HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena tentang perilaku berpacaran sudah sangat umum di kalangan

BAB I PENDAHULUAN. individu yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan fisik, emosional, dan

BAB I PENDAHULUAN. berpacaran Kekerasan dalam Berpacaran (KDP) atau Dating Violence. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari

BAB V PENUTUP. terjadi tiga macam kekerasan, meliputi kekerasan psikis, fisik, dan. penelantaran rumah tangga namun kekerasan psikis lebih dominan.

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan peralihan dari masa remaja. Perkembangan sosial pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. akan ia jalani kelak (Perkins, 1995). Para remaja yang mulai menjalin hubungan

STRATEGI KOPING PADA WANITA JAWA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

QuizNona: Apakah Nona Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam proses kehidupan manusia mengalami tahap-tahap perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. adalah bercintaan atau berkasih-kasihan sehingga dapat disimpulkan. perempuan, adanya komitmen dari kedua belah pihak biasanya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. WHO mendefinisikan, masa remaja (adolence) mulai usia 10 tahun sampai 19

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

Bagan 2. Konflik Internal Subyek. Ketidakmampuan mengelola konflik (E) Berselingkuh

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan pada bab IV maka ada beberapa hal yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN ASERTIVITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

2015 INTIMACY WANITA KORBAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN

(e) Uang saku rata-rata perbulan kurang dari Rp ,- (64,8%) dan sisanya (35,3%) lebih dari Rp per bulan.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

Abstraksi. Kata Kunci : Komunikasi, Pendampingan, KDRT

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beranjak dewasa. Selain tugas-tugas akademis yang dikerjakan, mahasiswa juga

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

#### Selamat Mengerjakan ####

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir,

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

PERMASALAHAN KESEHATAN WANITA DALAM DIMENSI SOSIAL DAN UPAYA MENGATASINYA. By : Basyariah Lubis, SST, MKes

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

ROMANTISME CINTA PADA PASANGAN SUAMI ATAU ISTERI YANG MENYANDANG TUNADAKSA

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan dalam dua bentuk yang berbeda, baik. secara fisik maupun psikis, yang kemudian diberi sebutan sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku seksual pranikah kerap menjadi sorotan, khususnya di kalangan para

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tren hidup masyarakat modern. Di Indonesia, budaya samen leven dianggap

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

I. PENDAHULUAN. manusia dibina melalui suatu pergaulan (interpersonal relationship). Pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BABI PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, fenomena pernikahan dini kian lama

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Transkripsi:

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI Disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Nita Ardiyantini F 100 050 102 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena tentang perilaku berpacaran sudah sangat umum di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan perilaku ini juga dilakukan oleh anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Bisa diamati pula di berbagai media massa yang membidik pasaran anak usia sekolah menengah sebagai target pasar, banyak mengangkat tulisan mengenai hubungan antar lawan jenis yang mereka sebut sebagai pacaran. Mungkin sebagian orang justru menjadi merasa malu ketika tidak punya pacar atau dikatakan jomblo. Kenyataan menjadi jomblo yang tidak disukai oleh para remaja menyebabkan mereka memilih untuk tetap berpacaran meskipun dengan laki-laki yang berperilaku buruk. Definisi berpacaran masih terlalu abstrak dan masih terlalu sulit untuk dijadikan pedoman. Menurut Rezeki (2006) berpacaran adalah berkasih-kasihan, sedangkan definisi pacar adalah teman atau lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Definisi pacar sebagai hubungan pertemanan antar lawan jenis yang tetap dan mempunyai landasan cinta kasih di luar pernikahan juga tidak mencakup hubungan antar sesama jenis. Di negara luar khususnya Amerika Serikat menyebut kata partners untuk mendeskripsikan hubungan baik antar lain jenis, maupun sesama jenis. Hal ini berbeda dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menikah. Mereka memiliki komitmen yang lebih tinggi untuk benar-benar menghasilkan keturunan dalam sebuah ikatan rumah tangga. Berpacaran berbeda dengan bertunangan.

Bertunangan adalah bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan menjadi suami-istri. Definisi ini justru saling bertentangan. Biasanya pacaran tidak diumumkan secara terbuka kepada orang banyak. Kekerasan dalam berpacaran telah banyak terjadi di Indonesia seperti yang dipaparkan Alvita dkk. (2009) mengutip dari beberapa sumber sebagai berikut: Harian Suara Merdeka (8 Maret 2009) bahwa terdapat 28 kasus kekerasan dalam berpacaran. Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan jender menemukan bahwa sejak tahun 2001 2005, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385 diantaranya adalah kekerasan dalam berpacaran. Rumah Sakit Bhayangkara di Makassar yang menangani masalah kekerasan terhadap perempuan mendapatkan bahwa dari tahun 2005-2006 ada 7 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan. Sedangkan PKBI Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2008 saja, terdapat 47 kasus kekerasan dalam berpacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi Beberapa kejadian kekerasan dalam berpacaran yang diungkap Lembaga Pratista Indonesia Bogor yang bergerak di bidang perlindungan terhadap anak dan perempuan dari tindak kekerasan menemukan beberapa kasus tindak kekerasan dalam berpacaran yang terjadi di kota Bogor, seperti pada tabel 1.

Tabel 1 Kasus kekerasan dalam berpacaran yang masuk melalui hot line service No Usia Ketika Pengaduan Kasus 1. 24 th Seks pra nikah sampai hamil, pacar meninggalkannya 2. 23 th Seks pra nikah sampai hamil, pacar meninggalkannya 3. 17 th Kekerasan seksual, dengan bujukan (janji akan menikahi) 4. 25 th Seks pra nikah, pacar meninggalkannya 5. 22 th Fisik (pemukulan), psikis (dimarah-marahi, dilecehkan, dibanding2kan dengan pelacur), ekonomi (dimintai uang untuk kebutuhan pelaku) 6. 16 th Seksual (diberi minuman sampai pingsan sebelum disetubuhi) 7. 20 th Fisik (pemukulan), Psikis (pembatasan ruang gerak bergaul, dimarah-marahi, diancam, tidak boleh putus), ekonomi (P sering minta ditarktir) Sumber: Lembaga Pratista Indonesia (dalam Alvita, 2009) Rezeki (2006) mengutip sebuah studi di Amerika Serikat memaparkan bahwa lebih dari 500 mahasiswi dari sekitar 1000 mahasiswi pada perguruan tinggi mengalami perkosaan yang dilakukan oleh pacar mereka. Hasil penelitian dari National Crime Victimization Survey di Amerika Serikat berkesimpulan bahwa perempuan 6 (enam) kali lebih rentan mengalami kekerasan akibat ulah teman dekat mereka, baik pacar maupun mantan pacar. Penelitian tersebut juga menyatakan hampir separuh dari sekitar 500.000 kasus perkosaan dan percobaan perkosaan yang dilaporkan dialami perempuan dari berbagai golongan umur, dilakukan oleh teman atau orang yang dikenal, terdapat 80% hingga 95% perkosaan yang terjadi pada mahasiswi di universitas dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban. Berdasarkan data yang telah disebutkan, menunjukkan tindak kekerasan yang terjadi saat berpacaran cukup mengkhawatirkan dan sangat merugikan bagi para wanita. Hal tersebut berkaitan dengan dampak yang diterima oleh korban kekerasan dalam berpacaran. Permasalahan kekerasan dalam berpacaran harus segera dicari jalan

keluarnya, karena remaja merupakan generasi penerus bangsa yang akan memegang peranan penting bagi kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Apabila pada masa remajanya seseorang mendapat perlakuan yang kasar baik secara fisik maupun psikis sehingga dapat mengganggu kestabilan jiwanya, maka hal ini dapat membawa dampak yang buruk bagi perkembangannya, terutama perkembangan jiwanya saat ia dewasa. Berkaitan dengan kekerasan emosional, NN (20 th) mahasiswi salah satu perguruan tinggi di kota Solo menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Saya merasa sering disakiti oleh pacar saya, seperti dimarahi, pernah juga dimaki-maki di depan orang banyak, dianggap tidak becus, bodoh dan sebagainya. Itu membuat saya malu dan sebenarnya hati saya juga terluka, saya sendiri hanya bisa diam, dan kadang menangis, tapi pacar saya sepertinya tidak peduli dengan tindakannya seperti itu. Fathul, dkk (2007), mengemukakan kekerasan dalam pacaran mengalami berbagai macam distorsi dengan pemahaman tentang hal-hal yang terjadi selama berpacaran. Sering didengar pengakuan bahwa cemburu adalah bagian dari cinta, padahal sering kejadian kekerasan dimulai dari alasan ini. Pasangan menjadikan perasaan cemburu untuk mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal-hal yang possessive dan tindakan mengontrol dan membatasi. Kekerasan dalam berpacaran yang umum terjadi adalah kekerasan seksual dimana korban dipaksa mulai dari melakukan ciuman sampai dengan intercourse atau berhubungan seksual. Remaja berani melakukan hubungan seksual asalkan mereka tidak mengalami kehamilan, sehingga hubungan seksual yang dilakukan lebih pada safe-sex, tidak ada rasa tanggung jawab sedikit pun didalamnya. Kekerasan dalam pacaran adalah kekerasan atau ancaman melakukan kekerasan dari satu pasangan yang belum menikah terhadap pasanganannya yang lain dalam konteks berpacaran atau tunangan. Bentuk kekerasan lain yang kerap dialami oleh perempuan

yang berpacaran yaitu kekerasan emosional (emotional abuse). Menurut Engel (2002), kekerasan emosional adalah tingkah laku non-fisik ataupun sikap yang dilakukan untuk mengontrol, mengintimidasi, menaklukkan, merendahkan, menghukum atau mengucilkan orang lain. Namun ada pula jenis tingkah laku fisik yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan emosional yaitu tindak kekerasan simbolis (symbolic violence) yang meliputi tingkah laku yang mengintimidasi seperti membanting pintu, menendang tembok, membanting benda-benda tertentu, menyetir secara ugal-ugalan saat korban berada dalam kendaraan, dan mengancam akan atau menghancurkan sesuatu yang menjadi milik korban. Bentuk kekerasan emosional termasuk didalamnya adalah menghina, mengutuk, meremehkan, mengancam, meneror, menghilangkan hak milik, mengasingkan dari keluarga dan teman, termasuk pula perilaku possessiveness seperti cemburu yang berlebihan. Menurut Loring (1994) kekerasan emosional merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan yang paling sering ditemui, namun orang yang terlibat di dalamnya seringkali tidak menyadarinya. Korban seringkali bahkan yakin bahwa merekalah yang bersalah sehingga hubungan interpersonal yang mereka jalin tidak berjalan dengan baik. Subjek tidak menganggap bahwa sebenarnya dirinya adalah korban. Menurut Israr (2008) penyebab terjadinya kekerasan dalam berpacaran antara lain: kecenderungan korban menyalahkan diri (tidak berani menolak atau berkata tidak ), menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya aib. Faktor-faktor penyebab ini berkaitan erat dengan kemampuan individu dalam mengungkapkan perasaan, pikiran, kebutuhan yang dimiliki secara jujur tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri (asertif). Argumentasi di atas didukung oleh pendapat Hadi dan Aminah

(1998) yang menyatakan bahwa ketidakmampuan seseorang untuk asertif juga menjadi penguat bagi terjadinya perilaku kekerasan. Penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa- WCC sepanjang tahun 1995-1999 di Yogyakarta (Hadi dan Aminah, 1998) menjelaskan bagaimana seorang perempuan yang tidak asertif memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi korban kekerasan. Originalitas penelitian ini terletak pada eksplorasi bentuk perlakuan kekerasan yang paling sering dialami oleh perempuan. Pada konteks kesehatan mental, asertivitas memiliki peran yang penting. Orang asertif mengarah pada tujuan, jujur, terbuka, penuh percaya diri, sehingga individu yang memiliki asertivitas tinggi mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan, jujur. Menurut Afiatin (2004) dalam asertif terkandung perilaku kesanggupan bermasyarakat, berempati dan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal. Individu yang asertivitasnya tinggi sadar akan kelebihan-kelebihan yang dimiliki dan memandang kelebihan-kelebihan tersebut lebih penting dari pada kelemahannya. Chalhoun dan Acocella (1993), menyatakan bahwa orang yang asertif akan memegang kendali atas dirinya, menentukan pilihannya sendiri dan percaya sepenuhnya akan kemampuan dirinya. Dengan demikian perempuan yang asertif akan mengungkapkan kebutuhan dan perasaannya jika ia merasa tertekan dengan tetap menghormati kepentingan pasangannya. Sebaliknya perempuan yang tidak asertif tidak memiliki ketrampilan komunikasi yang membuatnya mampu menegosiasikan kepentingannya, maka tanpa disadari ia telah menjadi korban kekerasan karena kegagalannya menyatakan pikiran dan kebutuhannya secara terus terang dan telah memberi peluang pada orang lain untuk tidak menghargainya. Hal tersebut sama halnya dengan membiarkan diri mereka disakiti secara fisik, seksual, emosi maupun sosial.

Menurut Lew (dalam Loring, 1994), efek dari kekerasan emosional pada dasarnya sama bagi korban perempuan maupun laki-laki. Namun, karena perempuan dibesarkan dalam masyarakat yang menuntut mereka untuk menjadi pribadi yang pasif, lemah, dan tidak berdaya maka saat mereka menjadi korban, masyarakat lebih mudah menunjukkan simpati. Namun bukan berarti bahwa perempuan lebih mudah dalam menghadapi kekerasan emosional dibandingkan laki-laki. Sebaliknya, penerimaan masyarakat terhadap peran perempuan sebagai korban malah menjadi pembenaran terjadinya kekerasan emosional dan menghalangi pemulihannya. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa saat yang menjadi korban kekerasan emosional adalah laki-laki, ada masalah tertentu yang tidak dialami oleh korban perempuan. Pada kenyataannya, budaya pada masyarakat secara umum tidak memberikan ruang kepada laki-laki yang menjadi korban. Pada umumnya keluarga dan teman yang mengetahui bahwa ada anggotanya yang mengalami tindak kekerasan akan mencoba untuk membantu dengan segala cara. Namun ada pula yang menerima begitu saja tindak kekerasan yang dialami dengan menyetujui pendapat bahwa hal tersebut terjadi karena kesalahan perempuan tanpa mempertanyakannya. Mereka menyaksikan dan mengetahui bahwa telah terjadi tindak kekerasan tapi tidak menyatakan kemarahan ataupun kepedulian. Selain itu, mereka juga dapat merahasiakan tindak kekerasan tersebut atau malah menyetujui tindakan pelaku. Respon semacam ini merupakan pesan yang terselubung namun sangat kuat kepada korban bahwa kekerasan dapat diterima. Pesan seperti ini membuat perempuan cenderung untuk mengabaikan dampak dari tindak kekerasan untuk mengecilkan kebutuhan mereka sendiri. Hal ini terjadi baik pada pasangan yang masih berstatus

pacaran ataupun pasangan yang sudah menikah. Namun pacaran sebenarnya tidak terdapat mekanisme pertanggungjawaban. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kehamilan di luar nikah, maka orang yang tidak bertanggungjawab dengan mudah akan melarikan diri. Dengan dalih bahwa hubungan yang mereka lakukan adalah karena suka sama suka (Rezeki, 2006). Perempuan diharapkan dapat memanfaatkan masa pacaran sebagai upaya untuk lebih mengenal kepribadian pasangan, menilai kekurangan dan kelebihan pasangan sebagai bahan pertimbangan untuk melangkah ke jenjang hubungan yang lebih tinggi yaitu pernikahan. Namun kenyataannya yang kerap terjadi, dalam setiap hubungan antara lawan jenis khususnya pacaran, perempuan selalu berada dalam posisi yang lemah dan terpinggirkan. Perempuan kerap menjadi korban kekerasan baik secara fisik, psikis, emosional maupun secara ekonomis oleh pasangannya. Dan yang lebih memprihatinkan pelaku kekerasan seringkali tidak mendapatkan hukuman yang layak, selain itu korban tindakan kekerasan yang telah terjadipun kerap dipersalahkan dan tidak mendapat dukungan. Perempuan yang memiliki asertivitas diharapkan memiliki ketegasan dan keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang menganggu dirinya serta kondisi yang tidak diinginkannya kepada pasangannya. Oleh karena itu tindakan kekerasan sebenarnya dapat dicegah jika perempuan memiliki asertivitas yang tinggi untuk berani menolak atau mencegah potensi kekerasan yang mungkin akan ia alami. Melihat berbagai fenomena kekerasan emosional yang kerap dialami oleh para perempuan yang berpacaran, peneliti tertarik untuk menelaah secara lebih mendalam bagaimana keterkaitan asertivitas dengan kecenderungan mengalami kekerasan emosional pada perempuan yang berpacaran.

Berdasarkan latar belakang dan uraian-uraian yang telah dipaparkan dapat dibuat rumusan masalah : apakah ada hubungan antara asertivitas dengan kecenderungan mengalami kekerasan emosional pada perempuan yang berpacaran? Dari rumusan masalah tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji secara mendalam dan mengadakan penelitian dengan mengambil judul: Hubungan antara asertivitas dengan kecenderungan mengalami kekerasan emosional pada perempuan yang berpacaran. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1.Hubungan antara asertivitas dengan kecenderungan mengalami kekerasan emosional pada perempuan yang berpacaran. 2.Seberapa besar sumbangan atau peranan asertivitas terhadap kecenderungan mengalami kekerasan emosional pada perempuan yang berpacaran. 3.Tingkat asertivitas dan tingkat kecenderungan mengalami kekerasan emosional pada perempuan yang berpacaran. 1. Bagi subjek penelitian C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pemikiran bagi subjek penelitian mengenai keterkaitan antara asertivitas dengan kekerasan emosional, sehingga dapat memahami bahwa kekerasan bukanlah bagian dari sebuah hubungan antar manusia, dan kekerasan tersebut diharapkan dapat dikendalikan atau diminimalisir dengan berkomunikasi secara asertif.

2. Bagi Lembaga pemerhati masalah kekerasan pada perempuan Bagi lembaga pemerhati masalah kekerasan pada perempuan, penelitian ini selain memberikan informasi tentang hubungan antara asertivitas dengan kekerasan emosional juga memberikan hasil empiris yang dapat digunakan sebagai acuan dalam memberikan pendekatan atau intervensi dalam menangani masalah kekerasan pada perempuan sehingga perempuan yang mengalami kekerasan dapat lebih memahami keadaan dirinya dan mendapatkan pelayanan terutama yang terkait dengan permasalahannya. 3. Bagi peneliti lain Bagi peneliti lain, memberikan kontribusi secara akademis dan perluasan cakrawala pada ilmu pengetahuan khususnya pada disiplin ilmu psikologi sosial tentang hubungan antara asertivitas dengan kekerasan emosional pada perempuan yang berpacaran, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk pengembangan penelitian yang sejenis.