resensi Judul Buku Kepemimpinan Transformasional dalam Birokrasi Pemerintahan Penulis Eko Maulana Ali Penerbit PT. Multicerdas Publishing Cetakan September 2012 Jumlah Halaman XX, 288 823 eberhasilan suatu lembaga, Kbadan, organisasi bahkan kinerja pemerintahan amat dipengaruhi oleh berhasil tidaknya seorang pemimpin dalam menggerakkan lokomotif kepemimpinannya. Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain agar dapat bekerja sesuai dengan rencana demi tercapainya tujuan yang ditetapkan. S e t i a p p e m i m p i n m e m i l i k i pengalaman yang berbeda dalam memimpin suatu organisasi. Namun memimpin birokrasi memiliki tantangan yang membutuhkan leadership in art, karena memiliki warna yang berbeda dengan memimpin dalam lingkungan korporasi. Kepemimpinan transformasional dimaknai sejauhmana kemampuan seorang pemimpin membangun s e m a n g a t b a g i m e r e k a y a n g dipimpinnya (inspiring follower) diharapkan mampu menghasilkan kinerja, manakala bersinergi dengan gaya kepemimpinan transaksional yang lebih bersifat mengelola organisasi secara lebih efisien dalam mencapai tujuan. Dalam bukunya yang terdiri dari tujuh bagian ini, penulis yang pada saat menulis masih menjabat sebagai Gubernur Provinsi Kepulauan
824 Bangka Belitung sejak 2007 mencoba menguraikan konsep dan teori kepemimpinan transformasional dalam konteks otonomi daerah. Berlakunya otonomi sejak tahun 2000 berdampak tidak hanya secara kuantitatif terhadap pemekaran daerah, namun juga berdampak kualitatif terhadap keberlangsungan proses pemerintahan dengan berbagai kondisi yang kompleks dan riskan terhadap dikotomi moralitas serta kepentingan politik. Pada bagian pertama, penulis yang berlatar belakang sebagai p e r w i r a m i l i t e r m e n c o b a mengkompilasi berbagai pengalaman d a l a m m e n j a l a n k a n m a n d a t mengelola birokrasi pemerintahan. D a l a m p a n d a n g a n p e n u l i s, konsekuensi otonomi telah memberi kebebasan terhadap munculnya berbagai model kepemimpinan dalam menghadapi tantangan daerah yang beragam. Sehingga pengelolaan pemerintah yang baik cenderung t i d a k m e n c a p a i h a s i l y a n g diharapkan. Meski pada kondisi tertentu tidak sedikit Kepala Daerah yang mampu menjadikan daerahnya sebagai best practice. Dengan demikian, best practice di daerah tidak dapat serta merta diterapkan oleh daerah lainnya. Hal ini sekali lagi dikarenakan faktor kepemimpinan menjadi begitu penting manakala pemerintahan diharapkan berjalan dengan mekanisme merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan mengevaluasi sistem dimaksud. Dalam tulisannya, penulis mengupas dengan spesifik tentang adanya peran kepemimpinan dalam meningkatkan kinerja birokrasi pemerintahan di daerah. Dibuktikan dengan hasil penelitian di Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dimana 70% peningkatan birokrasi disebabkan oleh kompetensi bupati dalam memimpin daerah. Penulis mencoba menggambarkan bahwa masa otonomi daerah sangat sesuai mengkombinasi antara model kepemimpinan transformasional dengan transaksional hingga mencapai kinerja yang tinggi (beyond expectation). Pada bagian kedua, penulis m e m a p a r k a n t e n t a n g t e o r i kepemimpinan. Diawali dari Great- Man Theory yang berkembang sejak 1869 hingga 1930-an dimana pada masa itu kepemimpinan terbentuk karena adanya pengakuan dari para pengikut. Dalam teori ini, pemimpin yang hebat (great man) adalah yang m e m i l i k i u n i q u e h e r e d i t a r y characteristics & abilities. Sementara dalam Trait Theory, pemimpin dibedakan dari pengikutnya dalam h a l i n t e l l i g e n c e, s c h o l a r s h i p, d e p e n d a b i l i t y, a c t i v i t y, s o c i a l participation dan socio-economic status. Inti dari beberapa teori yang dikemukakan adalah bahwa seorang pemimpin harus mampu membangun r e l a t i o n s h i p s e h i n g g a m a m p u menetapkan pola kerja organisasi. Hubungan pemimpin dengan yang dipimpin merupakan faktor penting dalam mengendalikan situasi (situation control). Karena setiap
pemimpin memiliki kewenangan ( i n h e r e n t a u t h o r i t y ) d a l a m menggerakkan elemen-elemen yang s a l i n g m e m p e n g a r u h i u n t u k m e n c a p a i e f e k t i v i t a s k i n e r j a organisasi. Hal ini dikemukakan pula oleh Fedler (1967), bahwa ada 3 komponen keefektivan kepemimpinan (leader effectiveness), yaitu; hubungan antara pemimpin dengan anggota, struktur tugas yang akan dilaksanakan dan posisi kekuasaan pemimpin. Ketiga komponen ini juga dapat dijadikan indikator sejauhmana para pengikut percaya dan loyal terhadap pemimpinnya. Secara umum bagian ini menjelaskan defenisi kepemimpinan yang merupakan inti dari organisasi dimana kepemimpinan memiliki peran menentukan kegagalan dan keberhasilan organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berbagai teori kepemimpinan yang dijadikan rujukan untuk melakukan analisis dalam melihat sejauhmana kemampuan dan kualitas pribadi pemimpin umumnya menerapkan variabel yang memungkinkan munculnya kepemimpinan dan sifat dari kepemimpinan seseorang. Dari beberapa defenisi kepemimpinan yang dijelaskan, penulis lebih m e n e k a n k a n b e n t u k - b e n t u k pengaruh kepemimpinan yang oleh Nirenberg dibagi dalam enam kategori yaitu; diktator, pemilik/bos (owner), supervisor-administrator (caretaker), manajer (transactional), leader (transformational), dan mitra (partner). Pendapat Mc Gannon dalam Adair (2006:4) bahwa Leadership is action, not position. Hal ini dipahami bahwa seorang pemimpin tidak hanya mengandalkan profesionalisme dan kemampuan semata, akan tetapi juga sebagai pemegang amanah dilingkungannya harus dapat mengarahkan dan mengantar para pengikutnya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Dalam hal perilaku dan karakter pemimpin, berbagai tantangan dalam suatu organisasi membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki pengaruh inspirasional yang mampu membangkitkan motivasi bawahan. Pengaruh ini akan semakin kuat m a n a k a l a s e o r a n g p e m i m p i n diberikan kewenangan cukup besar dalam membuat perubahan dan memberikan penghargaan serta manfaat nyata. Bagian dua ini ditutup dengan pendapat Kraines (2003) yang memfokuskan fungsi kepemimpinan dan akuntabilitas yang dapat dicapai melalui konsep LEAD (Leverage potensial, Engage commitment, Align judgment dan develop capability) yang intinya seorang pemimpin harus m e m p u n y a i p o t e n s i s e b a g a i pengungkit, dapat menumbuhkan kreativitas dan kapabilitas pengikutnya dalam mencapai tujuan. Bagian ketiga menjelaskan bagaimana kepemimpinan transformasional dan transaksional diterapkan secara meluas dalam organisasi di dunia. Kedua gaya kepemimpinan ini sangat dipengaruhi oleh kontigensikontigensi kultur dan faktor organisasional. Ada anggapan bahwa 825
826 kepemimpinan transforma-sional awalnya merupakan kelanjutan dari kepemimpinan transaksional, dimana kepemimpinan lebih menekankan pada proses transaksi/ pertukaran (exchange) yang terjadi antara pemimpin, kolega dan bawahan. Hal ini dikemukakan oleh Bass dan Rigio (2006:4-5). Sementara, kepemimpinan transformasional berupaya membangun semangat bawahan (inspiring f o l l o w e r s ) a g a r b e r k o m i t m e n menciptakan visi dan tujuan bersama suatu organisasi. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan, prinsipnya bahwa kepemimpinan transaksional yang bersumber dari gaya kepemimpinan dahulu dimana tugas-tugas yang diberikan kepada bawahan harus dilaksanakan. Bawahan dimotivasi dengan rewards and punishments melalui jaringan komando yang jelas. Hanya saja, gaya kepemimpinan ini dianggap kaku dan memiliki kelemahan, karena hanya dapat berlaku untuk waktu yang singkat dan tugas-tugas khusus saja. Sementara, kepemimpinan transformasional lebih bersifat merubah. Perubahan yang terfokus pada budaya dan strategi organisasi senyatanya menjadi lebih sehat dan memiliki interaksi yang baik dengan lingkungan. Dari beberapa kutipan pendapat terkait kepemimpinan, penulis juga mencoba menjadikan rujukan ini dalam kombinasi antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dalam konteks pemerintahan pada era otonomi daerah. Pada bagian ini penulis menekankan bahwa kedua model kepemimpinan ini dapat diterapkan mengingat kepemimpinan transaksional dibutuhkan dalam mengembangkan efisiensi birokrasi pemerintahan daerah, sementara kepemimpinan transformasional lebih mengarahkan organisasi agar berkinerja optimal. Kedua gaya ini saling mengisi dalam menata birokrasi yang lebih visioner. Pada bagian keempat, penulis memaparkan policy administration dichotomy yang mewarnai pandangan para ilmuwan semisal Woodrow Wilson, Leonard White, Frank Goodnow dan Dwiht Waldo. Dinamika ilmu administrasi dalam kerangka birokrasi pemerintahan, dimana terdapat perbedaan antara fungsi politik yang melahirkan kebijakan dengan fungsi administrasi y a n g b e r h u b u n g a n d e n g a n pelaksanaan kebijakan negara dalam pemerintahan. Bahkan Leonard D W h i t e m e m p e r t e g a s d e n g a n mengatakan bahwa politik tidak semestinya mencampuri administrasi negara dan administrasi negara harus studi ilmiah yang bebas nilai. Hal yang menarik pada bagian ini, menjelaskan adanya perbedaan antara fungsi politik dan administrasi namun juga bagaimana sanggahan Waldo dan Herbert Simon yang beranggapan bahwa semua kegiatan administrasi adalah political pada tingkat yang mendasar (a fundamental level) dan sulitnya membedakan antara politik dan administrasi. Namun pandangan ini hanya
bertahan hingga 1970-an dan mengembalikan pandangan dikotomi ke teori pengawasan birokrasi (Control of Bureaucracy Theory). Ilustrasi yang menggambarkan perbedaan antara p o l i c y d e n g a n a d m i n i s t r a s i sebagaimana digambarkan oleh Wilson dan Goodnow dimana policy berkaitan dengan penetapan tujuan (goals) sedangkan administrasi terkait dengan penyiapan perangkat keras, lunak dan sumberdaya (brainware) nya. Pada bagian akhir, penulis m e n j e l a s k a n b a h w a s e o r a n g pemimpin yang visioner harus berani melakukan hal yang dianggap tidak populis namun berpihak pada kepentingan organisasi. Pemikiran ini didasarkan pada langkah pergeseran paradigma lama menjadi paradigma baru yang lebih pro organisasi yang dipimpinnya. Hanya saja, dalam penjelasan ini penulis kurang membandingkan bagaimana paradigma lama ketika disandingkan dengan paradigma baru sehingga pembaca dapat melihat perbedaan yang jelas dalam prakteknya. Dalam konteks manajemen pemerintahan, bagian akhir tulisan ini lebih terfokus dalam mewujudkan p r i n s i p - p r i n s i p u m u m a g a r tercapainya tujuan organisasi. Namun semestinya ada pembatasan yang jelas dalam memisahkan pemahaman antara efisiensi organisasi publik dengan efisiensi pada organisasi privat. Karena keduanya memiliki sasaran yang berbeda. Buku ini di samping menyajikan rujukan terkait teori dalam konteks kepemimpinan juga diakhiri dengan hasil kajian tentang pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja birokrasi pemerintah daerah Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan rumusan kajian bahwa perilaku pemimpin berkorelasi dalam mempengaruhi perilaku para bawahan yang dipimpinnya dalam meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah di daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada satu sisi, kekuatan kepemimpinan transformasional bersumber dari kemampuan pemimpin mempengaruhi yang dipimpin, namun di tengah kondisi kegamangan masyarakat menghadapi berbagai persoalan kompleks dibutuhkan kepemimpinan yang juga bergaya transaksional dengan melakukan proses exchange dan tradeoff untuk berbagai persoalan. Perlunya kolaborasi antara kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional dikarenakan masingmasing tidak dapat berdiri sendiri. Buku ini layak dijadikan referensi, khususnya bagi para pimpinan daerah maupun mereka yang tertarik mempelajari dan mengkaji pengaruh kepemimpinan terhadap perilaku yang dipimpin dalam mencapai tujuan. (Nurul Hidayah) 827