BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumberdaya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi (Kemenkes RI, 2011). Pembangunan kesehatan di Indonesia dilaksanakan dengan visi Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan melalui misi 1) Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat termasuk swasta dan masyarakat madani, 2) Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan, 3) Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan dan 4) Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Strategi yang dilakukan dalam pembangunan kesehatan diantaranya adalah melalui pemberdayaan masyarakat, memantapkan peran masyarakat termasuk swasta sebagai subyek atau penyelenggara dan pelaku pembangunan kesehatan serta menerapkan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (Kemenkes RI, 2011). Permasalahan kesehatan di Indonesia adalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi.menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, AKI sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan AKB sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Data tersebut menunjukkan bahwa masalah-masalah kesehatan yang ada di masyarakat terutama yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak ternyata masih cukup tinggi. Berdasarkan kesepakatan Millenium Development Goals (MDG s) pada tahun 2015 diharapkan AKI menurun dari 228 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB dari 34 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2011). 1
2 Salah satu upaya strategis yang ditempuh oleh Kementrian Kesehatan RI untuk mengatasi permasalahan kesehatan adalah melalui program Desa Siaga yang merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu untuk mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan dengan memanfaatkan potensi setempat secara gotong-royong. Desa Siaga mempunyai komponen 1) Pelayanan kesehatan dasar, 2) Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) dan mendorong upaya surveilans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan dan 3) Perilaku hidup bersih dan sehat (Kemenkes RI, 2011). Dalam pelaksanaan program Desa Siaga, puskesmas mempunyai peran yang sangat penting. Menurut Depkes (2004), salah satu fungsi puskesmas adalah sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, oleh karena itu puskesmas harus mampu mengerahkan dan menggalakkan partisipasi masyarakat. Tugas dan fungsi puskesmas dalam penyelenggaraan Desa Siaga adalah memberikan pelayanan kesehatan dasar, koordinasi, proses bimbingan, pembinaan, fasilitasi dan advokasi serta pemantauan terhadap proses kegiatan partisipasi masyarakat (Dinkes Propinsi DIY, 2011). Permasalahan utama kesehatan di Kabupaten Bantul adalah kematian ibu, kematian bayi, gizi buruk, Demam berdarah dengue (DBD) dan penemuan tuberkulosis (TB) paru baru yang belum sesuai target Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Data cakupan indikator AKI, AKB, gizi buruk, DBD dan penemuan TB paru dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 : Data Cakupan Indikator AKI, AKB, Gizi Buruk, DBD dan TB Paru Baru Di Kabupaten Bantul Tahun 2007-2011 Th. 2007 Th. 2008 Th. 2009 Th. 2010 Th. 2011 No Indikator T R T R T R T R T R 1 AKI 74 47 70 140 70 138 65 82 100 111 2 AKB 10 7,6 9 13,2 8 11,8 7 9,8 10 8,5 3 Gizi buruk 0,5 0,9 0,5 0,5 0,5 0,3 0,5 0,5 0,3 0,5 4 DBD 0,1 0,7 0,1 0,5 0,1 0,7 0,1 1,7 0,5 0,3 5 TB Paru 55 24,1 60 49,5 65 49,9 70 40,8 55 44,2 Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2012 Keterangan : T= Target R = Realisasi
3 Dalam upaya menyelesaikan permasalahan utama kesehatan Pemerintah Kabupaten Bantul membuat kebijakan inovatif yaitu kebijakan DB4MK (Desa Bebas 4 Masalah Kesehatan) Plus sebagai sebuah strategi dalam implementasi kebijakan Desa Siaga di Kabupaten Bantul (Dinkes Bantul, 2008). Kebijakan DB4MK Plus merupakan sebuah gerakan penanggulangan permasalahan utama kesehatan oleh seluruh komponen masyarakat di semua tingkatan secara komprehensif. Tujuan kebijakan DB4MK Plus adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui penggalian potensi dan peran serta masyarakat, mengubah pola pikir, pola sikap dan pola tindak pejabat dan masyarakat terhadap permasalahan kesehatan, dengan harapan dapat menurunkan jumlah kematian ibu, kematian bayi, penderita gizi buruk dan kasus DBD serta meningkatkan penemuan kasus TB paru baru. Sasaran dari kebijakan DB4MK Plus adalah pemerintah kabupaten dan jajarannya, dinas kesehatan dan jajarannya, camat dan jajarannya, lurah dan jajarannya, kepala dusun dan jajarannya, Tim Penggerak (TP) PKK di semua jenjang, tokoh masyarakat, kader kesehatan, dan masyarakat Dalam perjalanannya kebijakan DB4MK Plus mengalami dua kali perubahan. Pada waktu dicanangkan tahun 2006 namanya DB4MK, kemudian pada tahuan 2008 berubah menjadi DB4MK Plus karena ada penambahan indikator penilaian yaitu penemuan kasus TB paru. Penambahan ini disebabkan karena angka penemuan TB paru rendah. Pada tahun 2010 kebijakan DB4MK Plus mengalami perubahan yang semula Desa Bebas 4 Masalah Kesehatan menjadi Dusun Bebas 4 Masalah Kesehatan. Perubahan ini dikarenakan penilaian yang semula menggunakan unit analisis desa dan berdasarkan kriteria 1) Bebas kematian ibu, 2) Bebas kematian bayi, 3) Bebas kasus gizi buruk, 4) Bebas kasus DBD,dan penemuan TB paru baru, berubah menggunakan unit analisis dusun dan berdasarkan kriteria1) Bebas kematian ibu, 2) Bebas kematian bayi, 3) Bebas kasus gizi buruk, 4) Bebas kasus DBD, 5) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 100%, 6) Partisipasi masyarakat di Posyandu (D/S) minimal 90% dalam 12 bulan, dan 7) Angka Bebas Jentik (ABJ) minimal 95%.
4 Suatu dusun dinyatakan meraih status DB4MK Plus apabila dalam satu periode penilaian (12 bulan) tidak ada kasus kematian ibu, kematian bayi, gizi buruk, dan DBD serta seluruh persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, partisipasi aktif masyarakat di posyandu minimal 90 % dan ABJ minimal 95 %. Dalam upaya meraih status DB4MK Plus diperlukan peran aktif puskesmas dan tim pelaksana DB4MK. Peran puskemas sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dinas kesehatan diwujudkan dalam bentuk koordinasi, bimbingan, pembinaan, fasilitasi, advokasi dan pemantauan proses kegiatan, sedangkan tim pelaksana terdiri dari kader, tokoh masyarakat, TP PKK dusun dan kepala dusun sebagai koordinator. Berdasarkan studi pendahuluan di Kecamatan Dlingo didapatkan informasi bahwa dalam upaya meraih status DB4MK Plus, kepala dusun aktif dalam memimpin dan menggerakan kader kesehatan dan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan antara lain berupa posyandu, Pemantauan Jentik Berkala (PJB), penyuluhan kesehatan, Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Disamping itu tidak kalah penting adalah peran aktif puskesmas dalam melakukan koordinasi, pembinaan dan pemantauan kegiatan. Hasil penilaian pada tahun 2010 dan 2011 terhadap 933 dusun di Kabupaten Bantul, dusun yang meraih status DB4MK Plus pada tahun 2010 sebanyak 40 (4,29%) dan pada tahun 2011 sebanyak 280 (30,01%). Kecamatan Dlingo terdiri dari 58 dusun pada tahun 2010 hanya 6 dusun (10,3%) yang mendapatkan status DB4MK Plus dan tahun 2011 meningkat menjadi 70,7% atau sebanyak 41 dusun (Bidang PMS Dinkes Bantul, 2011). Melihat keberhasilan dusun di Kecamatan Dlingo dalam meraih status DB4MK Plus, penulis ingin melakukan kajian pelaksanaan kebijakan DB4MK Plus untuk mengetahui gambaran keterlibatan puskesmas dalam melakukan koordinasi, pembinaan, pemantauan kegiatan di tingkat kecamatan, desa, dusun dan Tim Pelaksana DB4MK Tingkat Dusun dalam menggerakkan dan melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan DB4MK Plus.
5 B. Rumusan Masalah Berdasar latar belakang tersebut diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah Bagaimana keterlibatan puskesmas dan Tim Pelaksana DB4MK Tingkat Dusun dalam pelaksanaan kebijakan DB4MK Plus di Kecamatan Dlingo? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui keterlibatan puskesmas dan Tim Pelaksana DB4MK PlusTingkat Dusun dalam pelaksanaan kebijakan DB4MK Plus di Kecamatan Dlingo. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui keterlibatan puskesmas dalam pelaksanaan kebijakan DB4MK Plus di Kecamatan Dlingo. b. Mengetahui keterlibatan Tim Pelaksana DB4MK Tingkat Dusun dalam upaya meraih status DB4MK Plus di Kecamatan Dlingo. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis, sebagai bahan masukan Pemerintah Kabupaten Bantul dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantuldalam percepatan pencapaian MDG s melalui program DB4MK Plus. 2. Manfaat teoritis, diperolehnya pengembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang penelitian dan sebagai acuan bagi penelitian sejenis. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang Keterlibatan Puskesmas dan Tim Pelaksana DB4MK Plus Tingkat Dusun Dalam Pelaksanaan Kebijakan DB4MK Plus di Kabupaten Bantul, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti lainnya, antara lain oleh: 1. Martoni, (2007) yang berjudul Fungsi Manajemen Puskesmas dan Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Posyandu di Kota Jambi. Hasil penelitian
6 menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan posyandu belum berjalan dengan baik, karena fungsi manajemen belum berjalan dengan baik dan kurangnya partisipasi masyarakat. Persamaannya adalah menggunakan analisa kualitatif serta melihat keterlibatan puskesmas dan partisipasi masyarakat. Perbedaan dengan penelitian ini adalah bukan hanya melihat kegiatan posyandu tetapi jugakegiatan penanggulangan DBD di kecamatan Dlingo. 2. Gesman, (2008) yang berjudul Keterlibatan Antara Puskesmas dan Ninik Mamak, Cerdik Pandai, Alim Ulama Dalam Penanggulangan Gizi Buruk Di Nagari Sungai Dareh Kecamatan Pulau Punjung. Hasil penelitian tersebut adalah puskesmas perlu meningkatkan manajemen program gizi dan strategi penanggulangan gizi buruk. Ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai belum terwakili dalam proses penentuan masalah, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, tetapi punya potensi mau berperan dan memberikan dukungan dalam penanggulangan gizi buruk. Persamaannya merupakan penelitian kualitatif yang meneliti keterlibatan puskesmas. Perbedaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian serta kerangka konsep dalam kebijakan DB4MK di Kecamatan Dlingo. 3. Munawarah, (2012) yang berjudul Implementasi Program Desa Bebas Empat Masalah Kesehatan (DB4MK) Di Kabupaten Bantul. Hasil penelitian menyatakan bahwa implementasi program DB4MK bidang gizi bisa menurunkan prevalensi gizi buruk. Persamaannya adalah keterlibatan masyarakat dalam menurunkan prevalensi gizi buruk. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah tidak hanya melihat kegiatan program gizi tetapi program KIA dan penanggulangan DBD. 4. Rejeki, (2012) yang berjudul Peran Puskesmas Dalam Pengembangan Desa Siaga di Kecamatan Kabupaten Bantul. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengembangan desa siaga kearah community development belum terwujud dalam masyarakat. Persamaannya adalah jenis penelitian studi kasus melalui observasi dan wawancara dengan metode analisa kualitatif. Perbedaan dengan penelitian ini tidak hanya melihat peran puskesmas tetapi juga partisipasi masyarakat.