BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang pemerataan akses pendidikan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) baik yang diselenggarakan oleh pendidikan khusus secara segregatif maupun pendidikan reguler secara inklusif, hingga saat ini kurang mendapat perhatian dan penanganan secara maksimal. Nono (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Studi Evaluasi Program Pendidikan Inklusif bagi ABK di Sekolah Dasar Kabupaten Pontianak menemukan bahwa dari 434 anak cacat usia sekolah di kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, yang terdata oleh Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Kalbar tahun 2010, baru sejumlah 123 anak atau sekitar 23,34% ABK yang terlayani pendidikannya. Sementara menurut Mudjito dkk. (2012), sebanyak 10 juta anak usia sekolah di Indonesia terancam tidak bisa memperoleh akses pendidikan pada usianya. Dalam hal ini, Mudjito dkk. (2012) menjelaskan bahwa anak yang dimaksud adalah anak yang tumbuh dan berkembang karena cacat secara fisik, mental, tinggal di daerah perbatasan, rumah tangga khusus, serta korban bencana. Atas fenomena tidak meratanya akses pendidikan bagi ABK, maka kemungkinan besar jumlah anak, khususnya 1
ABK, putus sekolah di Indonesia akan semakin meningkat. Kondisi yang terjadi demikian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dalam kesempatan memperoleh pendidikan. Dengan demikian, semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) juga berhak menerima kesempatan yang sama dalam pendidikan. Untuk itulah, pendidikan yang terselenggara di satuan pendidikan hendaknya memberikan jaminan agar setiap anak baik normal maupun berkelainan/berkebutuhan khusus mendapat pelayanan pendidikan demi mengembangkan potensi anak secara individual. Pendidikan khusus bagi ABK kini telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Pada awalnya, pendidikan ABK bersifat terpisah dari masyarakat dan anak normal, yang mana pelaksanaannya berlangsung di sekolah luar biasa (SLB). SLB memiliki spesialisasi khusus sesuai dengan hambatan ABK dimana SLB-A diperuntukkan bagi anak dengan kelainan tunanetra, SLB-B diperuntukkan bagi anak dengan kelainan tunarungu, SLB-C diperuntukkan bagi anak dengan kelainan tunagrahita, dan SLB-D diperuntukkan bagi anak dengan kelainan tunadaksa. Keberadaan SLB ternyata tidak cukup mampu untuk mengakses pendidikan ABK secara merata dan optimal. Salah satu 2
faktor yang menyebabkan kondisi demikian adalah jarak sekolah jauh dari rumah karena pada umumnya SLB terletak di ibukota provinsi dan sebagian di kabupaten/kota. Terkait dengan fenomena tersebut, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Pendidikan Dasar (2012) menjelaskan bahwa: Pendidikan inklusif memberikan perhatian pada pengaturan para siswa yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus untuk bisa mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah umum atau reguler sebagai ganti kelas pendidikan khusus part-time, pendidikan khusus full-time, atau sekolah luar biasa (segregasi). Menurut Permendiknas No. 70 Tahun 2009, pendidikan inklusif (PI) merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua siswa yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan siswa normal pada umumnya. Dari peraturan ini, dalam pelaksanaannya PI bertujuan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. 3
Kota Palangka Raya merupakan kota penyelenggara program PI. Label sebagai Kota Pendidikan Inklusif berlaku sejak tanggal pencanangannya yaitu 18 Oktober 2014 di kota Palangka Raya. Pencanangan ini merupakan kebijakan pengambilan keputusan oleh Disdikpora setempat yang terbentuk dalam kelompok kerja (Pokja) PI kota Palangka Raya. Pelaksanaan program PI yang diwajibkan dan diperuntukkan kepada semua sekolah di kota Palangka Raya ini memiliki landasan yaitu Peraturan Walikota Palangka Raya Nomor 26 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus, Pendidikan Inklusif dan Pusat Sumber di kota Palangka Raya. Adapun pertimbangan terhadap penyusunan Perwali tersebut adalah sebagai penjabaran dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Pertimbangan lain dari penyusunan Perwali Palangka Raya No. 26 Tahun 2014 adalah pencapaian visi dan misi serta indeks pembangunan manusia (IPM) kota Palangka Raya yang harus dioptimalkan dan didukung oleh berbagai bidang terutama bidang pendidikan. Menyikapi kebijakan dari Perwali tersebut, Pokja PI menyelenggarakan program PI atas satu tujuan utama yaitu menjadikan pendidikan di kota 4
Palangka Raya yang ramah, adil tanpa diskriminatif. Hal ini juga merupakan suatu kebutuhan bagi seluruh masyarakat kota Palangka Raya agar pembangunan bidang pendidikan bagi sumber daya manusia (SDM) di kota ini bisa berkembang dan merata. Data dari Dinas Pendidikan Kota Palangka Raya menunjukkan bahwa hingga tahun 2014 jumlah ABK di kota Palangka Raya adalah 895 anak, yang tersebar di 5 wilayah kecamatan yaitu kecamatan Pahandut, Bukit Batu, Jekan Raya, Sabangau dan Rakumpit. Beberapa sekolah di beberapa kota dan provinsi di Indonesia sudah menjalankan program PI dalam beberapa tahun terakhir ini. Salah satu contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Sartica (2013) dimana beberapa sekolah di kota Salatiga sudah menjalankan program PI sejak sebelum Desember 2012 hingga pada akhirnya tepat pada 13 Desember 2012 itu, Salatiga dideklarasikan sebagai Kota Pendidikan Inklusif. Di samping itu, ada beberapa peneliti yang sudah pernah melakukan penelitian terhadap pelaksanaan program ini di beberapa sekolah di kota Salatiga. Hasil temuan Sartica menunjukkan bahwa kota Salatiga dikatakan cukup berhasil dalam mengimplementasikan program pendidikan inklusif. Sebaliknya, kota Palangka Raya masih terbilang baru dalam pencanangan diri sebagai Kota Pendidikan Inklusif dan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, keberadaan program PI yang diselenggarakan sekolah-sekolah di kota Palangka Raya saat ini memang perlu untuk dievaluasi. Penulis menyadari dan memahami bahwa penyelenggaraan 5
program PI di kota Palangka Raya belum pernah dievaluasi oleh peneliti terdahulu. Dengan demikian, penulis bisa memberikan suatu manfaat dan rekomendasi bagi perbaikan terhadap keberlanjutan pelaksanaan program. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana evaluasi context penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya? b. Bagaimana evaluasi input penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya? c. Bagaimana evaluasi process penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya? d. Bagaimana evaluasi product penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi: a. Context penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya. 6
b. Input penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya. c. Process penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya. d. Product penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi pengetahuan dalam bidang pendidikan, khususnya mengenai evaluasi penyelenggaraan program pendidikan inklusif. 1.4.2 Manfaat Praktis Adapun manfaat dari hasil penelitian ini bagi sekolah penyelenggara program PI dan Disdikpora kota Palangka Raya sebagai berikut: 1) Bagi Sekolah Penyelenggara Program PI di kota Palangka Raya Sebagai solusi, masukan atau bahan rekomendasi dalam rangka memaksimalkan pelaksanaan program pendidikan inklusif. 2) Bagi Disdikpora Kota Palangka Raya Sebagai dasar pembuatan rekomendasi kebijakan guna perbaikan mutu pendidikan inklusif. 7
8