS PALSAR terhadap parameter biomassa atas permukaan pada hutan mangrove, sehingga diperoleh model penduga potensi karbon AGB terbaik 1. Menganalisis hubungan antara nilai backscatter citra ALOS PALSAR dengan parameter tegakan hutan untuk mengestimasi biomassa 2. Mengestimasi kandungan biomassa di atas permukaan dan karbon hutan 3. Menganalisis manfaat citra ALOS PALSAR untuk menyusun model penduga kandungan biomassa di atas permukaan dan Factor) 2. Analisis backscatter NRCS 1. Survei lapangan untuk plot sampel 2. Perhitungan model alometrik 1. Ekstraksi nilai digital pada citra ALOS PALSAR. 2. Penggunaan model alometrik 1. Analisis Polarimetrik 2. Perhitungan biomassa di atas permukaan model alometrik + 8,59X 3, resolusi 12,5 m Y = 219 + 13,8 X 1 + 2,72 X 2 + 5,84X 3 Estimasi AGB di Matang Mangrove berkisar antara 2,98 dan 378,32 ± 33,90 Mg ha -1 dengan rata-rata 99,40 ± 33,90 Mg ha -1 Hubungan antara nilai backscatter dengan nilai kandungan karbon di atas permukaan 62% pada polarisasi HH dan 98,6% pada polarisasi HV. Model alometrik yang sesuai untuk estimasi biomassa di atas permukaan dan karbon. Akurasi hasil perhitungan serta peta kerapatan biomassa di atas permukaan dan karbon berdasarkan habitat 14

Berdasarkan perbandingan penelitian yang dapat dilihat dari persamaan secara umum bahwa penelitian untuk menghitung kandungan biomassa di atas permukaan dan karbon hutan dilakukan persamaan alometrik. Penentuan setiap plot contoh dilakukan menurut variabel masing-masing yakni kelompok umur, tinggi tegakan, jenis vegetasi dan tipe hutan. Perhitungan kandungan biomassa dengan kalibrasi nilai backscatter dilakukan berdasarkan kalibrasi Normalized Radar Cross Section (NRCS) yaitu σ 0 = 10*log10(<DNˆ2>) + CF dimana analisis dilakukan pada polarisasi HV dan HH. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dilihat berdasarkan tipe hutan, letak geografis wilayah kajian dan metode filter yang digunakan untuk perbaikan nilai backscatter. Penelitian-penelitian sebelumnya dilakukan pada tipetipe hutan berbeda seperti hutan tropis, hutan pinus dan hutan mangrove. Penentuan plot contoh pada penelitian ini berdasarkan keanekaragaman habitat di daerah kajian, hal ini dilakukan karena jenis hutannya tergolong heterogen. Proses koreksi citra ALOS PALSAR pada penelitian sangat ditekankan pada beberapa hal yaitu kekasaran permukaan, arah hadap, kelembaban dan faktor lain yang mengakibatkan kesalahan nilai backscatter. Jenis filter yang akan digunakan adalah filter Lee dan filter Frost. Estimasi nilai hamburan balik (backscatter) hutan kalibrasi nilai backscatter polarisasi HH dan HV sehingga nilai yang dihasilkan dapat dikorelasikan dengan hasil pengukuran parameter hutan di lapangan. Penelitian dilakukan di sebagian Taman Nasional Kerinci Seblat karena belum terdapat penelitian tentang estimasi kandungan biomassa di atas permukaan dan karbon. 15