PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1
PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 Dilahirkan pada tanggal 12 Mei 1985 di Jakarta Tanggal Lulus : 2008 Menyetujui, Bogor, 2008 Dosen Pembimbing Akademik Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS NIP. 131 284 866 Mengetahui Ketua Departemen Teknik Pertanian Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS NIP. 131 671 603 3
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Air sebagai materi yang paling berlimpah di bumi ini, menutupi sekitar 71% dari muka bumi. Perkiraan jumlah air di dunia dalam fase siklus hidrologi adalah sebagai berikut: air di daratan seluas 37800 km 3 (2.8%), danau air tawar 125 km 3 (0.009%), danau air asin dan laut daratan seluas 104 km 3 (0.008%, sungai seluas 1.25 km 3 (0.001%), kelembaban tanah dan air vadose seluas 67 km 3 (0.05%), air tanah sampai kedalaman 4000 m seluas 8350 km 3 (0.61%), es dan gletser seluas 29200 km 3 (2.14%), air dilautan seluas 13 km 3 (0.01%) serta air di atmosfer seluas 1320000 km 3 (97.3%) ( US Geological Survey, 1967). Daerah Aliran Sungai, dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi, maka perencanaan dan pengelolaan sumber daya yang ada didalamnya akan lebih akurat bila di analisis berdasarkan fenomena hidrologi, dengan salah satu indikatornya adalah keadaan neraca air suatu DAS (Harmailis, 2001). Salah satu fungsi utama dari Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sebagai pemasok air dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Alih guna lahan hutan akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas tata air pada suatu DAS. Alih guna lahan yang ada menjadikan berubahnya berbagai fungsi, terutama fungsi tata air. Untuk mengatasi masalah tata air, maka diperlukan suatu sistem pengaturan air yang efektif. Dalam memperkirakan ketersedian air dari suatu sungai umumnya dilakukan berdasarkan debit sungai yang berkesinambungan dan panjang. Bila potensi sumber daya air diketahui pada suatu DAS tertentu, maka usaha-usaha untuk meningkatkan produksi pertanian dapat dilaksanakan dengan baik. Akan tetapi, umumnya data debit yang ada di Indonesia tidak begitu lengkap, sedangkan data hujan umumnya tersedia cukup lengkap. Oleh karena itu, untuk menghitung potensi air diperlukan metode yang dapat membangkitkan data debit atau mensimulasikan data hujan dan iklim menjadi data debit. Beberapa model hidrologi telah dikembangkan oleh para ahli untuk menentukan besarnya total limpasan (rainfall - run off model) seperti SSARR Model (1985), Stanford Model Series (1959-1966), Dawdy and O Donnel Model (1965), Kozak Model (1969), Mero Model (1969), USDHL Model (1970) dan 4
berbagai model lainnya yang menggunakan banyak input (masukan) parameter yang diperlukan dan rumitnya perhitungan yang dilakukan. Model tangki merupakan salah satu model hidrologi yang digunakan untuk menganalisis karakteristik dari debit sungai menggunakan data curah hujan dan iklim. Simulasi data curah hujan dan iklim menjadi debit dengan menggunakan model tangki diperlukan pendugaan beberapa parameter. Penelitian sebelumnya telah melakukan pendugaan beberapa parameter. Pada tahun 1999 oleh Sutoyo dan dilanjutkan pada tahun 2001 oleh Harmailis di DAS Cidanau, Serang, tahun 2003 oleh Yanti Daryanti di DAS Cidanau, Cimanuk dan Ciliwung, dan pada tahun 2004 oleh Tendri Bina Madijah di DAS Cilamaya dan DAS Ciasem. Pada penelitian ini digunakan modifikasi model tangki untuk menduga salah satu parameter lain yaitu parameter uptake root di dalam tanah. B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memprediksi besarnya debit sungai menggunakan model tangki di DAS Cidanau. 2. Menduga salah satu parameter uptake root pada model tangki. 3. Mengetahui pengaruh parameter uptake root terhadap debit sungai dan kandungan air tanah. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA A. DAERAH ALIRAN SUNGAI Daerah Aliran Sungai dapat didefinisikan sebagai areal yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengatur air hujan yang jatuh diatasnya baik dalam bentuk aliran bawah permukaan dan aliran bumi ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau laut (Manan, 1979). DAS dalam hubungannya dengan sistem hidrologi mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur utamanya seperti jenis tanah, tata guna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng (Asdak, 1995). Salah satu unsur iklim yang mempunyai peranan penting dalam proses hidrologi DAS adalah curah hujan yang merupakan masukan DAS. Curah hujan di dalam DAS akan mengalami berbagai proses dan akhirnya akan keluar sebagai aliran sungai dan uap air. Gabungan dari aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran bumi ditambah dengan curah hujan langsung yang jatuh ke saluran dan sungai merupakan total air limpasan yang di sebut aliran sungai (streamflow). Menurut Chow (1964) sebagian air hujan yang jatuh akan ditangkap oleh tajuk tanaman dalam proses intersepsi. Bagian yang jatuh ke permukaan tanah sebagian akan menjadi aliran permukaan (surface flow) dan sebagian lainnya meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Dari proses infiltrasi, sebagian akan menjadi aliran bawah permukaan (sub surface flow) dan sebagian lagi akan masuk terus ke lapisan tanah yang lebih dalam melalui proses perkolasi. Dari aliran bawah permukaan, sebagian akan mengalir langsung (prompt subsurface flow) dan sebagian lagi akan mengalir tertunda (delayed sub surface flow). Selanjutnya, aliran permukaan bersama-sama dengan aliran bawah permukaan yang mengalir langsung serta hujan yang jatuh langsung diatas permukaan sungai (channel precipation) membentuk limpasan langsung (direct runoff). Sementara itu air yang masuk melalui proses perkolasi akan menjadi aliran air bumi (groundwater flow). Aliran air bumi ini bersama-sama dengan aliran bawah permukaan tertunda yang tidak bisa masuk ke saluran bergabung 6
menjadi aliran dasar (base flow). Akhirnya aliran dasar dan limpasan langsung bersatu mengalir dalam sungai menuju ke danau atau laut. Curah hujan Permukaan t h infiltrasi Cadangan air daerah bawah k perkolasi Cadangan air bumi Aliran permukaan Aliran bawah permukaan Aliran air bumi Aliran sungai Gambar 1. Diagram proses terjadinya aliran sungai dalam suatu DAS (modifikasi Chow, 1964) Secara topografik, wilayah suatu DAS dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Dengan demikian, luas DAS yang terbentuk secara alami akan sangat bervariasi antara DAS yang satu dengan DAS yang lainnya, tergantung dari kondisi topografi wilayah tersebut. Wilayah dengan topografi berbukit dan bergunung pada umumnya memiliki DAS dengan luas yang lebih sempit dibandingkan dengan wilayah yang cenderung datar dan landai. DAS dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng yang lebih besar dari 15%. Daerah hulu ini bukan merupakan daerah banjir dan merupakan daerah yang pengaturan pemakaian airnya ditentukan oleh pola drainase. Daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lebih kecil dari 8%, pada beberapa tempat merupakan daerah yang pengaturan pemakaian airnya ditentukan oleh bangunan irigasi. Sedangkan daerah tengah DAS merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan daerah hilir (Asdak, 2002). 7
Selain merupakan kawasan tata air, DAS merupakan suatu ekosistem alami, karena di dalam DAS terdapat berbagai unsur penyusun utama yang di satu pihak bertindak sebagai objek atau sasaran fisik alamiah, seperti sumberdaya alam, vegetasi, dan air. Di pihak lain adalah subjek atau pelaku pendayagunaan unsur unsur tersebut, yaitu manusia. Antara unsur unsur ini terjadi proses timbal balik dan saling pengaruh mempengaruhi (Harmailis, 2001). Menurut Seyhan (1995), faktor utama di dalam DAS yang sangat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya air adalah : a. Vegetasi Vegetasi merupakan pelindung bagi permukaan bumi terhadap hempasan air hujan, hembusan angin dan terikan matahari. Fungsi utama dari vegatasi adalah melindungi tanah. Perlindungan ini berlangsung dengan cara : (1) melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, (2) melindungi tanah terhadap daya merusak aliran air di atas permukaan tanah, dan (3) memperbaiki kapasitas infiltrasi dan struktur tanah serta daya absorbsi atau daya simpan air. b. Tanah Tanah selain berfungsi sebagai media tumbuhnya vegetasi juga berfungsi sebagai pengatur tata air. Peranan tanah dalam mengatur tata air tergantung pada tingkat kemampuan tanah untuk meresapkan air yang dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah. Makin besar kapasitas infiltrasindan permeabilitas tanah, makin banyak air yang dapat diserapa dan masuk ke dalam profil tanah persatuan waktu, sehingga dengan demikian jumlah air yang tersimpan pada DAS menjadi lebih banyak (Arsyad, 1982). B. CURAH HUJAN Hujan ialah proses jatuhnya air dari udara ke permukaan, dimulai dari proses yang melibatkan energi, air menguap sehingga terjadinya pengembangan suhu, berat jenis air menurun, suhu diatas turun, kelembaban menurun, panas yang diterima dikembalikan ke atas sebagai gelombang pendek, bila ada awan maka gelombang tersebut tertahan sehingga suhu naik, uap air tersebut menjadi jenuh sehingga terjadi pengembunan. Hujan akan terjadi apabila berat butir-butir air tersebut telah lebih besar dari gaya tekan udara ke atas (Harto, 1993). 8
Curah hujan adalah salah satu parameter penting dalam sistem DAS, terutama sebagai salah satu mata rantai daur hidrologi yang berperan menjadi pembatas adanya potensi sumber daya air di dalam suatu DAS (Sutoyo, 1999). Semua air yang bergerak di dalam bagian lahan dari daur hidrologi secara langsung maupun tidak langsung berasal dari curah hujan. Menurut Seyhan (1977), hubungan antara curah hujan dan limpasan tidaklah langsung. Diantara keduanya, evaporasi, intersepsi, cadangan, depresi, cadangan salju dan infiltrasi bekerja sebagaimana diatur oleh karakteristik-karakteristik dari ukuran, kemiringan, bentuk, ketinggian, tata guna lahan, serta geologi daerah aliran sungai. Curah hujan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah bersangkutan. Curah hujan ini disebut curah hujan daerah (Sosrodarsono dan Takeda, 1993). Beberapa metode penentuan curah hujan daerah antara lain: 1. Metode Rata-rata Aritmatika Metode ini memberikan bobot yang sama untuk tiap stasiun, yaitu dengan menjumlahkan angka pengukuran di setiap stasiun dan membaginya dengan jumlah stasiun penakar. Cara ini merupakan cara yang paling sederhana dan cocok digunakan bila jumlah stasiun banyak dan tersebar merata, namun mempunyai kekurangan yaitu memberikan hasil yang kurang teliti. Hal ini hanya digunakan kalau hujan yang terjadi dalam DAS homogen dan variasi tahunannya tidak terlalu besar. Curah hujan rata- rata aljabar dinyatakan dengan rumus: P = (P i /n)...(1) Dimana : P = curah hujan daerah (mm) P i = curah hujan pada stasiun ke-i n = jumlah stasiun penakar 2. Metode Poligon Thiessen Metode ini merupakan metode yang didasarkan pada pemberian bobot bagi tiap stasiun terhadap luas daerah yang terwakili. Menurut Linsey et al (1982), metode Thiessen berusaha untuk mengimbangi tidak meratanya distribusi alat ukur dengan menyediakan suatu faktor pembobot (weighting factor) bagi masingmasing stasiun curah hujan. Stasiun-stasiun diplot pada suatu peta dan dibuat garis 9
hubung antar stasiun. Garis-garis bagi tegak lurus dari garis-garis penghubung ini membentuk poligon-poligon di sekitar masing-masing stasiun. Sisi-sisi setiap poligon merupakan batas luas efektif yang diasumsikan untuk stasiun tersebut. Luas masing-masing poligon ditentukan dengan planimeter dan dinyatakan dengan mengalikan hujan pada masing-masing stasiun dengan presentase luas yang diserahkan dan menjumlahkannya. Penerapan metode poligon Thiessen memberikan hasil yang konsisten tetapi apabila letak stasiun berubah maka bobot stasiun juga berubah. Perhitungan curah hujan menggunakan rumus sebagai berikut: P = ( P i A i )/( A i )...(2) Dimana : P = curah hujan daerah (mm) P i = curah hujan pada stasiun ke-i (mm) A i = luas poligon ke-i 3. Metode Isohyet Metode ini merupakan metode penentu curah hujan daerah dengan menggunakan peta isohyet, yaitu peta yang mempunyai garis-garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai curah hujan yang sama. Peta ini dibuat dengan memperhatikan efek topografi dan asal datangnya hujan. Penerapan metode ini untuk daerah yang luas dengan jaringan stasiun tidak terlalu padat. Hasilnya bersifat subyektif dan banyak ditentukan oleh ketelitian pembuatan peta. Penentuan curah hujan dengan metode ini menggunakan rumus sebagai berikut: P = { (P i-1 +P i )A i /2}/ A i...(3) Dimana : P = curah hujan daerah (mm) P i = curah hujan pada stasiun ke-i (mm) A i = luas poligon ke-i C. INFILTRASI Proses masuknya air hujan ke dalam tanah dan turun ke permukaan air tanah di sebut infiltrasi. Proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang saling tidak tergantung yaitu proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah dan proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (Sutoyo, 1999). 10