BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XI/2013 Tentang Penetapan Batam, Bintan dan Karimun Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 35/PUU-X/2012 Tentang Tanah Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XIV/2016 Dualisme Penentuan Unsur Pimpinan DPR Provinsi Papua dan Papua Barat

LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 101/PUU-XV/2017 Peralihan Hak Milik atas Tanah

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

KUASA HUKUM Fathul Hadie Ustman berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 20 Oktober 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

HUKUM AGRARIA NASIONAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang Dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

BAB 1 PENDAHULUAN. vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa, pendukung negara yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 88/PUU-XII/2014 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor /PUU-VII/2009 tentang UU SISDIKNAS Pendidikan usia dini

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-IX/2011 Tentang Peringatan Kesehatan dalam Promosi Rokok

BAB I PENDAHULUAN. membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XI/2013 Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

BAB II. ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 28 Februari 2013

PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

I. UMUM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

BAB V. PENUTUP. (dua) permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 128 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pajak Penghasilan Pemerintah tidak berhak menetapkan pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

KUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 2/PUU-XVI/2018 Pembubaran Ormas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PEMOHON Bastian Lubis, S.E., M.M., selanjutnya disebut Pemohon.

KUASA HUKUM Dra. Endang Susilowati, S.H., M.H., dan Ibrahim Sumantri, S.H., M.Kn., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 September 2013.

Transkripsi:

26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga setiap aspek kebijakan negara selalu mendasarkan kepada sendi-sendi hukum dan demokrasi sebagai pilar negara yang terangkai dalam suatu konstitusi. Negara merupakan integritas dari kekuasaan politik dan organisasi pokok dari kekuasaan politik (Miriam Budiarjo,1987:141). Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan yang terjadi. Dengan demikian, negara sebagai konsep yang berkaitan dengan kekuasaan memiliki sejumlah tujuan sebagai pengemban tujuan dari seluruh warga negaranya. Oleh karena itu negara diberikan pelimpahan kewenangan secara langsung dari hak bangsa sebagai hak menguasai dari negara. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia menyatakan bahwa bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa keseluruhan bumi, air dan ruang angkasa merupakan milik bangsa Indonesia yang penggunaan, pemanfaatannya dikendalikan oleh negara.

27 Namun, tidak semua komponen dapat dikelola sendiri oleh hak bangsa maka dilimpahkan kepada negara sebagai kewenangan hak menguasai dari negara. Hak menguasai dari negara adalah sebutan yang diberikan oleh Undang-Undang Pokok Agraria kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara negara dengan tanah di Indonesia. Sebagai organisasi kekuasaan yang tertinggi maka, bukan hanya sebagai penguasa legislatif dan eksekutif melainkan penguasa yudikatif juga. Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan mengatur dan menentukan yang dilaksanakan oleh badan-badan legislatif pusat, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif menyelenggarakan dan menentukan yang dilakukan oleh presiden dibantu oleh menteri atau pejabat tinggi lain yang bertugas di bidang pertanahan. Sedangkan kekuasaan yudikatif bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa tanah baik antara rakyat sendiri maupun di antara rakyat dan pemerintah melalui badan peradilan umum. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Kewenangan yang bersumber dari hak menguasai negara

28 ini merupakan kewenangan yang digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. B. Masyarakat Hukum Adat Masyarakat hukum adat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 1 Angka (3) menyatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Sedangkan dalam kepustakaan adat istilah rechts gemeenschap (masyarakat hukum) adalah sekelompok manusia yang hidup dalam suatu tata hukum yang sama dan antara anggotaanggota kelompok terdapat ikatan batin karena mempunyai tanggung jawab bersama terhadap sesuatu hal, sehingga dapat disimpulkan bahwa : a. Perkataan masyarakat hukum yang disebut dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah apa yang disebut rechts gemeenschap dalam bahasa belanda, dan khususnya dalam kepustakaan hukum adat. Oleh karena itu lebih tepat disebut masyarakat hukum adat. b. Masyarakat hukum adat adalah suatu kelompok manusia yang anggotaanggota (warganya) satu sama lain mempunyai ikatan batin sebagai suatu kesatuan, sehingga perbuatan seseorang atau berapa orang anggota kelompok itu akan dirasakan sebagai kebanggaan atau perbuatan tercela dari seluruh kelompok. c. Dalam sikap warga masyarakat hukum adat terdapat pendapat bahwa beberapa orang atau beberapa kelompok kecil warga masyarakat hukum itu mempunyai hak-hak yang didahulukan dari warga yang lainnya, mempunyai kelebihan-kelebihan hak dari warga lainnya serta mempunyai otoritas terhadap warga lainnya. (karena memiliki "wahyu cakraningrat"). d. Masyarakat hukum adat mempunyai kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan masing-masing warganya, dan kekayaan itu dapat berupa benda-benda materiil dan benda-benda imateriil. e. Warga masyarakat hukum adat merasa bertanggung jawab untuk memelihara, mempertahankan serta menjaga kesucian tanah, air,

29 kepentingan kekuasaan-kekuasaan gaib yang melindungi masyarakat hukumnya. f. Hanya warga masyarakat hukum adat dapat mengambil mandat dari kekayaan masyarakat hukumnya, sedang warga masyarakat hukum adat lain tidak mungkin dapat mengambil manfaat dari kekayaan itu. g. Adanya masyarakat hukum adat dan kenyataan bahwa mereka menjadi anggota masyarakat hukum adat itu dirasakan dan dialami oleh keharusan alam, yang tidak dibuat-buat tidak dipaksakan oleh orang lain atau instansi manapun. h. Tiada seorang pun di antara para anggota masyarakat hukum mempunyai pikiran atau timbul angan-angan padanya, adanya kemungkinan untuk membubarkan masyarakat hukum itu. i. Yang mungkin diperbuat oleh seorang warga suatu masyarakat hukum ialah keluar dari masyarakat hukum itu atau meninggalkannya sepanjang masyarakat hukum itu terikat pada suatu daerah. (Soekamto, 1975:33-34) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menyebutkan dua istilah masyarakat adat dan masyarakat hukum adat. Masyarakat adat dalam Pasal 1 huruf (p) Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menyatakan bahwa masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya, sedangkan dalam Pasal 1 huruf (r) Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menyatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Dari pengertian tersebut ditarik kesimpulan bahwa masyarakat adat memiliki persyaratan yang lebih fleksibel dibanding masyarakat hukum adat, karena masyarakat hukum adat mensyaratkan untuk dapat disebut masyarakat hukum adat Papua haruslah

30 warga asli Papua yang sejak kelahirannya (bukan pendatang) hidup dalam wilayah tertentu (teritori) dan tunduk serta terikat hukum adat tertentu (Mohammad Jamin,2014:66-67). Konsekuensi ini merupakan hak dan kewajiban dari masyarakat adat maupun masyarakat hukum adat dan apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi adat sesuai ketentuan hukum adat yang berlaku diwilayah tersebut. Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur-unsur antara lain: a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c) ada wilayah hukum adat yang jelas ; d) ada pranata dan perangkat hukum (peradilan adat yang masih ditaati); e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari (Mohammad Jamin,2014:68) Pasal 1 huruf (t) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang menyatakan bahwa orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Berdasarkan ketentuan tersebut, orang asli Papua tidak harus berasal dari rumpun ras Melanesia tetapi juga dapat berasal dari luar rumpun ras Melanesia sepanjang orang tersebut diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

31 Orang asli Papua merupakan masyarakat hukum adat yang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia harus diberi perlindungan hak-hak dasarnya. Berkaitan dengan hal tersebut, lembaga Majelis Rakyat Papua merupakan lembaga yang dapat melindungi hak-hak dari masyarakat hukum adat Papua. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 huruf (g) Undang- Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua bahwa Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Majelis Rakyat Papua memiliki peran dalam mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asli orang Papua. Perlindungan terhadap hakhak dasar masyarakat hukum adat Papua dimaksudkan untuk masyarakat Papua dapat mengembangkan kemampuan diri yang dikaruniakan Tuhan secara baik dan bermartabat. Dengan tujuan agar masyarakat hukum adat Papua mampu menjadi warga negara Indonesia yang baik dan tidak meninggalkan jati dirinya. C. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Istilah hak ulayat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak memberikan definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan hak ulayat, namun istilah hak ulayat dapat dilihat dalam kepustakaan hukum adat. Pada Dasarnya Hak ulayat keberadaannya dalam Undang-Undang Pokok Agraria sudah diakui, akan

32 tetapi pengakuan tersebut memiliki syarat-syarat. Apabila syarat-syarat tersebut sudah tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan peraturan yang lebih tinggi maka hak atas tanah ulayat dari masyarakat hukum adat dihapuskan. Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada suatu masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataannya, sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selain diakui, pelaksanaannya juga dibatasi dalam arti sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang serta peraturan lain yang lebih tinggi lainnya (Hasim Purba dkk,2006:205). C. Van VOllenhoven tidak memberikan definisi atau batasan dari hak ulayat, namun menurutnya hak ulayat itu sama dengan apa yang disebut beschikkingsrecht. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Pasal 1 huruf (s) yang menyatakan bahwa hak ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak ulayat merupakan

33 seperangkat wewenang atau kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat ini memiliki dua unsur, yaitu unsur kepunyaan yang merupakan bidang hukum perdata dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tugas kewenangan yang merupakan hukum publik. Kewenangan hukum publik, pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat atau bersama-sama dengan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat secara teritorial, para warganya bertempat tinggal di wilayah yang sama serta secara geneologis, terikat pertalian darah seperti suku dan kaum. Obyek dari hak ulayat ialah semua tanah yang berada diwilayah masyarakat hukum adat teritorial yang bersangkutan, namun tidak mudah untuk mengetahui secara pasti batas-batas tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Sedangkan dalam masyarakat geneologis dapat diketahui tanah yang dimiliki bersama karena hak ulayat meliputi semua tanah. Maka dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada Res nullius artinya bahwa tidak ada tanah yang bertuan karena hak ulayat tidak dapat dimiliki secara pribadi. Dasarnya hak ulayat merupakan Res Communis artinya bahwa tanah merupakan milik bersama atau komunal. Pada dasarnya hak ulayat yang dipegang oleh masyarakat hukum adat harus sesuai dengan kepentingan umum dari negara, karena persatuan dan kesatuan bangsa tidak boleh dihancurkan oleh kepentingan kelompok dan orang perorangan.

34 D. Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 angka (6) menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dengan adanya Undang-Undang tentang kehutanan yang menyisakan konsekuensi normatif dimana hutan adat dikonstruksi sebagai bagian dari hutan negara, maka telah terjadi pengabaiaan hutan terhadap wilayah hidup masyarakat hukum adat oleh negara. Sejak penerapan Undang-Undang Kehutanan menyebabkan masyarakat hukum adat di berbagai daerah kehilangan hak atas wilayah adatnya, karena berbagai pihak menggunakan wilayah masyarakat adat dengan dalil bahwa sudah ada izin dari negara. Namun ada beberapa pasal dalam Undang-Undang Kehutanan yang mengakui bahwa hutan adat merupakan bagian dari masyarakat hukum adat, akan tetapi pengakuan terhadap hutan adat yang menjadi bagian wilayah masyarakat hukum adat terbatas. Seperti diperkuat dengan beberapa pasal dalam Undang-Undang Kehutanan yang memperkuat hak negara yakni Pasal 4 ayat (3) Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa (1) hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a) hutan negara dan b) hutan hak; c) hutan negara

35 sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (a), dapat berupa hutan adat; (3) pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataanya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan; c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini berarti bahwa, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat diakui sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Pengakuan terbatas atas hakhak masyarakat hukum adat menimbulkan persoalan antara masyarakat hukum adat dan negara. Ketentuan yang tidak berpihak kepada masyarakat hukum adat inilah yang mendorong berbagai pihak melakukan judicial review atas ketentuan Undang-Undang kehutanan yang melanggar hak konstitusional masyarakat hukum adat. Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN) bersama kesatuan masyarakat adat, mengajukan permohonan kepada mahkamah konstitusi agar menghilangkan beberapa pasal yang menguatkan hak negara atas hutan adat dan mengesampingkan hak dari masyarakat hukum adat.

36 Aliansi masyarakat adat nusantara mempersoalkan dua isu konstitusional yaitu status hutan adat yang menjadi hutan negara dan pengakuan yang bersyarat terhadap masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat sudah ada sebelum Indonesia merdeka, akan tetapi belum diakui oleh negara sehingga cenderung dimanfaatkan negara untuk merampas hak-hak masyarakat hukum adat dan memberikan izin kepada pengusaha-pengusaha untuk digunakan sebagai tempat usaha. Pada dasarnya, tidak ada suatu regulasi yang secara khusus mengatur mengenai sumber daya alam berupa hutan yang dilindungi dan dimanfaatkan, agar sumber daya alam berupa hutan yang dimiliki oleh bangsa dapat dikelola dan dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Adanya Undang-Undang Kehutanan, telah mengesampingkan kesatuan masyarakat hukum adat dari kawasan hutan adat yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat hukum adat. Maka aliansi masyarakat adat nusantara mengajukan permohonan penolakan beberapa pasal yang telah menguatkan hak negara kepada Mahkamah Konstitusi. Atas dasar permohonan penolakan beberapa pasal yang mengesampingkan hak masyarakat hukum adat tersebut, maka mahkamah konstitusi sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final, telah mengabulkan permohonan judicial review yang telah diajukan oleh aliansi masyarakat adat nusantara.

37 Berdasarkan pengajuan permohonan penolakan beberapa pasal-pasal yang dianggap mengesampingkan hak masyarakat hukum adat, maka melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 bahwa telah mengabulkan permohonan untuk judicial review beberapa pasal yang diajukan oleh aliansi masyarakat adat nusantara, yakni Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Penjelasan Pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2), Frasa dan ayat (2) dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal-pasal tersebut dianggap Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan norma dasar, Undang-Undang Dasar yang adalah norma dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Sehingga hak-hak masyarakat hukum adat tidak disampingkan oleh hak negara. Namun dalam kenyataannya, tidak ada amandemen baru terkait pasal-pasal yang telah diajukan oleh aliansi masyarakat adat nusantara, sehingga hak dari masyarakat hukum adat masih tetap diatur sesuai Undang- Undang yang lama yaitu Undang-Undang Kehutanan.