BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 : PENDAHULUAN. terutama dalam masalah gizi. Gizi di Indonesia atau negara berkembang lain memiliki kasus

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Hari Anak-Anak Balita 8 April SITUASI BALITA PENDEK

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dengan ambang batas (z-score) antara -3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui -2 SD di bawah median panjang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sehingga berkontribusi besar pada mortalitas Balita (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. gizi yang dimulai sejak janin berada di kandungan sampai anak berusia 2 tahun.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa balita merupakan periode penting dalam proses. tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator gizi klinis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan

BAB 1 : PENDAHULUAN. meningkatkan produktifitas anak sebagai penerus bangsa (1). Periode seribu hari,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan prevalensi balita gizi pendek menjadi 32% (Kemenkes RI, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

Nurlindah (2013) menyatakan bahwa kurang energi dan protein juga berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Hasil penelitian pada balita di Afrika

BAB I PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. usia dini sangat berdampak pada kehidupan anak di masa mendatang. Mengingat

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membandingkan keberhasilan pembangunan SDM antarnegara. perkembangan biasanya dimulai dari sejak bayi. Kesehatan bayi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Masyarakat (IPM). IPM terdiri dari tiga aspek yaitu pendidikan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN. antara konsumsi, penyerapan zat gizi, dan penggunaannya di dalam tubuh yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sangat berpengaruh dalam proses pertumbuhan dan. angaka kematian yang tinggi dan penyakit terutama pada kelompok usia

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

GIZI KURANG PENYEBAB STUNTING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kebutuhan nutrisi merupakan kebutuhan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara berkembang (FAO, 2006; Sedgh et.al., 2000; WHO, 2016). The

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembanguan manusia Indonesia (Saputra dan Nurrizka, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam lima tahun pertama kehidupannya (Hadi, 2005).

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

ARIS SETYADI J

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia di masa depan yang

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. dan Kusuma, 2011). Umumnya, masa remaja sering diartikan sebagai

IKAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DAN GIZI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. keemasan, yang memiliki masa tumbuh kembangnya berbagai organ tubuh. Bila

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi pada anak pra sekolah akan menimbulkan. perbaikan status gizi (Santoso dan Lies, 2004: 88).

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB I PENDAHULUAN. Anak yang sehat semakin bertambah umur semakin bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SAMBUTAN BUPATI MALINAU PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI DAN ADVOKASI SERIBU HARI PERTAMA KEHIDUPAN (1000 HPK) RABU, 27 JULI 2016

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan yang perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa baduta (bawah dua tahun) merupakan Window of opportunity. Pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PEN DAHULUAN. prasarana pendidikan yang dirasakan masih kurang khususnya didaerah pedesaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

GIZI KESEHATAN MASYARAKAT. Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan. orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kembang. Gizi buruk menyebabkan 10,9 Juta kematian anak balita didunia setiap tahun. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. (usia tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61 persen dari jumlah

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Transkripsi:

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang yang ditandai dengan indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas z-score kurang dari -2 SD (Kepmenkes RI,2010). Secara global, prevalensi stunting pada anak menurun dari 39,7% tahun 1990 menjadi 26,7% pada tahun 2010. Angka ini diperkirakan akan mencapai 21,8 % pada tahun 2020. Prevalensi stunting di Afrika mengalami stagnasi sejak tahun 1990 sekitar 40%, sementara di Asia menunjukkan penurunan dari 49 % pada tahun 1990 menjadi 28% pada tahun 2010 (Onis, 2011). Prevalensi stunting di beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Myanmar sebesar 35%, Vietnam sebesar 23%, dan Thailand sebesar 16%. Prevalensi stunting di Indonesia Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013 sebesar 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 sebesar 35,6% dan pada tahun 2007 sebesar 36,8%. Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita sekitar 8 juta anak di Indonesia, atau satu dari tiga anak di Indonesia (Riskesdas,2013). Prevalensi stunting bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan permasalahan gizi pada balita lainnya seperti gizi kurang (19,6%), kurus (6,8%), dan gemuk (11,9%). (Millennium Challenge Account Indonesia,2015). Balita yang mengalami stunting meningkatkan risiko penurunan kemampuan intelektual, menghambatnya kemampuan motorik, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa mendatang. Hal ini dikarenakan anak stunting cenderung lebih rentan menjadi obesitas, karena orang dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah. Kenaikan berat badan beberapa kilogram saja bisa menjadikan Indeks Massa Tubuh (IMT) orang tersebut naik melebihi batas normal. (Astari,2015). Status gizi dan kesehatan ibu dan anak sebagai penentu kualitas sumber daya manusia, hal ini semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-hamil, saat kehamilannya dan saat menyusui

merupakan periode yang sangat kritis. Periode seribu hari, yaitu 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkan merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasannya, yang pada usia dewasa terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi. Kekurangan gizi pada masa golden period (0 2 tahun), akan menyebabkan sel otak anak tidak tumbuh sempurna. Hal ini disebabkan karena 80-90% jumlah sel otak terbentuk semenjak masa dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Apabila gangguan tersebut terus berlangsung maka akan terjadi penurunan skor tes IQ sebesar 10-13 point. Penurunan perkembangan IQ tersebut akan mengakibatkan terjadinya loss generation, artinya anak-anak tersebut akan menjadi beban bagi keluarga, masyarakat, dan pemerintah (I Dewa Nyoman,2002). Masalah kekurangan gizi 1000 HPK diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal sebagai IUGR (Intra Uterine Growth Retardation). Janin akan tumbuh dan berkembang melalui pertambahan berat dan panjang badan, perkembangan otak serta organ-organ lainnya. Janin mempunyai plastisitas yang tinggi, artinya janin akan dengan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungannya baik yang menguntungkan maupun yang merugikan pada saat itu. Sekali perubahan tersebut terjadi, maka tidak dapat kembali ke keadaan semula. Perubahan tersebut merupakan interaksi antara gen yang sudah dibawa sejak awal kehidupan, dengan lingkungan barunya (Kemenko Kesra, 2013). Sewaktu bayi dilahirkan, sebagian besar perubahan tersebut menetap atau selesai. Kekurangan gizi yang terjadi dalam kandungan dan awal kehidupan menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian. Penyesuaian tersebut meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya. Hasil reaksi penyesuaian akibat kekurangan gizi di ekspresikan pada usia dewasa dalam bentuk tubuh yang

pendek, rendahnya kemampuan kognitif atau kecerdasan sebagai akibat tidak optimalnya pertumbuhan dan perkembangan otak (Kemenko Kesra, 2013). Kekurangan gizi pada pra-hamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak yang IUGR dan BBLR. Kondisi IUGR hampir separuhnya terkait dengan status gizi ibu, yaitu berat badan (BB) ibu pra-hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau bertubuh pendek, dan pertambahan berat badan selama kehamilannya (PBBH) yang kurang dari seharusnya. Ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat meninjak dewasa. Apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR. Apabila tidak ada perbaikan terjadinya IUGR dan BBLR akan terus berlangsung di generasi selanjutnya, sehingga terjadi masalah anak pendek intergenerasi (Kemenko Kesra, 2013). Banyak faktor yang menyebabkan tingginya kejadian stunting pada balita. Faktor langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu asupan makanan dan status kesehatan. Faktor tidak langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu Pola pengasuhan, pelayanan kesehatan, faktor maternal dan lingkungan rumah tangga. Akar masalah yang menyebabkan kejadian stunting yaitu status ekonomi keluarga yang rendah (Semba and Bloem, 2001). Asupan zat gizi yang tidak adekuat, terutama dari total energi, protein, lemak dan zat gizi mikro, berhubungan dengan defisit pertumbuhan fisik pada anak. Protein merupakan zat pengatur dalam tubuh manusia. Protein pada balita dibutuhkan untuk pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi tubuh, dan untuk sintesis jaringan baru. Selain itu, protein juga dapat membentuk antibodi untuk menjaga daya tahan tubuh terhadap infeksi dan bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh (Almatsier, 2001). Kelaparan atau semi-kelaparan dapat mengubah komposisi tubuh. Protein tidak hanya tidak bertambah, tapi juga habis digunakan, sehingga massa sel tubuh berkurang. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi. Anak kurang gizi, daya tahan terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan menjadi semakin kurang gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk melawan penyakit (Maxwell, 2011).

Pola pengasuhan berhubungan dalam pemberian ASI Ekslusif. ASI ekslusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan. ASI memiliki manfaat dalam meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit. ASI juga mengandung komponen makro dan mikronutrient yang dibutuhkan oleh bayi. Pengenalan MP-ASI sebelum usia 6 bulan meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi pada bayi (Henningham dan McGregor, 2008). Hasil penelitian Diana pada tahun 2006 mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh makan dengan pekerjaan ibu. Ibu yang setelah melahirkan bayinya kemudian langsung bekerja dan harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore akan membuat bayi tersebut tidak mendapatkan ASI. Sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Hal ini menyebabkan asupan gizi pada bayinya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi bayinya. Faktor maternal yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah nutrisi yang buruk sebelum konsepsi. Nutrisi ibu yang buruk sebelum konsepsi akan menyebabkan bayi IUGR dan BBLR (WHO,2013). Anak yang BBLR lebih berisiko mengalami stunting. Pelayanan kesehatan berhubungan dengan kelengkapan imunisasi anak. Imunisasi merupakan penanda adanya kontak terhadap pelayanan kesehatan. imunisasi dasar lengkap adalah tercapainya imunisasi dasar lengkap pada anak (Hb0 1 kali, BCG 1 kali, DPT-HB 3 kali, Polio 4 kali, dan Campak 1 kali ) sampai usia 12 bulan (Yimer, 2000). Status gizi pendek atau stunting sebagai alat ukur atas tingkat sosialekonomi yang rendah dan sebagai salah satu indikator untuk memantau ekuitas dalam kesehatan Keluarga dengan status ekonomi yang rendah akan berdapampak terhadap daya beli keluarga akan bahan makanan yang bervariasi. Oleh karena itu banyak balita yang berasal dari keluarga miskin yang mengalami masalah kurang gizi seperti stunting (Semba, 2008). Faktor risiko terkuat terjadinya stunting pada usia 12 bulan adalah berat badan lahir rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Fitri tahun 2012 yang menyatakan bahwa BBLR merupakan faktor yang paling dominan menyebabkan stunting pada anak usia 12-59 bulan. Penelitian tersebut

menemukan bahwa anak dengan BBLR berisiko 3.28 kali untuk mengalami stunting. Bayi dengan BBLR akan tumbuh dan berkembang lebih lambat karena pada bayi dengan BBLR sejak dalam kandungannya telah mengalami retardasi pertumbuhan intera uterin dan akan berlanjut sampai usia selanjutnya setelah dilahirkan yaitu mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat dari bayi yang dilahirkan normal, sehingga sering gagal menyusul tingkat pertumbuhan yang seharusnya dicapai pada usia setelah lahir. Bayi dengan BBLR sangat rentan terkena penyakit infeksi dan berisiko mengalami kematian. Bayi yang selamat dari risiko kematian memiliki peningkatan risiko untuk menjadi kurang gizi dan stunting (Kusuma, 2013). Bayi BBLR juga mengalami gangguan saluran pencernaan, dikarenakan saluran pencernaannya belum berfungsi, seperti kurang dapat menyerap lemak dan mencerna protein yang mengakibatkan kurangnya cadangan zat gizi dalam tubuh. Akibatnya pertumbuhan bayi BBLR akan terganggu. Apabila keadaan ini berlanjut yang diiringi dengan pemberian makanan yang tidak mencukupi, sering mengalami penyakit infeksi dan perawatan kesehatan yang tidak baik akan berisiko menyebabkan anak stunting (Annisa,2012). Risiko bayi BBLR untuk menjadi stunting dapat dicegah semenjak lahir. Penelitian Hidayah tahun 2013 menemukan bahwa bayi BBLR apabila diberikan ASI Ekslusif sampai usia 6 bulan, jarang menderita penyakit infeksi, kemudian dilanjutkan dengan pemberian makanan yang mengandung gizi seimbang akan membuat anak dengan BBLR mampu mengejar ketertinggalan pertumbuhan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Indonesia yang terwakili oleh penduduk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga bisa yang mewakili 33 provinsi. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk pada tahun 2010. Jumlah sampel penelitian pada anak berusia 0-60 bulan di provinsi Sumatera Barat berdasarkan Riskesdas 2013 sebanyak 2904 anak, yang mana didalam proses pengumpulan datanya dilakukan pemeriksaan dan pengukuran

terhadap balita, salah satunya yaitu pengukuran terhadap tinggi badan. Hasil pengukuran tinggi badan balita menurut umur diharapkan dapat menggambarkan keadaan stunting pada balita di Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, prevalensi stunting di Sumatera Barat pada tahun 2013 sebesar 39,2%, meningkat dari tahun 2010 sebesar 32,7%, dan tahun 2007 sebesar 36,5%, yang artinya prevalensi stunting di Sumatera Barat melebihi prevalensi stunting di Indonesia. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Analisis hubungan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Stunting pada anak usia 12-23 bulan di Sumatera Barat (Analisis Data Riskesdas 2013). 1.2 Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana hubungan antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 3. Bagaimana hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 4. Bagaimana hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 5. Bagaimana hubungan antara kelengkapan Imunisasi dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 6. Bagaimana hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 7. Bagaimana hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 8. Bagaimana hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel pemberian ASI Ekslusif pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat?

9. Bagaimana hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel penyakit infeksi pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 10. Bagaimana hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel status ekonomi keluarga pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 11. Bagaimana hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel kelengkapan imunisasi pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 12. Bagaimana hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel pendidikan ibu pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 13. Bagaimana hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel pekerjaan ibu pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui Hubungan antara BBLR dengan kejadian Stunting pada anak Usia 12-23 bulan di Sumatera Barat ( Analisis Data Riskesdas 2013). 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 2. Mengetahui hubungan antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 3. Mengetahui hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 4. Mengetahui hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 5. Mengetahui hubungan antara kelengkapan Imunisasi dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat.

6. Mengetahui hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 7. Mengetahui hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 8. Mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel pemberian ASI Ekslusif pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 9. Mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel penyakit infeksi pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 10. Mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel status ekonomi keluarga pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 11. Mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel kelengkapan imunisasi pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 12. Mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel pendidikan ibu pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 13. Mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting setelah disesuaikan oleh variabel pekerjaan ibu pada anak usia 12-23 bulan di provinsi Sumatera Barat. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Aspek Teoritis Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para akademisi dan pihak-pihak yang membutuhkan, guna pengembangan ilmu kesehatan masyarakat mengenai pengaruh BBLR dan faktor lainnya terhadap kejadian stunting pada anak usia 12-23 bulan di Sumatera Barat.

1.4.2 Aspek Praktis 1. Diharapkan dapat menjadi masukan untuk program, terutama bagi stakeholder di bidang kesehatan untuk menentukan langkah pencegahan dan penanggulangan stunting di Sumatera Barat. 2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya, guna pengembangan penelitian terkait penyebab stunting di Sumatera Barat.