BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami perubahan, yaitu dari deposisi lemak subkutan menjadi lemak abdominal dan viseral yang menyebabkan peningkatan insiden sindrom metabolik. Perubahan komposisi lemak ini terjadi karena adanya penurunan produksi hormon estrogen setelah menopause yang memicu metabolisme karbohidrat dan lipid menjadi abnormal (Yonezawa et al., 2012). Estrogen diketahui sebagai hormon multifungsi yang memiliki peran dalam regulasi sistem fisiologis manusia. Selain fungsi seksual dan reproduksi, estrogen juga berperan dalam metabolisme glukosa dan lipid, memelihara pergantian tulang dan fungsi saraf (Gruber et al., 2002). Beberapa studi menjelaskan bahwa estrogen memberikan pengaruh terhadap asupan makanan, komposisi lemak tubuh dan aktivitas fisik. Penelitian pada beberapa mammalia maupun wanita menunjukkan bahwa kadar estrogen yang tinggi selama siklus estrus atau menstruasi, serta pada masa kehamilan terjadi penurunan asupan makan dan akumulasi lemak subkutan. Sebaliknya pada ovariektomi, menopause dan terapi antiestrogen terjadi peningkatan asupan makan dan lemak abdominal. Hal ini mengindikasikan bahwa estrogen memiliki fungsi anoreksigenik terhadap sistem saraf pusat (Roepke, 2009; Yonezawa et al., 2012). Beberapa penelitian mengidentifikasikan aksi sentral 1
estrogen yang juga terlibat dalam homeostasis energi, sensitivitas leptin, mencegah akumulasi lemak viseral dan obesitas (Clegg et al., 2006; Gao et al., 2007). Obesitas merupakan akumulasi kelebihan lemak tubuh total yang menyebabkan tingginya indeks massa tubuh ( 25 kg/m 2 untuk populasi Asia dan 30 kg/m 2 untuk populasi Eropa) (Mushref & Srinivasan, 2013). Obesitas terjadi karena adanya kelainan dalam pengaturan nafsu makan maupun metabolisme energi yang dikendalikan oleh faktor biologi spesifik. Secara fisiologis, obesitas dapat terjadi karena adanya gangguan pada keseimbangan energi, yaitu jumlah energi yang masuk lebih banyak daripada jumlah energi yang keluar dan kelebihan energi tersebut disimpan di dalam tubuh sebagai lemak (Margetic et al., 2002; Mushref & Srinivasan, 2013). Prevalensi obesitas di berbagai negara maju dan berkembang mengalami peningkatan dan berada pada kondisi yang mengkhawatirkan, karena telah mencapai proporsi pandemi selama satu dekade terakhir (Boonyaratanakornkit & Pateetin, 2014). Peningkatan jumlah populasi obesitas dapat menjadi masalah kesehatan karena akan diikuti dengan berbagai penyakit yang menyertai seperti penyakit jantung, diabetes mellitus tipe-2, kanker jenis tertentu, bahkan berakibat kematian (Kopelman, 2000). Camporez-Joao et al. (2013) menjelaskan bahwa wanita menopause memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi obese karena terjadi penurunan pengeluaran energi, oksidasi lemak dan aktivitas fisik. 2
Penelitian mengenai obesitas dengan menggunakan tikus sebagai hewan model telah banyak dilakukan. Penggunaan tikus sebagai hewan model obese disebabkan tikus dapat mewakili kondisi manusia obese. Nilsson et al. (2012) menjelaskan bahwa tikus obese karena pemberian diet tinggi lemak atau karbohidrat dianggap sebagai hewan model yang valid yang dapat mencerminkan kondisi pada manusia obese seperti hiperlipidemia, hiperglikemia dan juga mengalami gangguan fungsi hormon leptin dan insulin yang mirip seperti pada manusia obese. Pada hewan model, obesitas dapat dinilai oleh kriteria berdasarkan peningkatan berat badan atau Lee Obesity Index, dan massa lemak tubuh. Pengukuran indeks Lee merupakan salah satu cara untuk menilai obesitas pada tikus yang mirip dengan pengukuran Body Mass Index (BMI) pada manusia. Indeks Lee didefinisikan sebagai akar pangkat tiga dari berat badan (g) dibagi dengan panjang naso-anal (cm) dan dikali 1000. Nilai yang lebih besar dari 310 dinyatakan sebagai indikator obesitas (Hariri & Thibault, 2010). Hormon leptin yang terutama disekresi oleh jaringan adiposa putih merupakan hormon yang diproduksi oleh gen ob, diketahui sebagai satiety hormone dan terdiri atas 167 asam amino dengan berat molekul 16 kda (Paracchini et al., 2005). Fungsi leptin adalah sebagai molekul sinyal yang menyampaikan pesan kepada otak mengenai ketersediaan energi yang tersimpan di dalam lemak tubuh. Otak, terutama hipotalamus mengintegrasikan sinyal metabolik yang berasal dari leptin tersebut untuk meregulasi homeostasis energi dengan cara menurunkan nafsu makan, meningkatkan pengeluaran energi dan termogenesis (Morris & Rui, 2009; Kelesidis et al., 2010). 3
Leptin disekresikan secara pulsatil dengan tingkat tertinggi pada tengah malam hingga pagi hari, dan tingkat terendah pada siang hingga sore hari. Kadar leptin sirkulasi merefleksikan jumlah energi yang tersimpan di dalam lemak dan perubahan akut pada asupan kalori (Dardeno et al., 2010; Kelesidis et al., 2010). Wanita cenderung memiliki kadar leptin yang lebih tinggi dibanding pria, namun mengalami penurunan yang signifikan setelah wanita menopause (Dardeno et al., 2010). Pada mencit jantan Diet-Induced Obese (DIO) dengan pakan tinggi lemak, terjadi gangguan pada mekanisme kerja leptin. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kadar leptin plasma setelah diinjeksi leptin eksogen melalui perifer pada minggu ke-8 pemberian pakan tinggi lemak, akan tetapi asupan makanan dan berat badan juga tetap mengalami peningkatan. Peningkatan asupan makan semakin tinggi pada minggu ke-15 hingga minggu ke-19 (Lin et al., 2000). Mutiso et al. (2014) menjelaskan bahwa tikus Wistar jantan DIO dengan pakan tinggi karbohidrat terjadi peningkatan indeks massa tubuh dan denyut jantung setelah pemberian diet selama 7 minggu. Peningkatan indeks massa tubuh tidak terjadi pada tikus yang diberi diet standar. Correia et al. (2012) menjelaskan bahwa tikus ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak memiliki berat badan dan lemak tubuh total yang lebih tinggi dibanding tikus ovariektomi yang diberi diet standar dan tikus yang tidak diovariektomi. Selain itu, tikus ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak juga memiliki ukuran sel adiposa yang lebih besar, mengalami peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, leptin plasma dan penurunan kadar adiponektin. 4
Penelitian lain menjelaskan bahwa pemberian diet tinggi lemak pada tikus ovariektomi menyebabkan peningkatan berat badan dan pembesaran volume lemak subkutan dan viseral. Namun berat badan menjadi turun setelah tikus diberi terapi estrogen selama 10 hari (Yonezawa et al., 2012). Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa leptin dan estrogen merupakan hormon yang memiliki fungsi penting dalam homeostasis energi melalui perannya dalam menurunkan asupan makan, meningkatkan pengeluaran energi dan termogenesis. Namun masih perlu dilakukan penelitian mengenai efek pemberian diet tinggi lemak jangka panjang dan defisiensi estrogen sebagai faktor risiko obesitas terhadap fungsi hormon leptin yang dilihat melalui perubahan kadar leptin serum, asupan makan harian, indeks Lee dan massa lemak abdominal. I.2. Rumusan Masalah Diet tinggi lemak jangka panjang menyebabkan fungsi hormon leptin terganggu. Selain itu, defisiensi estrogen juga dianggap sebagai faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya obesitas pada menopause. Berdasarkan data tersebut muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah asupan makan harian tikus ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak lebih tinggi dibanding tikus tidak ovariektomi serta yang diberi diet standar? 2. Apakah indeks Lee tikus ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak lebih tinggi dibanding tikus tidak ovariektomi serta yang diberi diet standar? 3. Apakah massa lemak abdominal pada tikus ovariektomi yang diberi 5
diet tinggi lemak lebih tinggi dibanding tikus tidak ovariektomi serta yang diberi diet standar? 4. Apakah kadar leptin serum tikus ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak lebih tinggi dibanding tikus tidak ovariektomi serta yang diberi diet standar? 5. Apakah terdapat korelasi antara kadar leptin serum dengan asupan makan harian, indeks Lee dan massa lemak abdominal pada tikus ovariektomi dan tidak ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak? I.3. Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek pemberian diet tinggi lemak jangka panjang terhadap kadar leptin serum, asupan makan, indeks Lee dan massa lemak abdominal sebagai parameter terjadinya gangguan fungsi leptin serta obesitas pada tikus ovariektomi dan tidak ovariektomi. I.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengkaji asupan makan harian pada tikus ovariektomi dan tidak ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak dibanding diet standar. 2. Mengkaji indeks Lee pada tikus ovariektomi dan tidak ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak dibanding diet standar. 3. Mengkaji massa lemak abdominal pada tikus ovariektomi dan tidak ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak dibanding diet standar. 4. Mengkaji kadar leptin serum pada tikus ovariektomi dan tidak ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak dibanding diet standar. 6
5. Mengkaji korelasi antara kadar leptin serum dengan asupan makan harian, indeks Lee dan massa lemak abdominal pada tikus ovariektomi dan tidak ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak I.4. Keaslian Penelitian Belum banyak penelitian yang mengkaji tentang efek pemberian diet tinggi lemak jangka panjang terhadap peningkatan kadar leptin serum, asupan makan harian, indeks Lee dan massa lemak abdominal sebagai indikator terjadinya gangguan fungsi leptin dan obesitas terutama kaitannya dengan menopause. Lin et al. (2000) menjelaskan bahwa pemberian diet tinggi lemak selama 19 minggu pada tikus jantan menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap leptin eksogen. Hal ini ditandai dengan peningkatan kadar leptin plasma setelah diinjeksi leptin eksogen, namun asupan makanan tetap meningkat. Penurunan respon terhadap leptin eksogen mulai terjadi sejak minggu ke-8. Penelitian lain menjelaskan bahwa tikus yang diovariektomi memiliki kadar leptin serum, berat badan dan asupan makan yang lebih tinggi dibanding tikus yang tidak diovariektomi. Peningkatan asupan makanan dan berat badan mulai terlihat pada minggu ke-4 setelah ovariektomi (Meli et al., 2004). Correia et al. (2012) menjelaskan bahwa tikus ovariektomi yang diberi diet tinggi lemak (mengandung 60% lemak) selama 18 minggu mengalami peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, leptin plasma dan penurunan adiponektin serum dibanding tikus ovariektomi yang diberi diet standar. 7
Yonezawa et al. (2012) menjelaskan bahwa tikus ovariektomi dan diberi diet tinggi lemak juga mengalami peningkatan berat badan dengan penambahan volume lemak viseral dan subkutan, glucose intolerance dan resistensi insulin. Selain itu, Mutiso et al. (2014) dalam penelitiannya yang menggunakan tikus Wistar jantan Diet-Induced Obese (DIO) dengan pakan tinggi karbohidrat menjelaskan bahwa terjadi peningkatan BMI dan denyut jantung setelah pemberian diet selama 7 minggu. Peningkatan BMI tidak terjadi pada tikus yang diberi diet standar. I.5. Manfaat Penelitian I.5.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar teori untuk penelitian lain mengenai obesitas, terutama obesitas yang tejadi pada menopause. I.5.2. Manfaat Praktis Studi ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat dan praktisi kesehatan mengenai peran diet tinggi lemak dan menopause sebagai faktor risiko terjadinya obesitas pada wanita, sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan sedini mungkin. Selain itu diharapkan dapat digunakan sebagai konsep penggunaan Hormone Replacement Therapy dalam upaya untuk mencegah obesitas pada wanita menopause. 8